Dengan wajah setengah terkejut dan setengah panik, aku masih menatap dalam kedua mata Sam. “Apa? Kau sudah gila?” “Tidak. Aku sepenuhnya waras dan meminta bantuanmu secara sadar.” Sam mengangkat bahu dengan wajah polos tak berdosa. “Kau sadar dengan permintaanmu barusan?” Aku memastikan sekali lagi. Sejujurnya hubungan kami tidak sedekat itu untuk saling meminta dan memberi bantuan. “Hm. Aku memintamu agar membantuku untuk mendapatkan perusahaan.” Aku mengerjab sekali lagi. Pendengaran dan penglihatanku tidak salah. Semua kalimat itu murni keluar dari mulut pria yang kini tengah menatap ke arahku. Menunggu balasanku. “Hei, anggap saja aku tak pernah mendengarnya, aku akan melupakan semua perkataanmu malam ini.” Aku menggelengkan kepala lalu turun dari kursi. Tak berniat memberi Sam jawaban dari permintaannya itu. Perjanjianku dengan Hwan saja belum usai, sekarang Sam malah ikut ikutan meminta bantuanku. Apa semua anggota kelu
Aku segera menarik tangan, melepaskan tangan Hwan. Kemudian bergantian menatap Hwan dan Sam yang masih bertatap-tatapan. Mata mereka terlihat seperti akan mengeluarkan listrik atau api atau apalah itu. “Hei, kalian kenapa? Berhentilah.” Suaraku bergetar seperti ketakutan. Seandainya kalian berada di posisiku. Aku menghela nafas pelan. Hwan lebih dulu mengalihkan pandangan. “Kau tidak ke pasar? Ayo, aku temani.” Hwan masih lancang menarik tanganku. “Tapi dia punya janji denganku. Bagaimana ya?” Sam tidak mau kalah. Rasa-rasanya aku sekarang seperti barang yang di tawar di pasar. Sungguh tidak enak. “Bukankah begitu Jinnie?” Gerakku terhenti yang membuat Hwan ikut berhenti – saat hendak bangkit dari kursi. “Kau tidak melupakan janjimu denganku kan?” Sam mengulangi kalimatnya untuk kedua kali. “Janji?” Aku terheran-heran. Seingatku, aku tak pernah membuat janji dengannya. “Kurasa kau salah paham, aku tak pernah berja
Aku berjalan lemas melintasi ruang tengah. Rumah sore itu sepi. Aku mengedarkan pandangan ke kanan kiri. Memastikan apakah benar tidak ada orang di rumah. Tidak biasanya. Jam segini seharusnya Madam Bong sudah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Sekali lagi aku menghela nafas. Seolah akulah yang punya beban paling berat di dunia ini. Ponselku bergetar di dalam saku. Perlahan aku berjalan menuju sofa di ruang tengah sambil meraih ponsel di saku. Sebuah panggilan tak terduga. “Hallo?” Aku menyapa ramah walau dalam hati ada perasaan sedikit was-was. Berharap berita baik yang akan kudengar dalam satu detik ke depan. “Benarkah? Baiklah aku segera ke sana!” Aku segera bangkit dan menuju alamat yang harus kutuju, tapi… “Aaaaa…” Aku terlonjak kaget ketika mendapati Hwan tengah berdiri tepat di belakangku. Aku menurunkan ponsel dengan canggung. “Kau mau kemana?” tanyanya. “Di luar sudah mulai gelap.” “Itu…aku..jadi…”
“Ya?” “Kau kenal dengannya?” bisik Hwan pelan yang kubalas dengan gelengan kecil. Seorang pria paruh baya mendekati kami. Wajahnya asing dan aku tak pernah bertemu dengannya. Setidaknya itulah yang ada diingatanku. “Bukankah kau Park Jinnie?” tanya pria asing itu sekali lagi. Aku mengangguk samar. “Ya. maaf tapi anda siapa?” Seketika Hwan langsung menggenggam tanganku. Dia sudah mulai punya pikiran buruk tentang orang yang tersenyum hangat ke arahku kini. Kami berpindah ke kedai kopi dekat dari taman. Dia bilang saudara ayahnya. Astaga! Setelah sekian lama. Apakah masih ada yang ingat dengan ayahku dan terutama aku yang dulu susah sekali diajak ke pertemuan keluarga? Aku juga tak ingat kalau pernah punya paman seperti orang di depanku ini. Wajahnya memang agak mirip dengan wajah ayahku yang sudah hampir terlupakan. Tapi kenapa dia mencariku sekarang, setelah tiga tahun berlalu. Waktu aku sendiri dulu p
Sebuah ruangan sempit berukuran dua kali tiga menjadi tempat pilihan kami untuk berbincang lebih jauh. Tidak jauh berbeda dengan di luar, ruangan kecil ini juga dipenuhi oleh komputer, hanya saja di sini lebih berantakan. Pencahayaan yang kurang juga membuat suasana kamar menjadi suram. Hanya ada sebuah jendela kecil di dinding bagian atas, tapi tetap saja tak membuatnya lebih terang. Gadis itu memelukku sekali. “Hei! Sudah lama sekali kita tak bertemu, padahal aku pikir kau sudah lupa denganku,” bual seorang perempuan dengan dandanan tomboy. Dia memasang piercing di bagian sudut alis sebelah kanan. Dia menguncir tinggi rambut panjangnya dan mengenakan hoody kebesaran warna hitam. Sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. “Hei! Tidak mungkin aku lupa denganmu,” balasku sambil tersenyum malu. Ya. Dia teman lama yang paling dekat denganku. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Baik?” Dia bertanya sambil memasang wajah khawatir. Aku tersen
Tengah malam, aku berjalan lemas memasuki rumah. Seluruh lampu rumah sudah padam. Seperti biasa hanya menyisakan satu lampu di dekat dapur yang membuat setiap pijakanku terlihat remang-remang. “Kau baru pulang?” Aku tak lagi terkejut mendengar suara Sam yang tiba-tiba. Aku sudah melihatnya duduk di salah satu kursi mini bar dekat dapur. “Aku sedang tak ingin berdebat denganmu,” balasku terdengar lesu sambil terus berjalan ke arah tangga. Tak menunjukkan ketertarikan untuk mendengarkan cerita membosankannya malam itu. Sam pun bangkit dan berjalan mendekatiku yang sudah menaiki setengah anak tangga. Dia menahan lenganku. “Kau…..” Aku menoleh, tidak ada perlawanan untuk melepaskan tangannya. “Terlihat capek sekali,” katanya terdengar agak canggung. Anehnya dia juga terdengar sedikit mengkhawatirkanku. “Hm. Jadi kita bicara besok saja,” lanjutku lagi yang membuat Sam langsung melepaskan tangannya dari lenganku. Barangkali dia men
Aku juga memberikan tisu kering pada Hwan. Dia tampak kesulitan bernafas karena makanan yang masuk ke hidung. “Hei! Kau tak apa? wajahmu merah sekali, seperti kepiting rebus,” kataku sambil menahan tawa. “Kau masih bisa bercanda?” Hwan melirikku tak suka. Sesekali dia terbatuk. Aku juga mengisi kembali gelasnya yang sudah kosong. “Wah, indah sekali pemandangan di depanku ini,” sela Sam menyindir. Aku sampai lupa kalau dia masih duduk di sana. Hwan berhenti batuk. Begitu pula denganku yang berhenti sejenak. Satu detik kemudian barulah kami sama-sama menatap Sam. Dia melipat tangan di dada sambil memasang ekspresi tak suka. Huft! Aku mengehela nafas. Ini bukan pertama kalinya dia bersikap seperti itu. Selalu saja bersikap bossy jika aku sudah bercanda dengan Hwan. Tapi apa mungkin ini pertanda lain? Cemburu misalnya? Ah, tidak mungkin Sam menyimpan perasaan padaku. Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu. “Apa urusannya denganmu?” Aku m
“Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Permintaanmu tidaklah sulit.” Sam memperbaiki posisi duduk, menjadi lebih nyaman dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kami masih duduk di meja makan dengan sarapan yang masih terkambang di atas meja. Waktu terus bergulir. Aku melirik jam dinding. Tepat satu jam lagi Madam Bong akan kembali ke sini untuk membereskan meja makan. “Kau boleh percaya atau tidak dengan apa yang akan kukatakan nanti. Tapi aku hanya berharap kau tak terlalu kecewa pada orang yang khawatirkan itu.” Bisa-bisanya Sam menyindirku dan Hwan. Kita lihat saja nanti, apakah ceritanya sama dengan cerita yang kudapat dari Jisung atau tidak. Satu hal yang harus kuakui darinya adalah kemauannya untuk membuka mulut, berbicara lebih lama denganku. Padahal kami belum sedekat itu. Atau Sam punya pemikiran lain? Sungguh aku tak punya ide. Sam orang yang sangat sulit untuk ditebak. “Ayah dan ibuku mungkin memang mening….”
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po