Pertemuan yang tak pernah di atur mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan. Namun pernahkah kalian berpikir kalau justru itu semua sudah ada yang mengatur? Sebuah suratan alam, misalnya. Ya. Beberapa orang percaya pada takdir, namun tak sedikit juga yang menentang takdir. Jika berbicara tentang perjalanan hidupku, apakah pertemuanku dengan Kakek Chu adalah sebuah kebetulan yang sudah direncanakan? Sungguh aku belum pernah memikirkannya sampai ke titik itu. Sejauh ini aku masih berpikir kalau semuanya terjadi secara kebetulan dan keberuntungan bagiku yang bisa bertemu dengan orang sebaik Kakek Chu. Tapi bagaimana menjelaskan pertemuanku dengan Hwan dan Sam? Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa bertemu, berteman bahkan tinggal serumah dengan mereka.
Guratan jingga di langit semakin terlihat jelas. Tampak kontras dengan kesibukan kota yang tiada habisnya. Kehidupan malam akan segera dimulai. Bar, diskoti
Di antara banyak bar dan club, Channel A termasuk salah satu bar kelas atas. Lihatlah antrian panjang sudah mengular di luar gedung bar Channel A. Tak perlu berebut pelanggan dengan pesaing lain, siapapun yang punya selera bagus dan rasa gengsi yang tinggi dapat dipastikan memilih Channel A sebagai bar top nomor satu. Tak heran juga Hwan menamakan barnya dengan Channel A. Begitu klasik dan berkelas. Sopir mengantarku ke sana dan menurunkanku tepat di pintu masuk. Aku menghela nafas pelan. Tiba-tiba saja aku berpikiran untuk berhenti kerja saja dari tempat Hwan ketika menatap lama gedung yang berdiri gagah di depanku ini. Aku merasa tak enak dengan Jisung, Haeri dan karyawan lain. Mereka mungkin saja menganggapku bekerja seenaknya saja hanya karena dekat dengan pemiliknya. Terlepas dari Jisung yang tahu situasi yang tengah kualami. Tetap saja sebuah etika dalam bekerja diperlukan. Sebaiknya aku mengatakan
Pertemuan pertamaku dengan Sam dulu sudah hampir terlupakan seiring dengan sikapnya yang tak pernah ramah. Tetapi siapa sangka justru Sam lah yang mengingatkanku. Dia tampaknya mengingat sesuatu tentang malam itu. “Maksudmu?” Aku pura-pura tidak tahu, bertanya dengan wajah polos. “Malam itu…” Sam berhenti sejenak. Dia sudah terlihat agak mabuk – empat gelas kosong tepat di depannya. “Malam itu apa?” Aku masih berlagak polos, sesekali melirik pada Hwan yang kini asik berbincang dengan seorang pria asing. Aku tak kenal. Mataku kembali bertemu dengan mata hitam Sam yang setengah terbuka. “Malam itu kau mengantarku pulang bukan?”
Aku tersentak. Keringat dingin memenuhi pelipis dengan nafas yang tersengal. Aku duduk, menyeka peluh di dahi. Mimpi yang tak bisa dibilang baik, tak pula buruk. Tetapi ada perasaan takut di dalamnya. Rasa rindu, khawatir, kebencian, penyesalan bercampur menjadi satu. Mimpi itu terasa seperti memperingatkanku untuk selalu berada di jalan yang benar karena mereka tak lagi bisa mendampingiku. Tapi pertanyaannya, apakah sekarang aku sudah menjalani kehidupan dengan baik? Aku mungkin sudah baik dalam hal materi tapi tak ada yang lebih buruk dari menjadikan hidup sendiri sebagai taruhan untuk bersenang-senang bagi orang lain. Aku menyibak selimut dan membuka gorden menuju balkon. Semburat merah mulai menyibak di ufuk Timur. Aku terbangun subuh untuk orang-orang yang tinggal di rumah ini yang punya kebiasaan bangun siang. Jika aku membuat pengecualian untuk Jay, dia selalu berangkat pagi-pagi sekali ke pusat pelatih
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku melihat sekeliling, khawatir jika dia membawa orang lain. Sebelumnya aku pernah bertemu Hwan secara tak sengaja, namun kali ini pertemuan dengan Sam mungkin terlihat agak dipaksakan. Sam tak punya urusan di sana kecuali jika dia memang mengikutiku. Pantas saja dia tak terlihat saat aku keluar dari kamar tadi. “Kau mengikutiku ke sini?” Aku mundur dua langkah, jarak kami sudah agak jauh jadi aku bisa melihat wajahnya tanpa perlu mendongak lagi. Sebuah lengkungan terbentuk di sudut bibir Sam. “Hm. Aku memang mengikutimu,” terangnya berkata jujur. “Apa? Tidak, maksudku kenapa?” 
Aku mengabaikan Sam yang terus mengikuti hingga ke kamar. Sungguh melelahkan meladeninya seharian penuh. Eh tidak, dua hari penuh karena dia sudah mengintaiku sejak kemarin. Aku berhenti tiba-tiba lalu berbalik. “Kau akan terus melakukan hal ini?” katanya geram ketika sudah tiba di depan pintu kamar. “Kepedean sekali. Aku juga mau ke kamar tau,” balasnya dengan nada meledek. Dia melewatiku menuju kamarnya tepat di samping kamarku. Astaga, aku lupa kalau kamar kami bersebelahan. “Oh ya!” Sam berhenti sejenak. “Apa lagi?” “Berhati-hatilah! Sekarang banyak mata yang mengawasimu.” Sam mengacungkan dua jarinya padaku bergantian setelah menunjuk kedua matanya. Aaargh! Menyebalkan sekali melihatnya meledekku seperti itu. Sam menghilang di balik pintu. Tak membiarkanku untuk membalasnya barang sedetikpun. Aku hanya bisa menghela nafas kasar. Berat sekali untuk hidup tenang di rumah ini. Benar kata orang.
Masih dalam posisi yang sama, aku menunjuk diriku sendiri. Masig bingung dengan ucapan Hwan. Mereka juga masih dalam posisi saling bertatapan dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Jika saja mata mereka bisa mengeluarkan bilah tajam, habislah semua tersayat saking tajamnya tatapan mereka. “Sudah hentikan!” Akhirnya Kakek Chu melerai. Dia juga tak nyaman melihat pemandangan yang menegangkan itu. “Sampai kapan kalian akan bersikap kekanakan seperti ini.” Para pelayan kembali memasuki ruangan. Menyajikan hidangan penutup untuk makan malam kami. Untunglah mereka datang di waktu yang tepat. Sekarang Hwan dan Sam saling membuang muka. “Dan untukmu Jinnie.” Sekarang giliranku. Kakek Chu menoleh padaku. “Ya kek?” “Kau sudah siap bukan?” Aku menelan ludah. Mulutku seketika terasa kering. Apa mereka berdua yang kini tengah menatapku akan menentang jika aku menjawab siap? “Aku…..siap kek,” jawabku mantap. Masa bodoh jika me
Aku memutar badan ke kiri lalu ke kanan dan berakhir menelantang menghadap langit-langit kamar. Pertanyaan Hwan tadi malam membuatku gelisah dan tak bisa tidur. “Aku tanya apa kau masih ingin meninggalkan rumah atau kau sudah mulai nyaman di sini?” Hwan mengibaskan sebelah tangannya di depan wajahku. “Ha?” “Kau bermenung rupanya? Pertanyaanku susah untuk dijawab, ya?” “Masalah itu…” aku sedikit ragu untuk menjawab. Lampu berganti hijau, mobil pun kembali melaju. Jalan kota masih ramai di tengah malam. Tidak sedikit orang yang menyukai malam dibandingkan siang. “Aku tak keberatan jika keinginanmu untuk pergi sudah hilang dan secara otomatis semua perjanjian kita akan batal. Toh sebenarnya aku tak mendapatkan apa-apa, aku hanya ingin bermain-main sedikit dengan Sam. Semuanya tergantung padamu. Sama seperti sebelumnya, aku akan bersikap sebagai pria keren yang menghargai setiap keputusanmu. Bagaimana?” He
Dengan wajah setengah terkejut dan setengah panik, aku masih menatap dalam kedua mata Sam. “Apa? Kau sudah gila?” “Tidak. Aku sepenuhnya waras dan meminta bantuanmu secara sadar.” Sam mengangkat bahu dengan wajah polos tak berdosa. “Kau sadar dengan permintaanmu barusan?” Aku memastikan sekali lagi. Sejujurnya hubungan kami tidak sedekat itu untuk saling meminta dan memberi bantuan. “Hm. Aku memintamu agar membantuku untuk mendapatkan perusahaan.” Aku mengerjab sekali lagi. Pendengaran dan penglihatanku tidak salah. Semua kalimat itu murni keluar dari mulut pria yang kini tengah menatap ke arahku. Menunggu balasanku. “Hei, anggap saja aku tak pernah mendengarnya, aku akan melupakan semua perkataanmu malam ini.” Aku menggelengkan kepala lalu turun dari kursi. Tak berniat memberi Sam jawaban dari permintaannya itu. Perjanjianku dengan Hwan saja belum usai, sekarang Sam malah ikut ikutan meminta bantuanku. Apa semua anggota kelu