Langit – langit kamarku lengang. Semua orang sudah lama tertidur, tapi mataku tak bisa diajak kerja sama. Sedari tadi aku memainkan lampu tidur. Hidup, mati, hidup, mati dan kubiarkan hidup hingga kini. Perkataan Hwan tadi masih terngiang-ngiang di kepala. Astaga, apa lagi ini? Belum cukup perjanjian dengan Kakek Chu, taruhan dengan Hwan juga ikut membuatku gila.
Aaaarrrghh! Aku terteriak dalam diam. Aku tidak mau semua penjaga yang berjaga di luar tiba-tiba masuk kamar setelah mendengar suara teriakan seperti terakhir kali. Aku menggeliat di balik selimut kemudian bangkit dan duduk. Aku menghela nafas kasar.
“Perjanjianmu dengan kakek,” Hwan menatapku dengan serius, “aku bisa membuatmu lepas dari perjanjian gila itu dengan syarat
Hari yang cerah tapi tidak dengan suasana yang sedang kualami. Kini aku sedang bersembunyi di balik tembok di bawah anak tangga, menunggu seseorang. Aku menyumpahi Hwan dalam hati, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Astaga, aku menjadi geram sendiri. Pertama, aku harus memasang muka tembok dan kebal terhadap semua perkataan Sam nanti. Kedua, aku harus bisa berangkat bersamanya keluar dari rumah ini meskipun aku tak punya tujuan. Hwan bilang dia akan menjemputku nanti jika sudah sampai tujuan. Haha. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang kulakukan sekarang. Aku melirik jam tangan di lengan kanan, seharusnya Sam sudah turun karena harus segera berangkat ke kantor. Dia sekarang bekerja di sebuah perusahaan arsitektur dan juga seorang designer interior. Dia bekerja di sana murni karena kemampuannya bukan karena dia adalah tuan muda keluar
Aku tercengang ketika sebuah kertas terkambang di depanku. Sebuah surat perjanjian tentang taruhan antara kami berdua. “Kau bisa menandatanganinya jika setuju,” kata Hwan santai. Dia menyesap kopinya perlahan. Hwan membawaku ke sebuah café tak jauh dari rumah. Suara music indie bergema di seluruh langit langit café. Banyak yang datang meskipun baru pukul sembilan pagi. Ada yang mampir karena hendak berangkat bekerja, atau anak sekolah yang mungkin saja membolos atau masuk siang? Pokoknya banyak orang yang datang dan café pagi itu tak sepi. Seorang waiters baru saja menyajikan sepotong kue sesuai pesananku sebelumnya. Lebih tepatnya Hwan yang memesan. “In
“Bagaimana dengan Jinnie?” Kakek Chu bertanya pelan. Dia tengah menatap jauh sebuah pemandangan dari ruang kerjanya – taman belakang di kediamannya kini. Kini Kakek Chu banyak duduk di kursi roda. Beberapa hari terakhir juga sakit jantungnya sering kambuh. Dia sering kali berpikir kalau waktunya mungkin tak banyak lagi. “Seperti biasanya Kakek Chu, dia banyak menghabiskan waktu di rumah membantu Madam Bong di siang hari dan bekerja di bar Hwan pada malam hari.” Kakek Chu tersenyum tipis setelah mendengar penjelasan Em. “Dia masih bekerja?” “Iya Kakek Chu, sebelumnya saya sudah pernah melarangnya untuk bekerja tapi dia tetap bersikukuh, jadi saya
Tiba-tiba saja suasana canggung memenuhi mobil. Aku tak banyak berbicara semenjak Hwan memelukku erat beberapa menit yang lalu. Aku tak membalas pelukan Hwan, hanya bersikap seperti patung di dalam dekapannya. “Aku tak tahu kau benar-benar melakukannya? Bagaimana bisa?” Hwan melonggarkan dekapannya, kini kedua tangannya berada di atas bahuku. Dia masih tak menyangka kalau aku berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. “Tidak bisa begini, aku harus memberimu hadiah.” Hwan terus saja menyentuh tanganku lantas menarikku ke dalam mobil. Dia bahkan membukakan pintu mobil, menjaga kepalaku agar tak terbentur atap mobil. Melihat perhatiannya yang tulus dan detail, hampir saja aku jatuh hati padanya.&nbs
Pertemuan yang tak pernah di atur mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan. Namun pernahkah kalian berpikir kalau justru itu semua sudah ada yang mengatur? Sebuah suratan alam, misalnya. Ya. Beberapa orang percaya pada takdir, namun tak sedikit juga yang menentang takdir. Jika berbicara tentang perjalanan hidupku, apakah pertemuanku dengan Kakek Chu adalah sebuah kebetulan yang sudah direncanakan? Sungguh aku belum pernah memikirkannya sampai ke titik itu. Sejauh ini aku masih berpikir kalau semuanya terjadi secara kebetulan dan keberuntungan bagiku yang bisa bertemu dengan orang sebaik Kakek Chu. Tapi bagaimana menjelaskan pertemuanku dengan Hwan dan Sam? Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa bertemu, berteman bahkan tinggal serumah dengan mereka. Guratan jingga di langit semakin terlihat jelas. Tampak kontras dengan kesibukan kota yang tiada habisnya. Kehidupan malam akan segera dimulai. Bar, diskoti
Di antara banyak bar dan club, Channel A termasuk salah satu bar kelas atas. Lihatlah antrian panjang sudah mengular di luar gedung bar Channel A. Tak perlu berebut pelanggan dengan pesaing lain, siapapun yang punya selera bagus dan rasa gengsi yang tinggi dapat dipastikan memilih Channel A sebagai bar top nomor satu. Tak heran juga Hwan menamakan barnya dengan Channel A. Begitu klasik dan berkelas. Sopir mengantarku ke sana dan menurunkanku tepat di pintu masuk. Aku menghela nafas pelan. Tiba-tiba saja aku berpikiran untuk berhenti kerja saja dari tempat Hwan ketika menatap lama gedung yang berdiri gagah di depanku ini. Aku merasa tak enak dengan Jisung, Haeri dan karyawan lain. Mereka mungkin saja menganggapku bekerja seenaknya saja hanya karena dekat dengan pemiliknya. Terlepas dari Jisung yang tahu situasi yang tengah kualami. Tetap saja sebuah etika dalam bekerja diperlukan. Sebaiknya aku mengatakan
Pertemuan pertamaku dengan Sam dulu sudah hampir terlupakan seiring dengan sikapnya yang tak pernah ramah. Tetapi siapa sangka justru Sam lah yang mengingatkanku. Dia tampaknya mengingat sesuatu tentang malam itu. “Maksudmu?” Aku pura-pura tidak tahu, bertanya dengan wajah polos. “Malam itu…” Sam berhenti sejenak. Dia sudah terlihat agak mabuk – empat gelas kosong tepat di depannya. “Malam itu apa?” Aku masih berlagak polos, sesekali melirik pada Hwan yang kini asik berbincang dengan seorang pria asing. Aku tak kenal. Mataku kembali bertemu dengan mata hitam Sam yang setengah terbuka. “Malam itu kau mengantarku pulang bukan?”
Aku tersentak. Keringat dingin memenuhi pelipis dengan nafas yang tersengal. Aku duduk, menyeka peluh di dahi. Mimpi yang tak bisa dibilang baik, tak pula buruk. Tetapi ada perasaan takut di dalamnya. Rasa rindu, khawatir, kebencian, penyesalan bercampur menjadi satu. Mimpi itu terasa seperti memperingatkanku untuk selalu berada di jalan yang benar karena mereka tak lagi bisa mendampingiku. Tapi pertanyaannya, apakah sekarang aku sudah menjalani kehidupan dengan baik? Aku mungkin sudah baik dalam hal materi tapi tak ada yang lebih buruk dari menjadikan hidup sendiri sebagai taruhan untuk bersenang-senang bagi orang lain. Aku menyibak selimut dan membuka gorden menuju balkon. Semburat merah mulai menyibak di ufuk Timur. Aku terbangun subuh untuk orang-orang yang tinggal di rumah ini yang punya kebiasaan bangun siang. Jika aku membuat pengecualian untuk Jay, dia selalu berangkat pagi-pagi sekali ke pusat pelatih
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po