Matahari berangsur tumbang, aku merapatkan topi. Setelah makan siang dengan Madam Bong, aku pamit untuk keluar rumah sebentar, ada tempat yang harus kudatangi.
Suara bising memenuhi langit-langit. Awan hitam tampak menggulung tinggi, sudah tidak ada lagi sinar matahari seperti tadi siang. Namun tidak ada yang tahu apakah nanti akan benar-benar turun hujan atau angin akan membawa awan hitam itu ke tempat lain. Bahkan peramalan cuaca tetap saja sering kali salah menebak.
Langkah kakiku semakin cepat membelah kerumunan orang-orang yang berjalan di badan jalan. Beberapa juga ada yang berjalan cepat khawatir akan terkena hujan, walau belum tentu hujan. Istilah sedia payung sebelum hujan mungkin lebih ba
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Like dan komen.. Salam hangat
Hwan berjalan santai menyusuri jalan setapak di tengah-tengah pasar. Dia ke sana untuk membeli sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan terlihat aneh jika diketahui oleh orang banyak. “Kau yakin barangnya asli?” Hwan membuka sebuah kotak lalu memeriksa barang yang dipesannya. Anak muda di hadapannya mengangguk mantap. Wajahnya tersembunyi di balik masker dan juga topi yang dirapatkan. Dan dia langsung berlari setelah melihatku yang melihat ke arah mereka. Sebelum berlari, anak itu dengan cepat merampas beberapa lembar uang kertas dari tangan Hwan. “Uangmu!” Aku berseru spontan. Bisa-bisanya aku berpikiran akan hal itu dibandingkan kami yang tak sengaja berpapasan malam itu.
“Bagaimana rasanya dikelilingi pria tampan selama dua puluh empat jam?” Jisung yang sedang mengeringkan gelas wine bertanya. Aku menoleh, sementara tanganku terus mengeringkan gelas wine, sama halnya dengan Jisung. “Kau tahu dari mana?” Aku membalas dengan datar. “Ah, Hwan?” Aku menebak lebih dulu.Beberapa hari yang lalu aku memang tidak masuk kerja karena memang tidak enak badan. Aku pikir Jisung tidak tahu apa pun, tapi bodohnya aku yang berharap terlalu tinggi padanya karena sudah pasti Hwan yang bercerita ataukan Jisung yang bertanya kemana aku waktu itu. Meskipun hubungan mereka terlihat kaku, namun sepertinya mereka lebih dekat dari yang kupikirkan.“Ini.” Jisung meletakkan secangkir Tears Drop di meja dekat denganku. Sontak aku langsung menoleh. “Apa ini?”
“Ke…kenapa?” Aku salah tingkah sambil mengerjakan apa saja yang ada di depan agar tak terlihat gugup. Ah, sialnya justru kegugupanku terlihat semakin jelas. “Kenapa kau gugup sekali?” Jisung bertanya penuh curiga. Dia memutar badan menghadapku sambil melipat tangan di dada. “Gugup? Siapa? Aku?” Aku melambaikan tangan kemudian tertawa hambar. Aku memutar otak dengan cepat. Tak sengaja sudut mataku menangkap seorang pelanggan yang baru tiba mendekati meja bar. “Ada pelanggan.” Telunjukku terangkat yang membuat Jisung menoleh ke belakang. Spontan aku langsung berlari hendak meninggalkan Jisung. Namun langkahku berhenti bergerak ketika mendengar suara itu.&nbs
Hwan segera berlari keluar, berharap bisa menemukanku yang dipenuhi rasa marah saat berpapasan dengannya tadi. Dia memperhatikan daerah di sekitaran depan bar, tapi tak menemukan jejakku. Hwan juga menyusuri beberapa jalan di sekitar yang ramai, siapa tahu bisa menemukanku di sana. Namun semua itu sia-sia. Dia tak akan bisa menemukanku di sana. “Astaga, kemana dia pergi?” Hwan mengusap belakang kepalanya karena tak kunjung menemukanku setelah mencari selama lebih dari tiga puluh menit. Tepat saat ia memutuskan untuk kembali ke bar dan menyerah, suara dering ponsel terdengar. “Halo?” Dia mengangkat telepon dengan pasrah. Setelah mendengar penjelasan dari seberang sana, matanya langsung membesar dan berkata, “baiklah, saya akan segera ke
Langit – langit kamarku lengang. Semua orang sudah lama tertidur, tapi mataku tak bisa diajak kerja sama. Sedari tadi aku memainkan lampu tidur. Hidup, mati, hidup, mati dan kubiarkan hidup hingga kini. Perkataan Hwan tadi masih terngiang-ngiang di kepala. Astaga, apa lagi ini? Belum cukup perjanjian dengan Kakek Chu, taruhan dengan Hwan juga ikut membuatku gila. Aaaarrrghh! Aku terteriak dalam diam. Aku tidak mau semua penjaga yang berjaga di luar tiba-tiba masuk kamar setelah mendengar suara teriakan seperti terakhir kali. Aku menggeliat di balik selimut kemudian bangkit dan duduk. Aku menghela nafas kasar. “Perjanjianmu dengan kakek,” Hwan menatapku dengan serius, “aku bisa membuatmu lepas dari perjanjian gila itu dengan syarat
Hari yang cerah tapi tidak dengan suasana yang sedang kualami. Kini aku sedang bersembunyi di balik tembok di bawah anak tangga, menunggu seseorang. Aku menyumpahi Hwan dalam hati, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Astaga, aku menjadi geram sendiri. Pertama, aku harus memasang muka tembok dan kebal terhadap semua perkataan Sam nanti. Kedua, aku harus bisa berangkat bersamanya keluar dari rumah ini meskipun aku tak punya tujuan. Hwan bilang dia akan menjemputku nanti jika sudah sampai tujuan. Haha. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang kulakukan sekarang. Aku melirik jam tangan di lengan kanan, seharusnya Sam sudah turun karena harus segera berangkat ke kantor. Dia sekarang bekerja di sebuah perusahaan arsitektur dan juga seorang designer interior. Dia bekerja di sana murni karena kemampuannya bukan karena dia adalah tuan muda keluar
Aku tercengang ketika sebuah kertas terkambang di depanku. Sebuah surat perjanjian tentang taruhan antara kami berdua. “Kau bisa menandatanganinya jika setuju,” kata Hwan santai. Dia menyesap kopinya perlahan. Hwan membawaku ke sebuah café tak jauh dari rumah. Suara music indie bergema di seluruh langit langit café. Banyak yang datang meskipun baru pukul sembilan pagi. Ada yang mampir karena hendak berangkat bekerja, atau anak sekolah yang mungkin saja membolos atau masuk siang? Pokoknya banyak orang yang datang dan café pagi itu tak sepi. Seorang waiters baru saja menyajikan sepotong kue sesuai pesananku sebelumnya. Lebih tepatnya Hwan yang memesan. “In
“Bagaimana dengan Jinnie?” Kakek Chu bertanya pelan. Dia tengah menatap jauh sebuah pemandangan dari ruang kerjanya – taman belakang di kediamannya kini. Kini Kakek Chu banyak duduk di kursi roda. Beberapa hari terakhir juga sakit jantungnya sering kambuh. Dia sering kali berpikir kalau waktunya mungkin tak banyak lagi. “Seperti biasanya Kakek Chu, dia banyak menghabiskan waktu di rumah membantu Madam Bong di siang hari dan bekerja di bar Hwan pada malam hari.” Kakek Chu tersenyum tipis setelah mendengar penjelasan Em. “Dia masih bekerja?” “Iya Kakek Chu, sebelumnya saya sudah pernah melarangnya untuk bekerja tapi dia tetap bersikukuh, jadi saya
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po