Alan dan Alana menatap satu sama lain, ketegangan terlihat di wajah mereka. Mereka masih duduk walau mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di depan sekolahnya."Kenapa kami harus memanggil ayah kepada Paman Pandu?" tanya Alan.Alana hanya diam saja. Ini bukan pertama kalinya ia diminta untuk memanggil Pandu dengan sebutan Ayah. Namun, kali ini, Tama yang memintanya bukan Pandu sendiri.Tama, orang terdekat mereka sejak kecil, turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Alan dan Alana. "Keluarlah! Kita bicarakan lagi nanti, setelah pulang sekolah."Alan turun dari mobil, lalu menatap Tama. "Paman, aku menghargai hubunganmu dengan Paman Pandu, tapi aku tidak bisa memaksa diriku memanggilnya ayah. Bagiku, hanya ada satu ayah, yaitu kamu, Paman baik. Posisimu di hatiku tidak akan bisa tergantikan."Alana menambahkan dengan tegas, "Sama seperti Alan, aku juga tidak bisa memanggilnya ayah. Bagiku, ayah hanya ada satu, dan tidak ada yang bisa mengambil tempatnya. Paman baiklah ayah
"Kalau tidak suka, jangan dimakan!" Amanda melihat makanan di piring Pandu masih banyak saat ia kembali ke meja makan."Aku bukan tidak suka, tapi sedang menikmati masakan kamu. Setelah lima tahun kita berpisah, baru kali ini aku makan masakan kamu lagi." Pandu menatap mantan istrinya dengan mulut yang penuh makanan."Apa aku bilang," gumam Bella dengan sangat pelan sambil menahan senyum melihat Pandu yang terlihat seperti seorang anak yang dimarahi ibunya karena tidak menghabiskan makanannya.Bella berpikir kalau Amanda masih mencintai mantan suaminya, tapi perlakuan kejam sang mantan membuat wanita itu terlihat kasar. Namun, dalam kebencian itu Amanda masih baik dan perhatian kepada Pandu."Bukan lima tahun, tapi sebentar lagi genap tujuh tahun kita berpisah!" Amanda menegaskan. "Anak kita sudah masuk sekolah dasar, sekarang usianya sudah enam tahun." Amanda berbicara dengan sangat kasar membuat Bella terkejut.Bella belum pernah melihat Amanda berbicara kasar seperti itu jika sedan
Alan dan Alana menatap Amanda dengan tatapan penuh kebingungan. Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan tak terduga itu."Alan, Lana, kenapa kalian diam saja?" tanya Amanda, "kalian dengar yang Ibu bicarakan tadi kan?""Aku berharap ini hanya mimpi," ucap Alana pelan sambil menunduk."Ibu tahu ini mungkin sulit dipahami dan mengejutkan kalian, tapi Ibu berpikir kalian berhak tahu, siapa ayah kandung kalian."Terdengar isakan tangis dari Alana, sementara Alan tetap diam dengan raut wajah penuh kebingungan.Tama merangkul bahu Alan dan Alana dan memberikan kecupan di kepala mereka. "Kenapa kalian diam saja? Sapa ayahmu!" perintah Tama.Alan dan Alana menoleh pada Tama, lalu menatap ibunya. "Dia itu ayah kami?" tanya Alana sambil menunjuk laki-laki yang duduk di hadapannya.Tersenyum getir, Amanda menjawab, "Ya. Dia adalah ayah kandung kalian."Alan masih bingung, tetapi ia mencoba mengerti. "Paman Pandu adalah ayahku dan Alana?" Alan kembali menegaskan sekali lagi. Ia ber
"Iya, aku cuma mau tinggal bersama Ibu dan Paman baik," jawab Alana, "walau rumah Paman Pandu lebih bagus, tapi aku lebih nyaman di sini bersama keluargaku."Pandu merasa sakit hati saat mendengar ucapan anaknya yang lebih memilih tinggal bersama Tama daripada dirinya, tapi menurutnya wajar saja karena Tama yang selalu ada untuk Alan dan Alana sejak dulu.Alan dan Alana akhirnya mau menerima kenyataan bahwa Pandu adalah ayah kandung mereka. Meskipun mereka sudah mengetahui kebenaran, mereka tidak ingin tinggal dengan Pandu. Alan dan Alana menatap Pandu dengan penuh keraguan dan kebingungan. Di hadapan mereka, Pandu, seorang pria yang baru saja diketahui sebagai ayah kandungnya juga sedang menatapnya. Ketegangan dalam keheningan sangat terasa di antara anak dan ayah itu."Ayah mengerti betapa sulitnya menerima kenyataan ini," ujar Pandu dengan suara lembut, mencoba memecah keheningan yang memenuhi ruangan."Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang," ujar Alana dengan suara y
Setelah melewati proses yang cukup rumit, akhirnya Tama bisa membawa Baron pulang. Ia melangkah pelan di samping Baron menuju pintu keluar rumah sakit. Hatinya berdebar-debar ketika ia akan membawa pulang paksa Baron, sahabatnya yang baru saja pulih dari kecelakaan parah. Sebenarnya ia khawatir Baron belum sembuh total."Setelah kita sampai di ibukota, saya akan membawamu kembali ke rumah sakit." Tama menoleh pada Baron sambil terus berjalan menuju mobilnya."Saya sudah sembuh, Tam," sahut Baron, "sebenarnya, besok juga sudah diperbolehkan pulang, tapi kamunya saja yang tidak sabaran, ingin mengajak saya pulang hari ini dengan paksa.""Saya tidak mungkin meninggalkan kalian di sini. Bella tidak mengenal siapa pun di sini selain kami. Lagi pula dia sedang hamil tua.""Tuhan sangat baik kepada saya. Masih mengizinkan untuk berkumpul dengan kalian, dan menyambut kehadiran anak kedua saya."Tama menepuk-nepuk pelan bahu Baron. "Kamu orang baik, pasti diberikan perlindungan oleh-Nya.""Tam
Tama berjalan dengan cepat menuju ruang kerja Pandu setelah mendengar keributan di koridor. Suara marah yang memenuhi udara membuatnya khawatir akan situasi yang sedang terjadi di dalam. Ketika ia tiba di depan pintu, ia melihat Nyonya Vena, ibu dari bosnya, berdiri dengan wajah yang merah padam dan penuh amarah."Apa yang sedang terjadi di sini?" pikir Tama sambil mencoba memahami situasi yang ada. Kehadiran wanita itu di ruang kerja Pandu dengan wajah yang penuh kemarahan menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.Tama memasuki ruangan dengan hati-hati, mencoba untuk tidak memperburuk situasi yang sedang tegang. Ia khawatir bosnya marah besar setelah tahu kebusukan ibunya sendiri."Ibu sudah katakan padamu, jangan pernah berhubungan lagi dengan Amanda! Dia itu bukan wanita baik-baik, Ibu tidak mau dia menjadi bagian dari keluarga kita lagi."Pandu duduk di belakang meja, tampak terkejut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tampak jelas bahwa kehadiran mantan istrinya telah memicu
Nyonya Vena terkejut mendengar pengakuan Tama. Dadanya berdegup kencang, dan matanya membulat karena kebingungan dan ketakutan kalau apa yang dikatakan Tama adalah benar. Ia mencoba memahami kata-kata asisten anaknya, tetapi sulit baginya untuk menerima kenyataan yang begitu pahit ini."Cucuku? Bagaimana mungkin?" tanya Nyonya Vena, suaranya serak.Tama menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, ketika Amanda diusir dari rumah keluarga Bagaskara. "Waktu Amanda diusir dari rumah, saya ajak dia pulang karena kasihan melihat kondisinya yang terlihat lemah." Tama menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Saya membawanya berobat, dan ternyata Amanda sedang hamil, tapi ia memohon kepada saya untuk tidak memberitahukan tentang kehamilannya kepada Anda dan Bos Pandu.""Kenapa kamu begitu patuh padanya? Yang membayar kamu itu bukan Amanda, tapi anakku." Nyonya Vena marah kepada Tama atas tindakannya yang lebih membela Amanda."Amanda berpikir kalau Anda dan Bos Pandu tidak akan percaya
"Apa maksudmu, Sonya?" Nyonya Vena terkejut mendengar pengakuan Sonya. "Apa salah keluargaku, hingga kamu ingin menghancurkannya?"Nyonya Sonya tidak habis pikir dengan wanita yang ada di hadapannya. Calon menantu yang selalu ia banggakan ternyata mempunyai rencana jahat untuk keluarganya.Sonya menegakkan kepalanya untuk melihat reaksi wajah Nyonya Vena. "Aku melakukannya karena sakit hati atas perlakuan Tante yang merendahkan dan menghinaku beberapa tahun lalu."Nyonya Vena mengernyitkan keningnya, mencoba memahami apa yang Sonya katakan. Dia merenung sejenak, mencoba mengingat kejadian di masa lalu sambil menatap lekat-lekat wajah Sonya."Tante ingat? Beberapa tahun lalu, ada seorang anak bersama ibunya meminta makanan ke sini dan bukannya memberi, tapi Anda malah menghina dan mendorong wanita lemah dan sakit-sakitan itu hingga terjatuh?"Sonya merasa sesak jika teringat kenangan di masa lalunya ketika ia masih hidup susah. Wanita yang ada di hadapannya adalah penyebab kematian ibu
Nyonya Vena malah bersimpuh di hadapan Amanda. Ia berbicara dengan suara yang serak sambil menunduk. "Amanda, tolong maafkan aku. Aku menyesal telah berencana mengambil Alan dan Alana darimu. Aku menyadari betapa pentingnya hubunganmu dengan cucuku, yang tak pernah kurasakan sebelumnya."Amanda tercengang mendengar permintaan maaf dari Nyonya Vena. Ia tidak pernah menduga bahwa Nyonya Vena akan bersimpuh di hadapannya dan meminta maaf dengan begitu tulus. Hatinya dipenuhi oleh rasa haru dan mulai melunak."Aku telah melihat betapa besar pengaruhmu dalam hidup cucuku. Aku menyadari kesalahanku dan berjanji untuk tidak memisahkanmu dari mereka. Kamu adalah seorang ibu yang hebat dan cucuku membutuhkanmu. Aku minta agar kamu mengampuniku."Amanda merasa terharu dan ingin memberikan kesempatan kedua kepada Nyonya Vena. Ia dapat melihat perubahan yang tulus dalam hati wanita itu. "Nyonya Vena," ucap Amanda dengan penuh pengertian, "aku sangat menghargai permintaan maafmu. Aku juga berhara
Di sebuah ruang keluarga yang terasa sunyi, Pandu duduk di sofa dengan wajah tegang dan pandangan tajam yang menatap ibunya. Di sampingnya juga ada Amanda."Kenapa kalian tidak membawa cucu-cucuku?" tanya Nyonya Vena berpura-pura baik."Bu, kami memutuskan untuk kembali menikah." Amanda langsung berbicara pada intinya. "Aku harap Ibu merestui kami."Nyonya Vena hanya diam, ia tidak bisa berkata-kata. Walaupun Amanda sudah melahirkan dua orang cucu untuknya, tapi ia tidak mau Amanda menjadi menantunya untuk yang kedua kali karena ia tidak mau mempunyai menantu miskin.Pandu tersenyum sinis melihat ibunya hanya diam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. "Sudah kuduga, Ibu baik kepada Amanda hanya ingin membuatnya sengsara.""Mas ...." Amanda menggenggam tangan Pandu supaya lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya."Amanda, kita sudah dibodohi oleh wanita tua ini, apa kamu masih memercayainya?" Pandu memulai percakapan dengan nada tegas."Mas, aku yakin Ibu sudah berubah, apalagi saat ini
Pandu berdiri di hadapan Amanda. Tatapan penuh harap mengarah pada Amanda yang duduk di hadapannya. Suasana sunyi seketika menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar di telinga mereka bertiga."Sudah cukup lama kita hidup terpisah, Amanda," ucap Pandu dengan suara bergetar, mencoba menekan perasaan gugupnya. "Kita telah melewati banyak hal bersama, dan jujur, aku tak bisa hidup tanpamu."Walau merasa gugup, tapi Pandu memberanikan diri untuk kembali melamar mantan istrinya di hadapan asisten dan sekretarisnya."Sekian lama kita berpisah, tapi cintaku padamu tidak pernah berubah. Walaupun dulu aku sempat sakit hati padamu karena kesalahpahaman, tapi cinta di hatiku tidak pernah pudar."Amanda menatap Pandu dengan wajah yang penuh keraguan, pikiran dan hatinya berkecamuk. Mengingat alasan di balik keputusan mereka berpisah membuat hati Amanda tersayat seperti belati. Dia tahu, kesalahan dan kesalahpahaman telah merusak cinta yang pernah mereka miliki."Tapi, Ma
Tama sampai di rumahnya setelah Mahawira pulang. Ia berpapasan dengan Pandu yang akan pulang ke rumahnya."Bos, kapan kalian sampai?" tanya Tama."Kamu dari mana?" Bukannya menjawab, tapi Pandu malah balik bertanya kepada asistennya itu."Saya ...." Tama menghentikan ucapannya saat ponsel dalam sakunya berdering tanpa henti. Tama merogohnya dan melihat layar ponselnya. "Pak Jo. Sepertinya ada informasi penting," ucap Tama pada Pandu.Tama menjawab panggilan dari kepala pelayan di rumah sang bos."Tuan, ada informasi penting tentang Nyonya besar," ucap Pak Jo dari balik telepon."Kami akan ke sana sekarang. Kita bicarakan di rumah saja.""Apa Anda sudah kembali, Tuan?""Saya dan Bos sudah pulang," jawab Tama, "kami akan segera ke sana."Tama menutup teleponnya segera. "Bos, saya ganti pakaian dulu. Kita akan ke rumah Anda sekarang.""Baju kamu basah, memangnya kamu dari mana?" Pandu keheranan melihat baju asistennya basah."Tadi di sana hujan, saya kehujanan saat kembali ke mobil," jaw
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium tangan Tiara berkali-kali."Sayang?" Tiara terkejut. "Kita belum menikah.""Kita bisa mulai membiasakan diri dari sekarang." Tama menatap Tiara sambil tersenyum. Ia tidak menyangka pilihan terakhir jatuh pada sekretaris sang bos. "Saya berjanji akan memperlakukanmu dengan baik."Tiara tersenyum sambil bergumam dalam hati. 'Semoga keputusan saya tidak salah.'Sementara di rumah Tama, Amanda dan anak-anaknya baru saja sampai di rumah setelah pulang dari luar negeri."Bu, kenapa Ayah baik tidak pulang bersama kita?" tanya Alana sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Ayah baik. Jadi, dia harus kembali lebih awal dari kita." Pandu mencoba memberi pengertian kepada anaknya. Padahal ia sendiri tidak tahu urusan penting apa yang membuat Tama begitu terburu-buru untuk segera kembali."Ayah baik itu banyak pekerjaan, lagi pula sekarang kita selalu ditemani Ayah Pandu. Jadi tidak kesepian lagi walaupun
"Saya ambilkan air minum dulu, pasti Bos haus." Tiara semakin gugup. "Silakan masuk!"Tiara membuka pintunya lebar-lebar dan bergegas ke ruang tamu. Tama mengikuti Tiara masuk ke dalam rumahnya.“Silakan duduk, Bos! Saya ambilkan minum dulu.”Tiara segera pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum. Sesampainya di dapur, Tiara terkulai lemas dan duduk di lantai.“Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?” Tiara memegangi dadanya sambil duduk berselonjor di lantai.Beberapa menit kemudian, ia bangun dan berdiri setelah lebih tenang. Kemudian, Tiara membawa segelas air putih untuk Tama.“Silakan di minum, Bos!”‘Dia berada di dapur selama sepuluh menit, tapi hanya membawakan air putih untuk saya. Aya yang dia lakukan di dapur selama itu?’ batin Tama.Tama mengambil gelas minum yang disediakan oleh Tiara. Ia meminum sampai habis air itu karena ia juga sedang gugup.“Airnya mau lagi, Bos?” tanya Tiara saat Tama menaruh gelas kosong di meja.“Boleh, tapi akan lebih bagus lagi kalau ada perasa
Tiara duduk di ruang tamu, tangan kanannya memegang ponsel dan tangan kirinya memegangi dada. Tiara merasa gugup dan hatinya berdebar-debar. Ia tidak tahu harus berbicara apa. Atasannya itu adalah laki-laki yang dingin terhadap wanita. Tidak mungkin seorang Tama bercanda dengannya seperti itu, tapi Tiara masih bingung. Apa dia salah dengar atau bagaimana? "Tiara ... kamu mendengar ucapan saya?" Tama memastikan kalau sambungan teleponnya masih terhubung. "I-iya, Bos." "Tiara, saya telah memikirkan ini dengan sangat serius. Saya telah mengenal dirimu cukup lama, dan saya yakin bahwa kamu adalah orang yang tepat untuk dijadikan seorang istri." Tiara merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar kata-kata Tama. Dia tidak bisa berpikir apa yang akan ia katakan pada atasannya itu. 'Ternyata saya tidak salah dengar,' ucap Tiara dalam hati. "Tiara, saya butuh pendapatmu." Tama butuh jawaban dari Tiara. Ia tidak mungkin berbicara terus tentang rencananya, sementara Tiara hanya
Setelah Nyonya Vena dan Tuan Bagaskara pulang, Amanda membawa anak-anak masuk ke kamar untuk beristirahat. Sedangkan Tama dan Pandu masih berada di ruang tamu.Pandu duduk berhadapan dengan Tama. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran ketika ia melihat ibunya tiba-tiba bersikap sangat baik kepada mantan menantunya, Amanda."Tama," panggil Pandu, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Aku masih tidak yakin dengan ibuku," ucapnya pelan.Asisten pribadinya, Tama mengerutkan kening. "Maksudnya apa, Bos?""Tama, kamu harus melakukan penyelidikan tentang ibuku," kata Pandu dengan suara serius. "Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikapnya kepada Amanda."Tama menatap Pandu dengan rasa keterkejutan. "Tapi, Bos, apakah boleh saya tahu alasan di balik permintaan ini? Apa Bos tahu kalau Nyonya Vena mempunyai rencana jahat terhadap si Kembar?"Pandu menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku yakin dia tidak akan menyakiti Alan atau Alana, tapi aku yakin dia merencanakan sesuatu yang ja
"Amanda, apa anak-anak sudah bertemu dengan neneknya?" Tama mengalihkan pembicaraan. Ia sama sekali tidak tahu harus menjawab apa karena ia tidak mempunyai teman wanita."Belum," jawab Amanda, "kami akan bertemu hari ini di sini. Mungkin sebentar lagi ...." Ucapan Amanda terhenti saat mendengar bunyi bel di apartemen Tama. "Itu mungkin mereka.""Saya buka pintu dulu." Tama bergegas membuka pintu, dan benar saja, Nyonya Vena dan Tuan Bagaskara yang datang. "Silakan masuk, Tuan, Nyonya."Tama mundur beberapa langkah untuk memberikan jalan kepada orang tua bosnya."Tama, tolong bantu aku supaya kedua cucuku tidak membenciku," ucap Nyonya Vena pelan. Ia khawatir Alan dan Alana marah padanya karena pernah mencoba untuk mencelakai kedua cucunya.Amanda sudah mengizinkan mantan ibu mertuanya untuk menemui Alan dan Alana, tapi wanita itu baru siap bertemu hari ini. Itu juga harus ada pendampingan dari Tama karena ia yakin, suami dan anaknya tidak akan membela dirinya."Anda tenang saja, Nyony