"Kita bicarakan nanti saja," ucap Amanda pelan sambil menuntun tangan anaknya, "kita pergi sekarang!""Mari kita berangkat, anak-anak," kata Pandu dengan penuh semangat. Mereka berjalan keluar rumah, menghirup udara segar pagi hari. Pandu membuka pintu mobil dan membantu anak-anaknya masuk.Perjalanan menuju sekolah adalah saat yang berharga bagi Pandu. Ia menikmati momen ini untuk berbicara dengan anak-anaknya dan mendengarkan cerita-cerita seru mereka. Alana dan Alan bercerita tentang teman-temannya di sekolah.Pandu terlibat dalam percakapan hangat dengan anak-anaknya. Sementara itu, Amanda duduk di kursi penumpang depan, tersenyum melihat kebahagiaan anak-anak dan ayah kandungnya yang terlihat semakin akrab.Saat mereka mendekati sekolah, suasananya semakin hidup dengan riuhnya anak-anak yang berlarian dan berseru-seru. Pandu memarkir mobil di depan sekolah dan membuka pintu. Alana dan Alan keluar sambil membawa tas mereka dengan semangat.Pandu mengambil tangan kedua anaknya, mer
Keesokan paginya, Tama mulai kembali bekerja setelah libur beberapa hari pasca kecelakaan. Tama melihat jam di tangannya dan menyadari bahwa dia masih memiliki waktu cukup untuk menawarkan diri kepada Alan dan Alana untuk mengantar mereka pergi sekolah. "Apa kalian mau Ayah antar ke sekolah? Sepertinya Ayah Pandu tidak datang."Alan dan Alana saling pandang, lalu bersorak gembira. "Dengan senang hati, Ayah baik," ucap Alana sambil meraih tangan Tama. "Aku sangat merindukanmu Ayah.""Aku juga!" seru Alan, "kami sangat merindukan bermain bersama Ayah baik."Amanda hanya tersenyum melihat kedua anaknya begitu bahagia bisa diantar sekolah oleh Tama. Sudah beberapa minggu terakhir, Tama selalu menghindari kedua anak kembar itu. Kini kedua anaknya seperti menemukan kembali kebahagiaannya."Mari kita pergi!" seru Tama.Mereka berempat masuk ke dalam mobil, dan Tama mulai melajukan kendaraannya. Perjalanan menuju sekolah pun dimulai. Tama mengemudi dengan hati-hati, sementara Alan dan Alan
Pandu merasa tidak adil kalau ia menyetujui begitu saja usul Tama supaya ia kembali kepada Amanda. Dia tidak tahu apa yang Amanda dan anak-anaknya inginkan. Pandu berpikir kalau Amanda juga mencintai Tama karena selama ini asistennya itulah yang selalu ada untuk mereka."Alan, Alana, di antara aku dan Ayah baik, siapa yang kamu pilih untuk menjadi suami ibumu?" Pandu berusaha memberikan pertanyaan yang tidak terlalu rumit untuk anak-anaknya.Alan dan Alana duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Mereka memandang satu sama lain dengan ekspresi bingung. Kini mereka dihadapkan situasi yang rumit dan telah menempatkannya di depan pilihan sulit yang harus mereka ambil. Pertanyaan sang ayah yang tiba-tiba, membuat mereka kebingungan.Alan memalingkan wajahnya ke arah Alana. Auranya penuh dengan ketidakpastian dan kekhawatiran. Alana menggenggam erat tangannya, memberikan dukungan yang dia butuhkan saat ini."Aku ingin Ayah baik yang menjadi ayahku," ucap Alana tanpa berpikir panjang
"Kami ditakdirkan untuk saling melengkapi sebagai adik dan kakak," jawab Tama sambil merangkul bahu Amanda."Kalian pantas bahagia," ucap Pandu, "menikahlah! Aku akan merestui kalian."Pandu merasa dirinya menjadi penghalang cinta Amanda dan Tama. Walau ia masih sangat mencintai mantan istrinya itu, tapi kebahagiaan Amanda lebih penting baginya. Pandu akan selalu mendukung keputusan Amanda."Bos, saya mencintai Amanda sebagai adik saya sendiri. Seperti yang saya lakukan selama ini, saya hanya ingin melindungi adik perempuan saya." "Tama, kamu jangan memikirkan perasaanku. Kalian berhak bahagia." "Bos, kami lebih nyaman seperti ini. Saling menyayangi sebagai saudara." Tama memeluk Amanda, lalu menangkup wajah wanita itu. "Saya yakin, rasa sayang yang kita miliki karena terikat oleh Alan dan Alana. Kebersamaan kita selama ini karena kita ini keluarga. Kamu akan tetap menjadi adik kesayangan saya."Amanda mengangguk sambil tersenyum. Entah benar atau tidak apa yang diucapkan Tama, tapi
Dalam penerbangan menuju tujuan baru, Tama merenungkan langkah yang diambilnya. Ia sadar bahwa ini adalah perjalanan yang penuh tantangan, apakah dia bisa menekan perasaannya? Rasa rindunya terhadap Amanda. Terutama kedua anaknya, tetapi ia yakin bahwa cinta yang pernah ada di antara Amanda dan Pandu masih berkobar di dalam hati mereka.Setelah tiba di negara tujuan, Tama menyusun rencananya dengan hati-hati. Ia berkomunikasi dengan Pandu, memberitahukan niatnya untuk membantu mengurus perusahaan dan memberi kesempatan pada sang bos dan Amanda untuk saling dekat kembalTama menempelkan ponselnya pada daun telinga, ia sedang menunggu jawaban panggilan telepon dari sang bo"Bos, apa di kantor ada masalah?" tanya Tama pada sang bos setelah sambungan teleponnya terhubun"Kamu tenang saja! Tiara banyak membantuku," jawab Pandu, "kapan kamu pulang? Apa masalah di sana belum ada jalan keluarnya"Di sini baik-baik saja. Semua sudah aman terkendali, tapi sepertinya saya tidak bisa pulang dalam
"Amanda, apa anak-anak sudah bertemu dengan neneknya?" Tama mengalihkan pembicaraan. Ia sama sekali tidak tahu harus menjawab apa karena ia tidak mempunyai teman wanita."Belum," jawab Amanda, "kami akan bertemu hari ini di sini. Mungkin sebentar lagi ...." Ucapan Amanda terhenti saat mendengar bunyi bel di apartemen Tama. "Itu mungkin mereka.""Saya buka pintu dulu." Tama bergegas membuka pintu, dan benar saja, Nyonya Vena dan Tuan Bagaskara yang datang. "Silakan masuk, Tuan, Nyonya."Tama mundur beberapa langkah untuk memberikan jalan kepada orang tua bosnya."Tama, tolong bantu aku supaya kedua cucuku tidak membenciku," ucap Nyonya Vena pelan. Ia khawatir Alan dan Alana marah padanya karena pernah mencoba untuk mencelakai kedua cucunya.Amanda sudah mengizinkan mantan ibu mertuanya untuk menemui Alan dan Alana, tapi wanita itu baru siap bertemu hari ini. Itu juga harus ada pendampingan dari Tama karena ia yakin, suami dan anaknya tidak akan membela dirinya."Anda tenang saja, Nyony
Setelah Nyonya Vena dan Tuan Bagaskara pulang, Amanda membawa anak-anak masuk ke kamar untuk beristirahat. Sedangkan Tama dan Pandu masih berada di ruang tamu.Pandu duduk berhadapan dengan Tama. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran ketika ia melihat ibunya tiba-tiba bersikap sangat baik kepada mantan menantunya, Amanda."Tama," panggil Pandu, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Aku masih tidak yakin dengan ibuku," ucapnya pelan.Asisten pribadinya, Tama mengerutkan kening. "Maksudnya apa, Bos?""Tama, kamu harus melakukan penyelidikan tentang ibuku," kata Pandu dengan suara serius. "Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikapnya kepada Amanda."Tama menatap Pandu dengan rasa keterkejutan. "Tapi, Bos, apakah boleh saya tahu alasan di balik permintaan ini? Apa Bos tahu kalau Nyonya Vena mempunyai rencana jahat terhadap si Kembar?"Pandu menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku yakin dia tidak akan menyakiti Alan atau Alana, tapi aku yakin dia merencanakan sesuatu yang ja
Tiara duduk di ruang tamu, tangan kanannya memegang ponsel dan tangan kirinya memegangi dada. Tiara merasa gugup dan hatinya berdebar-debar. Ia tidak tahu harus berbicara apa. Atasannya itu adalah laki-laki yang dingin terhadap wanita. Tidak mungkin seorang Tama bercanda dengannya seperti itu, tapi Tiara masih bingung. Apa dia salah dengar atau bagaimana? "Tiara ... kamu mendengar ucapan saya?" Tama memastikan kalau sambungan teleponnya masih terhubung. "I-iya, Bos." "Tiara, saya telah memikirkan ini dengan sangat serius. Saya telah mengenal dirimu cukup lama, dan saya yakin bahwa kamu adalah orang yang tepat untuk dijadikan seorang istri." Tiara merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar kata-kata Tama. Dia tidak bisa berpikir apa yang akan ia katakan pada atasannya itu. 'Ternyata saya tidak salah dengar,' ucap Tiara dalam hati. "Tiara, saya butuh pendapatmu." Tama butuh jawaban dari Tiara. Ia tidak mungkin berbicara terus tentang rencananya, sementara Tiara hanya