Pov Hasan
Sejak hari dimana aku memukuli Lina, sejak itu pula aku tidak lagi pernah melihat atau memdapat kabar darinya. Ia pergi membawa hampir semua barang-barangnya disaat aku sedang bekerja. Bagaimana aku bisa menoleransi apa yang ia perbuat. Entah harus apa aku menyebut adikku itu kini. Ia tidur dengan laki-laki yang sudah beristri. Jika dikatakan pelacur, tidak juga, karena pelacur hanya berurusan dengan pengguna jasanya saat itu juga, setelahnya selesai. Tidak seperti Lina yang menjalani hubungan seperti layaknya orang yang menjalin asmara. Tapi dikatakan bukan pelacurpun tidak juga, karena Lina melakukannya dengan beberapa pria yang berbeda. Pak Tris dan Pak Budi, atasanku dikantor adalah dua dari orang lelaki yang aku ketahui berhubungan dengan Lina.
Aku merasa kecewa dan sakit. Selama ini dibohongi mentah-mentah olehnya. Karena merasa Lina menutupinya dariku, akupun menanyakan keterkaitan Ibu tentang Lina, dan aku salah. Ibu tidak tahu apa-apa. Sejak saat itu
Entah sudah berapa lama aku tinggal bersama Nenek dan Bang Raihan di rumah ini sejak perceraianku dan Bang Hasan disahkan negara. Awalnya aku ingin tinggal dirumahku, tapi melihat Bang Hasan yang masih saja sering datang berkunjung, membuat Nenek dan Bang Raihan memaksaku tinggal bersama mereka. Sejak saat itu pula aku tidak lagi bertemu Bang Hasan hingga kini, hanya saja ia sering menghubungi namun kuabaikan, pun pesan yang berisikan berbagai macam kata, dari mulai kata sayang, rindu, kesal, hingga ancaman karena aku mengabaikannya. Kabar yang aku dengar, rumahnya sudah terjual untuk mengurusi kasus Ibunya. Tapi entahlah, kata Bang Raihan kasus itu masih diberhentikan sementara karena kondisi Ibunya yang semakin memprihatinkan. Aku tidak peduli soal itu. Kuserahkan semuanya pada Bang Raihan dan pengacaraku. "Mir, jadi hari ini ke rumah sakit?" tanya Bang Raihan dari sebalik pintu kamar. Rencananya s
"Nek, ini apa?" tanyaku cemas seraya menunjukan pada Nenek pakaian dalam yang terdapat flek berwarna kecoklatan."Kalau sudah begini biasanya tanda-tanda mau melahirkan Mir," ujar Nenek dengan binar bahagia."Yang benar, Nek? Tapi hpl dari dokter akhir bulan Nek, sekitar dua minggu lagi.""Hpl itu kan hanya perkiraan, kelahiran bisa maju atau mundur dari hpl. Yang jelas penentu kapan akan lahir hanya Allah yang punya kuasa. Ibumu dulu saat akan melahirkan Raihan dan kamu juga mendapatkan tanda begini. Kamu sudah mulas?"Aku mengganggukan kepalaku."Ritmenya gimana? Hilang dan timbul?""Iya, Nek. Dua puluh menit sekali.""Sudah mau lahiran kamu itu.""Lalu, Mira harus apa Nek?""Tidak ada, tunggu saja.""Kenapa menunggu? Apa tidak ada hal yang bisa Mira lakukan? Bagaimana jika
Pov LinaSudah beberapa kali aku menghubungi Mas Hasan, namun tidak juga diangkat. Mungkinkah Mas Hasan sedang sibuk, atau memang sengaja tidak menerima panggilanku seperti halnya yang aku lakukan padanya.Kuputuskan untuk mencoba kerumah, walaupun kata Mas Hasan kemarin ia sudah menjual rumah Ibu.Sesampainya di rumah, tidak banyak yang berubah. Hanya terlihat lebih kotor saja. Juga tumbuhnya beberapa rumput liar disekitar halaman. Tidak perlu mengetuk pintu, dari kondisinya yang terlihat saja aku tahu rumah ini tidak berpenghuni.Teriknya matahari membuatku beberapa kali memijit kepala. Rasa mual kembali mendera.Aku kini harus ke mana? Kuputuskan menghubungi Mbak Mira. Memastikan apa Mas Hasan masih bersamanya atau tidak. Beberapa bulan belakangan ini aku benar-benar lost contact dengan keluargaku begitupun dengan Mbak Mira.Has
Aku sedang duduk di halaman depan sembari menyusui bayiku, ketika sebuah motor yang tak asing berhenti didepan rumah.Bergegas aku masuk kedalam rumah hingga suara Bang Hasan menghentikan langkahku."Tunggu, Mir. Jangan masuk." Aku berbalik kebelakang, namun tidak mendekati mereka. Aku harus tetap menjaga jarak demi keamanan bayiku."Abang kesini hanya ingin melihat anak Abang. Sejak lahir kamu selalu melarang, menghindar dan tak segan mengusir Abang. Kali ini Abang mohon izinkan Abang melihatnya, Mir.""Pergi kalian dari rumahku!"Bang Hasan perlahan mendekat, pun aku yang terus mundur."Bang Raihan," teriakku kuat."Jangan begitu, Mir. Abang hanya ingin melihatnya," pinta Bang Hasan.Tak lama Bang Raihan datang. Sama seperti halnya reaksiku tadi, reaksi Bang Raihan pun tak jauh berbeda. Kuserahkan bayiku dengan cepa
Suara tangisan Kainan di pagi hari membuat tidurku tersentak. Segera kususui kembali bayiku yang sudah berusia tiga bulan itu, namun Kainan sepertinya menolak.Kulirik jam di dinding, masih pukul lima pagi. Akhirnya aku keluar dengan membawa serta Kainan, tidak enak pada Ratih karena Zain masih tidur dengan nyenyak.Kubuka jendela samping rumah. Aroma rumput dan tanah yang basah menguar menyejukkan indera penciuman. Sepertinya semalam hujan, tapi aku sama sekali tidak menyadarinya.Kainan masih saja menangis, dan terus menolak disusui.Suara pintu terdengar dibuka. Mungkin Bang Raihan."Kainan kenapa, Mir?" Bukan suara Bang Raihan. "Pak Rezi? Kenapa pagi-pagi sudah disini?" tanyaku tak suka. Lama-lama Pak Rezi ini terlalu berlebihan menurutku."Semalam hujan, Mira. Mau marah saja bawaannya.""Hujan? Apa hubungannya? Bapakkan bawa mobil bu
Pov IbuHari ini, aku akan keluar dari rumah sakit. Pengadilan memutuskan untuk memulangkan sementara dikarenakan keadaanku disana yang tak kunjung memperlihatkan perubahan. Negara menolak membiayaiku penuh di rumah sakit, pun Hasan yang sudah tak sanggup membayarnya. Entah bagaimana akhirnya Mira mengijinkan aku untuk dibawa pulang, bukan untuk bebas hanya hingga aku mulai pulih lalu akan diproses kembali. Tak apa, setidaknya aku tidak akan lagi merasakan jijik ketika tubuhku kotor dan bau namun hanya dibiarkan saja oleh petugas medis disana.Aku yakin, jika aku dirawat oleh kedua anakku, aku pasti akan cepat sembuh dan pulih.Tak lama suara pintu seperti dibuka terdengar, aku segera mengalihkan pandangan. Hasan dan Lina sudah datang dan mereka tersenyum ke arahku."Hari ini, Ibu akan pulang. Kita akan berkumpul kembali," ucap Hasan padaku tersenyum."Semoga setelah pulang, Ibu akan segera sembuh dan cepat berjalan lagi ya," sambung Lina.Aku menanggapi ucapan mereka dengan menyunggi
Hari ini merupakan jadwal imunisasi Kainan, semalam aku sudah membuat janji dengan Ratih untuk menemani ke dokter.Sembari menunggu Ratih menjemput, aku menyusun perlengkapan Kainan. Rencananya setelah imunisasi kami akan ke mall untuk berjalan-jalan melepas penat.Ponselku terdengar berdering, segeraku angkat panggilan dari Ratih."Hallo, Mir. Zain nangis terus ini. Minta ikut," ujar Ratih panik diseberang sana beserta suara tangisan Zain yang mengamuk."Lah, ya bawa. Kenapa emangnya? Maknya mau ngemall kok anaknya ditinggal. Serasa gadis ya," ejekku."Ya, nggak. Tapi kalau Zain ikut gimana dengan Kainan. Siapa yang pegang?"Aku berpikir sejenak, "Bang Adi ada kegiatan atau dirumah aja?""Dirumah aja. Kenapa?""Kalau Bang Adi mau ajak juga, ntar Bang Adi yang nyetir mobil. Jadi kita bisa pegang anak-ana
"Mir, itu rumah kamu gimana? Mau disewakan atau dijual? Kemarin teman Bang Adi ada yang tanya rumah sewa." tanya Ratih saat kami sedang makan di salah satu gerai makanan cepat saji di mall ini. Rasa lelah usai berbelanja dan berkeliling juga waktu yang sudah siang membuat kami lapar.Aku menarik napas mendengar pertanyaan Ratih."Entahlah, Tih. Aku bingung. Aku nggak tega juga ngusir Bang Hasan dari sana. Kita kan tahu gimana keadaan pekerjaannya saat ini.""Iya benar, tapi bagaimanapun hubungan kalian sudah berakhir, Mir. Mulailah menjalani hidup masing-masing. Dan, cara Bang Hasan yang menempati tanpa izin, itu melanggar hukum, kamu dianggap apa sama dia.""Aku tahu soal itu, hanya saja sisi kemanusiaanku tergerak sendiri. Itu juga yang aku sayangkan dari Bang Hasan. Kenapa dia nggak bilang soal itu, paling tidak pamit lah," jawabku kecewa."Maaf, Mi
Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma
Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a
Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku
Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.
Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,
Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah
"Memang kurang ajar itu, mantan adik iparmu, Mir," ucap Ratih begitu kami masuk ke dalam mobil."Entahlah, Tih. Terserahnya saja." Hanya itu yang bisa kuucapkan menanggapi ucapan Ratih."Kamu sih entah ngapain kemarin nolongin dia, kan udah aku bilang jiwa kepelakoran jalangnya itu udah mendarah daging. Syukur kemarin nggak bayarin biaya dia di rumah sakit kan? Kalau iya, apa nggak sakitnya hatimu jadi berkali lipat, Mir?"Ucapan Ratih terasa sangat menohok bagiku. Aku hanya diam tak menjawab. Semuanya benar."Kenapa diam? Benarkan yang aku bilang? Makanya lain kali dengerin aku," lanjutnya lagi."Udahan ah, Tih. Aku pusing dengernya tahu.""Iya, tapi lain kali dengerin omonganku. Semua yang aku bilang nggak ada yang melesetkan?""Iya, iya. Mama Lemon adiknya Mama Loren," jawabku lalu tertawa. Seketika Ratih melemparkan tisu ke arahku.
Pov LinaAku sedang menuju parkiran swalayan ketika dari kejauhan aku melihat, Mira, mantan istri Mas Hasan berjalan ke arah yang sama. Tampak ia sedang menenteng kantongan belanja yang banyak bersama temannya yang selalu ikut campur urusan orang, Ratih.Mereka terlihat tertawa cekikin entah apa yang lucu.Awalnya aku sudah mencoba menahan amarah, tapi melihat dan mendengar tawa mereka selepas itu, membuatku merasa sakit. Mereka seperti sedang menertawakan nasibku kini. Entahlah. Kuhampiri mereka dengan cepat sebelum mereka masuk ke mobil.Kutarik lengan si Mira kasar menghadap ke arahku. Dan, plak! Ia menatapku dengan terkejut."Puas kamu, sekarangkan, Mir! Ini maumu kan?!""Apa-apaan kamu, Lin!""Apa-apaan katamu? Masih nggak sadar ya, nasibku begini itu karenamu! Kamu kan yang sebarin videoku?!" teriakku kua
Aku menyetir mobil dengan pikiran yang terbagi. Sesekali melihat ke arah Kainan yang sedang asyik menggigiti play hand ditangannya. Dia tampak anteng duduk diatas car seat pemberian orang tua Pak Rezi. Dengan car seat ini aku sungguh terbantu. Bisa membawa Kainan kemanapun tanpa harus menyusahkan orang lain karena menitipkannya.Masih tidak habis pikir mengapa Ibu berubah drastis menjadi sangat baik padaku. Bahkan sampai memeluk. Jika yang melakukan itu adalah Mama Pak Rezi, aku tak akan heran, tapi Ibu? Jangankan memeluk dan menangis dengan cucuran air mata, melihatku saja selama ini dengan pandangan yang jijik seolah aku adalah kotoran yang najis baginya. Apa Ibu berubah karena semua kejadian demi kejadian yang terjadi? Secepat itu? Mungkinkah bisa dalam waktu singkat Ibu menghilangkan sifat dan sikapnya yang sudah mendarah daging itu? Atau nanti jika keadaan membaik akan kambuh lagi? Ah, entahlah.Suara klakson