"Nek, ini apa?" tanyaku cemas seraya menunjukan pada Nenek pakaian dalam yang terdapat flek berwarna kecoklatan.
"Kalau sudah begini biasanya tanda-tanda mau melahirkan Mir," ujar Nenek dengan binar bahagia.
"Yang benar, Nek? Tapi hpl dari dokter akhir bulan Nek, sekitar dua minggu lagi."
"Hpl itu kan hanya perkiraan, kelahiran bisa maju atau mundur dari hpl. Yang jelas penentu kapan akan lahir hanya Allah yang punya kuasa. Ibumu dulu saat akan melahirkan Raihan dan kamu juga mendapatkan tanda begini. Kamu sudah mulas?"
Aku mengganggukan kepalaku.
"Ritmenya gimana? Hilang dan timbul?"
"Iya, Nek. Dua puluh menit sekali."
"Sudah mau lahiran kamu itu."
"Lalu, Mira harus apa Nek?"
"Tidak ada, tunggu saja."
"Kenapa menunggu? Apa tidak ada hal yang bisa Mira lakukan? Bagaimana jika
Pov LinaSudah beberapa kali aku menghubungi Mas Hasan, namun tidak juga diangkat. Mungkinkah Mas Hasan sedang sibuk, atau memang sengaja tidak menerima panggilanku seperti halnya yang aku lakukan padanya.Kuputuskan untuk mencoba kerumah, walaupun kata Mas Hasan kemarin ia sudah menjual rumah Ibu.Sesampainya di rumah, tidak banyak yang berubah. Hanya terlihat lebih kotor saja. Juga tumbuhnya beberapa rumput liar disekitar halaman. Tidak perlu mengetuk pintu, dari kondisinya yang terlihat saja aku tahu rumah ini tidak berpenghuni.Teriknya matahari membuatku beberapa kali memijit kepala. Rasa mual kembali mendera.Aku kini harus ke mana? Kuputuskan menghubungi Mbak Mira. Memastikan apa Mas Hasan masih bersamanya atau tidak. Beberapa bulan belakangan ini aku benar-benar lost contact dengan keluargaku begitupun dengan Mbak Mira.Has
Aku sedang duduk di halaman depan sembari menyusui bayiku, ketika sebuah motor yang tak asing berhenti didepan rumah.Bergegas aku masuk kedalam rumah hingga suara Bang Hasan menghentikan langkahku."Tunggu, Mir. Jangan masuk." Aku berbalik kebelakang, namun tidak mendekati mereka. Aku harus tetap menjaga jarak demi keamanan bayiku."Abang kesini hanya ingin melihat anak Abang. Sejak lahir kamu selalu melarang, menghindar dan tak segan mengusir Abang. Kali ini Abang mohon izinkan Abang melihatnya, Mir.""Pergi kalian dari rumahku!"Bang Hasan perlahan mendekat, pun aku yang terus mundur."Bang Raihan," teriakku kuat."Jangan begitu, Mir. Abang hanya ingin melihatnya," pinta Bang Hasan.Tak lama Bang Raihan datang. Sama seperti halnya reaksiku tadi, reaksi Bang Raihan pun tak jauh berbeda. Kuserahkan bayiku dengan cepa
Suara tangisan Kainan di pagi hari membuat tidurku tersentak. Segera kususui kembali bayiku yang sudah berusia tiga bulan itu, namun Kainan sepertinya menolak.Kulirik jam di dinding, masih pukul lima pagi. Akhirnya aku keluar dengan membawa serta Kainan, tidak enak pada Ratih karena Zain masih tidur dengan nyenyak.Kubuka jendela samping rumah. Aroma rumput dan tanah yang basah menguar menyejukkan indera penciuman. Sepertinya semalam hujan, tapi aku sama sekali tidak menyadarinya.Kainan masih saja menangis, dan terus menolak disusui.Suara pintu terdengar dibuka. Mungkin Bang Raihan."Kainan kenapa, Mir?" Bukan suara Bang Raihan. "Pak Rezi? Kenapa pagi-pagi sudah disini?" tanyaku tak suka. Lama-lama Pak Rezi ini terlalu berlebihan menurutku."Semalam hujan, Mira. Mau marah saja bawaannya.""Hujan? Apa hubungannya? Bapakkan bawa mobil bu
Pov IbuHari ini, aku akan keluar dari rumah sakit. Pengadilan memutuskan untuk memulangkan sementara dikarenakan keadaanku disana yang tak kunjung memperlihatkan perubahan. Negara menolak membiayaiku penuh di rumah sakit, pun Hasan yang sudah tak sanggup membayarnya. Entah bagaimana akhirnya Mira mengijinkan aku untuk dibawa pulang, bukan untuk bebas hanya hingga aku mulai pulih lalu akan diproses kembali. Tak apa, setidaknya aku tidak akan lagi merasakan jijik ketika tubuhku kotor dan bau namun hanya dibiarkan saja oleh petugas medis disana.Aku yakin, jika aku dirawat oleh kedua anakku, aku pasti akan cepat sembuh dan pulih.Tak lama suara pintu seperti dibuka terdengar, aku segera mengalihkan pandangan. Hasan dan Lina sudah datang dan mereka tersenyum ke arahku."Hari ini, Ibu akan pulang. Kita akan berkumpul kembali," ucap Hasan padaku tersenyum."Semoga setelah pulang, Ibu akan segera sembuh dan cepat berjalan lagi ya," sambung Lina.Aku menanggapi ucapan mereka dengan menyunggi
Hari ini merupakan jadwal imunisasi Kainan, semalam aku sudah membuat janji dengan Ratih untuk menemani ke dokter.Sembari menunggu Ratih menjemput, aku menyusun perlengkapan Kainan. Rencananya setelah imunisasi kami akan ke mall untuk berjalan-jalan melepas penat.Ponselku terdengar berdering, segeraku angkat panggilan dari Ratih."Hallo, Mir. Zain nangis terus ini. Minta ikut," ujar Ratih panik diseberang sana beserta suara tangisan Zain yang mengamuk."Lah, ya bawa. Kenapa emangnya? Maknya mau ngemall kok anaknya ditinggal. Serasa gadis ya," ejekku."Ya, nggak. Tapi kalau Zain ikut gimana dengan Kainan. Siapa yang pegang?"Aku berpikir sejenak, "Bang Adi ada kegiatan atau dirumah aja?""Dirumah aja. Kenapa?""Kalau Bang Adi mau ajak juga, ntar Bang Adi yang nyetir mobil. Jadi kita bisa pegang anak-ana
"Mir, itu rumah kamu gimana? Mau disewakan atau dijual? Kemarin teman Bang Adi ada yang tanya rumah sewa." tanya Ratih saat kami sedang makan di salah satu gerai makanan cepat saji di mall ini. Rasa lelah usai berbelanja dan berkeliling juga waktu yang sudah siang membuat kami lapar.Aku menarik napas mendengar pertanyaan Ratih."Entahlah, Tih. Aku bingung. Aku nggak tega juga ngusir Bang Hasan dari sana. Kita kan tahu gimana keadaan pekerjaannya saat ini.""Iya benar, tapi bagaimanapun hubungan kalian sudah berakhir, Mir. Mulailah menjalani hidup masing-masing. Dan, cara Bang Hasan yang menempati tanpa izin, itu melanggar hukum, kamu dianggap apa sama dia.""Aku tahu soal itu, hanya saja sisi kemanusiaanku tergerak sendiri. Itu juga yang aku sayangkan dari Bang Hasan. Kenapa dia nggak bilang soal itu, paling tidak pamit lah," jawabku kecewa."Maaf, Mi
Pov Author"Kan sudah aku bilang sama Mas kemarin, tuntut si Mira itu. Dia bisa kena pasal berlapis. Tapi Mas tidak mau mendengarkanku. Kalau sudah begini bagaimana? Kita akan kemana, coba?" omel Lina pada Hasan.Sungguh kini Lina kesal sekali pada Hasan, karena menurut Lina, Masnya itu terlalu mencintai Mira hingga tak bisa berpikir untung yang bisa didapat apabila melaporkan Mira."Sudahlah, Lin. Itu terus yang kamu bahas. Sudah terjadi. Ini memang rumah Mira, kita menempatinya tanpa izin, mau bagaimana lagi?" jawab Hasan pasrah."Lalu sekarang kita kemana, Mas? Ini sudah mulai sore.""Tak tahulah, Mas pun bingung. Uang Mas hanya tinggal beberapa ratus ribu saja ini.""Ya sudah. Pakai uangku saja nanti," jawab Lina akhirnya.Di tas, Lina memang memiliki uang sekitar tiga juta, pemberian Pak Tris semalam, cukuplah untuk mencari rumah kon
Pov Author"Wajahmu kenapa ditekuk gitu, Dik? tanya Adi pada Ratih."Entahlah, Bang. Stres aku, nggak usah tanya-tanyalah," jawab Ratih jengkel pada suaminya, "buat apa sih, Mir. Harus menolong si Lina ini? Biarkan saja seharusnya," lanjut Ratih pada Mira."Kalau tidak ditolong dia bisa mati, Tih.""Bukan urusan kita. Hm, apa kamu masih mencintai Mas-nya ya?" tanya Ratih dengan pandangan penuh curiga."Menolong adiknya bukan berarti aku masih mencintai Bang Hasan, kan Tih. Aku hanya tak bisa membiarkannya begitu saja, apalagi ternyata ia sedang hamil.""Entahlah, Mir. Aku selalu anti dan menaruh dendam pada perempuan penggoda. Menurutku kehadiran mereka merupakan kutukan bagi para istri yang katanya tak becus mengurus dan membahagiakan suami. Tapi kenyataan yang pernah aku alami, Almarhumah Ibuku menjadi istri dan Ibu sempurna yang nyaris tanpa