Aku baru saja meletakkan barang belanjaan, rasanya urat di leher sakit setelah mendengar pertanyaan tetangga soal momongan. Cepat aku men eguk air segelas, dan tandas seketika. "Belum isi ya, Mir?" tanya Bu Nani ketika aku sedang memilih sayuran tadi. "Belum, Bu." Aku tersenyum. "Kok lama, ya? Anakku dua tahun menikah sudah isi. Sudah periksa?" "Saya baru tujuh bulan, Bu." "Lah, ya itu sudah termasuk lama, ponakanku nikah langsung isi. Coba periksa mana tahukan?" Aku tersinggung. "Kalau tujuh bulan lama, terus anak Ibu yang dua tahun itu apa namanya? Alot?" sinisku. Terlihat wajah Bu Nani masam, sedang Ibu lainnya terdengar cekikikan. Padahal rezeki, maut, dan jodoh, Allah lah penentunya, begitu juga dengan rezeki mendapatkan keturunan. "Pantes mertuamu urut dada, menantunya melawan begini." Ah, apa lagi ini? Mendengar nama mertuaku disebut hatiku panas, aku merasa ada yang tidak beres. "Jangan terlalu mencampuri rumah tangga orang, Bu. Saya bukan anak Ibu! Dan saya, ju
Di perjalanan kucoba memulai pembicaraan dengan Bang Hasan mengenai kabar dari Ratih. Tapi jawaban Bang Hasan sungguh di luar dugaanku. "Mir, bukannya kita sudah sepakat untuk kamu resign setelah menikah? Lagi pula kamu harus istirahat dan bahagia agar kita segera mendapat anak. Abang sudah sangat menantikannya. Mir." Sungguh jawaban Bang Hasan sangat membuatku lemas. "Tapi, Mira mau bantu Abang, lagi pula jika sudah tiba waktunya, Allah pasti kasih kita rezeki anak. Sudah tujuh bulan kita menikah, toh aku belum hamil juga kan, padahal aku juga sudah di rumah tidak bekerja. Ya, karena memang Allah belum memberi kita rezeki anak, Bang," jawabku diantara deru angin. "Abang sungguh masih sangat sanggup menafkahimu lahir dan batin, Mir. Di rumah saja, ya." "Tapi Ibu minta aku kerja, Bang." Aku masih berusaha meyakinkan Bang Hasan untuk memberiku izin. "Ibu biar menjadi urusan Abang, kamu tenang saja, ya." "Abang janji?" "Janji." "Baiklah." Aku mengalah dan mencoba per
(Pov Ibu) Aku mendengar suara salam di ujung pintu, saat kuintip dari balik gorden pintu dapur, ternyata Hasan yang datang. Terang saja hatiku bahagia, sejak pindah dari rumah, Hasan jarang sekali mau mampir ke rumahku, katanya sibuk bekerja. Ah, pasti dia mau mengantar uang untuk Lina. Dengan semangat aku berjalan ke ruang tamu di mana Hasan berada. Di luar kulihat ada seorang perempuan berdiri membelakangi rumah, ia terlihat sedang berbicara dengan Bu Asta, tetangga samping rumahku. Saat kutanya pada Hasan dengan siapa ia datang, katanya dengan istrinya. Tapi dimana Mira? Apa mungkin perempuan yang di depan itu adalah Mira? Masih belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba saja perempuan itu berbalik, berjalan dengan elegan, masuk ke rumah, dan menghampiriku. Membuat aku terkejut. Aku masih mematung memandangi sosok di hadapanku, sampai akhirnya Hasan memanggil dan membuatku sadar. Ternyata Mira sudah mengulurkan tangan hendak menyalamku. Aku sungguh tidak percaya dengan ma
Sesampainya di rumah aku memilih langsung masuk ke kamar. Rasanya menyakitkan sekali. Pipiku terasa perih, tapi tak seperih perasaanku. Masih teringat jelas kejadian di rumah Ibu tadi. Suami yang aku harapkan menjadi pelindung justru diam tak bergeming saat Ibunya mengeluarkan bisa beracunnya. Dia diam bak patung tak bernyawa tanpa bisa melakukan apapun. Jelas sekali janjinya di jalan tadi, untuk menangani Ibunya adalah omong kosong belaka. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan air mata dan rasa sakit yang sejak tadi kutahan. Di mana letak salahku yang piatu ini? Bukan inginku ditinggal mati oleh Ibu kandung sendiri. Bukan mauku tidak mendapat didikan penuh dari Ibu yang melahirkanku. Apakah aku harus menyalahkan takdir atas garis tangan yang aku terima kini? Picik sekali cara berpikir Ibu mertua. Menyalahkanku atas kematian Ibu yang melahirkanku. Jika ingin menyalahkan, kenapa harus aku, kenapa dia bukan menyalahkan takdir saja! Aku menangis dengan meng
POV Hasan Sudah dua hari, Mira mendiamkanku sejak kejadian di rumah Ibu. Aku sungguh tidak menyangka kini Mira benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Aku tidak lagi menemukan sorot mata nan teduh miliknya seperti selama ini. Sejak kami memutuskan menikah, dan tinggal di rumah Ibu, Mira menjadi semakin pendiam. Hingga suatu hari, di usia lima bulan pernikahan kami. Aku mendengar Mira menangis tersedu-sedu di sela sholat malamnya. Saat kutanya, dia hanya menggelengkan kepala. Setelah didesak, akhirnya perempuan berkulit bersih itu mengatakan jika ia lelah berkutat seharian di rumah tanpa berhenti. Dia mengatakan, sehari-hari tubuhnya berputar bak gasing yang bergerak dari dapur, kasur, dan sumur. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan. Termasuk mencuci pakaian dalam Lina, adik semata wayangku. Ibu juga melarang Mira memasak nasi menggunakan magic com, juga mengharuskan Mira menggiling cabai dengan ulekan. Alasan Ibu, agar rasanya lebih nikmat. Aku tidak tahu siapa yang benar dalam h
Prang, ting! Terdengar suara sendok dan panci beradu. Saat ini aku kesal sekali. Entah mengapa Bang Hasan harus duduk di kursi makan. Entah apa yang ia lakukan di sana. Awalnya aku tidak peduli, tapi lama-kelamaan aku semakin risih, dari aku masih menanak nasi sampai dengan aku siap memasak lauk dan sayur ia tetap berada di sana, tanpa bergerak. Pelan kulirik Bang Hasan, dari ekor mataku melihat ia sedang merenung sambil sesekali tersenyum-senyum sendiri. Mulai gila dia. Kuletakkan nasi beserta lauk di meja, bukan meja makan asli. Hanya sebuah meja petak biasa dengan triplek atasnya yang sudah rusak. Kuakali menutupinya menggunakan alas plastik bermotif dedaunan. Jangan tanya di mana meja makan asliku. Tentu saja di rumah Ibu Bang Hasan. Ah, mengingatnya saja membuat dadaku sesak. Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya, kata orang jika kita terus-menerus mengingat orang yang kita benci, ia bisa tiba-tiba saja hadir di depan wajah kita. Sungguh aku tak ingin itu terjadi. "Kamu
POV Ibu Motor Hasan baru saja melaju meninggalkan rumahnya, saat ini aku menumpang Hasan untuk ke pasar, mencari gamis biru langitku. Entah mengapa aku selalu bersemangat setiap akan memiliki barang baru. Sedari muda aku sudah seperti itu. Lantas aku teringat percakapan dengan Hasan tempo hari. Cepat aku bertanya pada Hasan bagaimana syarat yang aku ajukan. Rasanya aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Hasan. "San, gimana soal yang kemarin Ibu bilang? Kamu udah ngomong sama istrimu?" "Sudah, Bu. Tadi pagi sebelum Ibu datang." Dari nada suara Hasan, aku menebak sepertinya semua berjalan seperti keinginanku. "Terus apa jawaban si Mira?" "Mira mau, Bu. Bahkan dia senang. Sebenarnya, sebelum kami ke rumah Ibu, Mira memang sudah ditawari lagi bekerja di pabrik tempatnya dulu." Aku terkejut, mataku membulat sempurna. "Terus si Mira nggak mau gitu?" Sudah kuduga, dia hanya mau memperalat anakku. Menjadikan Hasanku sapi perahnya. Dasar iblis. P
Usai Bang Hasan berangkat bekerja, aku kembali ke dapur untuk membereskan meja, lalu lanjut dengan membersihkan se-isi rumah. Saat sedang mengepel kamar, ponselku berdering. Segera kuraih ponsel dengan logo apel tergigit tersebut. Tertera nama Ratih di sana. "Waalaikumsalam, Tih, Oh iya, oke." Kulepaskan ponsel dari telinga lalu beralih ke layar, Ratih meminta video call. Setelah terhubung terlihat Ratih sedang bersama teman-temanku sesama pekerja dulu. Sepertinya mereka sedang berkumpul menunggu briefing pagi. Saat sedang asyik berbincang dan bersenda gurau, aku melihat seorang lelaki datang dan berdiri di belakang Ratih, Pak Rezi. Ratih lantas memberi celah pada atasanku dulu tersebut, Pak Rezi tersenyum, lalu menyapaku. Menanyakan kabar dan mengatakan menunggu kehadiranku bergabung kembali. Aku kikuk. Setelah lumayan lama berbincang akhirnya video call ramai-ramai tersebut kami akhiri. Ada yang berdetak tak karuan di hati. Andai saja dulu aku lebih memilih Pak Rezi, kurasa
Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma
Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a
Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku
Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.
Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,
Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah
"Memang kurang ajar itu, mantan adik iparmu, Mir," ucap Ratih begitu kami masuk ke dalam mobil."Entahlah, Tih. Terserahnya saja." Hanya itu yang bisa kuucapkan menanggapi ucapan Ratih."Kamu sih entah ngapain kemarin nolongin dia, kan udah aku bilang jiwa kepelakoran jalangnya itu udah mendarah daging. Syukur kemarin nggak bayarin biaya dia di rumah sakit kan? Kalau iya, apa nggak sakitnya hatimu jadi berkali lipat, Mir?"Ucapan Ratih terasa sangat menohok bagiku. Aku hanya diam tak menjawab. Semuanya benar."Kenapa diam? Benarkan yang aku bilang? Makanya lain kali dengerin aku," lanjutnya lagi."Udahan ah, Tih. Aku pusing dengernya tahu.""Iya, tapi lain kali dengerin omonganku. Semua yang aku bilang nggak ada yang melesetkan?""Iya, iya. Mama Lemon adiknya Mama Loren," jawabku lalu tertawa. Seketika Ratih melemparkan tisu ke arahku.
Pov LinaAku sedang menuju parkiran swalayan ketika dari kejauhan aku melihat, Mira, mantan istri Mas Hasan berjalan ke arah yang sama. Tampak ia sedang menenteng kantongan belanja yang banyak bersama temannya yang selalu ikut campur urusan orang, Ratih.Mereka terlihat tertawa cekikin entah apa yang lucu.Awalnya aku sudah mencoba menahan amarah, tapi melihat dan mendengar tawa mereka selepas itu, membuatku merasa sakit. Mereka seperti sedang menertawakan nasibku kini. Entahlah. Kuhampiri mereka dengan cepat sebelum mereka masuk ke mobil.Kutarik lengan si Mira kasar menghadap ke arahku. Dan, plak! Ia menatapku dengan terkejut."Puas kamu, sekarangkan, Mir! Ini maumu kan?!""Apa-apaan kamu, Lin!""Apa-apaan katamu? Masih nggak sadar ya, nasibku begini itu karenamu! Kamu kan yang sebarin videoku?!" teriakku kua
Aku menyetir mobil dengan pikiran yang terbagi. Sesekali melihat ke arah Kainan yang sedang asyik menggigiti play hand ditangannya. Dia tampak anteng duduk diatas car seat pemberian orang tua Pak Rezi. Dengan car seat ini aku sungguh terbantu. Bisa membawa Kainan kemanapun tanpa harus menyusahkan orang lain karena menitipkannya.Masih tidak habis pikir mengapa Ibu berubah drastis menjadi sangat baik padaku. Bahkan sampai memeluk. Jika yang melakukan itu adalah Mama Pak Rezi, aku tak akan heran, tapi Ibu? Jangankan memeluk dan menangis dengan cucuran air mata, melihatku saja selama ini dengan pandangan yang jijik seolah aku adalah kotoran yang najis baginya. Apa Ibu berubah karena semua kejadian demi kejadian yang terjadi? Secepat itu? Mungkinkah bisa dalam waktu singkat Ibu menghilangkan sifat dan sikapnya yang sudah mendarah daging itu? Atau nanti jika keadaan membaik akan kambuh lagi? Ah, entahlah.Suara klakson