Beranda / Romansa / Racun Mertua / Bab 2 (Minta uang lagi)

Share

Bab 2 (Minta uang lagi)

Penulis: El-Haz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bang Hasan baru saja sampai rumah dan mandi ketika Ibu mertua sampai di depan pintu.

 

"Hasan sudah pulang?" tanyanya dengan napas memburu.

Terlihat, seperti habis berlari menuju rumahku.

 

"Sudah, Bu. Lagi mandi."

 

"Loh sudah sampai kenapa nggak ke rumah Ibu? Ibu minta air putih, cepetan!"

 

"Bang Hasan baru sampai, Bu," jawabku sambil berlalu ke dapur untuk mengambilkan Ibu minum.

 

"Kamu itu harus jadi istri yang amanah lah, Mir! Kan Ibu sudah titip, kenapa tidak kamu sampaikan?!" Ibu mulai meninggikan suaranya.

 

"Maaf, Bu. Bang Hasan, kan baru sampai. Ya baiknya, memang bersih-bersih diri dulu, lalu makan. Mira memang niatnya mau beritahu Bang Hasan setelah selesai makan," jawabku tenang sambil meletakkan gelas berisi air putih.

 

"Tetap saja kamu itu udah jadi istri yang nggak amanah! Udah nggak usah membela diri, salah ya tetap salah!"

 

Aku memilih diam, tak menjawab.

Sedikit aku mulai mengerti sikap dan sifat Ibu.

 

Tak lama tampak Bang Hasan keluar dari kamar mandi. Melihat sosok Ibu, ia lantas menghampiri dan menyalam Ibu.

 

"Baru sampai, Bu?" tanya Bang Hasan.

 

"Iya, ada perlu sama kamu. Padahal Ibu sudah sampaikan ke Mira tadi pagi. Nggak tahu juga kenapa dia nggak sampaikan ke kamu," ujar Ibu sambil melirik ke arahku.

 

"Eng—"

 

"Eh, mertua datang di kasih air putih Mir? Gula habis? Kok nggak bilang? Kalau bilangkan Ibu bawa tadi dari rumah."

 

Bang Hasan langsung melihat ke arahku.

 

"Nggak, Bu, ada kok, kan Ibu yang—" 

 

"Ya sudah nggak apa-apa, lupakan saja. Kalau Ibu mau teh manis, di rumah bisa buat. Mungkin Mira sedang berhemat," sela Ibu cepat.

 

Terlihat Ibu menarik pergelangan tangan Bang Hasan menuju kursi makan.

 

"Sini, kalau sudah mandi, makan dulu. Biar lebih segar badannya," ucap Ibu pada Bang Hasan sambil mengisi piring dengan nasi dan lauk.

 

"Jadi istri itu kudu tanggap, dan lincah Mir, karena suami baru pulang kerja, capek. Jadi kita sebagai istri harus bisa menghilangkan capeknya suami."

 

Aku diam saja, dan memilih menuangkan air ke gelas Bang Hasan.

 

"Ibu, sudah makan?" tanya Bang Hasan.

 

"Sudah, kamu makanlah saja."

 

"Ayo makan, Bu, kangkung tumisnya enak loh." Kembali Bang Hasan menawarkan.

 

"Kangkung kok enak, harganya saja cuma dua ribu per ikatnya! Mana ada gizinya! Ajari Mira mengatur uang belanja. Gajimu itu besar loh, San, harusnya bisa masak yang lebih dari ini." Ibu menghentak mangkuk berisi tumis kangkung tersebut.

***

 

"Gini loh, San. Ibu kesini karena mau minta uang sama kamu," ucap Ibu saat Bang Hasan sudah selesai makan.

 

"Uang, Bu?" Bang Hasan mengelap tangannya yang basah.

 

"Iya, tapi bukan untuk Ibu. Untuk adikmu. Dia mau bayar untuk study tour dari sekolahnya."

 

"Berapa, Bu?"

 

"Nggak banyak, tujuh ratus ribu saja."

 

"Uang bulanan yang kemarin habis, Bu?" tanyaku sambil meletakkan toples keripik pisang.

 

"Aku ngomong sama anakku! Bukan sama kamu."

Ibu melirik tajam.

 

"Tapi, kan Mira istri Bang Hasan, menantu Ibu. Wajar kalau Mira bertanyakan?" jawabku tenang.

 

Ibu diam tak menjawab, tangannya mulai memindahkan keripik pisang ke dalam piring kosong. Terlihat Bang Hasan mulai mengambil dan memakannya.

 

"Enak, renyah," ucap Bang Hasan sambil mengunyah.

 

Aku tersenyum sumringah, hatiku di penuhi bunga-bunga.

 

Aku teringat ucapan nenek dulu.

Salah satu hal paling membahagiakan seorang istri adalah ketika masakannya di puji sang suami.

Dan ternyata ucapan nenek benar.

 

"Enak, ya? Ini tadi Ibu yang ajari Mira membuatnya maka nya  manis dan gurihnya pas," jawab Ibu sambil mengunyah, "tadi Mira mau buat yang asin, tapi Ibu bilang kamu sukanya yang manis. Istrimu ini rada ngeyel, ya." Ibu tertawa.

Sangat kentara itu adalah tawa yang dibuat-buat untuk meremehkan.

 

"Oh, ya? Kamu harus banyak belajar sama Ibu ya, Mir," ujar Bang Hasan mengusulkan.

 

Hah?

Apa katanya? Mengajari?

Sejak kapan Ibu ada waktu dan mau mengajariku?

Keperluannya ke rumah ini hanya untuk satu hal, meminta uang.

 

Aku muak. Sangat muak!

 

"Jadi bagaimana soal uang tadi, Bu?" Aku bertanya kembali, "apa uang bulanan Ibu sudah habis?"

 

"Kamu ini apa sih, Mir! Uang segitu mana cukup untuk semua keperluan Ibu dan Lina. Ibu kan minta uang Hasan, anak Ibu."

 

"Tapi kami juga nggak punya uang lebih Bu, hanya pas untuk makan sampai Bang Hasan gajian bulan depan." Aku menjelaskan.

 

"Lah masa' uang segitu saja nggak punya. Kamu pikir, gaji Hasan itu sedikit?! Kamu aja yang nggak pandai mengatur keuangan!"

 

Itu saja yang terus di ulangi Ibu. Entah bagaimana cara Ibu menghitung pembagian gaji anaknya.

 

"Aku ini, Ibunya Hasan! Dan surganya Hasan ada di kaki Ibu Mir. Wajib bagi Hasan membahagiakan Ibu."

 

"Iya, Bu. Mira tahu, tapi kalau nggak ada mau bagaimana?" jawabku sambil mengangkat piring kotor ke dapur.

 

"Tahu apa kamu soal surga ada di kaki seorang Ibu? Wong Ibu saja kamu nggak punya!"

 

Degh!

Tepat! Menghujam jantung. Rasanya bagai di tikam belati tajam.

 

Prang!

 

Seketika piring terhempas dari tanganku.

Aku gemetar dengan lidah yang kelu.

 

"Bu," lirih Bang Hasan mengingatkan Ibunya.

 

"Loh salahnya dimana, San? Yang Ibu bilangkan benar. Memang Mira nggak punya Ibu lagi, 'kan? Surganya itu sudah nggak ada. Harusnya dia itu bisa mencari surga dari Ibu mertuanya, tapi apa, perihal uang segitu saja dia permasalahkan," ujar Ibu sekenanya.

 

Aku memutar tubuh menghadap ke arah Ibu dan Bang Hasan.

 

"Mira memang tidak punya Ibu. Dan memang, surga itu ada di telapak kaki seorang Ibu. Tapi Mira tahu, telapak kaki seorang Ibu yang seperti apa." Aku berjongkok lalu memunguti pecahan piring.

 

"Ya sudah! Susah memang ngomong sama anak yang nggak di didik Ibunya. Sudah, Ibu mau pulang. Kalau uangnya nggak ada, biar Ibu suruh saja adikmu berhenti sekolah." 

 

Ibu berdiri dari duduknya, dan terlihat ia mengulurkan tangannya seperti meminta untuk di salam Bang Hasan, tapi ternyata tangannya terus terulur sampai menyentuh toples keripik pisang, membawanya, lalu berjalan ke luar pintu.

 

"Besok pulang kerja, Hasan berikan, Bu," ucap Bang Hasan.

 

Usai Ibu pergi meninggalkan rumah, Bang Hasan datang menghampiriku, mengulurkan tangannya untuk memintaku berdiri, lalu memeluk.

Ada rasa nyaman yang hinggap di hati.

 

"Abang bisa pinjam ke koperasi besok, kamu tenang saja ya," ucapnya sembari mengelus pundakku.

 

"Ya," jawabku singkat lalu aku melepaskan pelukan Bang Hasan yang tiba-tiba kurasa tak lagi nyaman.

 

Ini bukan lagi soal uang Bang, tapi ini soal perasaanku atas ucapan Ibumu dan kekecewaanku semakin bertambah dengan tidak adanya respon darimu.

 

Bersabarlah wahai hati. Demi rumah tangga dan suamimu.

 

Bab terkait

  • Racun Mertua   Bab 3 (Berkunjung)

    Aku baru saja meletakkan barang belanjaan, rasanya urat di leher sakit setelah mendengar pertanyaan tetangga soal momongan. Cepat aku men eguk air segelas, dan tandas seketika. "Belum isi ya, Mir?" tanya Bu Nani ketika aku sedang memilih sayuran tadi. "Belum, Bu." Aku tersenyum. "Kok lama, ya? Anakku dua tahun menikah sudah isi. Sudah periksa?" "Saya baru tujuh bulan, Bu." "Lah, ya itu sudah termasuk lama, ponakanku nikah langsung isi. Coba periksa mana tahukan?" Aku tersinggung. "Kalau tujuh bulan lama, terus anak Ibu yang dua tahun itu apa namanya? Alot?" sinisku. Terlihat wajah Bu Nani masam, sedang Ibu lainnya terdengar cekikikan. Padahal rezeki, maut, dan jodoh, Allah lah penentunya, begitu juga dengan rezeki mendapatkan keturunan. "Pantes mertuamu urut dada, menantunya melawan begini." Ah, apa lagi ini? Mendengar nama mertuaku disebut hatiku panas, aku merasa ada yang tidak beres. "Jangan terlalu mencampuri rumah tangga orang, Bu. Saya bukan anak Ibu! Dan saya, ju

  • Racun Mertua   Bab 4 (Permintaan bekerja)

    Di perjalanan kucoba memulai pembicaraan dengan Bang Hasan mengenai kabar dari Ratih. Tapi jawaban Bang Hasan sungguh di luar dugaanku. "Mir, bukannya kita sudah sepakat untuk kamu resign setelah menikah? Lagi pula kamu harus istirahat dan bahagia agar kita segera mendapat anak. Abang sudah sangat menantikannya. Mir." Sungguh jawaban Bang Hasan sangat membuatku lemas. "Tapi, Mira mau bantu Abang, lagi pula jika sudah tiba waktunya, Allah pasti kasih kita rezeki anak. Sudah tujuh bulan kita menikah, toh aku belum hamil juga kan, padahal aku juga sudah di rumah tidak bekerja. Ya, karena memang Allah belum memberi kita rezeki anak, Bang," jawabku diantara deru angin. "Abang sungguh masih sangat sanggup menafkahimu lahir dan batin, Mir. Di rumah saja, ya." "Tapi Ibu minta aku kerja, Bang." Aku masih berusaha meyakinkan Bang Hasan untuk memberiku izin. "Ibu biar menjadi urusan Abang, kamu tenang saja, ya." "Abang janji?" "Janji." "Baiklah." Aku mengalah dan mencoba per

  • Racun Mertua   Bab 5 (Rencana yang gagal)

    (Pov Ibu) Aku mendengar suara salam di ujung pintu, saat kuintip dari balik gorden pintu dapur, ternyata Hasan yang datang. Terang saja hatiku bahagia, sejak pindah dari rumah, Hasan jarang sekali mau mampir ke rumahku, katanya sibuk bekerja. Ah, pasti dia mau mengantar uang untuk Lina. Dengan semangat aku berjalan ke ruang tamu di mana Hasan berada. Di luar kulihat ada seorang perempuan berdiri membelakangi rumah, ia terlihat sedang berbicara dengan Bu Asta, tetangga samping rumahku. Saat kutanya pada Hasan dengan siapa ia datang, katanya dengan istrinya. Tapi dimana Mira? Apa mungkin perempuan yang di depan itu adalah Mira? Masih belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba saja perempuan itu berbalik, berjalan dengan elegan, masuk ke rumah, dan menghampiriku. Membuat aku terkejut. Aku masih mematung memandangi sosok di hadapanku, sampai akhirnya Hasan memanggil dan membuatku sadar. Ternyata Mira sudah mengulurkan tangan hendak menyalamku. Aku sungguh tidak percaya dengan ma

  • Racun Mertua   Bab 6 (Di luar batas)

    Sesampainya di rumah aku memilih langsung masuk ke kamar. Rasanya menyakitkan sekali. Pipiku terasa perih, tapi tak seperih perasaanku. Masih teringat jelas kejadian di rumah Ibu tadi. Suami yang aku harapkan menjadi pelindung justru diam tak bergeming saat Ibunya mengeluarkan bisa beracunnya. Dia diam bak patung tak bernyawa tanpa bisa melakukan apapun. Jelas sekali janjinya di jalan tadi, untuk menangani Ibunya adalah omong kosong belaka. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan air mata dan rasa sakit yang sejak tadi kutahan. Di mana letak salahku yang piatu ini? Bukan inginku ditinggal mati oleh Ibu kandung sendiri. Bukan mauku tidak mendapat didikan penuh dari Ibu yang melahirkanku. Apakah aku harus menyalahkan takdir atas garis tangan yang aku terima kini? Picik sekali cara berpikir Ibu mertua. Menyalahkanku atas kematian Ibu yang melahirkanku. Jika ingin menyalahkan, kenapa harus aku, kenapa dia bukan menyalahkan takdir saja! Aku menangis dengan meng

  • Racun Mertua   Bab 7 (PoV Hasan)

    POV Hasan Sudah dua hari, Mira mendiamkanku sejak kejadian di rumah Ibu. Aku sungguh tidak menyangka kini Mira benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Aku tidak lagi menemukan sorot mata nan teduh miliknya seperti selama ini. Sejak kami memutuskan menikah, dan tinggal di rumah Ibu, Mira menjadi semakin pendiam. Hingga suatu hari, di usia lima bulan pernikahan kami. Aku mendengar Mira menangis tersedu-sedu di sela sholat malamnya. Saat kutanya, dia hanya menggelengkan kepala. Setelah didesak, akhirnya perempuan berkulit bersih itu mengatakan jika ia lelah berkutat seharian di rumah tanpa berhenti. Dia mengatakan, sehari-hari tubuhnya berputar bak gasing yang bergerak dari dapur, kasur, dan sumur. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan. Termasuk mencuci pakaian dalam Lina, adik semata wayangku. Ibu juga melarang Mira memasak nasi menggunakan magic com, juga mengharuskan Mira menggiling cabai dengan ulekan. Alasan Ibu, agar rasanya lebih nikmat. Aku tidak tahu siapa yang benar dalam h

  • Racun Mertua   Bab 8 (Izin bekerja)

    Prang, ting! Terdengar suara sendok dan panci beradu. Saat ini aku kesal sekali. Entah mengapa Bang Hasan harus duduk di kursi makan. Entah apa yang ia lakukan di sana. Awalnya aku tidak peduli, tapi lama-kelamaan aku semakin risih, dari aku masih menanak nasi sampai dengan aku siap memasak lauk dan sayur ia tetap berada di sana, tanpa bergerak. Pelan kulirik Bang Hasan, dari ekor mataku melihat ia sedang merenung sambil sesekali tersenyum-senyum sendiri. Mulai gila dia. Kuletakkan nasi beserta lauk di meja, bukan meja makan asli. Hanya sebuah meja petak biasa dengan triplek atasnya yang sudah rusak. Kuakali menutupinya menggunakan alas plastik bermotif dedaunan. Jangan tanya di mana meja makan asliku. Tentu saja di rumah Ibu Bang Hasan. Ah, mengingatnya saja membuat dadaku sesak. Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya, kata orang jika kita terus-menerus mengingat orang yang kita benci, ia bisa tiba-tiba saja hadir di depan wajah kita. Sungguh aku tak ingin itu terjadi. "Kamu

  • Racun Mertua   Bab 9 (Berkunjung ke rumah Hasan)

    POV Ibu Motor Hasan baru saja melaju meninggalkan rumahnya, saat ini aku menumpang Hasan untuk ke pasar, mencari gamis biru langitku. Entah mengapa aku selalu bersemangat setiap akan memiliki barang baru. Sedari muda aku sudah seperti itu. Lantas aku teringat percakapan dengan Hasan tempo hari. Cepat aku bertanya pada Hasan bagaimana syarat yang aku ajukan. Rasanya aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Hasan. "San, gimana soal yang kemarin Ibu bilang? Kamu udah ngomong sama istrimu?" "Sudah, Bu. Tadi pagi sebelum Ibu datang." Dari nada suara Hasan, aku menebak sepertinya semua berjalan seperti keinginanku. "Terus apa jawaban si Mira?" "Mira mau, Bu. Bahkan dia senang. Sebenarnya, sebelum kami ke rumah Ibu, Mira memang sudah ditawari lagi bekerja di pabrik tempatnya dulu." Aku terkejut, mataku membulat sempurna. "Terus si Mira nggak mau gitu?" Sudah kuduga, dia hanya mau memperalat anakku. Menjadikan Hasanku sapi perahnya. Dasar iblis. P

  • Racun Mertua   Bab 10 (Percikan api)

    Usai Bang Hasan berangkat bekerja, aku kembali ke dapur untuk membereskan meja, lalu lanjut dengan membersihkan se-isi rumah. Saat sedang mengepel kamar, ponselku berdering. Segera kuraih ponsel dengan logo apel tergigit tersebut. Tertera nama Ratih di sana. "Waalaikumsalam, Tih, Oh iya, oke." Kulepaskan ponsel dari telinga lalu beralih ke layar, Ratih meminta video call. Setelah terhubung terlihat Ratih sedang bersama teman-temanku sesama pekerja dulu. Sepertinya mereka sedang berkumpul menunggu briefing pagi. Saat sedang asyik berbincang dan bersenda gurau, aku melihat seorang lelaki datang dan berdiri di belakang Ratih, Pak Rezi. Ratih lantas memberi celah pada atasanku dulu tersebut, Pak Rezi tersenyum, lalu menyapaku. Menanyakan kabar dan mengatakan menunggu kehadiranku bergabung kembali. Aku kikuk. Setelah lumayan lama berbincang akhirnya video call ramai-ramai tersebut kami akhiri. Ada yang berdetak tak karuan di hati. Andai saja dulu aku lebih memilih Pak Rezi, kurasa

Bab terbaru

  • Racun Mertua   Bab 64B (Memilih pergi)

    Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma

  • Racun Mertua   Bab 64A (Usaha menggugurkan)

    Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a

  • Racun Mertua   Bab 63 (Harus ikhlas)

    Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku

  • Racun Mertua   Bab 62 (Menyongsong hari bahagia)

    Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.

  • Racun Mertua   Bab 61 (Flashback)

    Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,

  • Racun Mertua   Bab 60 (Sebuah Harapan)

    Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah

  • Racun Mertua   Bab 59 (Melamar)

    "Memang kurang ajar itu, mantan adik iparmu, Mir," ucap Ratih begitu kami masuk ke dalam mobil."Entahlah, Tih. Terserahnya saja." Hanya itu yang bisa kuucapkan menanggapi ucapan Ratih."Kamu sih entah ngapain kemarin nolongin dia, kan udah aku bilang jiwa kepelakoran jalangnya itu udah mendarah daging. Syukur kemarin nggak bayarin biaya dia di rumah sakit kan? Kalau iya, apa nggak sakitnya hatimu jadi berkali lipat, Mir?"Ucapan Ratih terasa sangat menohok bagiku. Aku hanya diam tak menjawab. Semuanya benar."Kenapa diam? Benarkan yang aku bilang? Makanya lain kali dengerin aku," lanjutnya lagi."Udahan ah, Tih. Aku pusing dengernya tahu.""Iya, tapi lain kali dengerin omonganku. Semua yang aku bilang nggak ada yang melesetkan?""Iya, iya. Mama Lemon adiknya Mama Loren," jawabku lalu tertawa. Seketika Ratih melemparkan tisu ke arahku.

  • Racun Mertua   Bab 58 (Bertemu Mira)

    Pov LinaAku sedang menuju parkiran swalayan ketika dari kejauhan aku melihat, Mira, mantan istri Mas Hasan berjalan ke arah yang sama. Tampak ia sedang menenteng kantongan belanja yang banyak bersama temannya yang selalu ikut campur urusan orang, Ratih.Mereka terlihat tertawa cekikin entah apa yang lucu.Awalnya aku sudah mencoba menahan amarah, tapi melihat dan mendengar tawa mereka selepas itu, membuatku merasa sakit. Mereka seperti sedang menertawakan nasibku kini. Entahlah. Kuhampiri mereka dengan cepat sebelum mereka masuk ke mobil.Kutarik lengan si Mira kasar menghadap ke arahku. Dan, plak! Ia menatapku dengan terkejut."Puas kamu, sekarangkan, Mir! Ini maumu kan?!""Apa-apaan kamu, Lin!""Apa-apaan katamu? Masih nggak sadar ya, nasibku begini itu karenamu! Kamu kan yang sebarin videoku?!" teriakku kua

  • Racun Mertua   Bab 57 (Patah Hati)

    Aku menyetir mobil dengan pikiran yang terbagi. Sesekali melihat ke arah Kainan yang sedang asyik menggigiti play hand ditangannya. Dia tampak anteng duduk diatas car seat pemberian orang tua Pak Rezi. Dengan car seat ini aku sungguh terbantu. Bisa membawa Kainan kemanapun tanpa harus menyusahkan orang lain karena menitipkannya.Masih tidak habis pikir mengapa Ibu berubah drastis menjadi sangat baik padaku. Bahkan sampai memeluk. Jika yang melakukan itu adalah Mama Pak Rezi, aku tak akan heran, tapi Ibu? Jangankan memeluk dan menangis dengan cucuran air mata, melihatku saja selama ini dengan pandangan yang jijik seolah aku adalah kotoran yang najis baginya. Apa Ibu berubah karena semua kejadian demi kejadian yang terjadi? Secepat itu? Mungkinkah bisa dalam waktu singkat Ibu menghilangkan sifat dan sikapnya yang sudah mendarah daging itu? Atau nanti jika keadaan membaik akan kambuh lagi? Ah, entahlah.Suara klakson

DMCA.com Protection Status