Beranda / Romansa / Racun Mertua / Bab 4 (Permintaan bekerja)

Share

Bab 4 (Permintaan bekerja)

Penulis: El-Haz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Di perjalanan kucoba memulai pembicaraan dengan Bang Hasan mengenai kabar dari Ratih.

Tapi jawaban Bang Hasan sungguh di luar dugaanku.

 

"Mir, bukannya kita sudah sepakat untuk kamu resign setelah menikah? Lagi pula kamu harus istirahat dan bahagia agar kita segera mendapat anak. Abang sudah sangat menantikannya. Mir."

 

Sungguh jawaban Bang Hasan sangat membuatku lemas.

 

"Tapi, Mira mau bantu Abang, lagi pula jika sudah tiba waktunya, Allah pasti kasih kita rezeki anak. Sudah tujuh bulan kita menikah, toh aku belum hamil juga kan, padahal aku juga sudah di rumah tidak bekerja. Ya, karena memang Allah belum memberi kita rezeki anak, Bang," jawabku diantara deru angin.

 

"Abang sungguh masih sangat sanggup menafkahimu lahir dan batin, Mir. Di rumah saja, ya."

 

"Tapi Ibu minta aku kerja, Bang." Aku masih berusaha meyakinkan Bang Hasan untuk memberiku izin.

 

"Ibu biar menjadi urusan Abang, kamu tenang saja, ya." 

 

"Abang janji?" 

 

"Janji."

 

"Baiklah." Aku mengalah dan mencoba percaya pada Bang Hasan.

 

***

 

"Kamu datang sama siapa, San?"

 

Kudengar Ibu bertanya, usai Bang Hasan masuk kedalam rumah Ibu.

Aku memang belum masuk rumah, masih berbicara dengan tetangga Ibu yang tadi menyapaku.

 

"Sama Mira, Bu, siapa lagi?" 

 

"Oh itu istrimu? Ibu pikir tadi siapa."

 

Setelah berbincang pada tetangga Ibu, aku izin untuk masuk ke dalam rumah.

 

'Assalamua'alaikum, Bu." Aku mengulurkan tangan.

Yang ingin di salam malah mematung melihatku.

 

"Bu. Mira mau salam Ibu," panggil Bang Hasan.

 

"Eh, iya, San. Kalian darimana?" tanya Ibu sembari menerima uluran tanganku.

 

"Dari rumah, Bu. Memang sengaja singgah kesini, antar uang untuk Lina."

 

"Mau kesini saja penampilanmu begini, Mir?" Telunjuknya naik turun menilaiku.

 

"Kami mau sekalian undangan, Bu setelah dari sini."

 

Aku diam saja dan memilih duduk.

 

"Oh, ya sudah mana uangnya?" pinta Ibu, namun matanya tetap tidak lepas memperhatikanku.

 

Bang Hasan pun mengambil dompetnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah, lalu memberikannya pada Ibu.

 

"Kamu sudah makan, San? Ibu masak enak itu, masak ayam semur kesukaan kamu," tawar Ibu pada Bang Hasan sambil menghitung lembaran uang di tangannya.

 

"Sudah, Bu, tadi di rumah, lagi pula nanti di tempat undangan, kan makan lagi."

 

"Lusa beri Ibu uang lagi ya, San. Hari Jum'at, Ibu mau arisan di rumah Bu RT, gamisnya kembaran warna biru langit, Ibu belum punya warna itu.

 

"Berapa, Bu?"

 

"Nggak banyak, dua ratus ribu saja.

 

"Hasan usahakan ya, Bu," jawab Bang Hasan ragu.

 

"Harus ada," tegas Ibu.

 

Dan Bang Hasan hanya diam saja tanpa berusaha menjelaskan kondisi keuangan kami.

 

Tidak lama Lina datang menghampiri.

 

"Mas, baru datang?" tanyanya sambil bergelayut manja di lengan Bang Hasan.

 

"Iya, ada perlu sama Ibu," jawab Bang Hasan sambil mengacak rambut adik semata wayangnya tersebut.

 

"Mas, bagi duit dong, paket internetku sudah mau habis."

 

"Mir, kasih ke Lina lima puluh."

 

Aku pun lantas membuka tas, mengeluarkan dompet lalu memberikan Lina uang yang di mintanya.

Dari ekor mataku melirik, sangat terlihat Ibu benar-benar memperhatikan gerak-gerikku.

 

"Wah, gamisnya Mbak Mira cakep bener," ucap Lina, dan duduk di sampingku, "lihat merknya dong, Mbak."

Lina menarik gamisku yang kebetulan merknya terdapat di bagian sisi samping.

 

"Wah, ini mehong loh, Mbak", ia berdecak kagum, "kapan-kapan aku pinjam ya Mbak," ucapnya lagi, tapi pandangannya seperti menyiratkan sesuatu pada Ibu.

 

"Ini uang yang Ibu minta dari mana, San? Kata Mira kalian nggak punya simpanan. Hanya pas buat makan sampai kamu gajian. Kenapa baru semalam Ibu minta, siang ini sudah ada?"

Tiba-tiba Ibu menyela ucapan Lina.

 

"Itu uangnya dari koperasi, Bu," jawab Bang Hasan.

 

"Kamu begini sama mertuamu, Mir? Perhitungan sekali, ya? Tampilanmu begini hanya akan ke rumah mertua, tapi kamu bilang nggak punya uang. Lina hampir saja kuberhentikan sekolah karena nggak bisa bayar uang studytournya. Kamu sengaja menghina Ibu?" ucap Ibu sembari telunjuknya di arahkan padaku.

 

Aku terkejut, jantungku berdetak tak berirama.

Darahku berdesir, antara takut dan ingin melawan.

 

"Kami mau pergi undangan setelah ini, Bu. Bukan hanya mau ke rumah Ibu." Aku masih berusaha menenangkan diri.

 

"Pantes ya gaji anakku yang empat juta itu nggak kelihatan, ternyata begini caramu mengelola uang anakku?" ucap Ibu semakin menjadi.

 

"Ini bukan pemberian Bang Hasan, Bu, ini Mira—" Aku berdiri dari duduk.

 

"Anakku cuma kamu kasih makan kangkung, tampilanmu begini hanya akan pergi undangan bak istri pejabat saja. Hebat kau, ya Mir!" Ibu berdecih.

 

Belum sempat aku menjawab apa pun, Ibu sudah menghujaniku dengan berbagai tuduhan.

 

"Bang." Aku memanggil Bang Hasan untuk meminta bantuan menjelaskan pada Ibu.

Tapi yang di panggil hanya diam mematung di sudut kursi bagian sana.

Entah karena terkejut sepertiku, atau karena masih memaklumi sikap Ibunya.

 

"Dari awal Ibu memang sudah nggak setuju Hasan menikahimu. Terlebih setelah tahu, kamu anak piatu. Entah apa yang ada di pikiran anakku sehingga dia memilihmu. Dan ternyata dugaanku benar! Istri pengeretan! Harusnya kamu juga bekerja, tapi kamu berleha-leha di rumah sedangkan anakku kau jadikan sapi perahan. Lalu keringatnya kamu belikan barang-barang bagus dan mahal, sangat terlihat memang kamu nggak di didik Ibumu dengan baik."

 

Mataku memanas.

Lagi dan lagi dia membawa-bawa Ibuku.

Sudah cukup, ini sudah cukup.

Dan mana janji Bang Hasan yang ia ucapkan sewaktu di jalan tadi?

Padahal jarum jam saja belum jauh berdetak.

 

Aku tidak tahan lagi.

Aku menghampiri Ibu, mensejajarkan tubuh dengannya.

 

"Bu, bertindaklah sesuai porsinya Ibu sebagai mertua. Ibu tidak berhak penuh atas diriku, apalagi jika selalu mengkait-kaitkan Ibuku yang sudah tenang disana dengan kekuranganku di mata Ibu, jadi kumohon jangan buat aku menjadi melawan padamu," jawabku meninggi.

 

"Mira ..." Terdengar suara Bang Hasan lirih.

 

Lina memilih pergi ke luar rumah, sedang Ibu terlihat melotot, mukanya memerah dengan nafas memburu.

Saat ini ia terlihat benar-benar seperti ingin menerkamku.

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Tuh kan bener pasti dicaci maki
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Racun Mertua   Bab 5 (Rencana yang gagal)

    (Pov Ibu) Aku mendengar suara salam di ujung pintu, saat kuintip dari balik gorden pintu dapur, ternyata Hasan yang datang. Terang saja hatiku bahagia, sejak pindah dari rumah, Hasan jarang sekali mau mampir ke rumahku, katanya sibuk bekerja. Ah, pasti dia mau mengantar uang untuk Lina. Dengan semangat aku berjalan ke ruang tamu di mana Hasan berada. Di luar kulihat ada seorang perempuan berdiri membelakangi rumah, ia terlihat sedang berbicara dengan Bu Asta, tetangga samping rumahku. Saat kutanya pada Hasan dengan siapa ia datang, katanya dengan istrinya. Tapi dimana Mira? Apa mungkin perempuan yang di depan itu adalah Mira? Masih belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba saja perempuan itu berbalik, berjalan dengan elegan, masuk ke rumah, dan menghampiriku. Membuat aku terkejut. Aku masih mematung memandangi sosok di hadapanku, sampai akhirnya Hasan memanggil dan membuatku sadar. Ternyata Mira sudah mengulurkan tangan hendak menyalamku. Aku sungguh tidak percaya dengan ma

  • Racun Mertua   Bab 6 (Di luar batas)

    Sesampainya di rumah aku memilih langsung masuk ke kamar. Rasanya menyakitkan sekali. Pipiku terasa perih, tapi tak seperih perasaanku. Masih teringat jelas kejadian di rumah Ibu tadi. Suami yang aku harapkan menjadi pelindung justru diam tak bergeming saat Ibunya mengeluarkan bisa beracunnya. Dia diam bak patung tak bernyawa tanpa bisa melakukan apapun. Jelas sekali janjinya di jalan tadi, untuk menangani Ibunya adalah omong kosong belaka. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan air mata dan rasa sakit yang sejak tadi kutahan. Di mana letak salahku yang piatu ini? Bukan inginku ditinggal mati oleh Ibu kandung sendiri. Bukan mauku tidak mendapat didikan penuh dari Ibu yang melahirkanku. Apakah aku harus menyalahkan takdir atas garis tangan yang aku terima kini? Picik sekali cara berpikir Ibu mertua. Menyalahkanku atas kematian Ibu yang melahirkanku. Jika ingin menyalahkan, kenapa harus aku, kenapa dia bukan menyalahkan takdir saja! Aku menangis dengan meng

  • Racun Mertua   Bab 7 (PoV Hasan)

    POV Hasan Sudah dua hari, Mira mendiamkanku sejak kejadian di rumah Ibu. Aku sungguh tidak menyangka kini Mira benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Aku tidak lagi menemukan sorot mata nan teduh miliknya seperti selama ini. Sejak kami memutuskan menikah, dan tinggal di rumah Ibu, Mira menjadi semakin pendiam. Hingga suatu hari, di usia lima bulan pernikahan kami. Aku mendengar Mira menangis tersedu-sedu di sela sholat malamnya. Saat kutanya, dia hanya menggelengkan kepala. Setelah didesak, akhirnya perempuan berkulit bersih itu mengatakan jika ia lelah berkutat seharian di rumah tanpa berhenti. Dia mengatakan, sehari-hari tubuhnya berputar bak gasing yang bergerak dari dapur, kasur, dan sumur. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan. Termasuk mencuci pakaian dalam Lina, adik semata wayangku. Ibu juga melarang Mira memasak nasi menggunakan magic com, juga mengharuskan Mira menggiling cabai dengan ulekan. Alasan Ibu, agar rasanya lebih nikmat. Aku tidak tahu siapa yang benar dalam h

  • Racun Mertua   Bab 8 (Izin bekerja)

    Prang, ting! Terdengar suara sendok dan panci beradu. Saat ini aku kesal sekali. Entah mengapa Bang Hasan harus duduk di kursi makan. Entah apa yang ia lakukan di sana. Awalnya aku tidak peduli, tapi lama-kelamaan aku semakin risih, dari aku masih menanak nasi sampai dengan aku siap memasak lauk dan sayur ia tetap berada di sana, tanpa bergerak. Pelan kulirik Bang Hasan, dari ekor mataku melihat ia sedang merenung sambil sesekali tersenyum-senyum sendiri. Mulai gila dia. Kuletakkan nasi beserta lauk di meja, bukan meja makan asli. Hanya sebuah meja petak biasa dengan triplek atasnya yang sudah rusak. Kuakali menutupinya menggunakan alas plastik bermotif dedaunan. Jangan tanya di mana meja makan asliku. Tentu saja di rumah Ibu Bang Hasan. Ah, mengingatnya saja membuat dadaku sesak. Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya, kata orang jika kita terus-menerus mengingat orang yang kita benci, ia bisa tiba-tiba saja hadir di depan wajah kita. Sungguh aku tak ingin itu terjadi. "Kamu

  • Racun Mertua   Bab 9 (Berkunjung ke rumah Hasan)

    POV Ibu Motor Hasan baru saja melaju meninggalkan rumahnya, saat ini aku menumpang Hasan untuk ke pasar, mencari gamis biru langitku. Entah mengapa aku selalu bersemangat setiap akan memiliki barang baru. Sedari muda aku sudah seperti itu. Lantas aku teringat percakapan dengan Hasan tempo hari. Cepat aku bertanya pada Hasan bagaimana syarat yang aku ajukan. Rasanya aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Hasan. "San, gimana soal yang kemarin Ibu bilang? Kamu udah ngomong sama istrimu?" "Sudah, Bu. Tadi pagi sebelum Ibu datang." Dari nada suara Hasan, aku menebak sepertinya semua berjalan seperti keinginanku. "Terus apa jawaban si Mira?" "Mira mau, Bu. Bahkan dia senang. Sebenarnya, sebelum kami ke rumah Ibu, Mira memang sudah ditawari lagi bekerja di pabrik tempatnya dulu." Aku terkejut, mataku membulat sempurna. "Terus si Mira nggak mau gitu?" Sudah kuduga, dia hanya mau memperalat anakku. Menjadikan Hasanku sapi perahnya. Dasar iblis. P

  • Racun Mertua   Bab 10 (Percikan api)

    Usai Bang Hasan berangkat bekerja, aku kembali ke dapur untuk membereskan meja, lalu lanjut dengan membersihkan se-isi rumah. Saat sedang mengepel kamar, ponselku berdering. Segera kuraih ponsel dengan logo apel tergigit tersebut. Tertera nama Ratih di sana. "Waalaikumsalam, Tih, Oh iya, oke." Kulepaskan ponsel dari telinga lalu beralih ke layar, Ratih meminta video call. Setelah terhubung terlihat Ratih sedang bersama teman-temanku sesama pekerja dulu. Sepertinya mereka sedang berkumpul menunggu briefing pagi. Saat sedang asyik berbincang dan bersenda gurau, aku melihat seorang lelaki datang dan berdiri di belakang Ratih, Pak Rezi. Ratih lantas memberi celah pada atasanku dulu tersebut, Pak Rezi tersenyum, lalu menyapaku. Menanyakan kabar dan mengatakan menunggu kehadiranku bergabung kembali. Aku kikuk. Setelah lumayan lama berbincang akhirnya video call ramai-ramai tersebut kami akhiri. Ada yang berdetak tak karuan di hati. Andai saja dulu aku lebih memilih Pak Rezi, kurasa

  • Racun Mertua   Bab 11 (Fitnah Ibu)

    Aku baru saja selesai sholat Maghrib ketika Bang Hasan pulang, dengan mata yang memerah. Bahkan mukena tak sempat aku buka. Dia mengedor pintu dengan keras dan tanpa sabar. Padahal ia tahu, adzan maghrib baru saja usai berkumandang. "Aku baru selesai sholat, Bang," jawabku setelah pintu terbuka. Tapi yang di tanya bukannya menjawab malah membanting pintu, dan menarik tanganku ke kamar. "Sholat katamu, heh?!" Nada suaranya tinggi dan berat, "percuma kamu sholat kalau kamu nggak bisa memperlakukan mertuamu dengan baik," sentaknya menarik mukenaku hingga lepas. Aku terkejut, dadaku bergemuruh dengan detak jantung yang tak beraturan. "Kenapa Abang kasar begini?" tanyaku dengan air mata yang mulai menggenang. "Kenapa katamu? Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu perlakukan Ibuku seperti ini, Mir!" bentaknya lagi, "aku tak akan kasar jika kamu tidak mengasari Ibuku duluan." Air mata mulai jatuh tanpa kuminta. Bang Hasan tidak pernah semarah dan sekasar ini sebelumnya. Racun apa ya

  • Racun Mertua   Bab 12 (Lelaki itu bernama, Rezi)

    Suara ponsel yang berdering membangunkanku dari alam mimpi. Dengan mata yang masih setengah terbuka, aku meraba bagian bawah bantal untuk mencari ponselku. Tertera nama Ratih, segera kusentuh ke atas layar berbentuk persegi empat tersebut lalu menempelkannya ke telinga. "Waalaikumsalam Tih, iya, oke." Ratih menelpon untuk mengingatkanku ke pabrik hari ini. Kulihat jam di ponsel, sudah jam tujuh ternyata, aku sedikit kesiangan. Usai sholat subuh tadi aku memang kembali merebahkan diri, tidak menyiapkan sarapan seperti biasa. Rasanya badanku sakit semua, dan tentunya dengan mata yang sembab serta hidung yang memerah. Bang Hasan tidak terlihat, pun motornya, entah jam berapa dia keluar rumah. Mungkin pergi bekerja, mungkin juga ke rumah Ibunya, aku tidak lagi peduli. Memang semalam aku memilih tidur di kamar belakang guna menghindari pertengkaran yang semakin menjadi, juga menghindari mendengar maaf dari Bang Hasan. Rasanya hatiku sudah hambar. Pelan aku membuka pintu kamarku, ter

Bab terbaru

  • Racun Mertua   Bab 64B (Memilih pergi)

    Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma

  • Racun Mertua   Bab 64A (Usaha menggugurkan)

    Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a

  • Racun Mertua   Bab 63 (Harus ikhlas)

    Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku

  • Racun Mertua   Bab 62 (Menyongsong hari bahagia)

    Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.

  • Racun Mertua   Bab 61 (Flashback)

    Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,

  • Racun Mertua   Bab 60 (Sebuah Harapan)

    Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah

  • Racun Mertua   Bab 59 (Melamar)

    "Memang kurang ajar itu, mantan adik iparmu, Mir," ucap Ratih begitu kami masuk ke dalam mobil."Entahlah, Tih. Terserahnya saja." Hanya itu yang bisa kuucapkan menanggapi ucapan Ratih."Kamu sih entah ngapain kemarin nolongin dia, kan udah aku bilang jiwa kepelakoran jalangnya itu udah mendarah daging. Syukur kemarin nggak bayarin biaya dia di rumah sakit kan? Kalau iya, apa nggak sakitnya hatimu jadi berkali lipat, Mir?"Ucapan Ratih terasa sangat menohok bagiku. Aku hanya diam tak menjawab. Semuanya benar."Kenapa diam? Benarkan yang aku bilang? Makanya lain kali dengerin aku," lanjutnya lagi."Udahan ah, Tih. Aku pusing dengernya tahu.""Iya, tapi lain kali dengerin omonganku. Semua yang aku bilang nggak ada yang melesetkan?""Iya, iya. Mama Lemon adiknya Mama Loren," jawabku lalu tertawa. Seketika Ratih melemparkan tisu ke arahku.

  • Racun Mertua   Bab 58 (Bertemu Mira)

    Pov LinaAku sedang menuju parkiran swalayan ketika dari kejauhan aku melihat, Mira, mantan istri Mas Hasan berjalan ke arah yang sama. Tampak ia sedang menenteng kantongan belanja yang banyak bersama temannya yang selalu ikut campur urusan orang, Ratih.Mereka terlihat tertawa cekikin entah apa yang lucu.Awalnya aku sudah mencoba menahan amarah, tapi melihat dan mendengar tawa mereka selepas itu, membuatku merasa sakit. Mereka seperti sedang menertawakan nasibku kini. Entahlah. Kuhampiri mereka dengan cepat sebelum mereka masuk ke mobil.Kutarik lengan si Mira kasar menghadap ke arahku. Dan, plak! Ia menatapku dengan terkejut."Puas kamu, sekarangkan, Mir! Ini maumu kan?!""Apa-apaan kamu, Lin!""Apa-apaan katamu? Masih nggak sadar ya, nasibku begini itu karenamu! Kamu kan yang sebarin videoku?!" teriakku kua

  • Racun Mertua   Bab 57 (Patah Hati)

    Aku menyetir mobil dengan pikiran yang terbagi. Sesekali melihat ke arah Kainan yang sedang asyik menggigiti play hand ditangannya. Dia tampak anteng duduk diatas car seat pemberian orang tua Pak Rezi. Dengan car seat ini aku sungguh terbantu. Bisa membawa Kainan kemanapun tanpa harus menyusahkan orang lain karena menitipkannya.Masih tidak habis pikir mengapa Ibu berubah drastis menjadi sangat baik padaku. Bahkan sampai memeluk. Jika yang melakukan itu adalah Mama Pak Rezi, aku tak akan heran, tapi Ibu? Jangankan memeluk dan menangis dengan cucuran air mata, melihatku saja selama ini dengan pandangan yang jijik seolah aku adalah kotoran yang najis baginya. Apa Ibu berubah karena semua kejadian demi kejadian yang terjadi? Secepat itu? Mungkinkah bisa dalam waktu singkat Ibu menghilangkan sifat dan sikapnya yang sudah mendarah daging itu? Atau nanti jika keadaan membaik akan kambuh lagi? Ah, entahlah.Suara klakson

DMCA.com Protection Status