Usai Bang Hasan berangkat bekerja, aku kembali ke dapur untuk membereskan meja, lalu lanjut dengan membersihkan se-isi rumah. Saat sedang mengepel kamar, ponselku berdering. Segera kuraih ponsel dengan logo apel tergigit tersebut. Tertera nama Ratih di sana. "Waalaikumsalam, Tih, Oh iya, oke." Kulepaskan ponsel dari telinga lalu beralih ke layar, Ratih meminta video call. Setelah terhubung terlihat Ratih sedang bersama teman-temanku sesama pekerja dulu. Sepertinya mereka sedang berkumpul menunggu briefing pagi. Saat sedang asyik berbincang dan bersenda gurau, aku melihat seorang lelaki datang dan berdiri di belakang Ratih, Pak Rezi. Ratih lantas memberi celah pada atasanku dulu tersebut, Pak Rezi tersenyum, lalu menyapaku. Menanyakan kabar dan mengatakan menunggu kehadiranku bergabung kembali. Aku kikuk. Setelah lumayan lama berbincang akhirnya video call ramai-ramai tersebut kami akhiri. Ada yang berdetak tak karuan di hati. Andai saja dulu aku lebih memilih Pak Rezi, kurasa
Aku baru saja selesai sholat Maghrib ketika Bang Hasan pulang, dengan mata yang memerah. Bahkan mukena tak sempat aku buka. Dia mengedor pintu dengan keras dan tanpa sabar. Padahal ia tahu, adzan maghrib baru saja usai berkumandang. "Aku baru selesai sholat, Bang," jawabku setelah pintu terbuka. Tapi yang di tanya bukannya menjawab malah membanting pintu, dan menarik tanganku ke kamar. "Sholat katamu, heh?!" Nada suaranya tinggi dan berat, "percuma kamu sholat kalau kamu nggak bisa memperlakukan mertuamu dengan baik," sentaknya menarik mukenaku hingga lepas. Aku terkejut, dadaku bergemuruh dengan detak jantung yang tak beraturan. "Kenapa Abang kasar begini?" tanyaku dengan air mata yang mulai menggenang. "Kenapa katamu? Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu perlakukan Ibuku seperti ini, Mir!" bentaknya lagi, "aku tak akan kasar jika kamu tidak mengasari Ibuku duluan." Air mata mulai jatuh tanpa kuminta. Bang Hasan tidak pernah semarah dan sekasar ini sebelumnya. Racun apa ya
Suara ponsel yang berdering membangunkanku dari alam mimpi. Dengan mata yang masih setengah terbuka, aku meraba bagian bawah bantal untuk mencari ponselku. Tertera nama Ratih, segera kusentuh ke atas layar berbentuk persegi empat tersebut lalu menempelkannya ke telinga. "Waalaikumsalam Tih, iya, oke." Ratih menelpon untuk mengingatkanku ke pabrik hari ini. Kulihat jam di ponsel, sudah jam tujuh ternyata, aku sedikit kesiangan. Usai sholat subuh tadi aku memang kembali merebahkan diri, tidak menyiapkan sarapan seperti biasa. Rasanya badanku sakit semua, dan tentunya dengan mata yang sembab serta hidung yang memerah. Bang Hasan tidak terlihat, pun motornya, entah jam berapa dia keluar rumah. Mungkin pergi bekerja, mungkin juga ke rumah Ibunya, aku tidak lagi peduli. Memang semalam aku memilih tidur di kamar belakang guna menghindari pertengkaran yang semakin menjadi, juga menghindari mendengar maaf dari Bang Hasan. Rasanya hatiku sudah hambar. Pelan aku membuka pintu kamarku, ter
Aku pulang ke rumah dengan tubuh yang lelah, tapi perasaanku tenang karena rasanya dengan bekerja membuat aku lebih bersemangat dan sejenak melupakan semua beban dan masalahku. Namun, ternyata ketenangan itu harus terusik dengan hadirnya sosok yang sangat ingin aku hindari. Ibu kini sudah berdiri di depan rumahku dengan wajah yang entah seperti apa. "Kamu dari mana, hah? Suami kerja bukannya di rumah, malah keluyuran. Nggak amanah!" ucapnya ketus. Aku memilih diam dan berlalu begitu saja di depan Ibu, mengambil anak kunci, lalu memutar knop pintu. "Kamu dari mana Mira?" tanya Ibu lagi sembari mengikuti langkahku di belakang. Aku tetap tak bergeming, kubuka pintu kamarku dan cepat kututup kembali, aku tak ingin kecolongan kedua kali seperti kemarin karena membiarkan Ibu masuk ke kamarku dan berakhir dengan berpindah tangannya empat lembaran merah dari dompetku. Suara bantingan pintu rupanya membuat Ibu mulai kesal. "Nggak ada sopannya ya kamu ini, dosa apa aku punya mantu kayak k
Pov HasanTubuhku menegang, tungkai kaki serasa lemah, rasanya aku sungguh tidak kuat menopang tubuhku. Perempuan yang baru kunikahi meminta berpisah. Ucapannya berputar-putar bak kaset rusak yang terus memenuhi rongga kepala.Setelahnya, tiada lagi sorot mata nan teduh itu untukku, pun ketika kakinya berdarah, aku amat mencemaskannya namun yang kulihat hanya pandangan kebencian yang sangat meluap padaku. Mira, menginginkan perpisahan. Bagaimana mungkin dengan mudahnya ia meminta hal itu. Itu sama halnya dengan ia memintaku untuk melawan surgaku, Ibu.Dan itu tidak akan pernah terjadi. Aku takkan pernah melepaskanmu Amira.Aku masih menunggu, menunggu Amiraku masuk kembali ke kamar kami, kamar dimana biasanya kami bersenda gurau, dan bercengkrama bersama. Rasanya masih minggu yang lalu kamar ini menjadi saksi bisu dimana aku meluapkan rasa cinta dan sayangku pada Mira. Ketika itu, kukatakan pada Mira aku ingin mempunyai banyak anak darinya, pun berharap dapat menua bersama dimana aku
"Mira, jangan tinggalkan Abang, Abang minta maaf. Abang janji tidak akan lagi menyakitimu," Bang Hasan menghambur kepelukanku ketika aku baru saja membukakan pintu, dia menangis tersedu, sembari terus memohon. Aku hanya diam di tempat, masih bingung dengan apa yang terjadi. Bang Hasan sungguh terlihat kotor dan berantakan. Wangi parfum dan keringatnya telah menjadi satu. Pelan kutarik Bang Hasan untuk menatapku. "Abang kenapa?" tanyaku. Yang di tanya malah diam saja. "Kenapa begini?" tanyaku lagi sembari menilai Bang Hasan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kamu tadi kemana Mir, mau meninggalkan Abangkah? Abang kesana kemari mencarimu." Nada suaranya terdengar cemas. "Awalnya iya, tapi setelah ke rumah Ratih, Ratih memujukku untuk jangan gegabah. Akhirnya aku pulang dan berganti baju lalu ke pabrik. Aku bekerja hari ini," jawabku sedikit berbohong. "Kamu mau tinggalkan Abang awalnya?" tanya Bang Hasan sembari menatap mataku, dalam. "Iya, aku nggak bisa lagi hidup dengan o
POV Ibu Aku berjalan pulang dengan menghentak-hentakkan kaki. Entah kemana luapan emosi ini akan aku lepaskan. "Dasar menantu sial, menantu tidak tahu diri, menantu kurang ajar, sudah berani dia padaku sekarang. Rasanya aku ingin menampar lagi mulut lancangnya itu. Awas saja nanti yaa, pasti akan kubalas." Sepanjang jalan gang rumah Hasan aku terus saja meracau, aku sungguh kesal pada si Mira. Padahal aku kesana hanya menanyakan dia darimana, mengapa tidak ada di rumah saat suaminya pulang bekerja dengan niat ingi mengajarinya menjadi istri yang baik agar di sayang suami, tapi dia malah mengusirku dari rumah Hasan. Kemarin dia menjelek-jelekan Linaku dan mengatai anakku pencuri, dan mana aku tahu jika Lina meminjam barang-barang Mira. Harusnya dia menjelaskan baik-baik bukan malah menuduh Lina mencuri. Dan sekarang dia malah mengusirku dari rumah anakku sendiri. Keterlaluan. Kupijit pelan pelipisku yang semakin terasa sakit, apalagi jika mengingat kejadian tempo lalu. Ah ... ak
Hari ini aku bekerja di antar Bang Hasan, setelah mengantarku Bang Hasan langsung kembali ke rumah, katanya hari ini ia masuk shift siang.Artinya sore nanti aku akan pulang sendiri."Hati-hati bekerjanya ya. Yang tulus. Niat bekerja untuk keluarga, bukan untuk macam-macam," pesan Bang Hasan yang bagiku lebih ke ultimatum. Kuputar bola mataku, jengah."Hmmm keluargamu iya," gumamku pelan.Kuminta tangan Bang Hasan, lalu kuarahkan ke kening. "Hati-hati Bang."***"Mira, ke ruangan saya ya," pinta Pak Saddam"Iya Pak, segera." Aku pun beranjak menuju ruangan HRD."Ada apa ya Pak." tanyaku setelah duduk."Tidak ada, tanda tangan ya. Saya sudah berbicara pada Pak Rezi, kamu di kontrak untuk dua tahun pertama. Tidak ada masa training."Aku mengerutkan dahi, heran. Mengapa bisa?"Gaji kamu Rp 5.000.000,00 perbulannya," sambung Pak Saddam lagi.Aku kini terkejut."Heran? Kaget? Ini keputusan Pak Rezi," jawab Pak Saddam tersenyum.Pak Saddam menyodorkan selembar kertas dan pena padaku. "Tanda
Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma
Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a
Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku
Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.
Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,
Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah
"Memang kurang ajar itu, mantan adik iparmu, Mir," ucap Ratih begitu kami masuk ke dalam mobil."Entahlah, Tih. Terserahnya saja." Hanya itu yang bisa kuucapkan menanggapi ucapan Ratih."Kamu sih entah ngapain kemarin nolongin dia, kan udah aku bilang jiwa kepelakoran jalangnya itu udah mendarah daging. Syukur kemarin nggak bayarin biaya dia di rumah sakit kan? Kalau iya, apa nggak sakitnya hatimu jadi berkali lipat, Mir?"Ucapan Ratih terasa sangat menohok bagiku. Aku hanya diam tak menjawab. Semuanya benar."Kenapa diam? Benarkan yang aku bilang? Makanya lain kali dengerin aku," lanjutnya lagi."Udahan ah, Tih. Aku pusing dengernya tahu.""Iya, tapi lain kali dengerin omonganku. Semua yang aku bilang nggak ada yang melesetkan?""Iya, iya. Mama Lemon adiknya Mama Loren," jawabku lalu tertawa. Seketika Ratih melemparkan tisu ke arahku.
Pov LinaAku sedang menuju parkiran swalayan ketika dari kejauhan aku melihat, Mira, mantan istri Mas Hasan berjalan ke arah yang sama. Tampak ia sedang menenteng kantongan belanja yang banyak bersama temannya yang selalu ikut campur urusan orang, Ratih.Mereka terlihat tertawa cekikin entah apa yang lucu.Awalnya aku sudah mencoba menahan amarah, tapi melihat dan mendengar tawa mereka selepas itu, membuatku merasa sakit. Mereka seperti sedang menertawakan nasibku kini. Entahlah. Kuhampiri mereka dengan cepat sebelum mereka masuk ke mobil.Kutarik lengan si Mira kasar menghadap ke arahku. Dan, plak! Ia menatapku dengan terkejut."Puas kamu, sekarangkan, Mir! Ini maumu kan?!""Apa-apaan kamu, Lin!""Apa-apaan katamu? Masih nggak sadar ya, nasibku begini itu karenamu! Kamu kan yang sebarin videoku?!" teriakku kua
Aku menyetir mobil dengan pikiran yang terbagi. Sesekali melihat ke arah Kainan yang sedang asyik menggigiti play hand ditangannya. Dia tampak anteng duduk diatas car seat pemberian orang tua Pak Rezi. Dengan car seat ini aku sungguh terbantu. Bisa membawa Kainan kemanapun tanpa harus menyusahkan orang lain karena menitipkannya.Masih tidak habis pikir mengapa Ibu berubah drastis menjadi sangat baik padaku. Bahkan sampai memeluk. Jika yang melakukan itu adalah Mama Pak Rezi, aku tak akan heran, tapi Ibu? Jangankan memeluk dan menangis dengan cucuran air mata, melihatku saja selama ini dengan pandangan yang jijik seolah aku adalah kotoran yang najis baginya. Apa Ibu berubah karena semua kejadian demi kejadian yang terjadi? Secepat itu? Mungkinkah bisa dalam waktu singkat Ibu menghilangkan sifat dan sikapnya yang sudah mendarah daging itu? Atau nanti jika keadaan membaik akan kambuh lagi? Ah, entahlah.Suara klakson