Sosok tersebut muncul dari balik air terjun, tubuhnya yang tinggi dan besar, serta dipenuhi bulu di sekujur tubuh. Ekornya yang panjang, melilit di lingkaran perut. Namun, kali ini sosok itu terlihat sedikit berbeda.
Aku melihat gigi taringnya sangat panjang hingga melampaui dagu. Juga lidahnya yang selalu menjulur keluar dan berair liur yang tak henti-hentinya menetes.Aku mengenal sosok itu. Dia yang pertama kali kulihat di kamar tengah, saat awal sampai di rumah kontrakan. Sosok itu juga yang membuat Ina ketakutan hingga menangis histeris kala itu.Meskipun dalam jarak sekitar dua ratus meter dari air terjun, aku masih bisa melihat dengan jelas sosoknya dari kejauhan.Kemudian, sosok itu membuka mulut. Lubang mulut itu menganga sangat lebar, aku sempat begidik ngeri saat melihatnya menganga itu, mungkin bisa saja melahap gadis yang tengah terikat berikut dengan altarnya. Sangat besar!Tubuhku secara otomatis ingin segera beranjak maju untuk menolong gadiSetelah melihat gambaran yang ditunjukan oleh Nenek, perlahanbayangan tersebut memudar. Begitu juga dengan kesadaranku yang tiba-tiba mulai hilang, meski sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap sadar karena kulihat Nenek sedang berucap sesuatu padaku."Nak, perjalanan kita akan Nenek cukupkan hingga batas ini. Terima kasih sudah hadir di rumah Nenek. Nenek tahu akan kedatangan seorang pemuda yang nantinya akan datang. Dari pertama mendengar kabar tersebut, Nenek tak sabar untuk menunggu kehadiranmu. Dan, kamu sudah berada di sini bersama Nenek. Nenek sangat bahagia bisa bertemu denganmu," ucap beliau dibarengi senyuman. "Jangan lupakan janjimu ya, Nak, temui Bunda Kandita saat kamu kembali nanti dan sampaikan salam Nenek pada beliau begitu kamu bertemu dengannya," tutupnya.Setelah Nenek selesai berkata demikian, tubuhku seakan tertiup angin yang kencang. Angin yang sama saat pertama kali memasuki gua. Tubuhku terhempas jauh. Masih sempat aku melihat air sun
Aku masih tak ingin memalingkan pandangan. Aku tahu, dari hawa kemunculannya saja sudah membuat bergidik ngeri. Seketika, bulu kudukku meremang. Sosok ini benar-benar membuatku takut. Apalagi, saat mendengar suaranya yang tak kalah menakutkan. Benar-benar sangat mengganggu."Hhkk ... hhhkkk ... hhhkkk ...." Suaranya seperti tertahan oleh sesuatu.Sudut mataku kemudian menangkap sekilas sosok itu. Berwujud wanita berseragam hitam, menggunakan rok dan baju lengan pendek, biasanya aku mengenal sosok itu dengan sebutan hantu Noni Belanda. Namun, yang membuatku tambah bergidik ngeri adalah saat melihat sekilas potongan kepala yang dia letakkan di atas kedua pahanya.Kuberanikan diri untuk menoleh pada sosok itu dan tepat di sebelahku, ada sesosok hantu wanita berkepala buntung. Lehernya yang putus dan potongan-potongan daging kecil yang masih menempel, terus-menerus mengeluarkan darah segar.Seragam hitam yang dia kenakan pun tak luput dari noda darah yang tak
Aku hanya mengangguk secara perlahan, seolah-olah setuju, lalu sosok wanita cantik berambut panjang itu langsung tersenyum setelah mendapat persetujuanku.Dia mendekat, melayang di atas ranjang, lalu duduk bersimpuh tepat di samping lututku. Sosok wanita cantik itu menolehkan kepalanya perlahan padaku. Meskipun parasnya sangat cantik, tetapi aku tetap bergidik ngeri.Apalagi dengan kehadiran mereka bertiga dalam waktu yang bersamaan, membuat suasana di dalam kamar ini semakin terasa sangat mencekam.Pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Seperti enggan jika keberadaan mereka diketahui oleh teman-temanku yang lain. Sempat tebersit dalam pikiran, mereka akan menunjukkan bagian dari kisah masa lalu juga, layaknya apa yang biasa dilakukan oleh Nenek saat bersamaku di dimensi lain beberapa waktu lalu. Namun, ternyata dugaanku salah.Wanita berparas cantik itu kemudian menggerakkan jemari tangan, seolah-olah memberi isyarat kepada dua sosok lainnya.
Aku langsung memutuskan untuk beranjak dari kamar saat itu. Meskipun, dengan susah payah aku berusaha menahan rasa sakit di bagian pinggang dan kedua lengan saat mencoba bangkit.Kemudian, aku mencoba berdiri. Namun, baru saja beberapa langkah, tubuhku seketika lemas. Aku tak mampu menahan beban tubuh lagi. Aku langsung jatuh di lantai kamar itu. Tubuh sangat lemas karena efek dari luka di bagian kedua lengan dan pinggang yang menghabiskan banyak darah.Meski dalam sakit, pikiranku masih terpaku pada rasa khawatir akan nyawa salah satu teman yang sedang terancam saat ini. Aku mencoba memanggil teman yang ada di luar kamar, sambil terus merangkak."Maaak ... Maaak ...."Entah mengapa, hanya nama Shelly yang ingin kupanggil saat itu. Tak lama kemudian, Shelly dan Asih kembali memasuki kamar."Loh, Dre, kamu kenapa ada di bawah begitu?"Shelly terkejut melihatku terus merangkak layaknya bayi yang sedang belajar berjalan. Kemudian, mereka langsu
"Eh iya, Kak. Kok, Kak Naya sudah ada di sini? Sejak kapan?" tanyaku sembari mencoba bangkit."Sudah, Kak, jangan paksakan dulu. Kakak tiduran saja, biar saya yang merawat lukanya," pinta Bidan Naya sambil menahan tubuhku. Dia mencegahku untuk bangun.Aku hanya menurut saja, kurebahkan kembali tubuh yang baru setengah bangkit. Kemudian, mataku menatap lekat Bidan Naya, bidan muda yang kini tengah merawat lukaku.Parasnya yang manis dan cantik, serta senyum indah yang selalu dia tunjukkan dari bibir mungilnya, mampu membuatku jatuh hati.Perasaan bahagia tak mampu kubendung lagi. Hingga tanpa sadar, aku malah memandangi bidadari tak bersayap yang ada di hadapanku saat ini sambil tersenyum.Ujung mata Bidan Naya kulihat sedikit melirik padaku. Sepertinya, dia menyadari bahwa saat ini aku sedang memandanginya sambil tersenyum."Kenapa senyum-senyum begitu, Kak?" tanya Bidan Naya membuyarkan lamunanku.Aku yang sedari tadi menatapnya, sek
"Jadi bagaimana, Kak? Besok sore kita jadi berangkat ke Ambon?" tanya Bidan Naya memastikan sekali lagi."Iya boleh, Kak. Tapi saya bicarakan dulu dengan teman-teman ya, Kak. Supaya malam ini kita bisa siap-siap untuk keberangkatan besok sore," sahutku dengan nada setengah gembira."Baiklah kalau begitu, Kak. Saya pamit sekarang, ya. Biar saya pun bisa segera membereskan barang-barang di rumah dinas. Jadi, besok sore bisa langsung berangkat. Kebetulan, besok sore ada jadwal kapal juga yang mau berangkat ke Ambon," tutupnya sambil tetap menunjukkan senyum manis.Senyumnya mampu membuatku lupa akan luka yang kuderita saat ini, meski hanya sejenak saja. Namun, sesaat sebelum Bidan Naya keluar dari kamar, di luar dugaan, Naya bergerak lebih dekat dengan tubuhku. Wajahnya yang putih bersih itu mulai mendekati wajahku. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya, dan tak berani menduga-duga. Naya mengecup lembut keningku. Setelah itu, dia tersenyum lalu pergi meninggalkan
Suara azan Magrib mulai berkumandang. Aku dan keempat teman mulai bersiap untuk pergi ke masjid.Kami pergi ke masjid di sekitaran tempat tinggal, meskipun yang memasuki masjid hanya berempat. Karena dari kami, hanya Asih yang non muslim. Asih memang satu-satunya dari kami berlima yang beragama Katolik. Namun, hal itu tidak mengganggu karena kami sudah terbiasa menjunjung tinggi toleransi, apalagi soal agama.*Selesai salat berjemaah, kulihat Shelly dan Ina masih mengobrol di area khusus para jemaah wanita. Sedangkan aku dan Rafli, duduk di depan masjid sambil merokok.Sesekali, kami melihat para jemaah lain yang berjalan keluar dari masjid. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah dan selalu menampilkan senyum saat berlalu melewati kami berdua."Dre, biasanya, papa Mirna selalu sholat di sini ‘kan?" Rafli bertanya padaku, kepalanya menoleh ke arah para jemaah yang masih ada di dalam masjid."Ya, mungkin. Soalnya, tadi saya sempat ber
Malam itu, kami menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai jam 21.00 waktu setempat.Setelah puas dengan malam dilalui bersama di pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang.Di pertigaan jalan, aku yang hendak mengambil jalur kiri, Naya segera menarikku ke kanan. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya ke arah yang ada di jalur kanan. Arah rumah Naya."Oh ... jadi sekarang, kamu sudah melupakan kita semua dan berniat memilih Kak Naya ya, Dre?" Shelly mengucapkan hal itu sambil cengar-cengir."Kalau Mas Andre mau temani Bu Bidan, juga tidak apa-apa. Antarkan saja dulu Bu Bidan sampai rumahnya. Nanti Mas Andre tinggal menyusul kami," sahut Ina sambil tersenyum. Dia seakan mengerti dengan situasi, saat melihatku bersama Naya."Kalau begitu, kami duluan ya, Mas. Hati-hati jangan sampai bu bidannya lecet, ya," ucap Asih dengan tawa ditahan.Sedangkan Rafli, hanya mengangkat kedua alisnya padaku. Seakan memberi tanda bahwa dia setuju.Lalu,
Sebulan kemudian, aku mengunjungi Pulau Morotai. Sesampainya di sana, aku langsung mengikuti petunjuk berdasarkan pengetahuan yang kumiliki agar bisa sampai di tempat tujuan.Memang seminggu setelah pemakaman almarhumah Shelly, di suatu malam aku bermimpi didatangi oleh sang Nenek.Beliau yang menjagaku selama berada di pulau Bisa lalu, dan kali ini beliau datang kembali melalui mimpi."Nak, ada sesuatu yang ingin Nenek sampaikan padamu. Nenek harap kamu mau melakukannya." ujar sang Nenek"Permintaan apa itu, Nek?" tanyaku."Jika kamu hendak pulang ke kampung halaman dan berniat meninggalkan kepulauan halmahera ini, sebelumnya tolong kembalikan buah pinang pemberian dari suku moro yang pernah kau terima beberapa waktu lalu. Itu bertujuan agar suatu saat nanti, kamu tidak terikat dengan kepulauan ini. Dan juga agar kamu tidak mendapatkan gangguan saat perjalanan pulang nanti," ujar beliau menjelaskan.Aku tak pernah mau membantah
Drrtt ... drrtt ... drtt ....Ponselku bergetar cukup lama. Aku sempat mendengarnya beberapa kali berdering. Namun, tak kuhiraukan.Kuangkat tangan kanan dan melihat jam telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bangkit, melihat sekilas ada telepon masuk tetapi tak kuangkat. Membiarkan ponsel tetap berdering. Aku beranjak ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat ke arah cermin. Mataku sembap, karena menangis tadi malam. Setelah selesai mandi, barulah aku meraih ponsel. Namun, kali ini ponselku sudah berhenti berdering.Ada empat belas panggilan tak terjawab. Saat kubuka, ternyata panggilan dari bang pemilikspeedyang mengantar Shelly kemarin.Loh, ada apa Abang itu meneleponku sampai empat belas kali seperti ini?Karena penasaran, akhirnya kutelepon balik nomornya. Suara tersambung langsung terdengar. Berselang beberapa detik, teleponku diangkat."Halo, Bang. Ada apa ya menelepon saya? Tadi s
Masih dalam posisi mematung, aku berharap semoga perjalanan Shelly kali ini tak mendapat gangguan apapun.Aku berdoa sembari memejamkan mata, diiringi suara deburan ombak kecil yang menghantam batu karang kecil yang berada persis di bawah dermaga.Samar-samar, aku melihat bayangan si Nenek berdiri tepat di sebelah tempatku berdiri.Namun saat aku menoleh ke arah beliau, Nenek hanya menampilkan tatapan sayu lalu beliau menepuk pundakku beberapa kali dengan lembut kemudian beliau pun menghilang dari pandangan.Entah apa maksud dari beliau, tapi dari raut wajah yang ia tunjukan padaku, seolah-olah ada kesedihan yang akan menimpa diriku.Aku hanya berharap, bukan kejadian buruk yang menimpa perjalanan Shelly. Biarlah aku saja yang menerima kesedihan tersebut. *Saat telah berada di depan pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon. Kukeluarkan,
Malam itu aku tak bisa berbuat banyak saat hendak mengusir makhluk yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kami yang sedang terlelap.Hingga saat Naya memegang lenganku dan mengajakku untuk segera beristirahat, aku sempat terkejut karena saking fokusnya memperhatikan makhluk mengerikan itu.Namun saat aku mencari keberadaan makhluk itu, ia sudah tak ada di tempatnya semula.Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sembari dalam hati tetap berharap agar kami semua selamat sampai tujuan esok hari *Saat turun dari pelabuhan, kami mulai berpisah dengan Naya. Meski terasa berat dan tak rela jika harus berpisah dengannya saat itu, aku berusaha menutupi perasaan.Sempat sebelumnya kami saling meminta nomor ponsel di di atas kapal, supaya tetap bisa saling terhubung satu sama lain meski jarak telah memisahkan.Aku bersama kelima temanku lanjut pergi menaik
Saat hari sudah mulai gelap dan senja berganti menjadi malam. Semilir angin laut yang terasa, makin menusuk tubuh.Aku mengajak Naya kembali ke dalam dek, tempat di mana kami akan beritirahat selama pelayaran ini. Karena memang saat berada di dalam kapal, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, selain beristirahat hingga kapal yang kami tumpangi ini sampai di tujuan.Aku berjalan bergandengan tangan bersama Naya, turun menyusuri anak tangga satu demi satu. Lalu, berjalan beriringan melewati lorong di dalam dek ini sembari tetap bergandengan tangan.Sesampainya di ranjang tempat kami beristirahat, aku merasa heran. Mengapa barang bawaanku tiba-tiba dipindahkan?Sepertinya, ini memang sengaja dilakukan agar aku bisa tidur bersebelahan dengan Naya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum saat menghampiri ranjangku. Kulihat, keempat temanku yang lain termasuk Shelly, sudah tertidur.Entah mereka pura-pura tidur atau memang sebetulnya sudah benar-benar pulas.&n
Setelah selesai mengobrol dengan mama Mirna, kami berdua sepakat untuk berpamitan. Kami memang tak memberi tahu bahwa saat ini, kami tinggal sementara di rumah dinas Bidan Naya.Yang kami utarakan adalah salam perpisahan. Sembari mengucapkan terima kasih dan berpamitan, lalu pergi meninggalkan rumah itu.Aku dan Shelly hanya mengobrol ringan selama dalam perjalanan menuju rumah dinas Bidan Naya. Sesampainya, barulah di situ kami bisa benar-benar melepaskan lelah dan ketegangan.Rumah dinas ini lumayan asri, meskipun ukuran pada umumnya tak terlalu besar. Cukup untuk jadi tempat bernaung sementara.Sembari menunggu kapal yang akan bersandar di dermaga pelabuhan sore itu, kami sepakat untuk beristirahat karena memang tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat ini, selain beristirahat menunggu sore datang menjelang.*"Silakan, Kak, pakai saja kamar yang ada. Bahkan jika Kakak mau, silakan tidur di kamar saya," ucap Bidan Naya ramah."Iya, terima kasih
Setelah sampai di halaman rumah, kulihat ketiga temanku masih setia menunggu di teras rumah. Rafli yang melihat kedatanganku, saat itu langsung bertanya, "Loh, Shelly di mana, Dre?""Masih di rumah papa Mirna. Tadi kami berdua datang ke sana hanya ada Mirna yang sedang bermain. Papa Mirna dan istrinya sedang tidak ada di rumah. Kan tidak mungkin juga kita titipkan kunci rumahnya pada anak kecil," jawabku panjang lebar.Ina yang saat itu sedang tidur di pangkuan Rafli, mendadak langsung menoleh ke arahku, lalu bangkit dari posisi tidurnya."Mirna usia berapa, Mas Andre?" tanya Ina singkat."Yah, sekitar usia 3 tahunan begitulah. Masih lucu-lucunya anak itu," jawabku sembari beranjak menuju pintu rumah."Jadi kita bagaimana sekarang?" Asih pun mulai bertanya padaku, memang sedari tadi dia hanya bisa diam sambil menyimak pembicaraan."Kita bawa saja dulu barang-barang ke rumahnya Bidan Naya, sekalian menunggu di sana," jawabku seraya mengangkat tas ransel
Sesampainya di depan pintu rumah, kondisi rumah sudah cukup sepi. Halaman pun sangat hening. Namun, lampu teras rumah masih menyala terang hingga cahaya dari lampu tersebut cukup untuk menerangi hampir semua bagian halaman.Saat aku melangkah di halaman rumah, aura mistis mulai terasa membuat bulu kudukku meremang.Aku segera mempercepat langkah agar bisa segera sampai di depan pintu. Saat menggenggam gagang pintu, masih sempat kulihat ada bayangan putih berseliweran dari pantulan kaca jendela depan. Namun, aku tak mau terlalu menghiraukannya.Kubuka pintu, setelah masuk ke rumah, buru-buru kukunci pintunya. Sesegera mungkin berjalan ke arah belakang. Tempat di mana kamarku berada.Setelah mengucap salam, kubuka pintu kamar lalu masuk dan menguncinya. Sempat kudengar pula dari kamar sebelah. Tepatnya di kamar tengah, di mana Rafli dan Ina berada. Aku masih mendengar suara Rafli seperti tengah mengobrol dengan Ina. Mungkin, mereka masih ingin mengobrol sebel
Malam itu, kami menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai jam 21.00 waktu setempat.Setelah puas dengan malam dilalui bersama di pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang.Di pertigaan jalan, aku yang hendak mengambil jalur kiri, Naya segera menarikku ke kanan. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya ke arah yang ada di jalur kanan. Arah rumah Naya."Oh ... jadi sekarang, kamu sudah melupakan kita semua dan berniat memilih Kak Naya ya, Dre?" Shelly mengucapkan hal itu sambil cengar-cengir."Kalau Mas Andre mau temani Bu Bidan, juga tidak apa-apa. Antarkan saja dulu Bu Bidan sampai rumahnya. Nanti Mas Andre tinggal menyusul kami," sahut Ina sambil tersenyum. Dia seakan mengerti dengan situasi, saat melihatku bersama Naya."Kalau begitu, kami duluan ya, Mas. Hati-hati jangan sampai bu bidannya lecet, ya," ucap Asih dengan tawa ditahan.Sedangkan Rafli, hanya mengangkat kedua alisnya padaku. Seakan memberi tanda bahwa dia setuju.Lalu,