Kenshi tak berhenti mencuri pandang pada Rinai. Bibir pria itu juga tak berhenti tersenyum dan bersenandung, bahkan tangannya terus menggenggam si wanita, hanya dilepas saat menggerakkan tongkat persneling mobil. Sepanjang Kenshi hidup hingga sekarang, ini adalah hal kedua yang membuatnya benar-benar bahagia. Pertama, saat dia mengetahui hanya seorang anak angkat, tetapi Kusuma, Riyad, dan sang ayah tetap memperlakukannya dengan sangat baik, kasih-sayang di dalam keluarga tersebut sangat melimpah-ruah. Mungkin dia tak akan pernah tahu jika Kusuma tak memberitahunya dan Kenshi sangat bersyukur sang ibu tak menutupi kebenaran.Yang kedua adalah, saat sang Mama memberi restu atas pilihannya memilih Rinai untuk dijadikan pasangannya. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Sungguh! Kenshi tak menginginkan apa-apa lagi karena sangat yakin, bersama Rinai hidupnya bakal baik-baik saja."Napa, sih, senyum-senyum mlu," tegur Rinai lembut. "Aku senyum karna aku bahagia sayang," jawab Kenshi den
Rinai menatap jalinan tangannya dengan Kenshi. Dia berusaha mengikuti langkah sang pria yang agak cepat menyusuri selasar rumah sakit. Tadinya wanita itu berpikir kejadian yang sama akan terulang. Kenshi lebih mementingkan Nailah dan meninggalkannya begitu saja di toko. Namun, dugaannya salah. Sang pria menawarinya untuk ikut ke rumah sakit. Awalnya Rinai menolak, tetapi saat pria itu berkata, tak ada orang lain yang menyemangati dan menemani Nailah saat dia kesakitan di rumah sakit, rasa kemanusiaan Rinai terketuk. Bagaimana pun dia seorang wanita yang kelak akan menjadi seorang ibu. Dia juga beberapa kali pernah menyaksikan proses persalinan. Dia tahu bagaimana beratnya perjuangan seorang ibu dan di saat seperti itu, sang ibu butuh dukungan semangat dari keluarganya."Rin, nanti kamu yang temani Nailah di dalam, ya?" pinta Kenshi membuat Rinai mengangkat pandangannya."Iya." Rinai menjawab pendek seraya tersenyum. Mendengar itu Kenshi menggamit pinggang Rinai dan mengecup punggung
Rinai tersenyum menatap Kusuma yang sedang menimang Adelia, bayi yang baru saja dilahirkan Nailah kemarin. Binar bahagia terlihat jelas dari mata wanita tersebut, yang tak jemu menatap wajah sang bayi. Memang, Adelia menyalin semua rupa dari Riyad hanya bibirnya saja yang mirip dengan Nailah. Kelahiran anggota baru tersebut juga disambut gembira oleh Kenshi, pria itu tak henti mengucapkan terima kasih padanya karena telah mendampingi Nailah. Meski ikut bahagia, tetapi ada ketakutan dalam diri Rinai, apakah setelah ini sang pria akan berubah haluan lagi? Apalagi dengan Adanya Adelia, pasti semua perhatian akan tertuju pada bayi cantik tersebut.Rinai merasa konyol harus bersaing dengan seorang bayi. Namun, yang menjadi kekhawatirannya adalah Nailah, dia punya seribu cara untuk mendekati Kenshi. Apakah nanti dia tak akan memanfaatkan bayinya untuk menarik perhatian sang pria? "Apa yang kamu pikirkan?" Suara Kenshi menyadarkan Rinai yang masih saja berseteru dengan pemikirannya."Enggak
Dari dalam mobil, Irene memperhatikan rumah semi permanen yang ada di seberang jalan. Matanya mencari-cari sosok yang puluhan tahun lalu dia percaya untuk meleyapkan seseorang. Sebenarnya, dia tak ingin lagi menggali ingatan masa silam yang amat sangat kelam. Namun, kemunculan Kenshi dengan raut yang menyalin semua rupa seseorang yang sangat dia benci, membuat benak wanita tersebut mengorek kembali peristiwa belasan tahun yang lalu.Apa wanita itu tak melakukan apa yang dia perintahkan? Apa Kenshi adalah bayi yang dia buang dulu? Akan tetapi, bagaimana pria itu bisa masuk ke dalam keluarga Kusuma? Semua pertanyaan itu berbondong-bondong masuk ke benaknya meminta jawaban. Namun, sekuat apa pun dia mencari, tetap tiada titik terang. Satu-satunya yang bisa menjawab rasa penasarannya adalah wanita itu. Wanita yang menjadi saksi lahirnya seorang anak hasil pengkhianatan. Luka di hati Irene kembali terkoyak seiring sakit yang menikam dada. Meski puluhan tahun berlalu, tetapi luka itu tak p
Suara petir mengejutkan Kusuma hingga kertas di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai. Dari balik kaca kamar dia bisa melihat angin di luar berembus sangat kencang, hingga menerbangkan daun-daun jambu kering yang tumbuh di depan rumahnya. Awan kelabu pun berarak memenuhi langit, tak lama gerimis mulai turun, sepertinya langit tak kuat menahan hingga menumpahkan kandungannya ke bumi.Seperti halnya cuaca yang hujan disertai angin kencang, begitu pula suasana hati Kusuma. Setelah pertemuan dengan Irene kemarin, dia mulai mencurigai sesuatu. Kalimat terakhir dan perubahan wajah wanita tersebut membuat kecurigaannya semakin menguat. Apalagi setelah mencermati alamat di kertas yang sengaja diletakkan di sana. Alamat tersebut pernah ditelusuri Kusuma, tetapi hanya tanah kosong yang dipagari tembok beton tinggi dan tak seorang pun tahu siapa pemiliknya. Namun, anehnya tanah itu terlihat sangat terawat, sebuah rumah kecil berdiri di atas tanah tersebut, meski melihat dari luar pagar, wanita
Kenshi mendongak saat pintu ruang kerjanya dibuka dari luar. Matanya menangkap sosok Nailah, wanita itu perlahan berjalan mendekat. "Ken, aku mau bicara sebentar. Kamu ada waktu?"Kenshi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan melipat tangannya di dada. "Bicara apa? Ini sudah malam, bagaimana jika Arina bangun?""Dia baru saja tertidur. Aku ingin bicara sebentar saja. Emm, ini tentang kita."Kedua alis Kenshi terangkat mendengar Rinai menyebut kata kita. Sepertinya wanita itu masih mengharapkannya. "Ada apa dengan kita?"Nailah memangkas jarak lebih dekat. Kali ini mereka hanya dibatasi meja kerja Kenshi. "Ken, aku dengar kamu mau menikahi Rinai, kamu serius?""Tentu saja aku serius, bahkan tak pernah seserius ini," jawab Kenshi lugas.Raut kecewa terlihat jelas di wajah Nailah, dia bergerak memutari meja kerja lalu mencoba meraih tangan sang pria. Tapi, Kenshi dengan cepat menepis lalu berdiri, dia membentangkan jarak dengan Nailah."Ken, jangan lakukan itu. Kamu tau kalau a
Nailah memperhatikan dari jarak yang tidak terlalu jauh interaksi Rinai dan Kusuma. Tak ada lagi kecanggungan yang terlihat di sana. Sikap mertuanya itu berubah 180 derajat terhadap Rinai. Wanita nomor satu pemilik Riyad Grup itu bersikap sangat hangat, senyum tak henti mengulas di bibir mereka, sesekali terdengar gelak tawa meriuhkan ruang keluarga tempat mereka berkumpul. Ada yang berdenyut nyeri di dada Nailah, begitu cepatnya angin kemenangan berpihak pada Rinai. Dia yang awalnya sangat yakin mampu merebut perhatian Kusuma dan Kenshi, harus berpikir ulang setelah pria itu balik mengancamnya. Menyakitkan memang, saat hati mulai menyadari seseorang yang kita abaikan ternyata adalah orang yang benar-benar kita cintai. "Eh, Nai, liatin apa?" Suara yang terdengar dari belakang punggungnya membuat wanita tersebut menoleh. Sosok Kenshi terlihat rapi dengan rambut yang disisir kebelakang. Mengenakan T-shirt putih dan celana jeans selutut, membuat penampilan pria itu santai tetapi sangat
Kenshi tak melepaskan pandangan dari pintu ruang operasi tempat Rinai mendapatkan pertolongan. Napas pria itu seolah-olah tersendat menunggu kapan tindakan tersebut selesai. Dua jam, belum satu pun dokter dan timnya keluar dari ruangan itu. Dia selalu berjalan mondar-mandir untuk membunuh waktu, ingin rasanya mendobrak masuk dan melihat langsung operasi itu. Dia ingin menggenggam tangan Rinai dan berbisik di telinganya untuk bertahan, dia tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada wanitanya. "Dia akan baik-baik saja." Kusuma mengelus punggung tegap Kenshi dengan lembut, sorot matanya memancarkan kasih sayang, berharap bisa menenangkan putranya."Aku takut, Ma. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Rinai, aku enggak bisa kehilangan dia, Ma." Lirih suara Kenshi berkata, tak ada lagi ketegaran seorang pria di wajahnya. Dia seperti seorang bocah yang ketakutan mainan kesayangannya hilang."Percaya sama Tuhan. Rinai wanita baik, dia pasti selamat. Kita harus banyak berdoa."Hati Kusuma
Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
"Gimana keadaan Rinai?" Nailah bertanya lewat saluran telepon.Kenshi melirik sebentar ke arah brankar rumah sakit, di mana Rinai terbaring lemah. Di tubuh wanita itu terpasang infus untuk menyalurkan cairan."Dia baik-baik aja. Dokter bilang dia mengalami shock saja.""Aku harap dia segera siuman. Kasihan dia, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kadang, kita enggak butuh mendengar keluhan, cukup menatap ke dalam mata, kita sudah bisa melihat seperti apa keadaan hatinya. Ada kalanya, wanita yang terlalu banyak senyum dan terlihat kuat, adalah wanita yang sangat rapuh."Kenshi bergeming mendengar penjelasan Nailah. Dia sangat paham luka di dada Rinai, mengerti hancurnya hati wanita itu. Oleh karena itu dia bertekad untuk memperjuangkan lebih. Meski Rinai menolak sekalipun, dia akan akan memaksa. Sebab Kenshi yakin, jauh di hati sang wanita cinta untuknya masih sangat besar."Em, Nai, aku matikan telepon dulu. Sepertinya Rinai mulai sadar." Kenshi mengakhiri
Kenshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan menuju tempat tinggal Nailah tidak terlalu ramai. Kata-kata Nailah memantul-mantul di gendang telinganya. Rinai ... benarkah Nailah bertemu wanita itu? Setelah sekian lama mencari, membongkar setiap sudut kota, pulau, dan mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat tinggal Rinai, semua berakhir sia-sia.Rupanya, keputusan Nailah memilih tinggal di kota kelahirannya bertahun yang lalu, adalah takdir yang telah digariskan Tuhan. Di kota itulah ternyata wanita yang selalu Kenshi cintai, berada. Bagaimana bisa dia melewatkan kota tersebut, padahal hampir setiap akhir pekan Kenshi menyambangi rumah Nailah untuk bertemu Damian. Toko bunga, Kenshi mencurigai toko bunga yang sering dia lalui saat mengunjungi rumah Nailah. Setiap melewati toko bunga tersebut, dia selalu memelankan laju mobilnya. Melihat banyaknya bunga mawar dan lili ditanam di luar toko. Bunga-bunga itu favorit Rinai. Dia juga berujar dalam hati, bila
"Kamu sudah menemukannya?" Reinart merobek sepi yang membungkus ruang kerja Kenshi. Pria itu sengaja menemui adik tirinya itu kembali setelah pertemuan bisnis mereka selesai.Kenshi menggeleng pelan, dia masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang diletakkan oleh sekretarisnya. "Rinai seperti lenyap begitu saja. Sudah dua tahun, bayangannya saja tak pernah terlihat.""Apa mungkin dia ke luar provinsi?" tanya Reinart lagi. Kenshi meletakkan pulpelnya ke 'pen holder' setelah selesai dengan dokumen-dokumen tadi, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku sudah mencari ke seluruh tempat, tapi enggak menemukan. Enggak mungkin juga Rinai ke luar negeri. Aku udah meminta bantuan temanku yang bekerja di imigrasi, mengecek nama Rinai. Tapi, enggak ada."Reinart terdiam. Dia tahu usaha Kenshi cukup keras mencari keberadaan Rinai. Besarnya cinta sang adik membuat Reinart malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir bisa berkompetisi dengan Kenshi, sementara niat untuk
Waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Tetapi, lampu di perpustakaan yang merangkap ruang kerja Kenshi saat di rumah, masih menyala terang. Tiga cangkir kopi yang dihidangkan asisten rumah tangga telah tandas diminum semua. Sejak Rinai menghilang, pria itu membenamkan diri dengan bekerja siang dan malam. Baginya, tidur adalah siksaan, karena setiap tubuhnya rebah di pembaringan, wajah Rinai akan selalu terbayang. Begitupun setiap kenangan yang pernah ada. Semua seolah-olah mengorek dada Kenshi.Kenshi sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Rinai. Banyak detektif sudah dia sewa untuk menemukan keberadaan sang wanita, tapi sosok wanita tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Dua tahun ... selama itu Kenshi menahan kerinduannya. Makin lama cintanya pada Rinai semakin besar, berbanding lurus dengan rasa bersalahnya. Banyak kata pengandaian diujarkan si pria, tapi dia sadar tak bisa merubah apa pun.Tangan Kenshi meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Dia menekan tombol save aga
Pagi belum sempurna datang, walaupun ayam jantan bersemangat berkokok saling bersahutan. Sang surya masih enggan beranjak dari peraduannya. Dia membiarkan awan-awan hitam menyelubungi langit sisa hujan semalam. Pikirnya, manusia pasti masih asyik terlena di dalam selimutnya.Tapi, tidak bagi seorang wanita. Pagi-pagi sekali dia sudah mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sedikit gelap. Sesekali bertegur sapa dengan para pekerja yang berpapasan. Desa tempat wanita itu tinggal terkenal sebagai penghasil teh terbaik. Tak heran, di sepanjang jalan banyak kebun-kebun teh yang terhampar. Semakin terang, makin banyak terlihat aktifitas warga yang mencari nafkah sebagai pemetik teh. Rata-rata dari mereka adalah perempuan berusia tujuh belas tahun ke atas. Wanita itu menghentikan sepedanya saat melihat seorang gadis yang dia kenal sedang memetik teh. Dia mengambil map yang terbuat dari plastik bening dari keranjang sepedanya. Seperti tahu diperhatikan, sang gadis mengangkat pandanganny
Rinai mengusap pipinya yang terasa basah. Entah bagaimana caranya air matanya bisa jatuh begitu saja. Melihat Kenshi berdiri di hadapan, semua kisah mereka berputar di matanya. Rencana pernikahan dan membangun rumah tangga, serta memiliki banyak anak dihancurkan oleh pria itu.Susah payah Rinai menahan hatinya agar tak lagi merasakan sakit, tapi dia gagal. Bohong jika dia tak mencintai Kenshi. Jauh di relung hati, pria itu masih menempati tahta tertinggi. Kenshi masih menguasai pikiran dan juga dirinya. Namun, wanita itu mencoba logis. Kisah mereka terlalu rumit, jika dipaksa terus bersama, yang ada hanyalah rasa sakit berkepanjangan."Rin, boleh aku bicara?" Kenshi mencoba melepaskan hening yang membelit mereka berdua.Rinai tak menjawab. Wanita itu merapatkan cardigannya, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah."Apa kabar?" Kenshi merapatkan bibirnya kembali, dia merutuki lidahnya yang berucap tanpa kendali. Harusnya tak perlu bertanya kabar. Dia bisa melihat sendiri dari pena