Kenshi mendongak saat pintu ruang kerjanya dibuka dari luar. Matanya menangkap sosok Nailah, wanita itu perlahan berjalan mendekat. "Ken, aku mau bicara sebentar. Kamu ada waktu?"Kenshi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan melipat tangannya di dada. "Bicara apa? Ini sudah malam, bagaimana jika Arina bangun?""Dia baru saja tertidur. Aku ingin bicara sebentar saja. Emm, ini tentang kita."Kedua alis Kenshi terangkat mendengar Rinai menyebut kata kita. Sepertinya wanita itu masih mengharapkannya. "Ada apa dengan kita?"Nailah memangkas jarak lebih dekat. Kali ini mereka hanya dibatasi meja kerja Kenshi. "Ken, aku dengar kamu mau menikahi Rinai, kamu serius?""Tentu saja aku serius, bahkan tak pernah seserius ini," jawab Kenshi lugas.Raut kecewa terlihat jelas di wajah Nailah, dia bergerak memutari meja kerja lalu mencoba meraih tangan sang pria. Tapi, Kenshi dengan cepat menepis lalu berdiri, dia membentangkan jarak dengan Nailah."Ken, jangan lakukan itu. Kamu tau kalau a
Nailah memperhatikan dari jarak yang tidak terlalu jauh interaksi Rinai dan Kusuma. Tak ada lagi kecanggungan yang terlihat di sana. Sikap mertuanya itu berubah 180 derajat terhadap Rinai. Wanita nomor satu pemilik Riyad Grup itu bersikap sangat hangat, senyum tak henti mengulas di bibir mereka, sesekali terdengar gelak tawa meriuhkan ruang keluarga tempat mereka berkumpul. Ada yang berdenyut nyeri di dada Nailah, begitu cepatnya angin kemenangan berpihak pada Rinai. Dia yang awalnya sangat yakin mampu merebut perhatian Kusuma dan Kenshi, harus berpikir ulang setelah pria itu balik mengancamnya. Menyakitkan memang, saat hati mulai menyadari seseorang yang kita abaikan ternyata adalah orang yang benar-benar kita cintai. "Eh, Nai, liatin apa?" Suara yang terdengar dari belakang punggungnya membuat wanita tersebut menoleh. Sosok Kenshi terlihat rapi dengan rambut yang disisir kebelakang. Mengenakan T-shirt putih dan celana jeans selutut, membuat penampilan pria itu santai tetapi sangat
Kenshi tak melepaskan pandangan dari pintu ruang operasi tempat Rinai mendapatkan pertolongan. Napas pria itu seolah-olah tersendat menunggu kapan tindakan tersebut selesai. Dua jam, belum satu pun dokter dan timnya keluar dari ruangan itu. Dia selalu berjalan mondar-mandir untuk membunuh waktu, ingin rasanya mendobrak masuk dan melihat langsung operasi itu. Dia ingin menggenggam tangan Rinai dan berbisik di telinganya untuk bertahan, dia tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada wanitanya. "Dia akan baik-baik saja." Kusuma mengelus punggung tegap Kenshi dengan lembut, sorot matanya memancarkan kasih sayang, berharap bisa menenangkan putranya."Aku takut, Ma. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Rinai, aku enggak bisa kehilangan dia, Ma." Lirih suara Kenshi berkata, tak ada lagi ketegaran seorang pria di wajahnya. Dia seperti seorang bocah yang ketakutan mainan kesayangannya hilang."Percaya sama Tuhan. Rinai wanita baik, dia pasti selamat. Kita harus banyak berdoa."Hati Kusuma
Menatap tubuh ringkih Amanda dari balik kaca jendela ruangan ICU, membuat sesak menghimpit dada Reinart. Harusnya saat ini wanita itu sedang bermain dengan putri mereka. Menenangkan Anin yang rewel atau sibuk menyiapkan segala kebutuhannya. Pria itu membayangkan repotnya Amanda berlarian ke sana ke mari mengejar putri mereka yang sedang belajar merangkak, menceritakan kelucuan sang putri, atau mengunggah foto Anin ke media sosialnya. Akan tetapi, semua hanya angan kosong yang membuat Reinart harus berkali-kali menyadarkan diri sendiri, bahwa Amanda masih setia lelap dalam tidurnya, hanya mesin pendeteksi jantung penanda wanita itu masih hidup. Gundah menghantam pikiran Reinart setelah tadi mendengar penjelasan dokter yang menangani istrinya selama ini. Wanita yang dia nikahi itu tak menunjukan perkembangan berarti. Hampir sembilan bulan dia koma, hanya diam seperti boneka, tapi bernyawa. Dokter juga mengatakan tipis harapan hidup bagi Amanda, jikalau dia hidup, banyak organ ditubuhny
Mendekati bulan Desember udara mulai terasa dingin. Perubahan cuaca sangat cepat dan tiba-tiba, membuat orang-orang tak bisa lagi memprediksi dengan tepat. Polusi yang menyebabkan kerusakan ozon yang berimbas pada tak menentunya iklim. Begitupun hati manusia, mudah sekali berubah. Apalagi insan yang tak punya prinsip kuat dalam hidup, akan mudah terombang-ambing dibawa arus kehidupan.Seperti itu perasaan Kenshi saat ini. Ada cemburu yang menusuk-nusuk jantungnya saat Reinart mampu membuat Rinai bangun dari tidurnya. Entah kebetulan atau memang keduanya memiliki ikatan khusus, Kenshi merasa tak berguna sebagai seorang kekasih. Hampir setiap malam dia menemani Rinai, mengajak bicara sambil menggenggam tangannya, tetapi wanita itu bergeming. Namun, saat Reinart yang mengajak bicara, Rinai langsung menunjukkan reaksinya. Harusnya Kenshi bersyukur wanitanya keluar dari masa kritis dan membuka mata. Namun, ego sebagai pria yang meng-klaim Rinai sebagai calon istri terusik. Dia bertanya-ta
Setelah sosok Kusuma menghilang dari balik pintu, Irene terduduk lemah di atas sofa. Dia membenak, dari mana wanita itu tahu kejahatan yang dia lakukan dulu? Apakah dari wanita suruhannya? Tapi, sangat tidak mungkin. Menurut oknum polisi yang dibayarnya, wanita suruhannya itu masih bungkam, bahkan berperilaku seperti orang gila, sesuai dengan perintahnya. Irene yakin, wanita itu tak akan berani berkhianat karena kehidupan anak-anaknya dipertaruhkan. Dia berpikir jika Kusuma hanya mengada-ada saja atau memang tahu tapi dari sumber lain.Irene memijit pelipisnya, dia harus membungkam Kusuma bagaimanapun caranya. Jika wanita itu sampai bicara, maka semua yang sudah dia usahakan akan sangat sia-sia. Dia sampai rela melumuri tangannya dengan darah agar kehormatan serta harta tetap terjaga, hanya satu saja yang hilang dari dadanya, cinta. Baginya Irene, cinta hanyalah pepesan kosong, tak bermakna, tak berharga. Dalamnya luka yang ditancapkan suami dan adik angkatnya, membuatnya susah sekali
Reinart menunduk cukup lama setelah mendengar penjelasan dokter yang menangani Amanda. Menurut dokter tersebut, sangat sulit untuk Amanda kembali sadar. Tak ada perkembangan berarti sejak dia jatuh koma, bahkan beberapa kali wanita yang telah memberi Reinart seorang putri itu kritis. Dokter mengatakan pria itu harus siap atas akhir yang buruk, dia memperkirakan Amanda tak bisa bertahan lama."Apa tak ada cara lain, dok? Saya bisa membawa istri saya ke luar negeri, berapa pun biayanya saya sanggup bayar." Reinart masih berharap ada setitik harapan demi kesembuhan sang istri.Sang dokter menggeleng pelan dengan raut penuh penyesalan. "Bukan masalah alat atau obatnya, Pak. Sel kanker sudah menjangkiti seluruh organ penting Buk Amanda. Bila Anda membawa ke luar negeri pun, pasien tak akan bertahan."Reinart menghempaskan napasnya seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Jelas gurat lelah terlukis di wajah tampan itu. Kebersamaa bersama Amanda berputar-putar di benaknya. Pria itu
Siang terasa begitu teduh, sinar mentari tak terlalu garang, tak mampu menembus jendela kamar rumah sakit tempat Rinai di rawat. Sudah tiga jam berlalu sejak dokter memeriksa jahitan di perut wanita tersebut, belum ada yang membuka suara. Baik Rinai maupun Kenshi sibuk dengan pemikiran masing-masing. Menurut Rinai, kecemburuan Kenshi tidak beralasan. Pria itu menuduh Reinart mencari-cari alasan untuk bertemu dengannya. Dia sama sekali tak mau mendengar penjelasan Rinai, meski wanita itu telah menjelaskan secara detail awal pertemuan keduanya tadi.Rinai menghela napas berat, dia melirik sebentar ke arah Kenshi yang sibuk dengan ponselnya. Sesekali pria itu tersenyum, sepertinya ada yang menarik di sana. Sebenarnya dia tak ingin tahu, tapi mungkin saja itu salah satu cara agar hening yang mengikat mereka bisa diputuskan."Ada film lucu, ya?" tanya Rinai berusaha mengulas senyum.Kenshi mengangkat wajahnya sebentar, lalu menatap ponselnya lagi. "Adelia lucu banget, bayi itu udah bisa be
Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
"Gimana keadaan Rinai?" Nailah bertanya lewat saluran telepon.Kenshi melirik sebentar ke arah brankar rumah sakit, di mana Rinai terbaring lemah. Di tubuh wanita itu terpasang infus untuk menyalurkan cairan."Dia baik-baik aja. Dokter bilang dia mengalami shock saja.""Aku harap dia segera siuman. Kasihan dia, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kadang, kita enggak butuh mendengar keluhan, cukup menatap ke dalam mata, kita sudah bisa melihat seperti apa keadaan hatinya. Ada kalanya, wanita yang terlalu banyak senyum dan terlihat kuat, adalah wanita yang sangat rapuh."Kenshi bergeming mendengar penjelasan Nailah. Dia sangat paham luka di dada Rinai, mengerti hancurnya hati wanita itu. Oleh karena itu dia bertekad untuk memperjuangkan lebih. Meski Rinai menolak sekalipun, dia akan akan memaksa. Sebab Kenshi yakin, jauh di hati sang wanita cinta untuknya masih sangat besar."Em, Nai, aku matikan telepon dulu. Sepertinya Rinai mulai sadar." Kenshi mengakhiri
Kenshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan menuju tempat tinggal Nailah tidak terlalu ramai. Kata-kata Nailah memantul-mantul di gendang telinganya. Rinai ... benarkah Nailah bertemu wanita itu? Setelah sekian lama mencari, membongkar setiap sudut kota, pulau, dan mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat tinggal Rinai, semua berakhir sia-sia.Rupanya, keputusan Nailah memilih tinggal di kota kelahirannya bertahun yang lalu, adalah takdir yang telah digariskan Tuhan. Di kota itulah ternyata wanita yang selalu Kenshi cintai, berada. Bagaimana bisa dia melewatkan kota tersebut, padahal hampir setiap akhir pekan Kenshi menyambangi rumah Nailah untuk bertemu Damian. Toko bunga, Kenshi mencurigai toko bunga yang sering dia lalui saat mengunjungi rumah Nailah. Setiap melewati toko bunga tersebut, dia selalu memelankan laju mobilnya. Melihat banyaknya bunga mawar dan lili ditanam di luar toko. Bunga-bunga itu favorit Rinai. Dia juga berujar dalam hati, bila
"Kamu sudah menemukannya?" Reinart merobek sepi yang membungkus ruang kerja Kenshi. Pria itu sengaja menemui adik tirinya itu kembali setelah pertemuan bisnis mereka selesai.Kenshi menggeleng pelan, dia masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang diletakkan oleh sekretarisnya. "Rinai seperti lenyap begitu saja. Sudah dua tahun, bayangannya saja tak pernah terlihat.""Apa mungkin dia ke luar provinsi?" tanya Reinart lagi. Kenshi meletakkan pulpelnya ke 'pen holder' setelah selesai dengan dokumen-dokumen tadi, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku sudah mencari ke seluruh tempat, tapi enggak menemukan. Enggak mungkin juga Rinai ke luar negeri. Aku udah meminta bantuan temanku yang bekerja di imigrasi, mengecek nama Rinai. Tapi, enggak ada."Reinart terdiam. Dia tahu usaha Kenshi cukup keras mencari keberadaan Rinai. Besarnya cinta sang adik membuat Reinart malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir bisa berkompetisi dengan Kenshi, sementara niat untuk
Waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Tetapi, lampu di perpustakaan yang merangkap ruang kerja Kenshi saat di rumah, masih menyala terang. Tiga cangkir kopi yang dihidangkan asisten rumah tangga telah tandas diminum semua. Sejak Rinai menghilang, pria itu membenamkan diri dengan bekerja siang dan malam. Baginya, tidur adalah siksaan, karena setiap tubuhnya rebah di pembaringan, wajah Rinai akan selalu terbayang. Begitupun setiap kenangan yang pernah ada. Semua seolah-olah mengorek dada Kenshi.Kenshi sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Rinai. Banyak detektif sudah dia sewa untuk menemukan keberadaan sang wanita, tapi sosok wanita tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Dua tahun ... selama itu Kenshi menahan kerinduannya. Makin lama cintanya pada Rinai semakin besar, berbanding lurus dengan rasa bersalahnya. Banyak kata pengandaian diujarkan si pria, tapi dia sadar tak bisa merubah apa pun.Tangan Kenshi meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Dia menekan tombol save aga
Pagi belum sempurna datang, walaupun ayam jantan bersemangat berkokok saling bersahutan. Sang surya masih enggan beranjak dari peraduannya. Dia membiarkan awan-awan hitam menyelubungi langit sisa hujan semalam. Pikirnya, manusia pasti masih asyik terlena di dalam selimutnya.Tapi, tidak bagi seorang wanita. Pagi-pagi sekali dia sudah mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sedikit gelap. Sesekali bertegur sapa dengan para pekerja yang berpapasan. Desa tempat wanita itu tinggal terkenal sebagai penghasil teh terbaik. Tak heran, di sepanjang jalan banyak kebun-kebun teh yang terhampar. Semakin terang, makin banyak terlihat aktifitas warga yang mencari nafkah sebagai pemetik teh. Rata-rata dari mereka adalah perempuan berusia tujuh belas tahun ke atas. Wanita itu menghentikan sepedanya saat melihat seorang gadis yang dia kenal sedang memetik teh. Dia mengambil map yang terbuat dari plastik bening dari keranjang sepedanya. Seperti tahu diperhatikan, sang gadis mengangkat pandanganny
Rinai mengusap pipinya yang terasa basah. Entah bagaimana caranya air matanya bisa jatuh begitu saja. Melihat Kenshi berdiri di hadapan, semua kisah mereka berputar di matanya. Rencana pernikahan dan membangun rumah tangga, serta memiliki banyak anak dihancurkan oleh pria itu.Susah payah Rinai menahan hatinya agar tak lagi merasakan sakit, tapi dia gagal. Bohong jika dia tak mencintai Kenshi. Jauh di relung hati, pria itu masih menempati tahta tertinggi. Kenshi masih menguasai pikiran dan juga dirinya. Namun, wanita itu mencoba logis. Kisah mereka terlalu rumit, jika dipaksa terus bersama, yang ada hanyalah rasa sakit berkepanjangan."Rin, boleh aku bicara?" Kenshi mencoba melepaskan hening yang membelit mereka berdua.Rinai tak menjawab. Wanita itu merapatkan cardigannya, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah."Apa kabar?" Kenshi merapatkan bibirnya kembali, dia merutuki lidahnya yang berucap tanpa kendali. Harusnya tak perlu bertanya kabar. Dia bisa melihat sendiri dari pena