Bab 31
POV AmiraKupikir mendapatkan suami yang mapan pekerjaan, itu membuat bahagia. Kupikir mengalihkan perasaan sesingkat mungkin, itu bisa melunturkan rasa cinta yang telah lama. Namun, semakin aku mencoba melupakan, semakin berat rasanya dan justru kini keadaannya berbanding terbalik.Benar kata pepatah, janganlah mencintai seseorang terlalu dalam. Begitu pula sebaliknya, jangan membenci seseorang sampai sebegitunya. Sebab, Tuhan akan dengan mudah membolak-balikkan hati manusia. Benci dan cinta itu beda tipis, jika berlebihan semua akan berbanding terbalik. Ya, semua yang berlebihan memang tidak akan baik.Menikah dengan mantan suami dari wanita yang telah menghancurkan rumah tanggaku, ternyata tidak seindah yang kupikirkan. Balas dendam hanya membuat lelah perasaan ini saja, semakin aku membalas, justru akulah yang menderita.Pernikahanku dengan Mas Taka tidak bahagia, itu menurutku, entahlah bagaimana dengan MasBab 32"Oh gitu ya." Aku menjawabnya singkat."Iya, aku permisi beres-beres dulu ya," ucapnya. Kemudian, ia pergi bergegas dengan membawa Dika.Aku pulang kembali, lalu bicara dengan Mas Taka mengenai kepindahan mereka di belakang rumah."Kok bisa kebetulan gitu ya? Kenapa bisa persis kejadian dua tahun lalu, rumah kita saling membelakangi," ucap Mas Taka teringat masa-masa itu."Ya, tapi kan rumah sekarang sudah direnovasi belakang, apa belum juga?" tanyaku pura-pura. Padahal aku pun sudah tahu bahwa halaman belakang masih melompong. Aku pikir rumah kosong di belakang kami ini, ternyata justru rumah Mas Reno."Rumah ini tertutup meskipun ada pintu belakang. Tapi rumah tetangga belakang, halamannya masih kosong," sahut Mas Taka."Jadi, kamu jangan be
Bab 33Sepertinya Diana dan Mas Reno waspada, mereka sengaja memakai asisten rumah tangga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Aku perhatikan mereka berdua sangat dekat, Mas Reno tidak pernah diam-diam melirikku. Semudah itu ia melupakan wanita yang telah membersamainya saat terpuruk dulu? Namun, teringat Mas Taka juga dengan mudahnya melupakan Diana, aku jadi berinisiatif, bahwa Mas Reno harus dipancing dengan wanita lain, bukan aku."Mas, kita pamit aja yuk! Punggungku pegel nih," ajakku, bosan menyaksikan kemesraan mereka yang selalu menggenggam tangan berdua.Mas Taka mengernyitkan dahi, baru saja duduk dan minum, Dika pun baru pindah di pangkuannya setelah tadi aku pangku sebentar tapi nangis, tapi aku sudah ngerengek minta pulang.Mas Taka memberikan Dika pada Diana lagi, ia tidak perna
Bab 34Kemudian Gea pamit sebelum Mas Taka pulang. 'Maaf, Mas, kamu yang jadi korbannya lagi, aku tahu ini salah, tapi sudah dua tahun aku menahan perasaan hanya demi menghargaimu, Mas,' gumamku dalam hati.Ternyata selama ini aku salah, dulunya aku berpikir bahwa Mas Reno tidak bekerja hanya jadi benalu saja, tapi kenyataannya, ia masih punya rasa tanggung jawab terhadap wanita.Jam dinding telah menunjukkan pukul 17:00 WIB. Jam orang pulang kantor sudah terlewati. Aku menyiapkan makanan untuk Mas Taka. Sebentar lagi ia pulang ke rumah, aku harus menyiapkan semua. Namun, tiba-tiba aku teringat bahwa untuk memancing Mas Taka menceraikanku yaitu membuat ia jemu dengan sikap dan tingkah laku istrinya."Sebaiknya aku tidak usah menyiapkan makan malam untuknya," ucapku bicara sendirian sambil menyunggingkan senyuman. 
Bab 35"Mas Taka," gumamku sembari bangkit dan menghampirinya. Sungguh aku benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa saat ini. Bibirku kaku, tak mampu mengelak karena suamiku menyaksikan telak di depan matanya aku menggoda suami orang.Aku berjalan setengah berlari, pakaian yang sudah sedikit terbuka pun aku tutup secepatnya. Mas Taka terdiam menyorotiku, ia seperti kecewa dengan tindakan yang aku lakukan.Sujud di kakinya hanya itu yang kulakukan, sebab aku tidak ingin malu di hadapan Mas Reno juga."Mas, maafin aku," lirihku padanya. Namun, ia tidak bicara sepatah kata pun."Mas, tolong maafkan aku, maaf sungguh aku minta maaf padamu, Mas," rayuku lagi."Cepat ikut aku!" perintahnya setelah aku sujud di kakinya. Tanpa berpikir panjang aku menuruti kata-katanya. Aku menol
Bab 36Aku coba membuka mata yang kututup dengan tangan. Kemudian, kulihat wanita yang memegang kayu, ternyata Diana, wanita yang kini jadi istrinya Mas Reno.Lelaki tadi jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Sedangkan aku yang masih takut langsung dipeluk oleh Diana."Amira! Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada panik. Kini aku berada tepat di bahunya, bahu wanita yang tadinya ingin kuhancurkan rumah tangganya."Terima kasih," ucapku dengan napas masih tersengal-sengal. Jantungku masih berdetak kencang saling berkejaran. Namun, Diana terus coba menenangkan."Tidak ada air minum di sini, ke mobilku yuk! Kamu harus minum untuk menenangkan diri," ajaknya sembari menuntunku ke mobil.Jarak dari tempatku ke parkiran mobilnya sangat jauh, aku dituntunnya sampai ke tempat ia parkir. Kemudian, Diana membuka pintu lalu menyuruhku duduk di mobilnya, tepatnya di sebelah sopirnya yaitu Diana.Aku teru
Bab 37"Mas Taka, kamu di rumah?" tanyaku penasaran. Sebab, mobilnya tidak terparkir di depan rumah."Ya, aku balik ke rumah, karena ingin menjelaskan pada Diana besok tentang ini," sahutnya membuatku terkejut. Kenapa ia memikirkan Diana? Apa Mas Taka tidak melihat kondisiku saat ini yang habis dirampok dan hampir dinodai oleh preman tadi?"Kamu nggak peduli lagi padaku, Mas? Apa kamu sudah sangat membenciku?" tanyaku lagi.Kemudian ia bangkit dari duduknya. Lalu melemparkan handuk dan menyuruhku untuk mandi. Mas Taka tidak menjawab pertanyaanku barusan. Ia bergegas ke kamar tanpa mempedulikan aku di sini. Jadi begini kah rasanya tak dianggap oleh suami sendiri!Setelah mandi, aku merebahkan tubuh ini. Masih tidak habis pikir Mas Taka tadi meninggalkan aku sendirian di tempat sepi. Apa rasa yang pernah ada suda
Bab 38"Diana, aku nggak paham, sungguh, tolong jelaskan," ucapku masih pura-pura tidak tahu apa yang ia bicarakan."Mas Reno kedapatan sudah dibuka bajunya, menurut cctv hotel, ia datang dirangkul oleh seorang laki-laki dalam kondisi mabuk, tapi aku melihat setelah beberapa menit kemudian, kamu datang ke pintu kamar hotel yang sama. Sudah jelas sekarang, bahwa kamu telah ngerjain suamiku," tukas Diana kesal.Aku terdiam, tidak tahu lagi dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Selain rumah tanggaku dengan Mas Taka hancur, hubunganku dengan Mas Reno yang awalnya baik-baik saja pasti akan renggang dijauhi oleh Diana."Tenang, Diana. Silakan kamu minum dulu, di rumah ini tidak ada bius atau apa pun," tutur Mas Taka menenangkan.Jangan sampai aku terpengaruh oleh apa yang dikatakan Diana barusan. Ya, aku harus te
Bab 39"Kita lihat sama-sama, ya," ucap dokter.Kami bersiap untuk melihat ada apa denganku. Darah yang keluar disebabkan apa, aku pun belum mengetahuinya.Dokter mulai memegang alat untuk USG melalui vagina. Kemudian, ia mulai fokus dengan apa yang dilihatnya. Setelah beberapa menit melihat kondisi rahimku, ia mengajak kami bicara."Maaf sebelumnya, apa Bu Amira sering nyeri saat datang bulan? Dan haid tidak teratur?" tanya dokter sambil menyanggah dagu dengan kedua tangannya, sepuluh jarinya saling ditautkan."Iya, Dok," jawabku pelan. Dokter masih mengizinkan aku untuk tiduran, karena masih dalam pemeriksaan lanjutan."Jadi, di rahim Bu Amira ada tumor, sepenglihatan saya tumor jinak, tapi besok kita periksa lagi lebih lanjut, ya. Saran saya, malam ini diopname di rumah sakit dulu," saran dokter.Aku menoleh ke arah Mas Taka, mataku kini berkaca-kaca. Mas Taka menggenggam tanganku ser
Bab 50Mas Taka sontak melepaskan dekapan Diana. Begitu juga sebaliknya, Diana segera mundur dan mengedarkan pandangannya ke arahku. Kemudian, ia tersenyum lekat sambil menghapus air matanya.Aku menghampiri Mas Taka, lalu menggandeng lengannya yang masih terdiam kaku di depan pintu."Maaf, aku bikin suasana rumah ini jadi kacau, sekali lagi maaf," ucap Diana sambil menunduk.Mas Taka menatapku, ia masih terdiam membisu."To the point aja, ada apa Diana? Kenapa datang-datang langsung nyergap suami orang?" cecarku sedikit sinis. Sebab, kecemburuan suatu hal yang wajar terjadi jika menyaksikan kejadian singkat tadi.Tidak lama kemudian, Mas Reno muncul turun dari mobil, membawa Dika dengan menggendongnya. Ada tawa yang terdengar renyah di ujung sana.
Bab 49"Siapa itu Taka?" tanya mertuaku pada anaknya. Dengan jawaban yang sama, ia hanya menggelengkan kepalanya.Kemudian, kami melepaskan seat. Setelah itu terlihat kaki seseorang turun dari mobil tersebut. Dari high heels yang dikenakan sudah terlihat ia adalah wanita.Aku coba tarik napas, lalu menoleh ke arah Mas Taka sesekali, dan memusatkan perhatianku padanya."Rosa kah itu?" tanyaku. Mamaku yang masih berada di dalam mobil, berusaha menepuk bahu ini dari belakang."Jangan emosi dulu, bicarakan baik-baik di dalam rumah," pesan Mama Silvi, mamaku. Seharusnya ia tidak berada di sini. Namun, karena aku khawatir dengannya, jadi meminta mama ikut ke rumah lebih dulu.Aku melontarkan senyuman pada mama dan mertuaku. Kemudian, kembali menyorot Mas Taka."
Bab 48"Apa, Amira? Barusan kamu bicara apa?" tanya mamaku seperti meringis kesakitan.Tiba-tiba saja aku teringat, bahwa mama lemah jantung. Astaga, apa yang aku lakukan barusan?"Mah, Amira tidak bicara sungguhan, ia hanya main-main supaya diizinkan tetap bersama Taka, percayalah," lirih Mas Taka menghampiri. Aku baru tersadar, bahwa inilah tujuan Mas Taka menyuruhku ikut bersama mama, hanya ingin menjaga kondisi mertuanya baik-baik saja. Namun, aku sendiri yang membuyarkan rencana Mas Taka.Bruk!Mama ambruk seketika, ia jatuhkan bobot tubuhnya ke lantai."Mah!" teriakku ketika melihat sosok wanita yang membesarkanku kini jatuh lunglai ke lantai.Mas Taka membantu mengangkat mama dan membawanya ke rumah sakit. Aku yang selepas operas
Bab 47"Nanti kita lihat saja di rumah ya, aku nggak bisa bicara sambil nyetir," ucap Mas Taka membuatku tambah penasaran. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan dariku? Kenapa nunggu sampai di rumah?Aku terus menerus mempertanyakan dalam hati. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat agak pendiam, tidak banyak bicara dan bersikap mesra seperti yang dilakukan biasanya. Dingin, kini Mas Taka berubah sedingin es, lelaki yang sudah berjanji telah memaafkan kini sikapnya berubah lagi.Otakku terus berputar, mengingat apakah ada kesalahan yang kuperbuat namun belum diketahui olehnya. Aku ingat-ingat tapi tidak ada satu pun yang melintas di kepala ini."Mas, jika ada satu kesalahan yang belum kusadari, tolong beritahu, aku ingin memperbaikinya," pintaku membuat ia menoleh. Sayup matanya memandangku diiringi senyuman tipis.&nbs
Bab 46"Taka, kamu pindahin aja istrimu ke kelas 2, ngapain di VVIP," sindirnya membuatku menelan ludah. Tidak seperti biasanya ia bersikap seperti itu.Aku hanya tertunduk, sebab sebelumnya aku juga sudah memintanya untuk memindahkan aku ke ruangan yang sesuai dengan asuransi, supaya tidak menjadi beban keluarga."Mah, dua hari lagi juga sudah boleh pulang kok, nggak apa-apa di sini dulu," jawab Mas Taka membelaku.Diva hanya menunduk, sesekali wajahnya menatapku juga, tapi tidak seperti biasanya. Ada apa dengan mereka?"Mah, kalau aku ada salah, maafin aku," ucapku coba berlapang hati meminta maaf lebih dulu."Nggak, Amira, ini bukan tentang minta maaf, tapi tentang harga diri!" celetuk mertuaku membuatku sedikit mencerna ucapannya."Apa maksud Mam
Bab 45"Kenapa bisa banyak darah, Sus? Padahal saya tidak merasakan sakit apa-apa?" tanyaku penasaran. Sebab, jika pendarahan, tentu aku mengalami nyeri hebat."Sebentar, Bu. Saya mau cek bagian saluran air seninya dulu," balasnya.Suster itu sangat sibuk memeriksa kenapa banyak darah yang berceceran di selimut hingga baskom untuk air kencing. Dengan cekatan ia membuang lebih dulu isi baskomnya. Kemudian, memeriksa kembali.Mas Taka yang trauma melihat darah ketika kemarin aku pendarahan pun pamit keluar."Sebentar ya, Bu. Kita ulang kembali masang kateter lagi. Sama pembalutnya diganti," ujar suster."Apa nggak bisa dilepas saja, Sus?" tanyaku balik."Nunggu 24 jam, Bu," jawabnya."Tapi ini kenapa kok bisa ba
Bab 44"Mereka bilang Dika dirawat di rumah sakit ini juga, barusan banget, Dika kejang tanpa demam," ucap Mas Taka membuatku terkejut."Astaga, Mas. Aku ingin jenguk," sahutku padanya."Nanti ya nunggu kamu sudah bisa lepas kateter," timpal Mas Taka. "Padahal tadi ketika nunggu kamu dari observasi, Mas ketemu baik-baik saja," imbuhnya lagi.Tidak ada manusia yang mampu melawan takdir. Namun, aku baru saja ingin menerima Dika sebagai anakku juga, mau nerima atas kekurangan yang ia miliki. Baru saja hati ini ingin menebus kesalahanku yang pernah menelantarkan Dika, yang pernah cubit bahkan bentak Dika sebelum perasaan itu timbul."Mas, maafin aku, kalau boleh minta, aku ingin Dika ikut bersama kita supaya bisa menebus kesalahanku yang telah lalu, jujur sekarang hanya ada penyesalan," tuturku diiringi air mata ya
Bab 43Kemudian dokter pun memberikan baskom, supaya jika aku muntah langsung ke baskom tersebut."Bu, Ibu nervous ya? Coba Bu Amira tarik napas, kemudian hembuskan. Jangan mikir macam-macam," suruh dokter yang berpakaian hijau dan memakai tutup kepala.Aku mengangguk, memang kuakui gugup ketika melihat jarum suntik hampir menusuk ke tubuh. Lalu kupraktekkan apa yang disuruh olehnya. Kemudian, bersama team dokter diminta untuk relaks lagi. Setelah itu barulah jarum itu disuntikkan."Tenang ya, Bu. Biusnya tidak total, hanya untuk pinggul ke bawah." Dokter bicara sambil mempersiapkan. Tidak lama kemudian, team medis berdoa. Lalu setelah memastikan obat biusnya mengalir ke organ tubuh bagian bawah, barulah dimulai melakukan operasi.***Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruangan observasi. Nanti
Bab 42"Alhamdulilah, tumornya bukan tumor ganas, tapi tetap waspada ya Bu, kita lakukan operasi pengangkatan tumor jinak," ucap dokter. "Lalu bagaimana dengan Pak Taka? Apa setuju?" tanyanya lagi.Aku dan Mas Taka saling beradu pandang. Di sisi lain aku senang dengan ucapannya. Namun, ada rasa takut juga melakukan tindakan operasi."Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok, kalau operasi jalan yang terbaik, maka lakukanlah," jawab Mas Taka membuatku menoleh ke arahnya.Ia sangat memperhatikanku. Seharusnya dari dulu aku menyadari apa yang ia korbankan semuanya demi aku. Dari berinvestasi untuk butik meskipun kini bangkrut, sampai harus mengorbankan menyerahkan Dafa demi aku."Baiklah, kalau begitu kita urus jadwal operasinya ya, Pak," ucap dokter sambil menepuk-nepuk bahunya.