Berulang kali Dina mengambil nafas berat sebelum membuka pintu apartemen Elan. Berusaha menetralkan nafasnya yang tersengal.
Sepanjang perjalanan ia terus dihantui rasa cemas. Menduga-duga kemarahan Elan karena dirinya pulang terlambat.
Tapi apa salahku? Dia tidak berhak mengatur hidupku..
Dina masuk. Menyapu pandang ke seluruh sudut ruang. Refleks menunduk saat melihat Elan tengah menikmati santap malam di meja makan. Ia melangkah pasti, percaya diri untuk menuju kamarnya.
"Makanlah!"
Suara Elan memecah keheningan. Terdengar sangat dingin tapi tak tercemar emosi. Dina memberanikan diri, membelokkan langkah mendekati meja makan.
"Duduklah!" Perintah Elan pendek, masih nihil pandang ke arah Dina.
Perlahan Dina menyeret kursi ke belakang, lalu duduk dengan tenang. Ia berusaha menghilangkan rasa takutnya. Di hadapannya sudah terhidang makan malam yang sepertinya sengaja Elan siapkan untuknya.
Dina belum mau menyen
vote dan komentar ya say
"Pak.. Pak Elan? Permisi.." "Oh?" Aku melongo. Baru sadar jika Damar memanggilku sedari tadi. "Ini beberapa informasi tentang Sakura Town yang bermasalah pajaknya, kita bisa menjadikan ini cela untuk memeroleh penawaran yang lebih rendah jika kita bisa mendapat solusi yang minim risiko untuk menyelesaikan masalah mereka. Menurut Bapak, kawasan ini cukup menarik minat penyewaatau bagaimana?" "Mar, kamu sudah menikah kan?" "Loh Kok?" Damar terlihat kebingungan mendengarku sama sekali tak menggubris penjelasannya. Pikiranku seperti di-remote oleh Dina dari jauh. Tak bisa berhenti memikirkannya. Iblis macam apa yang telah merasukiku hingga berlaku sekejam itu? Aku sudah menendang harga dirinya bertubi-tubi dengan sikap yang sangat menjijikkan. Bodohnya aku baru menyadari semuanya sekarang. Sakit hati dan dendam itu sangat tidak perlu. Sekarang bisa jadi aku ya
Kecupan kecil mendarat di punggung tangan Dina. Ia melihat bagaimana Elan memperlakukan tangannya bak permen kapas yang jika ditekan sedikit saja akan rusak. Sangat berhati-hati. Aneh, hanya butuh waktu 24 jam untuk memutar sikap kasar lelaki itu. "Katakan apa yang kamu inginkan Sayang?" Dina membuang nafasnya kasar. Berharap keputusannya benar. "Ceraikan aku.." Elan tak melepas genggaman di tangan Dina. Sekalipun ekspresi tenangnya goyah, ia berusaha tak terpengaruh. Bagi Elan, bagaimanapun caranya ia harus tetap mendominasi. Tak perlu menanggapi, apalagi memedulikan permintaan Dina. "Oh ya, nanti jam satu siang aku akan menjemputmu. Kamu belum memilih gaun untuk nanti malam." Dina bisa menemukan penolakan keras dari kepura-puraan Elan. Ia berusaha menarik tangannya dari genggaman tapi tertahan kuat oleh remasan. "Sampai kapan kamu mau menyiksaku?" "Sekalian membeli sepatu. Aku ingin istriku terlihat sempurna malam ini
"Sayang.." "Hmm.." Dina melongo, tak sadar menyahuti Elan. Ia refleks menutup bibirbelepotannya karena merasa salah ucap. Namun Elan menyingkirkan penghalang itu kemudian berbisik lirih. "Sepertinya aku harus mencicipi rasa seorang bidadari terlebih dahulu sebelum berangkat." Dina membulatkan matanya mengancam agar Elan tak berlaku lebih jauh. Ia tak mau penampilannya malam ini semakin rusak karena suaminya tak mampu menanggung bebanhasrat. Cukup lipstiknya yang sudah tak sempurna, yang lain jangan. Namun apa daya Dina jika kemauan Elan sudah berkumandang. Salah satu tali gaunnya sudah turun dan mengekspos dadanya yang menggantung indah. Pahanya digerayangi lalu berhenti di pangkal. Mengulik bagian kecil yang semula diam hingga menyembul bangun. "Jangan Elaaan.." Desah Dina tak sejalan dengan reaksi tubuhnya saat Elan bermain lidah di dada. Telunjuk Elan menemukan kebasahan yang dengan cepat menjalar. Memud
Yasmin cs masuk kembali ke kamar Dina setelah dipersilahkan tuan rumah. Sejak memasuki apartemen Elan dan melihat kemeja lelaki itu keluar dari celana dan kusut di mana-mana, ketiganya sudah tersipu-sipu paham alasan mereka dipanggil kembali. Bahkan mereka hampir tak bisa menahan tawa menyaksikan tubuh Dina yang tak semulus sebelumnya. Maklum saja, leher dan dadanya merah-merah bekas gigitan nyamuk jantan. Satu-satunya nyamuk jantan di dunia ini yang menggigitnya dengan cinta. "Harus ganti gaun ya? Padahal aku suka banget sama yang tadi hmmph.." Dina membuang nafas lesu. Yasmin mengangguk sembari menyembunyikan senyumnya. Ia pun mengakui bahwa Dina memang terlihat sangat memesona dengan gaun sebelumnya. "Sebenarnya gaun yang tadi bisa dipakai lagi, tapi sepertinya emm lebih baik tidak.. Bagian dada harus ditutupi.." Dina pasrah malam ini harus kehilangan kesempatan selfie saat wajah ayunya dirias Bianca Tan dan tubuhnya dibal
Sebagai pemilikDNA town Dina meresmikan gedung perkantoran tersebut atas bimbingan Elan, meskipun tampak jelas kecanggungan di sana sini yang masih bisa dimaklumi. Senyumnya masih saja merekah, semringah. Dina bahagia yang menjadi haknya. "Kaget Sayang?" Bisik Elan masih merangkul pinggang Dina turun dari podium. "Kamu selalu gila di mataku." Jawab Dina seraya mengumbar senyumnya. "Gila karenamu Sayang..Aku tinggal dulu, duduklah dengan mereka.." Elan menghambur menyapa rekan dan koleganya setelah mengecup pipi Dina. Juga mengantarkan Dina bergabung di meja keluarga. Duduk di dekat Asya yang tampak sangat antusias menyambutnya. "Duuuhh senangnyaa.. Kakakku keren kan?" Ibu hamil itu terlihat seriang remaja. "Sama sekali aku tidak menyangka ini Kak.." Dina geleng-geleng tak percaya. Merasa berkawan, Asya mengajak Dina memburudessert. Incarannya ketika sedang berada di pesta manapun. La
Mereka bertiga berkumpul di sofa. Asya meremas tangan Dina menenangkan kecemasan sepupunya setelah mendengar penjelasan Raka. Lambung Elan memang lemah, mudah timbul tukak yang menyebabkan nyeri jika makanan yang ekstrem masuk ke perutnya. "Biarkan dia istirahat dulu beberapa hari. Kelelahan juga salah satu faktor yang memengaruhi daya tahannya." Ujar Raka sembari membetulkan lengan kemejanya. Selalu tampan dan karismatik sesuai dengan profesinya. "Kok bisa sih aku lupa kalau Kak Elan tidak bisa makan pedas.." Wajah Dina mengerut, rautnya membentuk rasa bersalah. "Seharusnya aku melarangnya makan bakso itu, bukan malah dia yang melarangku." "Sudah terjadi, tidak apa Din, nanti juga baikan kok. Dengan begini kamu akan selalu ingat kalau lambung Kak Elan memang sensitif dengan makanan. Makanya dia tidak pernah melewatkan jam makan, juga lebih suka membuat makanannya sendiri. Lagipula, Kak Elan makan baksonya atas keinginan sendiri, jadi ya buk
"Satu ronde!" "Jangan! Kamu masih sakit." Tolak Dina sebisa mungkin. "Yang di bawah lebih sakit kalau tidak dijepit." Tanpa berlama-lama Elan segera menggendong Dina bangkit daribathtub. Memepetnya ke dinding, mengapitkan kakinya ke pinggang, lalu dengan lancang menyusupkan miliknya yang keras sempurna ke dalam istrinya. Tatapan mereka berjumpa. Satu garang, satu penuh harapan. Elan tersenyum menemukan sebuah harapan di wajah Dina. Pertanda gadis itu juga menginginkan sentuhan tubuhnya. "Kok senyum?" "Istriku sangat cantik.." "Gombal!" Dina mulai mendesah ringan karena gerakan maju mundur lawan mainnya. Pertemuan dua kulit mereka di dalam memenuhi haus raga. Menggelora, banyak, kaya, dan penuh cita rasa. Terutama karena kedua tangan Elan tak henti menggerayangi dadanya. Segala centi demi centi area sensitifnya hingga kemungkinan untuk menolak ditekan ke titik terendah. Elan kembali tersenyum. Puas
Ting tong ting tong.. "Kak!" Sergah Dina dilanda panik. Berusaha menyadarkan lelaki yang sedang menyantapnya dengan memukuli pundaknya kuat-kuat. Elan tak lagi peduli tamu yang baginya 'sialan' itu berani-beraninya datang mengganggu, di saat tiang benderanya menjulang siap membuat lawan mengibarkan bendera putih. Ia masih saja melancarkan serangan atas bawah. "Kakk! Ada orang!" Elan masih belum ingin melepaskan hidangan pembukanya. Ia justru mengecupi perut Dina hampir rata. Lalu mengilik pusarnya dengan ujung lidah. "Geliihh.." Dina berteriak tanpa sadar. "Ada tamuuuu!!" "Masa bodoh! Tamu sialan! Siapa suruh datang di saat tanggung begini. Aku sedang sangat menginginkanmu istri manisku.." Umpat Elan bersungut. Dina memekik menahan jerit saat Elan mulai berkuasa di area bawah. Susah payah ia mengembalikan kesadaran dengan meremas punggung sofa kuat-kuat. Mata Dina merem melek. Berulang kali menelan ludahn
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa