Aku mengabaikan permohonan Giko mengundang makan malam Dendy dan Ibu, tapi sebagai gantinya aku datang ke makan malam keluarga mereka. Jumat malam, aku memutuskan ikut Giko pulang ke rumahnya. Dengan setengah hati tentu saja. Rumah megah itu seolah tengah menantangku ketika aku menjejakkan kaki di halamannya. Aku merasa sangat kecil berdiri di sini. Seumur-umur berteman dengan si playboy Giko, baru kali ini aku diajak ke rumahnya, dan bertemu dengan keluarganya langsung. Sayangnya pertemuan ini seperti ajang bunuh diri buatku. "Santai aja, sih. Bokap gue nggak nyeremin, kok," ujar Giko menyenggol lenganku. Aku mendelik. "Kalau nggak nyeremin mana mungkin dia tega mau membuang anaknya ke Timbuktu." "Bau-bau, Win. Bukan Timbuktu, itu kejauhan.""Bodo amat." Aku memasang tampang jutek."Ish, itu mata dikondisikan. Di dalam nanti lo harus pasang tampang semanis mungkin, jangan lupa tersenyum, oke, Bebeb?" "Iya, gue bakal senyum terus sampe gigi gue kering, puas lo?" Giko terkekeh,
Entah apa yang Giko harapkan dari makan malam ini. Penentuan tanggal pertunangan? Atau menikah sekalian? Aku beneran merasa terjebak. Marah? Jelas! Dari awal aku sudah antipati obrolan serius macam ini, tapi kesannya Giko menikmati dan aji mumpung. Pertemuan dengan keluarga Giko berakhir canggung karena ucapanku yang menolak pertunangan itu. Di antara semua yang ada, hanya Luffy yang tampak tersenyum lebar mendengar keputusanku. Masih untung aku nggak membongkar kebohongan Giko di depan keluarganya. "Apa susahnya sih kerjasama sedikit, Win?" Giko ngambek di mana seharusnya aku yang pantas ngambek. "Kerjasama apa? Kerjasama menjerumuskan diri ke lubang buaya? Gue udah mewanti-wanti lo banget biar nggak ada obrolan serius. Tapi, kok kayaknya lo santai banget." Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang menuju apartemenku. "Gue santai karena nggak anggap ini serius."Aku menganga tak percaya. Apa dia nggak lihat reaksi dan mata binar keluarganya saat membicarakan soal pertunanga
Lebih nyaman seperti ini. Bersama Ibu dan Dendy tanpa mereka yang membuat hidupku makin rumit. Tama, Giko, dan mungkin sebentar lagi Luffy. Aku tidak membalas apa pun soal foto yang Luffy kirim semalam, tapi aku merasa bahwa hal buruk akan segera menimpaku."Kak, naik perahu, yuk. Gue tadi udah nawar 3 orang dewasa gocap," ajak Dendy mencolek lenganku. "Kita udah lama banget nggak naik perahu loh, Kak."Aku mengangguk saja. Pagi ini kami sudah berada di Shympony of the Sea Ancol, tempat ibu ingin berpiknik kecil-kecil untuk mengenang almarhum Ayah."Sebelah mana?" tanyaku seraya memegangi topi lebar yang kupakai.Dendy menuding sebuah perahu yang sudah menampung beberapa penumpang. "Itu perahunya, bentar lagi berangkat. Noh, ibu aja udah ada di sana.""Gercep sekali ibu kita." Aku terkekeh lalu mengikuti Dendy menuju ke pantai menyusul ibu yang sudah duduk manis bak putri raja di atas perahu kayu."Laut Ancol sekarang kayak udah tercemar. Warnanya hitam. Dulu padahal masih bersih alam
Menangis? Nggak. Semua yang terjadi adalah akibat dari keputusanku sendiri yang dengan sok-nya membantu jagoan neon itu, juga keputusanku yang membongkar hubungan palsu kami di depan keluarganya. Resikonya juga sudah aku duga sebelumnya. Di usir dari perusahaan milik keluarga konglomerat itu. Mungkin memang sudah jalannya harus begini, meratapi pun percuma. "Luffy memberi solusi konyol banget," ujar Danar, dia masih saja tidak terima keputusan ketigaku, di-PHK. "Serius, ini nggak adil banget buat lo, Win. Dedikasi lo selama ini buat memperkaya mereka seolah sia-sia gara-gara bocah geblek itu." Dua tanganku masih memeluk cangkir kopi yang sudah menghangat. Memang Giko patut disalahkan, wajar kalau sampai manusia setenang Danar berang. Saat ini pria itu sedang ada di unitku. Dia datang saat senja menjelang. Menghiburku dengan terus menyalahkan Giko. Tapi, anehnya di tengah keterpurukan yang aku alami, hati kecilku mengingat dia. Pasti dia sedang mengalami kesulitan menghadapi keluar
Sudah sejak tiga puluh menit lalu aku bersama Tama. Selama itu banyak yang dia ceritakan. Dari mulai kepulangan anak-anaknya sampai pekerjaan kantornya yang padat merayap. Dan sepanjang dekat sama dia, baru kali ini aku merasa begitu malas mendengar semuanya. Begitu hati gampang banget dibolak-balik. Rasanya baru kemarin aku mengagumi cintanya dengan penuh ketakjuban. Namun, sekarang rasa itu lenyap tak bersisa sedikit pun. Hatiku sudah tidak berbentuk. Aku bahkan terserang bosan meskipun makan malam ini terlihat romantis. "Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanyaku setelah sepanjang makan malam hanya mendengar ceritanya saja. Tama menatapku masih dengan senyum. "Emang mataku kelihatan banget, ya? Coba kamu tebak aku mau ngapain." Aku mengembuskan napas pelan. "Aku lagi nggak ingin tebak-tebakan. Kalau nggak ada yang ingin kamu katakan, biar aku bicara sebentar," ucapku agak tegas. Tama di depanku malah terkekeh. "Muka kamu tegang banget, sih, Win? Oke, aku dengar." Dia mengangguk
Rasanya seperti kembali ke jaman sembilan tahun lalu ketika Giko akan berangkat ke luar negeri. Aku dan Danar mengantar si playboy ke bandara. Mungkin bedanya kali ini aku membawa perasaan yang agak lain bentuknya untuk manusia satu itu. Setelah semalam pria itu berpamitan aku mulai berbesar hati menerima semuanya, dan berusaha memaafkan atas segala yang terjadi."Di sana hati-hati, jaga sikap, dan jangan jadi playboy," ucapku saat memeluk Giko. "Tetep, ya, jangan jadi playboy-nya keluar," sahut Giko terkekeh lalu melepas pelukanku. "Ya itu kan imej yang udah lo bangun dengan susah payah." Aku ikut terkekeh. "Udah tobat gue. Berharap suatu hari bisa jadi calon laki lo." Aku mendorong pipinya. "Mimpi aja sono." "Ahelah, ditolak lagi gue, Nar." Danar hanya nyengir, lalu bergerak maju memeluk Giko. "Semoga di sana lo betah. Dan semoga ketemu sama cewek yang bisa lurusin lo ke jalan yang benar." Giko melepas pelukan Danar, dan menonjok bahu lelaki itu. "Sialan lo, emang gue tersesa
Aku menunjukkan kepada Danar sebuah brosur lowongan kerja. Aku mendapat brosur tersebut saat sedang membeli makan siang di warung dekat kosan. "Gue mau daftar ini," ujarku seraya tersenyum. Danar merebut brosur tersebut dan membacanya sekilas. "Gue tau lo orang marketing, tapi lo nggak biasa terjun ke lapangan. Lupakan saja." Bibirku kontan berkerut. Aku sudah putus asa banget masalah pekerjaan ini. "Gue butuh uang buat nyambung hidup, Nar. Utang gue ke lo sama Dendy aja belum gue bayar." Danar mendesah, tangannya yang sedari tadi mengupas kulit jeruk sekarang berpindah mengupas apel. "Gue lagi nunggu Bima kasih kabar. Minggu ini lo bisa masuk ke perusahaannya. Dia bilang ada satu tempat yang bakal kosong di bagian admin. Daripada lo panas-panasan jemput bola, mending lo jadi admin aja di kantor Bima." Mataku mengerjap. "Bima siapa?" tanyaku bingung. Selama ini Danar nggak pernah mengenalkan seseorang bernama Bima. "Salah satu yang pernah jadi klien Hana Bank. Gue dekat karena
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka