Hasil rapat nggak memuaskan. Bagian keuangan tidak menyetujui proposal tambahan budget marketing yang kami ajukan. Danar pasti nggak akan suka mendengar berita ini. Orang keuangan kenceng banget menggenggam duit anggaran. Padahal yang kami lakukan agar bisa menarik banyak nasabah dan memajukan perusahaan. Arin mendesah, menjatuhkan diri ke atas kursi. "Pak Danar pasti kecewa. Gimana dong, Win?" Jujur aku paling males berhadapan dengan orang keuangan. Hal tentang pengajuan anggaran baru biasanya Danar yang maju. Dia lebih pandai memersuasi dan menekan lawan. Tidak seperti kami yang ketika ditolak hanya bisa pasrah. Ah, tidak. Arin di rapat tadi sempat mendebat kepala bagian keuangan berkepala botak yang terkenal pelit itu. "Nggak apa-apa. Nanti gue yang bilang aja." Arin kembali menegakkan punggung dan menyeret kursinya mendekat padaku. "Pak Danar sakit apa?" Aku belum sempat memberitahu Arin tentang kondisi Danar karena kami sudah disibukkan dengan persiapan meeting. "Tangan kan
"Wina!" Aku baru saja memasuki lobi ketika mendengar suara Tama memanggil. Suaranya akhir-akhir ini sering berkeliaran di sekitarku. Jadi, tanpa melihat pun aku tahu itu suara miliknya. Aku menoleh dan mendapati lelaki tinggi itu setengah berlari menghampiriku. Di tangannya membawa sebuah kantong plastik, mengingatkan pada beberapa hari lalu saat kami bertemu dalam situasi yang sama. "Lembur lagi?" tanya dia sesampainya di depanku. Aku mengangguk dan melirik kantong plastik yang dia bawa. "Kamu habis dari mana?" "Take away dari restoran di ujung itu. Kamu udah makan belum? Aku beli dua nasi bebek," ujarnya mengangkat kantong plastik itu. Modus apa lagi ini? Kenapa Tama seolah tahu jadwal pulangku sehingga kerap kali tanpa sengaja bertemu seperti ini? "Nggak usah, Tam. Kamu makan aja. Aku masih kenyang, kok." Aku berjalan menuju pintu lift diiringi Tama di sampingku. "Aku beli dua karena aku yakin kamu belum makan malam." Aku diam-diam menghela napas panjang. "Lain kali jangan
Perlu waktu lama untuk membujuk Tama agar tidak mengantarku ke rumah sakit. Aku nggak mau Giko dan Danar makin salah paham. Kemunculan Tama yang terlampau sering memang sudah menimbulkan kesalahpahaman. Tapi, tentu saja aku nggak mau dua sahabatku berpikir yang bukan-bukan tentang hubungan kami. Pada akhirnya aku berhasil ke rumah sakit sendiri dengan taksi yang Tama pesankan dari aplikasi ponsel. Alasannya apalagi kalau bukan demi keamananku. Itu yang dia bilang meski bagiku itu teramat sangat berlebihan. Aku membawa martabak manis dan telur yang aku beli di dekat apartemen. Danar dan Giko pasti butuh camilan. Aku mengetuk pintu kamar rawat Danar sebelum mendorongnya. Kedua lelaki itu langsung menoleh ke arah pintu saat aku masuk. Aku meringis seraya menunjukkan plastik martabak yang kubawa. "Sori, telat. Aku tadi beli ini," ujarku, lalu mendekat. Giko mendengus. "Telat beli martabak apa telat karena berduaan sama Tama?" Aku mendesah, belum sempat duduk, tapi Giko sudah mengiba
Aku bertukar jaga dengan Giko. Dia pamit hampir tengah malam. Dalihnya sih ingin menyelesaikan semua masalah dan minta maaf kepada Luffy. Danar sendiri sudah pulas dari pukul sebelas malam. Aku lantas beranjak ke sofa, bergelung di dalam selimut. Aku sempatkan melihat ponsel sebelum memejamkan mata. Ada beberapa chat dari Tama yang belum aku balas. Aku yakin Tama sudah tidur, dan mungkin ponselnya sudah nggak aktif, jadi aku iseng membalas. Namun, siapa sangka aku malah mendapat balasan langsung. Aku melihat tanda online di room chat-nya.Aku baru akan mengetikkan balasan, tapi panggilan video dari dia masuk. Sontak hal itu membuatku terperanjat dan secara refleks membuka selimut. Aku melirik Danar yang tampak tertidur pulas, lalu kembali melirik layar ponsel yang masih menyala. Dengan satu tarikan napas panjang, aku akhirnya menerima panggilan itu. Wajah bening Tama langsung muncul begitu aku mengaktifkan panggilan video. Aku tersenyum melihat Tama yang tampak kebingungan, lantaran
Daripada rasa penasaranku makin menggunung, lebih baik aku keluar dari kamar mandi. Aku bergerak perlahan dan langsung mendapat perhatian dari mereka berdua. Aku tersenyum canggung dan mengangkat tangan ragu. "Hai," sapaku, lalu melirik Danar yang sepertinya tidak mau menjelaskan apa-apa tentang kemunculan wanita cantik itu. "Hai." Wanita itu balas menyapaku lalu menyimpan nampan sarapan Danar dan berdiri. Aku otomatis mendekat dan dia mengulurkan tangan terlebih dulu. "Gue Marissa. Terima kasih, ya, udah jagain Danar. Buat selanjutnya biar gue yang jagain dia aja." Meski bingung, aku menyambut uluran tangannya. "Gue Wina." Seumur-umur mengenal Danar, baru pertama kali aku melihat wanita cantik ini muncul. Siapa dia? "Bisa dilanjut sarapannya?" tanya Danar, terdengar dingin. Itulah kenapa Giko menyebutnya kulkas, karena memang Danar sewaktu-waktu bisa berubah seperti es. Wanita itu langsung duduk kembali. Dia menyempatkan diri mengibaskan rambut sebelum kembali meraih nampan.
Terima kasih ya, yang udah jeli baca cerita ini. Soalnya masih banyak typo yang bertebaran. Wkwk, posting kejar-kejaran memang begini jadinya. Nggak maksimal. ______Belum banyak info yang aku dapatkan tentang wanita bernama Marissa itu, selain panggilan mereka satu sama lain menggunakan aku-kamu. Karena begitu mereka melewatiku, aku langsung kabur. Beruntung, tidak ketahuan sedang menguping. Weekend ini aku berencana menunggui Danar sebenarnya. Namun, karena wanita cantik itu mengusir dengan cara halus, rencanaku berubah. Dari rumah sakit aku langsung ke stasiun Cawang. Memilih alternatif Commuter Line untuk menuju ke Bogor, ke rumah Ibu. Sejak Dendy ditugaskan di Kalimantan, Ibu memilih pindah ke rumah mendiang almarhum Nenek di Ciomas, masih satu kabupaten Bogor, dekat dengan saudara-saudaranya. Ibu sempat memutuskan menjual rumah yang ada di Jakarta untuk membayar rumah Nenek kepada ahli warisnya. Sudah sekitar empat tahun Ibu di sana. Biasanya dua minggu sekali aku datang untu
Aku baru keluar dari kamar mandi ketika mendengar sayup-sayup suara deringan ponsel. Langkahku bergegas menuju kamar, karena benda ajaib itu aku simpan di atas tempat tidur. Aku beranjak duduk dan meraih ponsel yang layarnya bercahaya. Panggilan masuk dari Tama. "Aku nggak tau kalau kamu udah pulang," ujar Tama di sana setelah menjawab salamku. "Aku udah pulang dari pagi. Kamu lagi ada di rumah sakit?" tanyaku, sambil mengusap-usap rambut yang masih basah. "Iya, aku lagi jalan turun ke lobi mau pulang. Aku pikir kamu masih di RS niatnya mau jemput kamu sekalian. Tapi Danar bilang kamu ke Bogor. Beneran itu?" Aku mengangguk, "Iya, benar. Aku di rumah Ibu." Lalu beranjak berdiri dan bergerak duduk di kursi berhadapan dengan cermin. Aku mengaktifkan loud speaker dan menaruh ponsel di atas meja. Tanganku menarik laci tempat penyimpanan sisir dan pelembab yang sengaja aku tinggal. "Asyik, ya. Liburan nggak ngajak-ngajak." Aku yang sedang menuang toner ke telapak tangan tersenyum. "N
Seperti biasa jalanan utama kota sedikit macet. Mungkin karena banyak yang ingin bermalam mingguan sama seperti aku dan Dean. Biasanya kami menonton film cukup di Bogor Trade Mall yang ada di Jalan Juanda, tapi kali ini kami memutari kebun raya menuju Pajajaran ke Botani Square. Gara-gara macet itu, kami ketinggalan film sekitar sepuluh menit. It's okay masih bisa ditoleransi. Dan aku benci dengan film yang Dean pilih. Alih-alih Komedi romantis dia malah memilih film horor. Jadi, selama dua jam duduk di kursi dingin, aku memperhatikan jalannya cerita dengan dada berdebar. "Lo kalau mau nonton horor itu nanti sama cewek lo. Lo tau engga, sih sepanjang film diputar gue nahan kencing?!" omelku begitu keluar dari studio. Dean malah tertawa melihatku mengomel. Manusia satu ini beneran minta aku tampol. "Ya kan tinggal ke toilet aja. Apa susahnya?" Aku menggeleng seraya melepas napas dari hidung dengan kasar. "Kalau hantunya ngikutin gue sampe ke toilet gimana?" "Lebay! Itu kan cuma f
Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,
Danar masih sibuk di depan laptopnya. Akhir bulan memang menjadi momok bagi karyawan di perusahaan keuangan. Jika biasanya dia akan lembur di kantor hingga larut, kali ini dia membawa pulang pekerjaan ke apartemen. Alasannya konyol. Lembur di kantor sudah nggak menyenangkan sejak aku nggak bekerja di sana lagi.Maksud ngana?Beberapa saat sebelum dia berkutat di depan layar laptop ada sebuah pengakuan yang mencengangkan. Seenggaknya mencengangkan bagi aku. Hehe."Aku dulu sengaja memintamu lembur, agar aku bisa berlama-lama sama kamu di kantor. Percaya enggak?"Itu diucapkan manusia yang baru dua minggu jadi pacarku tanpa ekspresi. Gila enggak? Sontak saja mataku melotot dan memekik. "Demi apa?""Demi kamu."Panggilan "lo-gue" berganti "aku-kamu" di hari kedua kami pacaran. Awalnya agak geli, tapi lama-lama terbiasa. Danar yang terus membiasakan sebenarnya.Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu tau nggak, sih, Nar. Lembur itu hal yang paling nggak aku suka.""Aku sih suka aja
Setelah mengucapkan tetek bengek doanya buatku, pria yang aslinya memiliki senyum manis itu memelukku. "Nggak usah sedih meskipun sekarang cuma gue doang yang nemenin ultah lo." Dia mengacak rambutku. Alih-alih sedih aku malah terkekeh. Ini yang aku nggak paham. Serius, muka lempeng Danar itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, tapi kadang bikin aku ingin tertawa. "Sebenarnya gue pengin rayain ultah bareng pacar. Tapi, nasib cinta gue masih ngenes aja dari tahun kemarin," ujarku masih terkekeh, merasa nasib konyolku ini seperti lelucon. "Pacar, ya?" Aku mengangguk. "Mungkin gue akan pertimbangin Bima, biar ultah gue tahun depan nggak jomblo lagi." "Kok Bima?" Kening Danar mengernyit."Ya, soalnya cuma dia satu-satunya cowok yang lagi prospek ke gue." Aku meraih pisau keik, dan mulai memotong kue. "Sebenarnya gue punya penawaran. Dan gue rasa ini cukup menguntungkan, buat lo atau pun gue." Aku yang sedang fokus memotong kue hanya membalas sambil lalu. "Apa tuh?"Danar tidak lan
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka