Aku baru membaca pesan Giko dan Danar di whatsapp grup saat sudah sampai rumah. Aku meninggalkan Dean yang langsung menghampiri Ibu ketika kami sampai rumah. Dia sempat membelikan martabak telur pesanan Ibu sebelum pulang. Sekarang keduanya sedang ngobrol seru di ruang TV. Menghabiskan martabak telur dengan dua cangkir teh hangat di atas meja yang Ibu siapkan tadi. GikoDean perasaan makin ganteng ajaItu chat yang Giko tulis, di bawahnya Danar menyahuti. DanarNamanya juga laki.GikoTakutnya ada yang jatuh cinta tanpa sadar, Nar."DanarMaksudnya elo?!Giko Ya kali, gue jatuh cinta sama laki. Emang gue Ragil!DanarHahaha!Pembahasan yang unfaedah. Aku memutar bola mata dan memutuskan nggak nimbrung dalam obrolan chat itu. Setelah berganti pakaian aku keluar dari kamar. Dean masih duduk manis di depan layar TV menyaksikan tontonan bola yang bagiku membosankan. "Bu, anak laki-laki ibu yang ada di Kalimantan katanya bakal pulang kalau aku udah nikah," celetukku mengambil tempat du
Aku membuka jendela kamar saat pagi menjelang. Tunggu, apa masih bisa dibilang pagi? Sekarang sudah hampir pukul sembilan. Tepat di samping kamarku, ada lahan pekarangan. Di sana ibu menanam macam-macam tanaman. Seperti singkong, ubi, sayur bayam, cabe, tomat dan lain-lain. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur di bawah perawatan Ibu yang bertangan dingin. Dari sini aku bisa melihat tanaman cabe yang berbuah banyak. Ibu tidak perlu membeli cabe yang harganya sekarang sedang gila-gilaan. Tomat chery berwarna merah juga sedang banyak-banyaknya berbuah. Pemandangan itu membuat senyumku tersungging. Namun, nggak lama dari itu aku melihat Dean memasuki kebun kecil ibu dengan membawa sebuah ember kecil. Lelaki itu mengenakan kaos hitam disambung celana pendek. Kakinya cuma mengenakan alas sandal karet. Sangat kontras dengan penampilannya semalam saat mengajakku malam mingguan. Tapi biarpun begitu dia masih terlihat lumayan ganteng. "Heh! Ngapain lo di situ?! Kayak burung kakak tua!" tegurnya
big thanks buat yang berkenan memberi ulasan bintang lima dan komenannya.______Aku ingin mengusir Tama, tapi jelas itu nggak mungkin. Ibu dan Dean sudah menangkap keberadaannya yang sama sekali nggak aku duga. Jadi, lelaki yang kini mengenakan outfit semi formal itu duduk di salah satu sofa single seater berseberangan dengan Ibu dan Dean. Sementara aku diberi tugas membuatkan minum bagi tamu tak diundang tersebut. Hanya satu cangkir teh, nggak membutuhkan waktu lama. Kurang dari lima menit aku sudah menyuguhkan teh hangat ke depan Tama. "Jadi, namanya siapa?" tanya Ibu yang aku perhatikan terus memandangi Tama dengan tatapan kagum. "Sebelumnya saya minta maaf sudah lancang datang ke sini. Saya Tama, teman Wina. Kami dulu pernah satu sekolah," terang Tama seraya memperkenalkan diri. Aku yang berdiri di belakang Ibu sambil memeluk nampan hanya bisa mengerutkan bibir. Jujur aku kesal dengan tindakannya. "Oh, jadi dulu pernah satu sekolah sama Wina. Kenal Danar dan Giko juga?" Tam
Sebelum baca follow authornya dulu. Jangan lupa vote, dan pegang hatinya kuat-kuat. Wkwk.______Siang itu juga aku pamit pulang ke Jakarta. Ibu sempat menahanku untuk pulang sore saja. Namun, aku menolak. Aku tidak mau baik ibu atau pun Dean mewawancarai Tama lagi. "Saya pamit mengantar Wina ke Jakarta, ya, Bu," ucap Tama sopan. Tangannya maju dan minta salam kepada ibu. "Tolong, hati-hati ya, Nak Tama," sambut ibu menepuk bahu lebar Tama. Sementara Dean, dia hanya mengangguk ketika Tama berpamitan padanya. "Lo yakin dia cuma teman yang mau jemput lo?" tanya Dean ketika aku berpamitan padanya. Tama sudah lebih dulu ke teras bersama Ibu. "Ya, iya. Memang apa lagi?" "Gue curiga dia cowok lo. Dari gelagat dan tatapannya ke lo. Lo kayak mau diterkam aja sama dia." Aku kontan melebarkan mata sembari memukul lengan abang sepupuku itu. "Memangnya dia harimau." Dean meringis kesakitan, tapi tatapnya masih saja melihat ke arah Tama yang sedang bicara dengan ibu. "Lo kudu hati-hati, gu
Aku kembali berusaha menarik tangan dari genggamannya. Kali ini berhasil. Setelahnya aku buru-buru menggapai gelas minum,dan menyeruputnya seraya memalingkan wajah. Aku merasa tubuhku memanas, dan sangat yakin kalau wajah ini sudah memerah. Tama membuat jantungku rasanya mau lepas. Organ sebesar kepalan tangan itu berdenyut kencang seolah mau lompat keluar. Aku terselamatkan dari situasi ini ketika ponsel Tama berdering. Dia tampak merogoh saku celananya dan mengecek benda pipih yang sedang mengeluarkan suara itu. "Tunggu sebentar, ya. Ada telepon masuk," ucapnya lantas menyingkir. Fiuh! Aku melepaskan napas lega begitu lelaki jangkung itu pergi. Ya Tuhan, aku bahkan masih bisa merasakan tanganku yang bergetar. Tama mengajakku kembali ke unit setelah menerima telepon entah dari siapa. Melihat dari perubahan raut wajahnya sepertinya sudah terjadi sesuatu. Namun, aku enggak berani bertanya. Dia mengantarku hingga ke depan unit, padahal aku beberapa kali menolak agar dia langsung s
Danar masih membisu. Dia hanya menatapku dengan mulut tertutup rapat. Tidak ada ekspresi apa pun pada wajahnya. Datar seperti biasanya. Aku masih ingat dia dan Marissa satu sama lain memanggil dengan sebutan aku-kamu, dan itu cukup membuatku penasaran dan menyangka keduanya memiliki hubungan sesuatu. "Mau jawab dia teman biasa?" tanyaku menatapnya lurus dengan lengan melipat di dada, sementara dua alisku sudah menanjak. "Kenapa? Bukannya lo sama Tama juga teman biasa?" Mulutku akan membuka. Namun urung sesaat setelah sadar aku nggak punya jawaban untuk pertanyaannya. Aku berdecak, dan menyerah. Lalu memilih mengangkat tas, memindahkannya ke atas meja. Mungkin memang nggak usah banyak bicara. Aku menyibukkan diri membereskan sisa-sisa makanan di atas nakas. Yang masih bisa dimanfaatkan aku pisah dan disimpan ke kantong berbeda. Langkahku bergeser ke kulkas mini di sudut ruangan. Ada buah-buahan yang masih utuh terbungkus rapi. "Krisan di atas meja bawa, Win. Itu dari Arin." Aku s
Oh ya yang baru nemu cerita ini pastikan follow authornya dulu, dan jangan lupa vote serta tinggalkan jejak.(◠‿◕)Gerakan Danar yang hendak meneguk minumannya terhenti. Dia menatapku sesaat, lalu menghela napas. "Apa itu penting banget?" Kalau dia masih menganggapku sahabat, dia akan menjawabnya dengan mudah. Tapi, tunggu. Aku tiba-tiba salah tingkah. Ini pasti wujud dari overthinking yang aku rasakan akhir-akhir ini tentang Tama. Menelan ludah kasar, aku beranjak duduk di samping Danar dengan gerakan pelan. "D-dia nggak seperti Tama, kan?" tanyaku ragu. Aku bisa melihat kerutan samar pada dahinya. "Seperti Tama?" Aku mengangguk, lalu kembali merasa nyeri saat ingat sebelum ke rumah sakit aku sempat melihat Tama dengan istrinya. "Sudah punya pasangan." "Gue nggak tau," sahutnya melengos dengan muka masam. Kentara sekali Danar nggak mau mengatakan hal yang sebenarnya. "Oke. Gue nggak mau maksa," ucapku akhirnya dan bergerak ke dapur untuk menyimpan buah-buahan yang tadi dibawa
Danar kesal karena kesusahan menyuap dengan tangan kiri. Dia mendorong mangkoknya menjauh. "Butuh bantuan?"Lelaki berwajah lempeng itu nggak menjawab dan hanya menyeka bibirnya yang belepotan kuah seblak. Aku menarik napas melihat tingkahnya. Dia terbiasa mandiri, lengannya yang menggantung itu pasti membuatnya kesal setengah mati. Aku menyimpan piring, dan meraih mangkok Danar. "Gue suapin sini." Danar melirikku dengan kening berkerut. "Nggak usah. Lo makan aja.""Ahelah! Nggak usah sok kuat. Udah, suapin Wina aja. Gue lagi males nyuapin lo," sambar Giko, menyempatkan diri menjeda kegiatan makannya. Danar berdecak, dan dia pasrah saat aku menyodorkan sendok. "Nah, gitu kan enak. Wina bisa sambil makan dan nyuapin lo," ujar Giko lantas tertawa. "Kalian udah mirip kayak laki dan bini. Dahlah, Win. Lo sama Danar aja. Sama-sama single, pas." Aku dan Danar kompak mendelik. Dan hal itu membuat tawa Giko berhenti seketika. "Ya kan kali aja jodoh gitu," ujarnya lalu kembali fokus ke