Danar datang dua puluh menit kemudian ketika kepalaku sedang pusing-pusingnya. Pria itu datang dengan wajah panik, dan langsung masuk unit saat aku membuka pintu. Giko dan Tama masih duduk di sofa yang sama dengan posisi saling memunggungi. Keduanya persis seperti anak kecil yang sedang berantem memperebutkan permen. "Kalian pulang sana. Jangan ganggu Wina istirahat," ujar Danar sesampainya di depan mereka. Aku pikir dia akan mengatakan hal penting apa. Ya, semacam nasehat atau apa, nggak tahunya cuma mengusir mereka. "Lo usir aja dia. Dia membawa pengaruh buruk buat Wina," seru Giko masih terdengar kesal."Dih, lo aja kali. Yang udah njebak Wina main pacar-pacaran buat bohongin keluarga lo." Giko menggeram. Dia lantas beranjak berdiri dan berkacak pinggang. "Sadar dong, Tam. Lo itu udah punya bini. Nggak pantes banget lo rayu-rayu cewek lain. Lo mau jadiin Wina selingkuhan lo?!" Mataku terpejam. Telingaku merasa tak nyaman mendengar ucapan Giko barusan. Padahal yang dia katakan
Aku menarik napas beberapa kali sebelum keluar dari mobil Giko. Saat ini kami sedang ada di depan salah satu restoran fine dining di kawasan Mega Kuningan. Kami akan makan malam bersama Luffy. Giko bilang Luffy sudah menunggunya di sana. Makan malam bersama orang kaya itu agak ribet. Harus ada dress code agar bisa bergabung bersama mereka. Siang tadi Giko mengirimi aku sebuah gift berisi satu set dress lengkap dengan clutch melalui seorang OB. Dia niat sekali mengenalkan aku dengan abangnya. "Makin cepat makin baik, Win. Jadi, gue nggak dikejar-kejar Luffy terus. Sekalian pembuktian sama dia bahwa gue juga punya hubungan serius," ujar Giko ketika aku meminta dia mengulur waktu untuk berkenalan dengan Luffy. "Setelah ini udah kan? Maksudnya nggak akan ada acara-acara lain yang bakal nglibatin gue?" Aku harus memastikan hal ini. Jujur, aku nggak mau terlibat terlalu jauh dengan keluarga Jayakusuma. "Gue nggak tau, sih. Tapi, ada rencana liburan keluarga tahun ini. Kemungkinan besar
"Sepertinya kita pernah bertemu, tapi di mananya aku lupa," ujar Luffy, menyipitkan mata memperhatikan aku makan. "Oh, mungkin karena kamu bekerja di perusahaan ayah jadi aku nggak asing. Tapi, aneh, sih. Kalau kamu udah kenal lama dari sekolah, dan menjalin hubungan selama dua tahun dengan Giko, kenapa aku nggak tau, ya?" Luffy terus saja berbicara seperti orang bermonolog karena aku tidak tertarik menanggapi ocehannya itu. "Bisa jelaskan enggak proses jadian kalian gimana?" Ya Tuhan, Giko ke mana sih? Bisa-bisanya dia membiarkan aku berdua dengan abang setannya ini? Aku menarik tisu dan mengelap bibir. Berhadapan dengan orang yang mungkin saja bisa mengintimidasi, kita nggak boleh lemah. Aku mengangkat dagu sedikit, dan menatap pria di depanku. "Seperti yang Anda tau, Pak. Saya dan Giko bekerja dalam satu naungan perusahaan yang sama. Awalnya kami memang teman biasa, tapi karena kami sering bertemu jadi rasa suka di antara kami timbul. Mungkin gitu, sih prosesnya." Luffy tampa
Pria di hadapanku mendekat. Aku tidak tahu maksud pertanyaan "Pakaian seperti ini?" Memangnya apa yang salah dari gaun yang aku pakai? Tiba-tiba Tama menarik pinggangku, hingga tubuhku terdorong ke depan mengenai dadanya. "Harusnya kamu berpakaian seperti ini saat lagi sama aku, Wina," bisiknya dengan lengan yang memeluk pinggangku erat. Sebelah tangannya menekan tombol lift, dan seketika pintu besi itu terbuka. Dengan masih memeluk erat, Tama mendorongku masuk ke dalam lift hingga punggungku mengenai dinding lift. Aku masih belum bisa berpikir apa-apa ketika bibir Tama jatuh mengenai bibirku. Terkejut? Tentu saja. Dia lalu menjauh, dan menatapku. Sebelum aku melontarkan tanya dia kembali membungkamku dengan bibirnya. Menjauh, dan melakukannya lagi. Dan bodohnya aku diam saja seraya menahan gejolak di dalam perutku yang mendadak seperti banyak kupu-kupu terbang. Kami di sini, saling berpelukan di teras balkon. Akhir dari ciuman di lift tadi, membawa kami ke sini. Menikmati malam
Aku masih sibuk menggarap konten ketika Arin menyenggol lenganku berulang. Aku hanya menanggapi seadanya dengan tatapan masih lurus ke arah layar. Aku membutuhkan konsentrasi tinggi untuk membuat konten menarik. Dan biasanya gangguan pergosipan dari Arin sering mendistraksi. Jadi, kali ini aku mau fokus dan nggak mau peduli berita apa yang dibawa wanita yang beberapa hari lalu mengembalikan poni pendeknya lagi. "Wina, dia datang lagi ke kantor kita. Mau apa coba?" tanya Arin pelan. Aku nggak tahu apa yang dia bicarakan jadi memilih abai. "Meski agak nyeremin tapi lama-lama dilihat tampan juga, ya, Win." Aku masih fokus memilih stiker yang cocok untuk aku masukan ke dalam konten. "Rahangnya tegas, dagunya juga kokoh. Cakep Win, lebih cakep dia daripada Pak Giko. Kenapa lo nggak gaet abangnya aja, sih?" Sebelah alisku berkedut. Lalu tanganku kembali menggerakkan tetikus membuang stiker yang sudah aku pasang. Aku mengembuskan napas. Arin terlalu berisik, sehingga konsetrasiku buyar
Kejebak macet ketika pulang dari lembur itu sangat tidak menyenangkan. Bayangkan saja, seharian bekerja. Badan sudah lelah, lengket, tulang seolah remuk dan harus dihadapkan macet serta bisingnya ibu kota. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Kalau sudah seperti ini aku ingin terbang saja. Melewati ratusan manusia dan kendaraan yang berjejal di jalanan. Sudah sepuluh menit mobil Giko mandeg. Nggak jalan sama sekali barang satu senti pun. Klakson-klakson dari mobil dan motor bersahutan tak sabar. "Berisik, Bangke. Siapa sih yang nggak mau cepet jalan.Tapi di depan macet! Mata kalian semua pada buta apa gimana, sih?" omel Giko yang merasa terganggu dengan bunyi klakson di belakangnya. "Di depan ada perbaikan jalan kayaknya deh," ujarku yang merasa lelah karena mobil belum juga bergerak. "Gue bakal request bapak presiden biar dibikinin ruas jalan baru." "Pembangunan jalan baru juga bikin jalanan macet." "Hah!" Giko memukul kemudi dengan gemas. "Ya udah sih nikmati aja." "Gu
Aku dan Giko keluar dari restoran setelah berhasil menghabiskan dessert satu cup puding mangga mix dengan es krim. Aku yang menolak diajak ke restoran Padang membuat Giko harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Bodo amat. Kan dia ngeyel jadi pacarku. Meski cuma pura-pura, benefitnya harus tetap nyata. "Gue sama Danar ikut ke Bogor, ya, nanti. Udah lama banget nggak jengukin ibu. Pasti ibu kangen sama gue," ujar Giko penuh percaya diri. Sudah sangat biasa. Jadi, aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata. Lalu ketika langkah kami sampai di lantai lobi, dua orang yang baru saja masuk menarik perhatian kami. Aku sempat tertegun melihat keduanya yang melangkah terburu-buru. Mereka Tama dan Sintia. Aku harap mereka nggak melihatku. Malas kalau harus terlibat obrolan dengan mereka berdua. Tapi ...."Sintia!" Aku berdecak pelan saat pria di sampingku malah berseru memanggil Sintia. Gara-gara itu mereka menoleh ke arah kami. Sumpah, rasa-rasanya aku ingin sekali menyumpal mulut makhlu
Sudah hampir satu jam Giko di apartemenku. Dia masih saja asyik menonton siaran bola sendirian. Bahkan camilanku dia babat juga. Ngeselin banget itu orang. Meskipun nanti diganti sama camilan lain segambreng, tapi tetap saja nyebelin. "Lo nggak niat pulang apa gimana, gitu?" tanyaku berdiri di ambang pintu bersandar pada kusen. "Tanggung, Win. Satu babak lagi. Ini tim favorit gue nih, sayang kalau dilewatkan." Aku memutar bola mata. Kalau sudah begini ceritanya pasti bakal lama. Jika ada Danar malah bisa lebih lama lagi. Aku mengembuskan napas. Lalu beranjak masuk ke kamar, menutup pintu. Bertepatan dengan itu bunyi notif pesan dari ponselku terdengar. Aku mendekati nakas, dan duduk di tepian tempat tidur yang paling dekat nakas. Pop up percakapan dari Tama muncul.Tama : Giko udah balik? Dia seperti sedang memantau. Saat pesannya centang biru. Ponselku auto bergetar. Nama Tama muncul di sana. Aku mengangkat kaki ke atas tempat tidur, duduk bersila di sana dan menarik sebuah gu
Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,
Danar masih sibuk di depan laptopnya. Akhir bulan memang menjadi momok bagi karyawan di perusahaan keuangan. Jika biasanya dia akan lembur di kantor hingga larut, kali ini dia membawa pulang pekerjaan ke apartemen. Alasannya konyol. Lembur di kantor sudah nggak menyenangkan sejak aku nggak bekerja di sana lagi.Maksud ngana?Beberapa saat sebelum dia berkutat di depan layar laptop ada sebuah pengakuan yang mencengangkan. Seenggaknya mencengangkan bagi aku. Hehe."Aku dulu sengaja memintamu lembur, agar aku bisa berlama-lama sama kamu di kantor. Percaya enggak?"Itu diucapkan manusia yang baru dua minggu jadi pacarku tanpa ekspresi. Gila enggak? Sontak saja mataku melotot dan memekik. "Demi apa?""Demi kamu."Panggilan "lo-gue" berganti "aku-kamu" di hari kedua kami pacaran. Awalnya agak geli, tapi lama-lama terbiasa. Danar yang terus membiasakan sebenarnya.Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu tau nggak, sih, Nar. Lembur itu hal yang paling nggak aku suka.""Aku sih suka aja
Setelah mengucapkan tetek bengek doanya buatku, pria yang aslinya memiliki senyum manis itu memelukku. "Nggak usah sedih meskipun sekarang cuma gue doang yang nemenin ultah lo." Dia mengacak rambutku. Alih-alih sedih aku malah terkekeh. Ini yang aku nggak paham. Serius, muka lempeng Danar itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, tapi kadang bikin aku ingin tertawa. "Sebenarnya gue pengin rayain ultah bareng pacar. Tapi, nasib cinta gue masih ngenes aja dari tahun kemarin," ujarku masih terkekeh, merasa nasib konyolku ini seperti lelucon. "Pacar, ya?" Aku mengangguk. "Mungkin gue akan pertimbangin Bima, biar ultah gue tahun depan nggak jomblo lagi." "Kok Bima?" Kening Danar mengernyit."Ya, soalnya cuma dia satu-satunya cowok yang lagi prospek ke gue." Aku meraih pisau keik, dan mulai memotong kue. "Sebenarnya gue punya penawaran. Dan gue rasa ini cukup menguntungkan, buat lo atau pun gue." Aku yang sedang fokus memotong kue hanya membalas sambil lalu. "Apa tuh?"Danar tidak lan
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka