Sampai dia pamit meninggalkan apartemenku, Tama tidak membahas satu patah kata pun soal kejadian semalam. Dia pasti juga nggak sadar saat aku mendengar pertengkarannya melalui telepon. Dan aku juga tidak berniat untuk membahasnya ketika aku rasa mood lelaki itu lagi kurang baik. Kami hanya membahas hal-hal umum yang tidak ada hubungannya dengan soal pribadi. Misal, rencana mengunjungi Tebet Eco Park di akhir pekan yang mana langsung kutolak karena mau pulang ke rumah Ibu. Dia tidak menawari berangkat berkerja bersama seperti biasanya. Jelas nggak mungkin saat ada Sintia dia ketahuan mengantarku berangkat kerja. Mungkin perdebatan mereka akan lebih besar kalau sampai ketahuan. Apalagi jika Sintia tahu semalam Tama tidur di apartemenku, ya, meskipun kami nggak melakukan apa-apa dan berada di ruang terpisah. Tapi kalau wanita cemburu buta, semua alasan nggak bisa diterima oleh akalnya. Aku sampai kantor ketika Danar sedang memberikan briefing paginya. Sedikit terlambat sehingga hanya
Aku senang karena akhirnya bukan hanya aku yang ikut makan siang atas undangan Luffy. Danar pun ikut bersama kami. Korban kekerasan anak buah Luffy itu meminta syarat dirinya ikut serta, baru dia mengizinkan Giko membawaku. Giko mendengus. Dan mencemooh, "Bilang aja mau makan enak gratis." Tapi tentu saja hanya ditanggapi dengan tawa oleh pria pemilik poni setengah itu. Jika lokasi kantor kami ada di Jakarta Selatan, maka lokasi restoran tempat Luffy mengundang kami makan siang ada di Jakarta Utara. Dari ujung ke ujung. Aku heran kenapa Giko mau repot-repot seperti ini? Kenapa nggak suruh abangnya saja yang makan siang menyesuaikan lokasi kami? Jadi, nggak akan makan waktu lebih panjang dari durasi istirahat siang. Lokasi makan siang kami ternyata ada di salah satu restoran di ujung Kota Jakarta Utara. Sebuah restoran yang menyediakan segala macam menu seafood yang artinya aku nggak bisa memakannya. Jadi, buat apa aku makan siang ke tempat sejauh ini kalau ujung-ujungnya yang aku
Aku benar-benar sangat terlambat kembali ke kantor. Luffy yang menghadap langsung Pak Johan, meminta maaf padanya. Aku tentu saja harus cuci tangan soal ini. Karena memang dia yang menyebabkan jam kerjaku berantakan. Arin menyenggol lenganku saat aku kembali ke kubikel. "Ada apa?" tanyaku meliriknya. "Lo abis ke mana aja? Pak Danar dari tadi bolak balik nanyain lo udah kembali belum," ujarnya berbisik. Aku lupa memberi tahunya saat di perjalanan ke kantor tadi. Pria bernama Luffy itu benar-benar menguji kesabaranku. Dua jam lebih aku menghabiskan waktu istirahat sia-sia. Jika gajiku dipotong gara-gara ini, akan kupastikan dia mengganti rugi semuanya. "Gue tadi ada urusan sedikit," balasku berbisik juga. "Dua jam lalu lo pergi sama Pak Danar dan Pak Giko, kenapa pulangnya nggak bareng?" "Iya, ada sedikit masalah," sahutku, nyengir. Aku nggak mau Arin membahas lebih lagi. Kerjaanku masih banyak, menumpuk dan bisa diprediksi nggak akan terselesaikan sampai jam pulang tiba. Hari in
"Gue curiga Luffy beneran naksir lo." Suara Giko berdenging, memekakkan telinga. Bukan karena kerasnya suara dia, tapi lebih karena informasi yang dia sampaikan. "Ngaco." Aku merespons singkat "Nggak tau, tapi gue yakin begitu." Aku baru sampai apartemen ketika panggilan telepon dari Giko masuk. Lalu dia menginfokan hal yang nggak masuk akal. "Lo tau? Dia sering meminta gue buat putusin lo. Dia bilang Wina terlalu sempurna buat gue. Sialan enggak?" Aku mendesah dan melempar tas ke sofa. "Itu nggak lantas bisa dijadikan alasan buat menyimpulkan kalau dia naksir gue." "Memang sih. Cuma feeling gue bilang begitu.""Feeling lo itu nggak pernah benar." "Kadang-kadang benar." Luffy juga meminta hal sama. Memintaku agar putusin Giko. Dia masih heran bagaimana bisa aku pacaran dengan playboy tengik macam adiknya. Jika dia tahu ini hanya pura-pura, aku nggak tahu apa yang akan dia katakan. "Udah, jangan ganggu gue. Gue baru pulang dan mau istirahat.""Serius lo baru pulang? Ngapain a
"Kayaknya kalian makin sweet aja."Aku baru mendaratkan bokong ke kursi saat Arin melemparkan godaan itu. Tanpa ditanya maksudnya pun, aku tahu. Dia sedang menggodaku yang tadi "ribut" di lobi. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri agar enggak asal ceplos menjelaskan kejadian yang sebenarnya. "Ya, namanya juga pacaran, Rin. Wajarlah kalau ada swit-switan dikit." Arin mesem lalu menggeser kursinya mendekatiku. "Kayaknya Pak Giko nggak bakal berulah deh kali ini. Secara yang jadi satpam dia lo." Aku menoleh ke sisi Arin dan melihat wanita itu menarik turunkan alisnya. Aku kembali menghela napas. "Ya belum tentu juga. Dia kan cepat bosan sama cewek.""Beuh! Kalau gue jadi lo dan memergoki dia selingkuh. Gue gantung lehernya di tiang bendera depan kantor." "Ide bagus. Thanks, ya, sarannya," ucapku menepuk pundaknya pelan dan berharap obrolan ini berakhir. Dan harapanku terkabul ketika Danar datang. Arin langsung menggeser kursi kembali ke mejanya dan terlihat mengambil sesua
Tama : Bisa temui aku sebentar? Aku ada di lobi.Aku mengerjap membaca pesan dari Tama. Jam makan siang sudah lama berlalu. Jadi, apa yang dia lakukan di sini? Setelah meminta izin kepada Arin, aku bergegas turun ke lobi. Ini seperti memotong waktu kerja, tapi jika hanya sebentar kurasa nggak masalah. Dia benar ada di sana. Di salah satu sofa yang ada di lobi. Aku bergegas menemuinya. "Tama, ada apa?" Pria yang duduk membelakangiku itu menoleh, dan langsung tersenyum begitu melihatku. Aku segera beringsut ke sofa yang berseberangan dengannya. "Kenapa ada di sini waktu jam kerja?" tanyaku pelan. "Aku tadi habis meeting dengan CEO kalian. Jadi, sekalian saja aku ingin melihat kamu. Aku kangen." Pertemuan terakhir kami saat dia datang ke apartemen dan tahu-tahu ada di dekatku ketika aku tidur. Setelahnya aku sibuk dan dia pun sepertinya begitu. Aku melirik kanan-kiri melihat situasi. Sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya. Karena seluruh kantor ini mungkin tahu aku pacar Giko
Aku melihat Giko berjalan ke arahku. Beberapa saat lalu dia mengirimi pesan agar aku menunggunya di lobi. Kami akan pulang bersama seperti biasanya. Namun, ada orang lain di sisinya yang membuatku tanpa sadar berdecak. Luffy lagi. Aku merasa sejak berkenalan dengannya jadi sering melihat lelaki itu di gedung ini. Padahal dulu dia muncul di gedung ini kalau ada rapat besar. "Yuk, Beb. Kita jadi nonton, kan?" tanya Giko seraya menggiringku untuk berjalan di sampingnya. "Nonton?" Aku bingung. Kapan kami punya rencana seperti itu? Hari ini aku pulang sore, jadi bisa pulang bersama Giko. Danar sendiri sudah pulang lebih dulu tadi. Karena tahu aku pulang bareng Giko, dia meninggalkanku. "Iya, film horor terbaru yang lagi booming. Yuk, ah! Ntar kita telat." Giko langsung menggaet tanganku dan mempercepat langkah hingga aku terseok-seok mengikutinya. Dia sama sekali nggak memberiku kesempatan untuk menyapa Luffy yang dari tadi hanya menonton adegan kami dengan bibir miring. "Kenapa buru
Aku langsung kena mental melihat adegan mesum di bioskop. Ingin mengumpat, tapi di sini dilarang berisik. Risi banget sumpah. Apa mereka nggak punya otak ciuman di tempat umum begini? "Gue cabut aja," bisikku ke dekat Giko. "Filmnya belum setengah jalan masa lo udah mau cabut?" "Risi gue." Giko melirik kursi di samping kami yang penghuninya belum mau melepas bibir mereka masing-masing. Dia lantas mengerling. "Gimana kalau kita juga begitu?"Giko terpekik tertahan, begitu mendapat tabokan keras di kepalanya. "Gila, sakit, Wina." "Lo mau ikut sinting kayak dua orang itu?" tanyaku mendelik.Giko mengusap kepalanya yang barusan kupukul. Maksudnya biar otaknya yang gesrek bisa benar kembali. "Mereka nggak sinting, tapi lagi memanfaatkan momen." Astaga, memang otak pria playboy ini luar biasa. "Liat, Win. Cowoknya nyosor lagi." Ya ampun Giko malah menikmati tontonan lain daripada melihat layar lebar di depannya. "Gue yakin sebentar lagi ceweknya dibikin becek sama tuh cowok." Cuk
Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,
Danar masih sibuk di depan laptopnya. Akhir bulan memang menjadi momok bagi karyawan di perusahaan keuangan. Jika biasanya dia akan lembur di kantor hingga larut, kali ini dia membawa pulang pekerjaan ke apartemen. Alasannya konyol. Lembur di kantor sudah nggak menyenangkan sejak aku nggak bekerja di sana lagi.Maksud ngana?Beberapa saat sebelum dia berkutat di depan layar laptop ada sebuah pengakuan yang mencengangkan. Seenggaknya mencengangkan bagi aku. Hehe."Aku dulu sengaja memintamu lembur, agar aku bisa berlama-lama sama kamu di kantor. Percaya enggak?"Itu diucapkan manusia yang baru dua minggu jadi pacarku tanpa ekspresi. Gila enggak? Sontak saja mataku melotot dan memekik. "Demi apa?""Demi kamu."Panggilan "lo-gue" berganti "aku-kamu" di hari kedua kami pacaran. Awalnya agak geli, tapi lama-lama terbiasa. Danar yang terus membiasakan sebenarnya.Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu tau nggak, sih, Nar. Lembur itu hal yang paling nggak aku suka.""Aku sih suka aja
Setelah mengucapkan tetek bengek doanya buatku, pria yang aslinya memiliki senyum manis itu memelukku. "Nggak usah sedih meskipun sekarang cuma gue doang yang nemenin ultah lo." Dia mengacak rambutku. Alih-alih sedih aku malah terkekeh. Ini yang aku nggak paham. Serius, muka lempeng Danar itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, tapi kadang bikin aku ingin tertawa. "Sebenarnya gue pengin rayain ultah bareng pacar. Tapi, nasib cinta gue masih ngenes aja dari tahun kemarin," ujarku masih terkekeh, merasa nasib konyolku ini seperti lelucon. "Pacar, ya?" Aku mengangguk. "Mungkin gue akan pertimbangin Bima, biar ultah gue tahun depan nggak jomblo lagi." "Kok Bima?" Kening Danar mengernyit."Ya, soalnya cuma dia satu-satunya cowok yang lagi prospek ke gue." Aku meraih pisau keik, dan mulai memotong kue. "Sebenarnya gue punya penawaran. Dan gue rasa ini cukup menguntungkan, buat lo atau pun gue." Aku yang sedang fokus memotong kue hanya membalas sambil lalu. "Apa tuh?"Danar tidak lan
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka