“Dari mana saja, Kakak?”
Satu suara bernada sinis menyapa, membuat wajah lelaki itu semakin memucat.
“Kau tak lihat aku baru saja keluar dari kamar mandi, Zio?” lelaki bertopeng yang ternyata Lintang Timoer balik bertanya lantas beranjak naik ke atas brankar.
“Jangan membodohiku. Aku melihatmu pergi dengan makhluk-makhluk itu. Kau menyerang mansion Samudera Biru, bukan?”
Mata Lintang Timoer bergulir santai. “Kalau sudah tahu kenapa bertanya?”
Kenzio mendesis, ia maju dan mencengkeram kerah baju Lintang Timoer.
“Aku tidak peduli urusan kalian dengan peri itu, tapi jangan pernah libatkan Renata, aku tidak akan tinggal diam jika dia sampai terluka.”
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain kabur, adik kecil?” Lintang Timoer tersenyum mengejek.
“Aku bisa menghabisimu kalau perlu.”
Kenzio melepaskan cengkeramannya kasar lantas meninggalkan
Renata memindahkan bubur ke dalam termos sedikit tergesa. Serangan para penjual jiwa semalam membuatnya sangat lelah dan kembali bangun kesiangan, padahal ia memiliki janji untuk menjenguk Lintang Timoer pagi ini.“Anda tidak sarapan dulu, Nona?” tanya kepala pelayan sambil mengikuti Renata.“Aku sarapan di luar saja. Apa Tuan Lucas sudah datang?”“Tuan Lucas sedang ada perjalanan bisnis ke luar negeri.”“Oh, baiklah. Aku berangkat dulu.”“Hati-hati di jalan, Nona.”“Terima kasih.” Renata menyambar tasnya dan berjalan menuju halaman di mana Ratansa dan sopir sudah menunggu.“Selamat pagi, Nona.” Kedua lelaki itu mengangguk sopan.“Selamat pagi,” sahut Renata sambil tersenyum lalu menatap Ratansa. “Bagaimana keadaanmu? Kalau masih belum pulih sebaiknya istirahat saja, tidak perlu mengikutiku hari ini.”“Saya s
Mata Renata menyipit menembus ke dalam pekat. Ia tidak salah lihat, itu memang para penjual jiwa, jumlah mereka dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.“Ada apa, Kak?” tanya Shiny melihat wajah Renata yang menegang“Para penjual jiwa, mereka datang lagi,” sahut Renata sambil mengulurkan telapak tangan ke arah buffet di mana pedang giok perak tersimpan. Dalam sekejap pintu buffet terbuka, pedang melesat ke dalam genggamannya.“Ya ampun, pantang menyerah sekali. Apa mereka tidak tahu ini kediaman pangeran peri samudera? Jangan-jangan mereka tahu kalau Pangeran Biru sedang tidak ada, Kak?” cerocos Shiny sambil mengikuti Renata yang melompat ke halaman.“Entahlah, yang jelas ini akan jadi malam yang panjang.”“Sial, mereka merusak malam pertamaku di mansion cantik ini,” keluh Shiny sebal.Renata tak menimpali, fokus mencari keberadaan Ratansa.“Ratansa, para penjual ji
Lintang Timoer menahan tubuh Renata yang hampir membentur ubin. Dengan cepat membopongnya terbang menjauhi mansion.Ratansa yang melihat menggeram, memutus leher empat penjual jiwa yang mengeroyok dalam sekali tebas lantas melesat mengejar, namun dihadang oleh lelaki tinggi besar bertopeng.Sementara itu Shiny yang terluka tampak menjadi bulan-bulanan.“Ck, tak kusangka umurku hanya sampai malam ini,” decak gadis itu sambil menatap nanar para penjual jiwa yang serempak menghunus pedang ke arahnya.Shiny memejamkan mata, pasrah pada nasib yang akan menimpa. Namun sepertinya maut masih enggan menyambangi karena selarik sinar merah berhawa panas tiba-tiba membabat para penjual jiwa.Potongan tubuh mereka menggeliat-geliat di ubin seperti belatung.Shiny membuka mata, menatap punggung pahlawannya dengan terbelalak.“Ke ... Ken.”Pemilik sinar merah yang ternyata Kenzio menoleh. Menatap iba Shiny
Kenzio menatap sosok ringkih di depannya dengan perasaan campur aduk.“Kakek,” lirihnya.“Dia bukan kakekmu lagi, anak muda,” tukas Hyang Sagara cepat.Kenzio mendengus. Ia juga paham jika lelaki tua di depannya hanyalah kakeknya secara jasad tapi secara kesadaran dia adalah iblis bernama Ramangga Kala. Ia hanya kaget, setahun tak bertemu fisik Handoyo Timoer berubah seekstrem itu.Dan yang jelas sebenci apa pun, lelaki tua itu tetaplah kakeknya. Ia tak bisa melepaskan ikatan emosi di antara mereka begitu saja.Mata sang lelaki tua perlahan terbuka. Semua yang ada di sana semakin tercekat saat melihat warnanya yang semerah darah.Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang ringkih mata itu tampak begitu trengginas dan menyiratkan kekuatan besar.“Tikus-tikus kecil, berani sekali kalian mengganggu semediku,” ucap Handoyo Timoer alias Ramangga Kala dengan suara yang terdengar dalam dan seberat napasnya.
Renata mengerang ketika kesadarannya perlahan kembali. Ia membuka mata, mendapati dirinya terbaring di ranjang besar berkelambu putih.Saat berusaha bangkit tubuhnya terasa begitu lemas."Kau sudah sadar?”Renata berjengit mendengar suara itu. Penggalan-penggalan ingatan terakhirnya serentak berkumpul tanpa diminta.“Kau,” desis Renata dengan kemarahan membuncah saat melihat sosok Lintang Timoer yang mendekat.“Maaf, aku terpaksa,” ucap lelaki itu sambil tersenyum.“Jangan sentuh aku.” Renata menepis lengan Lintang Timoer yang merengkuh bahunya.Lintang Timoer menatap sekilas lengan yang ditepis lantas kembali merengkuh dengan lebih bertenaga.Renata mendengus ketika lelaki itu membantunya duduk, dengan lembut menyandarkan tubuhnya ke hulu ranjang, sementara ia sendiri duduk di depannya dengan wajah inocent seperti biasa.“Aku menyesal harus membuatmu seperti ini Renata, su
Lintang Timoer menatap kaget sosok bertopeng yang keluar dari dalam dinding. Tak menyangka jika lelaki itu dengan mudah menemukan keberadaanya.Ya, ia memang mengingkari kesepakatan mereka. Tak membawa Renata ke tempat yang sudah ditentukan. Tempat di mana jiwa lotus Renata akan diekstraksi. Alasannya apa lagi selain karena tak tega.“Ah, maaf Tuan. Saya memang sengaja membawanya ke sini. Saya ingin membujuknya dulu agar bersedia bergabung ke pihak kita.”Lelaki bertopeng berdecih.“Kau menyukainya bukan?”Lintang Timoer terdiam namun beberapa detik kemudian tersenyum. Sadar tak ada gunanya berbohong.“Anda benar, saya menyukainya.”Lelaki bertopeng mendengus.“Dengar, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kita tidak punya banyak waktu. Saat ini Samudera Biru sudah kembali.”“Hm, cepat sekali,” gumam Lintang Timoer dengan nada sedikit cemas. Ia menatap&nb
“Tidak, jangan, Ibundaaa!!!”“Biru!! Hei, Biru!!”Samudera Biru membuka mata dengan napas memburu. Di sampingnya Renata yang baru terbangun menatap penuh khawatir.“Mimpi buruk?” tanya gadis itu sembari mengelap keringat yang terhampar seperti jejak gerimis.“Hem,” jawab Samudera Biru memijit dahi yang terasa berdenyut. “Jam berapa sekarang?”“Dua belas siang.”Samudera Biru menghembuskan napas kemudian menoleh.“Masih sakit?”“Sudah lebih baik.”“Syukurlah,” Samudera Biru bergumam lega mengingat betapa cemasnya ia karena selama berjam-jam Renata demam tinggi dan terus mengigau meski semua lukanya telah menghilang dan tulang-tulang patahnya sudah tersambung kembali.Efek semakin terbukanya segel jiwa lotus rupanya tidak main-main. Beruntung Renata memiliki ketahanan tubuh cukup baik, jika
Renata menatap pintu kamar Samudera Biru yang baru ditinggalkannya. Ia menarik napas, mencoba mengusir resah yang menggerogoti hati seperti rayap. Berjalan lunglai menuju ruang makan di lantai bawah.“Kak Renata!!!”Teriakan Shiny membuat Renata mengangkat wajah. Tersenyum ketika gadis dedemit itu melayang, menghambur memeluk dirinya yang baru sampai di pertengahan tangga.Semua mata yang ada di ruang makan sontak menoleh, menatap dengan berbagai ekspresi yang rata-rata terlihat lega.“Syukurlah kau baik-baik saja, Kak,” Shiny menggamit lengan, menggosok kepala pada bahu dengan manja seperti kucing.Sementara Renata sendiri hanya tersenyum, mengelus kepala Shiny lembut lantas mengangguk pada mereka yang mengisi meja makan.“Bagaimana kondisi Anda, Nona Renata?” tanya Panglima Kuning yang entah kapan tiba di mansion. Di sampingnya, Leon, ikut menatap ingin tahu.“Saya baik-baik saja, Panglima,&
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan