Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, aku sampai di lokasi tanah milik juragan Majid. Meski tempatnya di desa, tapi terjangkau transportasi umum. Akses jalan juga besar hingga lokasi bisa dilalui kendaraan roda empat.Luas tanah sekitar 5000 meter. Katanya warisan yang akan dibagikan pada saudara-saudaranya. Maka butuh cepat agar dapat selesai urusan waris ini. Dia mau melepas empat miliar. Itu harga darinya. Katanya terserah mau dilebihkan berapa.. Nanti kalau dengan pembeli, makelar bisa titip harga.Erna sudah memeriksa keaslian surat-surat tanah milik juragan Majid. Berdasarkan data dari BPN, surat itu asli. Arti lain tanah tersebut memang sah milih orang tua juragan Majid.Setelah kesepakatan dibuat, kami pamit. Aku dan suami Erna mengadakan rapat kecil untuk menyusun rencana pemasaran. Baik aku atau dia punya jaringan pemasaran cukup luas, jadi ada harapan penjualan ini akan goal.Kami sadar, menjual tanah tak seperti jual gorengan. Butuh kesabaran hingga sampai pada pemb
Beneran, dia minta bantuan dijualkan mobil keduanya. Karena keuntungan paling besar sekitar sepuluh juta, kukatakan pada mas Dodi. Terang saja dia antusias. Matanya sampai berbinar-binar. Pastilah di pikirannya tengah hadir bayangan keuntungan masa depan. Ini ternyata jalan untuk mengalihkan fokus mas Dodi dari bisnis besarku. Untuk penjualan mobil harus mengikutsertakannya agar ia sibuk memikirkan hal tersebut. Ketika aku harus keluar untuk urusan tanah, takkan ada pertanyaan apa-apa. Jadilah aman kalaupun nanti punya uang tambahan Selain itu membawa mas Dodi jualan sama saja mengajarkannya terjun ke dunia usaha. Sedikit-sedikit pasti akan paham. Hal tersebut akan jadi pelajaran penting baginya."Mas siap antar kamu ketemu pembeli. Sekalian mas mau belajar cara jualan.""Mas bisa juga tawarkan ke teman kantor. Kali mereka ada yang lagi cari mobil. Nanti aku kirim gambar dan keterangannya."Lalu, kuajarkan tahapan menawarkan memasarkan sesuatu. Pertama kudu punya data base orang yan
Mas Dodi semangat banget jadi penjual dadakan. Dia siap terjun di sela kesibukannya bekerja. Tak apa katanya merintis dari nol. Baru kali ini melihatnya bersemangat untuk sampai berapi-api. Naik dari mimik wajah, gestur tubuh maupun uvapan menandakan hal tersebut. Tak ada lagi kelesuan seperti sebelumnya. Apalagi ekspresi ruwet sebab tertimpa banyak masalah. Mungkin inilah yang disebut celah kesuksesan. Yang membuatku bahagia bukan karena dapat celah bisnis banyak. Tapi, perubahan mas Dodi itulah yang luar biasa. Lelaki itu bahkan bilang kalau uangnya dipegang aku saja semua. Dia paling minta untuk bensin, rokok dan makan di tempat kerja.Inilah keberkahan, dengan melunaknya hatiku dan hatinya, jalan rezeki kami terbuka. Jadi ingat waktu tiga bulan itu tak ada satu pun celah usaha mungkin agar kami berbenah diri. Dan bayarannya saat ini,*Pagi ini barang dari konveksi datang satu mobil pick up. Besok akan diambil oleh beberapa reseler yang udah deal. Aku menyediakan satu ruangan di
Ternyata Mita mau antar ibu ke rumah nenek. Kukira sedang melakukan perjalanan rahasia. Oalah, Dodi, suuzhon banget, sih, sama istri sendiri. Bukannya Mita sudah mulai kembali melunak. Hubungan kami pun membaik lagi. Bahkan kualitasnya lebih baik dari sebelumnya.Kami jadi sering ngobrol banyak hal. Kadang diselingi canda tawa. Bahkan hubungan intim makin menggairahkan. Baik aku maupun dia.. Jadi seperti pengantin baru lagi.Hari-hari begitu indah dilalui. Malah jadi malas berangkat, inginnya di rumah deket-deketan dengannya. Kalau tak ingat tanggung jawab, sudah cuti terus ini. Lebih baik lanjutkan niat awal yaitu pergi ke rumah teman. Kali ada jalan usaha untuk cari uang tambahan. Lumayan buat resiko dapur.Kasihan Mita kalau biaya hidup mengandalkan dari uang hasil nagih utang saja. Kalau orangnya mau bayar, oke, kalau gak, ya, gak dapat apa-apa dipaksa bagaimanapun. *Dari tadi Mita asyik banget dengan ponselnya, aku sampai dicuekin. Berasa diselingkuhi sama HP kalau begini. Kar
"Ini, loh, Do, mba mau ikut memasarkan baju. Mba 'kan punya banyak teman, Siapa tahu ada yang beli' kan?"Aku melirik Mita yang juga mengarahkan pandangan ke sini. Untuk beberapa detik kami bertatapan. Aku paham, dari tatapan itu, Mita tak setuju sebab mba Winda tidak amanah. Dulu juga pernah ikut jualan. Hasilnya, barang hilang, uang tak ada. Ditagih malah ngajak perang.Tapi, kalau permintaannya tak dikabulkan, dia akan ngadu ke mama, terus tebar fitnah ke mana-mana. Ini orang memang kudu diruqyah biar sadar."Gini, Mba. Barang-barang itu sudah punya orang. Besok akan diambil pembelinya. Kalau datang lagi nanti mba boleh bawa," ucapku untuk ambil jalan aman."Sudah habis semua beneran? Kamu gak lagi boong'kan? Jangan-jangan kalian gak percaya sama Mba, ya? Keterlaluan!" serang mba Winda. "Mas Dodi benar, barang itu sudah ada yang punya. Besok juga kosong itu gudang. Gini, kalau mba mau ikut jualan, barang yang dulu tolong dibalikin dulu uangnya, 'kan udah laku. Berarti ada, dong ua
(Iya, Say, makasih, ya atas kebaikan kamu sama mama)Aku merasa saat berbuat baik pada mama dan istri rezeki ngalir banget. Hidup juga lebih tenang sebab ada keberkahan dalam rezeki tersebut. Tak seperti sebelumnya, meski huru-hara terus, tak pernah puas rasanya.Pulang kerja aku langsung ke rumah mama. Tentu saja sebelumnya memberitahu Mita. Memang, sih, suami tak perlu minta izin istri, tapi ini soal pergaulan yang baik dengan istri. Kasihan kalau Mita menungguku pulang tanpa kepastian.Di jalan beli dulu makanan kesukaan mama dan ayah. Baru sekarang punya uang agak lapang hingga bisa berbagi lagi. Sebelumnya tak bisa sama sekali, makan saja cukup mie dan telur.Ternyata di rumah mama ada mba Mita dan suaminya. Inginnya tak jadi, tapi sudah telanjur dilihat oleh mereka. Mana bawa makanannya cuma tiga bungkus lagi. Tadi 'kan hanya untuk mama, ayah dan aku. Dipikir cuma ada kami bertiga."Ya, ampun, Do, kok bawa makanannya cuma tiga bungkus, gak lihat apa ada kami.. Pelit banget, sih!
"Sudahlah Winda, Agus, kalian jangan ikut campur urusan rumah tangga Dodi. Biarkan mereka menjalani hidup sesuai kesepakatan keduanya. Kalian pun tak mau 'kan orang lain ikut campur urusan dalam negeri sendiri? Inget, Mita itu sudah banyak bantu kita, dia gak perhitungan sama kita. Cobalah lihat sisi baik itu!"Pembelaan mama membuatku haru. Ternyata Mita di matanya tak buruk. Ingin rasanya memeluk dan bilang terima kasih atas pembelaan tersebut."Siapa yang ikut campur rumah tangga orang, Mah! Aku cuma ngingetin aja, kok. Siapa tahu kecurigaan aku dan mas Agus benar. Pertimbangkan itu, Do, biar gak nyesel di kemudian hari.""Mba, Mas, tolong pikirannya dibereskan! Mita itu istri yang baik. Dia berbakti dan tak perhitungan padaku. Mita bahkan suka memberi pada kalian dan saudara lainnya. Kesalahanku dan kesalahan kalian saja mudah dimaafkan. Jadi tolong jangan mengadu domba begini. Kalaupun Mita punya seribu rekening itu haknya, uang, uang dia, tak masalah. Toh, selama ini dalam urusa
Mama dari dulu baik pada Mita. Waktu sempat berpikiran buruk karena terlalu digosok Winda. Syukurlah sekarang sudah lurus lagi, mungkin melihat fakta saat kami terpuruk, menantunya tetap sabar menerima keadaan."Maaf, ya, Mah, Dodi belum bisa memberi banyak, kami pun sedang berjuang dari nol lagi. Ini hanya segini yang bisa Dodi berikan!""Tak usah kasih mama, berikan saja pada istrimu, dia lebih butuh. Insya Allah, mama ada banyak dikasih ayah. Nah, kalau kalian sudah berlimpah harta, baru belikan mama helikopter."Aku dan mama tertawa mendengar candaannya. Rasanya kebahagiaan ini lengkap. Aku tak harus dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu ibu dan istri. Dua-duanya baik, tak saling membenci. Semoga akan begini terus.*"Lagi apa, sih, sibuk banget? Mas jadi kayak obat nyamuk gini," rajukku pada wanita yang dari tadi asyik dengan laptopnya."Aku gi ngerekap keuangan, Mas. Kan harus jelas berapa penghasilan kotor dan bersih usaha kita. Untuk jadi bahan pertimbangan ke depan."Aku menga