MITAOh, jadi seperti ini tingkah mas Dodi di belakangku? Ia dan mba Winda merencanakan makar menjijikkan. Demi motor, mereka rela berbuat jahat pada orang yang tak perhitungan dalam membantu.Hati mba Winda benar-benar busuk, sementara mas Dodi lemah dan mudah terhasut. Lelaki itu seperti angin, berembus ka sana-sini, tak punya pendirian tegas. Tergantung pada orang yang menguasainya. Oke, Mas! Kamu bikin makar, aku pun bisa!Aku balik lagi keluar rumah agar mas Dodi tak curiga. Biarkan dia menganggap aku baru pulang hingga tak mendengar pembicaraannya di telpon dengan mba Winda. Langkah kaki dilakukan sepelan mungkin, harus dipastikan tak bergesekan dengan lantai. Dipikir jadi kayak maling di rumah sendiri Aku harus pura-pura tak tahu soal makar itu. Jadi bersikap biasa saja di hadapannya. Jangan sampai memperlihatkan kemarahan. Bicara seperlunya, tak perlu marah atau merayu-rayu.Sebelum tahu makar ini, aku sebenarnya mau mengibarkan bendera perdamaian. Bahkan berencana akan mera
MITAMeski sudah habis-habisan membantu, tetap saja suka dibilang jangan pelit sama saudara . Boro-boro ucapan terima kasih, yang ada malah dinyinyiri. Kok, aku bisa bertahan sejauh ini hidup bersama mereka, ya? Terlalu sabar atau bodoh sebenarnya. Mau saja dijadikan sapi perah oleh orang-orang tak tahu diri. Mereka bersikap manis kalau ada maunya, tak disetujui sedikit langsung menyerang tanpa tedeng aling-aling. Akhir dari obrolan ini, mas Dodi bangkit dan menggebrak meja. Lepas itu menendang kursi yang didudukinya tadi. Ia pasti sangat marah karena kuingatkan soal tanggung jawabnya.Jantungku rasa mau copot saat tangan mas Dodi menghantam atas meja. Bertambah kencang detakannya ketika kursi yang ditendang terguling ke lantai.Takutlah kalau melihat mas Dodi marah begitu. Takut kena tinju atau tamparannya. Bisa sakit banget anggota tubuh yang kena bogemnya. Untung selama ini ia tak pernah menampar apalagi memukul. Kalau penyiksaan itu terjadi sudah kugugat cerai dari dulu. Kubiark
DODI"Maaf, Mba, sepertinya soal motor tak bisa saat ini dilepas. Kami pun sedang kesulitan dana gara-gara uang terkuras oleh mobil."Aku mencoba memberi pengertian pada mba Winda tentang motor. Untuk saat ini aku tak bisa menganggu Mita. Dia bisa makin ganas nantinya."Gimana, sih, kamu, Do? Kok, kalah gitu sama Mita? Laki-laki macam apa kamu, suami takut istri, ya?"Sebenarnya emosi akan naik kalau bicara dengan mba Winda, tapi ditahan biar tak makin panjang urusan. Perempuan itu sulit diredakan mulutnya kalau sudah nyerocos. Lebih baik tidak diladenin."Kamu gak bisa dipegang, ya, ucapannya! Gak guna!"Kutinggalkan mba Winda yang masih ngomong tanpa titik koma. Lebih baik pergi daripada terprovokasi lagi. Atau malah lepas kendali dengan kata-kata pedasnya.Pantas suaminya suka lepas kendali sampai mukul. Perkataan dan perbuatannya saja mancing orang emosi. Sudah tahu sifat mas Agus itu temperamen, dia juga cari masalah saja jadi orang.Hobi mengadukan suami ke sana-sini, tapi tetap
"Kamu memang menyebalkan, ya, Mita. Perhitungan sama saudara. Masa utang segitu ditagih-tagih! Kamu juga Dodi, sama saja dengan istrimu. Dasar suami takut istri. Awas, ya, aku bilang ke mama!""Mba jangan kayak anak kecil, dong! Kami datang pun baik-baik. Gak menghina-hina. Mita tadi udah jelaskan bahwa kami sedang butuh uang.. Jangan dikit-dikit lapor mama. Bersikappah dewasa, Mba. Gini aja sekarang mas Agus dan mba ada berapa untuk cicilan, kami terima.," kataku. Tumben aku bisa ngomong tegas sama mba Winda. Mungkin karena lagi kepepet juga. Lagian kakakku ini memang seperti anak kecil. Main laporkan saja sama mama. Dasar tukang adu domba."Gak ada, kita juga lagi banyak keperluan. Kalau kalian gak punya beras, bawa aja seliter. Entar aku ambilin!""Iya, Ta. Kami sedang banyak keperluan, jadi belum bisa bayar," timpal mas Agus.Benar kata orang. Giliran pinjem ngemis-ngemis, pas ditagih marah-marah atau banyak alasan. Jiwa kerdil, begitu emang, maunya lari dari tanggung jawab."Gel
Kami makan di rumah makan padang pinggir jalan. Mita memesan menu kesukaanku. Katanya ini bonus untuk kami setelah cape nagih utang.Baru lagi kami makan berduaan di luar. Dua tahun belakangan aku dan Mita selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan dunia bisnisnya, aku dengan pekerjaan dan teman-teman.Pernikahan yang dulu indah, sempat membosankan. Aku jadi lebih betah bersama teman-teman daripada istri sendiri. Kami hampir jadi orang asing yang asyik dengan dunia masing-masing."Yank, jadi inget awal-awal nikah, ya. Kita makan di pinggir jalan aja indah banget. Maafin aku, ya, yang dua tahun ini cuek sama kamu."Mita menatapku lekat-lekat. Mungkin dia ingin memastikan bahwa ucapan suaminya ini sungguh-sungguh. Bukan sandiwara seperti sebelumnya."Iya, Tuh, padahal aku nungguin diajak makan di luar, loh. Kamunya malah kongkow sama teman.""Iya, iya, aku salah, entar kita makan di pinggir jalan lagi, yuk. Malem tapi biar romantis.""Janji, ya? Awas kalau boong!""Eh, pulang
Aku senang mas Dodi akhirnya mau diajak nagih utang. Artinya dia mulai membuka pikiran tentang keadaan keungan kami saat ini. Tentu saja kesempatan tak boleh disia-siakan, aku harus menjemput rezeki bersamanya.Seperti inilah menagih utang, cape lahir batin. Kami yang berhak atas uangnya, tapi seolah diperlakukan seperti pengemis yang tengah mengiba belas kasihan.Tidak semua orang yang enggan bayar utang karena tak ada uang. Ada di antara mereka yang emang kurang bertanggung jawab atas kewajibannya. Mereka inginnya malah dibebaskan saja, dianggap tak pernah pinjam uang. Dan itu karakter tak bagus. Orang seperti itu seolah lupa bagaimana ketika pinjam. Mengiba dan memberi banyak argumen agar dikasihani. Bahkan, ada yang baper saat tak diberi. Buat status memojokkan orang yang menolaknya. Ada-ada saja emang lakon kehidupan.Ke depan, aku alan pertimbangkan lagi kalau orang-orang sejenis itu datang meminjam. Bukan pelit, tapi tak mau jadi pengemis di kemudian hari. Apalagi pada yang mu
"Musti lezat ini. Mana yang mau dibantu?" seru mas Dodi. Laki-laki itu kini sudah ada di sampingku. Ia merangkul pinggang ini hingga tubuh kami rapat. "Potong-potong aja jengkolnya jadi empat bagian!" perintahku pada lelaki yang memang ingin membantu. Ia pun melepas rangkulan tangannya pada pinggangku. "Siap!"Mas Dodi memang biasa membantu urusan pekerjaan rumah. Apalagi saat kami punya bayi kembar, ia selalu siap sedia bantu istri. Tak masalah walau sudah cape pulang kerja.Maka dari itu, ketika kesal pada sikap buruknya, aku akan mengingat kebaikan-kebaikannya. Hal itulah mungkin yang membuatku mampu bertahan tiga belas tahun di sisinya.Begitulah kehidupan suami istri, ada pasang surutnya. Ada konflik yang kadang membuat hati di ambang keraguan apakah lepas atau bertahan. Tapi, selama masalah bisa diselesaikan tak perlu juga mengambil opsi cerai. Kecuali memang sudah di luar batas kemampuan, daripada menanggung derita berkepanjangan mending berpisah saja. Jadi, perceraian adalah
Aku dan Erna janjian langsung di lokasi tanah yang akan dijual. Dia diantar suaminya, sementara aku sendiri. Kukatakan padanya untuk tak mengatakan soal bisnis ini pada siapapun, termasuk mas Dodi..Ketika Erna bertanya apa alasannya, aku hanya bilang ada hal yang tak bisa diceritakan. Untunglah wanita itu bisa diajak kerjasama. Ia berjanji akan menjaga rahasia, tak bicara walau sepatah kata. Satu lagi aku memintanya tidak datang ke rumah. Kalau bertemu di jalan, sedang aku bersama suami atau keluarga pura-pura saja tak sedang punya hubungan.Untuk sampai ke lokasi tanah yang akan dijual, aku sewa mobil di teman. Aku sengaja berangkat satu jam lebih cepat agar tak terlambat di lokasinya. Nanti jatuh citra diri kalau tak tepat waktu.Eh, tunggu! Dari kaca spion, aku melihat mobil yang mirip dengan mobil mas Dodi tadi. Bukannya dia mau ke rumah temannya. Kenapa masih ada di jalan?Karena takut itu memang mobil mas Dodi, aku harus memastikan dulu dengan benar. Kulajukan kendaraan untuk
Hari ini aku dan mas Dodi pergi ke showroom. berniat membeli mobil secara cash. Aku Tidak akan memilih yang harganya terlalu mahal. cukup melihat secara fungsi saja. Lagi pula kami akan mengalokasikan uang yang dimiliki untuk membesarkan usaha. Biar harta pemberian orang tua berputar. Kalau dipakai untuk membeli barang konsumsi semua tentu habis tak tersisa. Karenanya aku juga menahan diri dari godaan benda-benda yang sebenarnya tidak terlalu penting. Sebagai wanita kadang aku ingin memiliki benda-benda tersebut. Tapi tetap berpikir ulang akan kepentingannya. Jangan sampai uang dihamburkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan. Mas Dodi juga memiliki prinsip yang sama. Dia tidak lagi mementingkan gengsi seperti saudara-saudaranya. Katanya hidup dalam gengsi itu mahal. Bahkan cenderung menyiksa diri sendiri. Perubahan suamiku benar-benar sudah jauh. Tentu saja aku sangat berbahagia mendapatinya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Aku pun bukan hal yang sama yaitu menjadi
MITASelang sebulan dari pembongkaran kasus makar terdengar berita bahwa Ferdi diciduk polisi. Rupanya sudah ada bukti kuat terkait kejahatan kejahatan orang tersebut. Katanya, sih, dia terancam masuk penjara sepuluh sampai dua puluh tahun. Kekayaannya pun disita.Kejadian itu menyempurnakan ketenangan hidupku dan Mas Dodi. Tak ada lagi ketakutan akan ada gangguan dari Ferdi. Juga hilanglah campur tangan para ipar sebab mereka perlu pencitraan diri demi harta hibah.Meski kami sudah memaafkan kesalahan masa lalu, kewaspadaan tetap dikedepankan. Tak boleh lengah oleh makar dan bujuk rayu menyesatkan. Aku dan mas Dodi sepakat untuk tidak terlalu dekat dengan mereka sebab menghindari bahaya. Tapi tetap bersikap sewajarnya. Tinggal satu masalah lagi, aku masih menyimpan satu rahasia dari mas Dodi, yaitu soal rekening yang berisi uang dua ratus juta lebih. Kalau digabungkan dengan uang hibah milik mas Dodi akan bisa jadi modal usaha cukup besar. Andai terwujud suamiku bisa keluar dari pek
Setelah mereka menjelaskan giliran kami berdua ditanyai. Juga diminta bukti-bukti atas kesaksian ini. Tentu saja kami memilikinya hingga percaya diri ketika harus mempertanggungjawabkan tuduhan di hadapan ayah. Setelah persoalan menjadi gamblang barulah ayah menyampaikan petuah-petuah pada saudara-saudara mas Dodi. Tak ada satupun yang luput dari kemarahan ayah. Mereka hanya bisa mendengar sambil menundukkan kepala ceramah yang sangat panjang. Bahkan aku melihat ayah seperti ingin menghantamkan tangan kepada anak-anaknya. Tapi beliau berusaha sekuat mungkin untuk menahan diri dari segala amarah."Ayah benar-benar kecewa memiliki anak yang sanggup berbuat buruk pada saudara sendiri. Dodi itu saudara kandung kalian. Mita itu istri saudara kandung kalian. Mereka bukan siapa-siapa tapi bagian dari anggota keluarga. saudara saja kalian seperti itu, bagaimana pada yang lain!"Mama sampai harus menenangkan Ayah tatkala kemarahannya sulit dikendalikan. Bahkan nafas Ayah sampai tersengal-se
"Kalau kau tak mengganggu rumah tanggaku aku pun takkan mengusikmu. Jika kau ingin aku diam, berhentilah mengganggu kami, pergilah dari hidup kami!" balas mas Dodi. Ferdi menggebrak meja hingga alat-alat makan yang ada di sekitarnya berloncatan. Gebrakan itu tentu saja menimbulkan kekagetan pada diri sekutunya. Meski kaget, aku berusaha untuk tidak memperlihatkan."Kalian semua bodoh! Mudah sekali diperdaya mereka! Sudah dikasih duit gede, kerja gak becus, bangsat!"Ferdi nengarahkan telunjuknya pada Adi dan yang lain. Satu tangan lain diletakan di pinggang. Telihatlah wajah asli Ferdi hari ini. "Tenang, Bang, kita bicarakan baik-baik!" sanggah Adi. "Gak perlu, muak gue liat lo semua!"Setelah berkata begitu, Ferdi membalikkan badan. Ia pergi tanpa menoleh lagi ke arah kami. Dan, saudara - saudara mas Dodi pun berbicara satu sama lain. Mereka saling menyalahkan.. Benar-benar tak punya otak, bukannya malu atas kesalahan, malah mikir diri sendiri."Oke, karena tugas sudah selesai, ka
Kursi kosong di lingkaran meja besar ini hanya tersisa dua. Untuk itu yang duduk hanya aku dan mas Dodi. Boni dan Meta berdiri sambil merekam kejadian. Mereka juga tengah siaga untuk mengantisipasi sesuatu yang tak diinginkan."Ka, kalian, apa maksud kedatangan kalian ke sini dan kenapa kalian bisa datang bersama, bukankah-?" tanya Mbak Winda dengan suara tergagap-gagap. Dia bertanya sambil tangannya berpegangan pada tangan mas Agus. Mungkin saking butuh pegangan agar tak jatuh dari kursi. "Harusnya aku yang bertanya, ada apakah gerangan hingga kalian makan-makan besar tanpa mengundang kami?" tanya mas Dodi.Orang-orang yang duduk di hadapan kami saling pandang. Lalu mereka bicara satu sama lain. Aku dan mas Dodi membiarkan dulu orang-orang tersebut menetralisir kekagetannya."Do, bukannya kamu sedang menggugat cerai Mita, kenapa sekarang kalian datang berdua?" tanya mas Agus."Kami melakukan apa yang kalian lakukan, yaitu main drama. Hubunganku dan Mitha baik-baik saja sebab kami ta
Kami akan menuntaskan drama ini dengan menggerebek komplotan tukang fitnah. Langkah yang benar-benar matang telah digariskan. Semua memiliki tugas penting untuk dijalankan.Planing ini sudah disusun sedemikian rupa hingga bisa dibilang sempurna. Kami tak mau ada kegagalan. Prinsip yang dipegang adalah harus sukses. Komplotan penjahat itu harus diringkas dan diberi pelajaran berharga.. Jika mereka dibiarkan melenggang, tentu saja tidak baik untuk perkara ke depan. orang-orang tersebut tidak akan pernah berhenti mengganggu dan menganiaya kami. Untuk itulah perlu pemberian pelajaran yang sanggup menghentikan kejahatan. Aku sampai ngakak ketika mas Dodi mengirim foto selfienya di pengadilan agama. Apalagi ketika sambil pegang berkas. Itu aku yang siapkan. Isinya kertas kosong.Bukan hanya satu pose yang dilakukan tapi banyak lagi. Dia mengambil spot-spot yang akan mewujudkan kepercayaan orang-orang. tampang pun dibuat kusam dan menyedihkan. aku yakin para begundal itu akan percaya bahwa
DODI"Kapan kamu mulai urus perceraiannya?" tanya mbak Winda dengan antusias. Posisi badannya sampai dicondongkan ke depan hingga punggung tak lagi bersandar ke badan sofa. "Lusa, Mbak, aku izin dulu dari kantor soalnya."Aku menjawab dengan suara lemah. Harus dibuat lebih meyakinkan kalah memang sudah tak ada lagi jalan. "Baguslah, makin cepat, makin baik. Mbak dukung sepenuhnya keputusan kamu ini."Wajah mbak Winda tampak semringah. Ia pasti merasa tujuannya akan sukses secepat mungkin. Setelah itu bisa berbahagia di atas derita adiknya sendiri. Dipikir, kakak macam apa dia. Sanggup memporak-porandakan rumah tangga adik sendiri. Itulah kebencian buta. Telah membuat manusia kehilangan kewarasan hingga terlalu jauh. "Makasih, Mbak, udah dukung aku selama ini."Kugenggam satu telapak tangan mbak Winda. Genggamannya erat hingga menunjukkan rasa terima kasih yang besar dan tulus. Wanita itu membalas dengan mengusap genggaman dengan jari dari tangan satunya. "Sebagai saudara 'kan har
"Mantan, ya? Huh, panas, nih, panas! Ngapain coba kalian berduaan di kafe?"Mita memajukan bibir dan matanya mendelik padaku. Terang saja aku ngakak melihat raut wajah istri tercinta. Eh, malah kena cubit. Wanita kalau sudah cemburu memang lucu. Tapi juga mengemaskan. Bahkan aku merasa tersanjung ketika mendapati kenyataan bahwa cinta Mita begitu dalam. Dia tidak rela suaminya ini menduakan perasaan. "Malah bengong, ngomong napa!" tajuk Mita. Berarti dia memang menanti penjelasan supaya benar-benar clear bahwa kejadian di cafe Itu bukan sebuah kesengajaan. Baiklah, agar hatinya tenang dan tidak lagi berpikir macam-macam akan kuceritakan Aku menceritakan siapa sebenarnya wanita yang bersama di kafe. Ia terlihat gemas ketika tahu bahwa Erika memang mantan di masa lalu. Sesaat dadanya turun naik, mungkin menahan api cemburu."Nah'kan cemburu?"Melihat sikapnya aku jadi senang menggoda. menggemaskan sekali mendapati Mita sedikit uring-uringan. Bahkan aku ingin sekali menggoda terus-me
Adu mulut pun terjadi di antara aku dan Mita. Entah istriku sadar atau tidak bahwa suaminya sedang bersandiwara, tak masalah. Tapi, kelihatannya Mita asli cemburu melihatku dan Erika.Matanya nyalang saat menyerangku. Sepertinya itu adalah luapan emosi dari hati yang tengah dibakar api. Apalagi kata-kataku sangat kasar seperti layaknya orang yang sedang murka.Mita seperti macan betina yang tengah mengamuk. Dia sampai tidak bisa mengendalikan diri dan melihat bahwa aku bersandiwara. Api cemburu dan prasangka telah melumat kepercayaannya padaku. Jika aku tidak sadar bahwa ini jebakan mungkin sudah terpancing dengan serangannya. Bahkan rumah tangga kami yang sudah kembali damai bisa huru-hara. Fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan. Bahkan fitnah bisa menghancurkan segala-galanya. Mencerai beraikan satu hubungan dan menghancurkan satu keluarga bahkan satu bangsa sekalipun. hal tersebut tentu saja sangat mengerikan. Pantaslah pelakunya sangat dibenci oleh Allah. dan diberi hukum