Yongseng tertawa renyah melihat wajah Buana. Ia tau jika sepupunya ini pasti akan berhasil memikat hati Gendis dengan ketampanan wajahnya itu.
"Aku tau kau pasti akan berhasil, akan lebih baik lagi jika kau membuat gadis itu tergila-gila padamu lalu kau jadikan istri. Dengan demikian misi tercapai, kau dapat bonus istri," ujar Yongseng.
Buana hanya menghela napas panjang, entah mengapa ia juga merasa sangat dekat dengan Gendis. Gadis itu memang baru ia kenal, tapi rasanya ia sudah lama mengenalnya. Debaran yang ia rasakan tadi sangat berbeda dengan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
"Aku seperti sudah mengenalnya, padahal kami baru bertemu dan berkenalan. Tapi, waktu dia menangis dan memelukku, aku merasa dadaku sakit. Rasanya seperti kau mempunyai luka yang hampir kering lalu terbuka kembali, perih."
Yongseng terbahak mendengar ucapan Buana.
"Kau jatuh cinta, sepupuku tersayang," uj
Della benar-benar merasa kaget mendengar cerita Gendis tentang Nino. Padahal, Nino yang ia kenal sangat bijaksana dan santun."Ya ampun, aku nggak nyangka kalau Mas Nino bisa-bisanya mengatakan hal itu kepada Mbak."Gendis menghela napas panjang lalu menyesap lemon tea-nya perlahan."Aku merasa sakit hati, Del. Sampai hati dia mengatakan hal seperti itu. Aku tau betul jika papaku merintis semua dari awal. Mama pernah bercerita jika dulu usaha mereka juga tidak sebesar sekarang. Jika memang papa dan mama memakai pesugihan, sudah tentu sejak dulu ada korban. Tapi, semua anggota keluarga kami sehat-sehat saja sampai sekarang," kata Gendis. Della mengelus lengan Gendis perlahan. "Sabar, ya, Mbak. Aku tau bagaimana perjuangan Mbak selama ini. Mbak pekerja keras, dan aku yakin semua itu karena ayah Mbak juga seorang pekerja keras.""Terima kasih, Della. Selama kamu sudah menemani saya berjuang, sejak aw
Gendis menatap surat pengunduran diri Nino. Sebagai kekasih, ia memang tidak bisa memaafkan Nino begitu saja. Tapi, sebagai seorang atasan, Gendis harus mengakui jika Nino adalah pegawai yang baik. Restoran cabang yang dimanageri oleh Nino maju dengan pesat dan omset tiap bulannya juga meningkat. Tidak mudah mendapatkan pengganti yang cekatan dan juujur seperti Nino."Kau ini lelaki bukan?" tanya Gendis dengan tegas. Mendengar ucapan Gendis, Nino mengerutkan dahinya."Maksudnya?""Kau pernah mengatakan jangan bawa masalah pribadi dengan masalah pekerjaan. Lalu ini apa? Sebagai kekasih, saat ini aku memang tidak bisa untuk meneruskan hubungan denganmu. Butuh waktu untukku kembali memikirkan semuanya. Tapi, sebagai atasanmu, aku menolak surat pengunduran dirimu," kata Gendis dengan tegas."Tapi ....""Tidak ada tapi, memangnya kau sudah mendapatkan pekerjaan baru?"
Maharani terkejut mendengar cerita Gendis, bagaimana bisa dengan seorang anggota kepolisian."Kau suka padanya?" tanya Maharani tanpa basa basi lagi. Hal itu jelas membuat Gendis tersipu."Mama ....""Hati-hati, Nak. Bukan tidak mungkin dia memang sengaja mendekatimu karena ingin mengorek keterangan. Bisa jadi polisi masih mencurigai adikmu," kata Maharani. Namun, Gendis menggelengkan kepalanya perlahan."Dia bahkan tidak menanyakan apa-apa mengenai Genta, Ma. Dia baru saja dimutasikan tepat di hari Genta dimintai keterangan. Hanya di waktu bersamaan saja. Tapi, entah kenapa aku merasa seperti sudah lama sekali mengenalnya ya,Ma.""Maksudmu?""Saat pertama kali aku melihat dan bicara dengannya, aku merasakan ada satu ikatan yang sudah lama terjalin di antara kami. Aku merasa sangat mengenalnya.""Mungkin dia adalah kekasihmu di masa lalu," kekeh Maharani asal bicara. Namun, bagi Gendis yang dikatak
Raden Suryapala tidak menyangka, di malam pengantin yang seharusnya penuh dengan cinta berubah menjadi lautan air mata. Baru saja ia akan memulai surga dunia, tapi saat membuka kelambu tubuh Dyah Suyadita sudah terbujur kaku tidak bernyawa."Kenapa kau tinggalkan aku seperti ini, Dinda?!" raung Raden Suryapala. Tanpa berpikir panjang, lelaki tampan itu menghabisi nyawanya sendiri dengan keris yang terselip di pinggangnya.*** "TIDAAAK!!!"Gendis berteriak, dan sesaat kemudian gadis itu terjaga. Napasnya tak beraturan seperti habis berlari jauh. Perlahan kesadarannya kembali sepenuhnya, ia pun mengatur napasnya. Tak lama pintu kamarnya terbuka, Maharani pun muncul dengan wajah penuh kecemasan."Ada apa, Dis? Kau bermimpi?" tanya Maharani sambil mendekat."Mimpi itu, Ma. Sudah lama sekali aku tidak pernah bermimpi tentang gadis itu. Tapi, b
Gendis berangkat kerja dengan gembira, bagaimana tidak jika Della baru saja memberi kabar bahwa Buana baru saja datang. Ia bergegas menyudahi dandannya dan segera menyambar kunci mobilnya. Galih yang sedang menikmati nasi goreng mengerutkan dahi saat putri sulungnya itu hanya mencium pipinya tanpa ikut bergabung."Nggak sarapan?" tanya Galih."Aku sarapan di resto saja, Pa. Ada tamu yang sudah menungguku di sana.""Tamu? Tumben ... Kok nggak biasanya?" tanya Genta. Gendis hanya mengedipkan sebelah mata dan mencubit hidung adiknya lalu segera bergegas pergi."Anakmu kenapa, Ma?" tanya Galih pada Maharani. Maharani hanya menghela napas panjang dan mengendikkan bahunya."Dia sedang jatuh cinta mungkin, Pa," celetuk Genta."Hush, jangan sembarangan!" kata Galih."Pa, obat patah hati itu ya harus lekas menemukan pengganti. Itu obat yang paling ma
Melihat anak gadisnya pulang jam tiga sore membuat Maharani berjengit. Terlebih saat melihat Gendis mengeluarkan hampir sepertiga isi lemarinya."Kau mau ke mana? Tumben sudah pulang?" tanya Maharani. Gendis menoleh dan tersenyum malu."Hmm ... mas Buana hendak berkunjung dan mengajakku jalan-jalan, Ma."Maharani mengangkat kedua alisnya, "Dia? Buana? Polisi itu?""KOMPOL Buana, Ma. Dia sudah berpangkat tinggi, meski usianya masih muda," jawab Gendis."Mama jadi penasaran seperti apa sih, awas saja jika penampilannya ....""Penampilannya bagaimana, Ma?" tanya Gendis. Maharani tidak menjawab lagi, ia hanya menggelengkan kepala dan meninggalkan kamar Gendis. Sementara gadis itu kembali sibuk dengan pakaian yang nanti akan dikenakannya. Gendis tidak mau terlihat heboh, tapi ia ingin tetap terlihat elegan dan cantik."Jangan gaun, Gendis. Aduh, kau ini kan hanya akan
Gendis hampir tidak percaya ketika ia dan Buana berada satu mobil. Galih langsung memberi izin untuk membawa Gendis pergi ke luar."Kau cantik sekali malam ini, berbeda dengan biasa bekerja," komentar Buana. Biasanya ia melihat Gendis dengan make up lengkap yang membuatnya terlihat dewasa. Namun, malam ini ia seperti melihat sisi lain dari Gendis. Jujur, Buana lebih menyukai Gendis dengan penampilan yang seperti ini. Lebih terlihat natural."Memang, biasanya aku tidak cantik, Mas?" tanya Gendis. Buana tertawa kecil, "Cantik, hanya saja aku seperti melihat sisi lain dari dirimu dan aku suka melihatnya. Kau terihat lebih manis seperti remaja ABG yang baru lulus SMA." Ah, hati Gendis rasanya berbunga-bunga mendengar pujian Buana."Terima kasih, Mas.""Hmm ... kita ke mana malam ini?" tanya Buana."Bagaimana kalau kita makan sate kelinci saja dulu, mumpung kita masih berada di Lemb
Gendis menghela napas panjang sambil menatap Buana."Aku pernah bermimpi melihat seorang gadis meminum racun di malam pengantin. Mama bilang, itu bunga tidur. Tapi, entah mengapa aku tidak pernah bisa melupakan mimpi itu. Lalu, saat aku beranjak remaja, mimpi yang sama kembali datang. Terakhir kemarin malam, mimpi itu datang lagi, bahkan lebih panjang dari dua mimpi yang sebelumnya. Bahkan, dalam mimpi itu aku bukan hanya melihat. Tetapi akulah gadis yang meminum racun itu. Rasa pahit itu bahkan masih tertinggal, rasa sakit ketika jiwa lepas dari raga pun masih terasa." Buana diam, ia menunggu ucapan Gendis selanjutnya."Namaku adalah Dyah Suyadita, aku putri satu-satunya dari seorang pembesar di kerajaan Kahuripan. Ayahku bernama Kebo Rawang, beliau tidak pernah setuju hubunganku dengan kakang Supa Mandrageni karena ia hanyalah pemuda yatim piatu yang diangkat anak oleh seorang pengawal kerajaan.