Buana tersenyum saat melihat siapa yang datang dan memberinya selamat.
"Segara ... aku kira kau tidak akan datang," sambut Buana bahagia sambil memeluk adik angkatnya itu.
"Tidak mungkin aku tidak datang, Bang. Selamat ya, Bang, Mbak, Kakak angkat saya ini biasanya takut perempuan. Makanya lama tidak laku, saya sempat khawatir. Tapi, syukur Alhamdulilah akhirnya laku juga," gurau Segara.
Buana dan Gendis tertawa terbahak-bahak.
"Aku sekalian pamit, Bang. Kuliahku selesai, dan aku berencana untuk mengikuti jejak Abang. Aku mau menjadi polisi seperti Abang. Entah kenapa panggilan jiwaku begitu kuat seperti ada bisikan yang meminta untukku masuk akademi kepolisian," ujar Segara.
Buana tersentak kaget, ia sangat mengenal Segara dan Segara tidak pernah mengatakan jika ia ingin menjadi polisi. Namun, pada akhirnya Buana hanya menepuk bahu Segara dan tersenyum hangat.
Pagi hari Gendis membuka mata dengan perasaan bahagia.Terlebih saat ia melhat tangan yang sedang melingkari tubuhnya yang masih dalam keadaan polos. Perlahan, disentuhnya wajah Buana dengan penuh perasaan."Pagi, sayang."Tanpa Gendis sadari ternyata Buana sudah terbangun, hanya masih berpura-pura memejamkan matanya."Mas, kau membuatku malu,"jawab Gendis lirih."Setelah semua yang kita lakukan semalam kau masih malu-malu?" tanya Buana."Mas ...." Buana hanya tertawa kecil melihat semburat merah di pipi Gendis. Perlahan lelaki gagah itu mengecup kening Gendis dengan lembut dan kemudian kecupan itu turun ke dada Gendis. Wanita itu hanya memejamkan mata dan mengalungkan kedua tangannya ke leher Buana. Wanita itu membiarkan sang suami kembali menikmati setiap inci tubuhnya. Bahkan ia mulai mengerang dan mendesah penuh kenikmatan. Melihat sang istri sudah mulai
Gendis menatap Buana dengan mata berbinar penuh cinta."Ke mana saja aku mau asalkan bersamamu. Di mana saja kita tinggal aku mau asal ada dirimu, Mas," kata Gendis. Buana tertawa geli mendengar perkataan sang istri. "Sejak kapan istriku yang cantik ini belajar berkata gombal?" tanya Buana."Sejak menjadi istrimu, jadi kau yang sebenarnya mengajari aku," kata Gendis."Baiklah, kalau kau meminta itu kita Korea saja, mau?" tanya Buana sambil menunjuk dua tiket pesawat Jakarta- Korea kepada sang istri. Gendis melotot kaget, sejak lama ia memang ingin sekali ke negeri ginseng itu. Ia selalu mengagumi keindahan kota Seoul melalui drama yang sering ia tonton. Tapi, siapa yang tau jika suaminya sudah mempersiapkan tiket untuk mereka ke sana. Gendis langsung memeluk Buana dengan erat hingga lelaki itu terjengkang ke belakang."Aduh, pelan-pelan sayang, ada yang ban
"Bagaimana anda tau jika wanita yang meninggal itu kehabisan darah sampai kering entah karena apa. Tidak ada rekaman apa pun di sekitar tempat kejadian. Bahkan penduduk pun tidak melihat ada yg mencurigakan."Buana terhenyak, "Sudah berapa banyak korban yang terbunuh?" tanya Buana."Selama 4 bulan ini sudah 4 orang," jawab inspektur yang berada di hadapan Buana. Kang Dae Jung yang mengantar Buana hanya diam menyimak. Buana dan inspektur Kim Ju Eung kebetulan menggunakan bahasa Inggris. Jadi, tidak perlu diterjemahkan."Saya sedang menyelidiki kasus yang sama dengan kasus yang Anda sedang tangani," kata Buana. Ia pun menceritakan segala yang telah terjadi dan juga hasil penyelidikannya selama ini.
Buana tersentak mendengar perkataan Biksu Sunim. Ia teringat kematian Abah Enom di Sukabumi beberapa waktu yang lalu. Kematiannya juga akibat memberikan informasi kepada Buana."Katakan terima kasih dan katakan juga saya mohon beliau supaya berhati-hati," kata Buana. Kang Dae Jung pun langsung menyampaikan kepada Biksu Sunim. Biksu yang berusia 45-an itu mengangguk lalu mendekati Buana dan mengalungkan sesuatu ke leher Buana. Kemudian ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Korea."Itu akan membantu Mr Buana dari gangguan arwah jahat. Dan juga akan membantu menguak tabir." Buana membungkukkan tubuhnya, "Kamsahamida," ujarnya.Biksu Sunim mengangguk dan tersenyum kemudian beranjak pergi. "Ada apa, Mas?" tanya Gendis yang kebingungan. Buana menjelaskan kepada Gendis apa yang dikatakan Biksu Sunim kepadanya."Apa kasus yang Mas hadapi seka
"Genta dulu ketika kecil hampir saja mati, Mas. Tapi, mukjijat terjadi dia selamat. Bahkan seingatku sejak hari di mana Genta selamat dari maut, usaha papa meningkat pesat. Ya, dulu aku memang masih kecil. Tapi, aku ingat papa menjadi lebih sibuk. Kami pun bisa pindah ke rumah yang jauh lebih besar. Dan karir papa meningkat juga sampai bisa menjadi salah satu anggota MPR. "Saat itu aku sangat bangga, tapi kini kenapa aku menjadi sangat takut? A-aku ...."Buana membawa Gendis ke dalam pelukannya."Kita akan mencari tau apa yang sudah terjadi sebenarnya," kata Buana.''Mas, bagaimana jika adikku itu sebenarnya bukan adikku?" Buana mengerutkan dahinya, "Maksudmu?""Genta waktu itu jatuh dan mama ingat betul jika pintu balkon sudah mama tutup dan dikunci. Mustahil jika Genta bisa membukanya. Tapi, dia jatuh dan akhirmya harus operasi. Anehnya, setelah opera
Yongseng menyambut Buana dengan gembira di bandara international Soeta. Ia langsung memeluk sepupunya itu saat Buana keluar dari terminal kedatangan."Waaah, bagaimana bulan madumu? Sudah siap untuk kembali bertugas?" sambut Yongseng dengan penuh semangat."Kau ini, aku baru saja sampai, kau sudah membicarakan tugas. Rumah aman?" tanya Buana.Yongseng mengangguk, "Mbok Ratmi sudah memasak, mang Karta baru saja membersihkan halaman dibantu Takeda tadi," katanya."Sayang, kita menginap dulu di Jakarta ya. Di rumahku, lusa baru kita pulang ke Bandung. Aku perlu bertemu juga dengan atasanku besok pagi untuk melapor," kata Buana pada Gendis. Wanita cantik itu hanya mengangguk, "Aku ikut saja, Mas.""Aahaaai ... romantis sekali kalian ini. Aku hanya menjadi obat nyamuk saja di sini," seloroh Yongseng menggoda. Buana hanya tertawa kecil sambil memukul bahu sepupunya itu."Kita akan ke Kuningan nanti
Raden Kamandraka menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ia merasa seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Dewi Gayatri yang sejak tadi bersembunyi segera mendekat setelah melihat Fajar Kelana menghilang."Kakang baik-baik saja?" tanyanya. Raden Kamandraka menoleh dan langsung memeluk istrinya itu dengan erat."Kita tidak bisa bersantai, apa kalian dengar perkataan terakhir yang dia ucapkan sebelum dia menghilang. Aku yakin jika jiwanya masih terus berkelana, dia belum mati," kata Mpu Supa tiba-tiba. Patih Benggala yang terluka parah mengerang sambil memegang dadanya."Ampun, Eyang. Apa dia tidak mati? Bukankah Raden Kamandraka tadi sudah membunuh dengan pedang sakti?" tanyanya. Mpu Supa menggeleng sambil duduk bersila dan mulai menyalurkan tenaga dalam kepada Patih Benggala."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Raden Kamandraka."Menunggu, Raden. Kita hanya harus menunggu denga
4O hari setelah memakamkan semua korban Fajar Kelana, Mpu Supa memutuskan untuk bertapa. Ia merasa tidak tenang dengan apa yang terjadi, terlebih setelah mendengar sumpah Fajar Kelana. "Apa saya tidak perlu menemani Eyang guru?" tanya Raden Kamadraka. Mpu Supa menggelengkan kepalanya."Raden kembalilah bersama rombongan dari istana. Kasian pada dewi Gayatri dan juga para prajurit. Lagi pula patih Benggala akan mengunjungi keluarga senopati Sangkar," kata Mpu Supa. Raden Kamandraka terdiam, hatinya gamang. Ia ingin ikut mendampingi gurunya semedi, tetapi dia tidak mungkin membiarkan sang istri pulang tanpa dirinya ke istana."Pulanglah ke istana terlebih dahulu, Raden. Saya akan mengabarkan jika memang Raden harus kembali ke sini," kata Mpu Supa seolah tau isi pikiran Raden Kamandraka."Saya akan segera kembali setelah segala urusan saya di istana selesai, Eyang guru," kata Kamandraka sambil membungkuk memberi h