***
Mereka kembali dan memberikan hasil yang nihil. Pembunuh itu sudah berada di luar jalur pencarian yang bisa mereka jangkau. Pembunuhan yang baru saja terjadi menjadi alasan kuat bagi Cantaka untuk mengungkapkan kasus pungli di lembaga pemerintahan tersebut.
Kini, di samping Cantaka sudah ditemani oleh Ayodya. Pria itu datang atas perintah dari Han untuk menjaga keselamatan Pangeran.
Sontak saja di kediaman kecil pria tersebut sudah dipenuhi oleh banyak orang berpakaian militer, sehingga menimbulkan beribu pertanyaan bagi rakyat yang melihatnya.
“Dia terbunuh?” tanya Ayodya, terkejut.
Cantaka membalasnya dengan anggukan ringan. Ia ikut menyodorkan sebuah panah dengan anak panah bernodakan merah darah, Ayodya yang sudah lama berkecimpung di dunia militer pasti mengetahui alasan kenapa pria itu sampai terbunuh dengan satu tancapan panah.
“Panah itu, apa kamu mengetahui siapa pemiliknya?” tanya Cantaka, ia berjalan menuruni undakan kec
Mulai muncul perpolitikan yang ada di istana, Cantaka awalnya berniat menuntaskan kasus yang ia selidiki. Namun, setelah mendengar petuah dari Ratu Suprabha, pikirannya mulai bimbang. Ia diharuskan memilih? Bersikap biasa dan berwibawa atau bertindak nekat dan berbahaya?
***“Pembunuhnya masih belum bisa kutemukan.”Ayodya, Han, dan Wunguk berkumpul di ruang kerja Cantaka. Mereka masih sibuk membahas terkait kasus pembunuhan petugas Biro Pemerintahan yang diduga berkaitan dengan kasus pungli.Cantaka masih terdiam. Pikirannya masih teringat dengan rombongan menteri semalam, obrolan mereka tidak terdengar jelas, tetapi Cantaka bisa memastikan kalau menteri-menteri itu membahas seputar kerajaan.“Sangat sulit. Kita tidak menemukan bukti apa pun selain panah ini,” jelas Han, memegang kayu panah dan memandangnya penuh prasangka.“Kita harus segera bergerak, jika tidak, aku khawatir jejak yang kita temui akan pudar,” timpal Wunguk.Ucapan pria tua itu mendapatkan persetujuan dari Han, ia sependapat dengan menganggukkan kepala seraya menambahkan perkataan Wunguk, membuat argumen mereka jauh terdengar realistis.“Semuanya tergantung padamu, Tuan Pangeran.”
Cantaka tersenyum, ia mempersilakan mereka semua untuk masuk tanpa terkecuali. Satu persatu menteri duduk satu baris di sisi kanan dan kiriku, sehingga kedua sisi saling berhadapan satu sama lain.“Suatu kehormatan bagi kami bisa berbincang santai dengan Pangeran,” balas salah satu menteri yang menjadi pemimpin dari kelompok menteri tersebut, ia tak lain adalah Menteri Perdagangan, Gunawarman.“Gunawarman, aku juga merasa senang bisa bertemu dengan kalian semua,” jawab Cantaka, menengguk teh hangat yang ada di cangkirnya sambil tetap memandang wajah pria di sampingnya.Gunawarman menyadari keberadaan Saraswati, wanita yang terkenal sebagai kemenakan dari Ratu Suprabha. Pria itu hanya mengulas senyum tatkala kedua mata mereka beradu pandang dalam sepersekian detik.“Apa kabar, Nona Saraswati?” sapa Gunawarman, Saraswati tersenyum membalas sapaan itu dengan ramah.“Kenalkan. Dia akan ikut denganku dalam penye
***“Apa? Rapat pemerintahan?” tanya Cantaka, kaget.“Iya. Hamba mendengar kabar kalau Raja memanggil semua menteri,” balas Han, terus terang.Cantaka masih berdiri di depan kediaman Citraloka, memandangi taman istana yang terlihat memukau tersorot sinar mentari, burung-burung berterbangan dan bunga-bunga bermekaran sempurna.Kesempurnaan itu dihiasi dengan kehadiran Saraswati yang berjalan bersama seorang dayang, membawa nampan berisikan benang berwarna-warni.Pria itu melihat Saraswati dengan jelas, tetapi tidak dengan wanita itu. Ia tetap berjalan seraya mengobrol hangat dengan dayang tersebut seolah-olah keduanya sudah berteman lama.Mereka masuk ke sebuah gedung, tempat orang-orang istana membuat pakaian dan kain-kain. Tempat itu bersebelahan dengan kediaman Ratu Suprabha dan terlihat dari dalam rumah, Pangeran Jayagiri keluar sembari menggendong kucing putih peliharaannya.“Belakangan ini, aku tidak
“Tidak apa-apa,” ucap Cantaka, membujuk Gunawarman yang bersikukuh untuk menolak Saraswati terlibat.Gunawarman mengangguk, menjatuhkan kembali tangan kanan yang terbentang menghalangi langkah gadis itu untuk menghampiri Cantaka.Keduanya kembali bertemu, bukan sebagai seseorang yang saling mencinta, tetapi dua orang yang sama-sama membutuhkan. Cantaka sama membutuhkannya seperti dia menginginkan pemuda itu untuk kembali seperti pria yang ia kenal sebelumnya.“Aku yakin, kamu pasti memiliki alasan jelas untuk ikut terlibat sampai sejauh ini, Saraswati,” balas Cantaka.“Benar. Aku memiliki hal lain yang ingin kuraih, dan satu-satunya cara untuk meraihnya dengan ikut membantumu mengungkapkan kasus ini,” jelas Saraswati, sorot matanya begitu percaya diri menatap kedua mata Cantaka sungguh-sungguh.“Baiklah. Aku akan segera pergi untuk berbicara dengannya,” pamit Cantaka, berjalan menuju istana dalam samb
Cantaka benar-benar terkejut sembari terus memegangi pipi kirinya yang terkena tamparan cukup telak dari Raja. Suara yang ditimbulkan terdengar bergema di seluruh ruangan, maklum saja istana dalam begitu kosong hanya menyisakan mereka berdua. “A-Apa salah hamba sampai Yang Mulia menamparku?” tanya Cantaka, ketakutan. “Ceroboh! Bukankah sudah kukatakan sebelumnya bahwa kecerobohan bisa mendatangkan kesialan dan keburukan,” jawab Raja, tegas. Cantaka segera mengambil sikap bersujud, kedua telapak tangannya menempel di atas lantai marmer dengan pandangannya yang terus memandang ke lantai tempatnya bertumpu. Ia sadar, perbuatan membunuh mereka semua adalah hal yang salah, ia juga tidak mengelak kalau dirinya pantas untuk dihukum. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukan maksud hamba untuk melakukan hal itu dengan—” “Katakan padaku, apakah kamu sedang menyelidiki kasus pungli yang menteri itu katakan?” tanya Raja, menyorot tubuh Cantaka yang masih
***Ayodya tiba ke ruang kerja Cantaka seraya menenteng seorang pria yang perlu diselamatkan nyawanya. Pangeran Cantaka tidak ingin Geni kehilangan nyawanya akibat pembunuhan yang dilakukan orang yang terlibat dengan kasus ini demi menutup jejak.Pintu terbuka, terlihat Geni yang tampak lemah dengan wajah penuh lebam memohon ampun kepada Cantaka. Pangeran muda itu segera berjalan meninggalkan meja kerjanya menuju hadapan pria malang tersebut.Ia mencengkeram wajah Geni dan menatap kedua mata pria itu dengan kuat. Tak lama Cantaka tiba-tiba tertawa sambil melepaskan tangannya dari wajah Geni yang menjijikan.“Aku tidak akan membunuhmu seperti yang dilakukan mereka,” balas Cantaka.Ia ambil kendi berisi anggur favoritnya dan menuangkan minuman itu ke cangkir kecil miliknya, belakangan ini ia sangat menyukai cita rasa anggur di zaman ini.“Lepaskan ikatannya, Ayodya,” titah Cantaka.Ayodya segera memotong tali tam
“Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu katakan.”Wanita itu tampak memundurkan langkahnya ketika Cantaka semakin berjalan mendekatinya. Han lebih memilih untuk berjaga dekat pintu masuk, tidak memerhatikan mereka, tidak pula mengikutinya.Pangeran muda itu terus mendesak Istri Geni untuk berbicara, ia yakin kalau dia mengetahui kekayaan yang dimiliki oleh suaminya. Cantaka tidak akan beranjak pergi dari tempat itu sebelum wanita di hadapannya berkata sesuatu tentang harta Geni.“Jangan mendekat,” pinta wanita itu, ketakutan.Ia melihat aura yang terpancar dari kedua mata Cantaka begitu menakutkan, bahkan anak kecil pun tahu i a sedang terancam tatkala melihat pandangan pangeran tersebut.“Apa kamu tidak ingin memberitahuku?” tanya Cantaka, memaksa.“Sudah kubilang, aku tidak tahu apa yang sedang Tuan Pangeran katakan,” timpal wanita tersebut, air matanya terjatuh menetes dari sudut mat
***Hari ini, direncanakan akan ada rapat parlemen untuk menindaklanjuti perintah Raja sebelumnya. Ia ingin laporan tentang keadaan rakyatnya tersampaikan dengan kabar baik yang menyertai.Terlihat rombongan menteri berjalan beriringan dengan dua kubu yang saling bersebrangan, antara kubu Gunawarman dan kubu Cakrawijaya –Menteri Pertahanan.Sekilas melihat mereka bersitegang secara dingin membuat banyak orang yang melihatnya berspekulasi liar tentang kestabilan politik istana.“Bagaimana keadaannya?” tanya Cantaka ketika keduanya berpapasan dengan Ayodya.“Dia masih terlelap. Semalam ia tidur jam 1 tengah malam, memikirkan Istri dan anaknya,” balas Ayodya, tegas.“Ia tidak perlu mencemaskan anaknya, dia baik-baik saja. Hanya saja ia perlu mengkhawatirkan keadaan istrinya,” timpal Han, ucapannya benar-benar mengejutkan bagi Cantaka yang mendengarnya.“Diamlah dan pergi hampiri dia, beri p
***“Apa kau baik-baik saja?”Saraswati datang menghampiri bersama dengan Danar yang berada di sampingnya. Anak laki-laki itu, Cantaka belum kesampaian untuk membawanya menghadap Adibaya. Rencana demi rencana yang sudah ia susun sedemikian tertata harus hancur karena dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan para penyusup.“Aku baik.”“Pangeran Cantaka. Aku membuatkan sesuatu untukmu,” ungkap Danar, membuka kedua telapak tangannya yang semula tertutup.Terlihat sebuah kalung yang terbuat dari kayu ukiran terpampang jelas di tangan lembut Danar. Tertulis kata-kata yang menyayat hati Cantaka ketika membacanya, “Aku sayang padamu.”“Itu manis sekali. Aku akan menjaga kalung ini seperti aku menjaga dirimu,” jelas Cantaka, berterima kasih seraya tersenyum.Danar bisa dibilang adalah anak laki-laki yang ceria, dia sudah melupakan kejadian mengerikan di rumahnya dan mengatakan kalau k
***Keadaan Cantaka semakin memburuk di dalam sel penjara. Sejak semalam hingga pagi datang, belum ada satu makanan pun yang masuk ke tubuhnya.Ia masih melihat noda darah yang mengering menempel di jeruji besi tempatnya menginap semalam. Pangeran muda itu bisa membayangkan betapa keji dan brutal pembunuhan yang terjadi di tempat ini.Pintu penjara terbuka, secercah cahaya masuk memantik reaksi terkejut dari diri Cantaka. Derap langkah yang kuat terdengar jelas, menimbulkan bayangan kilat tentang betapa kuasanya orang di hadapannya.Raja Sunda.Matanya berkeliling, begitu juga dengan kepala dan tubuhnya, ikut memutar. Sorot mata Raja memicing memandang pedang khusus milik pangeran tergeletak di atas tanah.“Kenapa pedangmu ada di sini?” tanya Raja, berwibawa.“Karena aku dijebak. Aku tidak mungkin membunuh mereka ketika para tahanan itu mendapatkan pengawasan tentara kerajaan yang ketat,” balas Cantaka, berargu
Mereka bertiga sepakat untuk kembali ke istana, bersama Jayagiri yang berjalan berbarengan dengan Danar.Saraswati masih syok dengan pembunuhan yang terjadi di depannya, apalagi ketika mengetahui kalau pria yang tewas terbunuh tak lain adalah pelayan istana.Pada awalnya, Saraswati menduga kalau Cantaka yang berada di balik semua ini. Setelah melihat ekspresi pemuda itu barusan, ia yakin pelayan pria itu salah satu anak buah Cantaka.Saraswati dengan tegap memegang tangan Cantaka, menghentikan langkah pemuda itu dan menatapnya lekat-lekat.Ada sesuatu yang ingin Saraswati pastikan, hal itu berkaitan dengan kejadian barusan yang mengejutkannya.“Apa ada sesuatu, Saraswati?” tanya Cantaka, bingung.“Iya dan ini berkaitan dengan kejadian penculikan tadi. Aku yakin, itu tidak terjadi atas dasar kebetulan semata.”Mereka berhenti melangkah dan pergi setelah Saraswati memberitahu Jayagiri. Danar mengiyakan karena dia
***Para penyusup itu enggan untuk berbicara, bahka membuka mulut mereka meskipun Jayadharma sudah menginterogasi dengan keras.Hal itu akan sia-sia belaka jika diteruskan, tujuan awal mereka ketika tertangkap adalah mati, maka masuk akal jika mereka tidak berbicara jika tujuan interogasi yang dilakukan adalah kematian.“Ini sulit, mereka masih tidak mau berbicara. Apa perlu aku potong kaki dan tangan mereka untuk membuatnya bicara?” tanya Jayadharma, pria itu berdiri di samping Cantaka.“Tidak perlu, itu justru akan memudahkan rencana mereka untuk mati,” jelas Cantaka, tegas.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Jayadharma, bingung.Ia masih memandang para penyusup yang tertangkap dengan pandangan kuat. Satu persatu dari para pelaku mendapatkan cap dan siksaan yang sama dari Jayadharma, tidak satu pun dari mereka yang memiliki ruang bebas di kulit mereka dari cap besi.“Aku tahu.”
***Mereka berdua begadang hingga larut malam. Danar tidur di ruang kerja Cantaka, sedangkan Pangeran muda itu sedang berbincang dengan seorang pelayan yang merangkap sebagai anggota pasukannya.Sekitar jam 1 malam, mereka berdua berbincang di luar ruang kerja Cantaka, tepatnya di lorong kediamannya yang cukup sunyi.“Pangeran akan menggunakan anak itu sebagai alat untuk membuat Adibaya bicara?” tanya pelayan itu, berbisik.“Benar. Aku ingin kamu besok menculiknya ketika dia tengah berjalan bersamaku keluar istana,” ujar Cantaka, pelan.“Aku mengerti.”Pelayan pria itu segera meninggalkan Cantaka setelah mendengar semua perintah untuknya. Malam itu, hanya ada pasukan pengawal istana yang tengah berjaga dan berpatroli.Mereka melakukannya lebih ketat dan gencar setelah terjadi dua pembunuhan dalam waktu singkat, apalagi kejadiannya di malam hari.Seorang pasukan kerajaan datang menghampiri dan
Gunawarman melepas Cantaka pergi. Pangeran muda itu langsung beranjak pergi meninggalkan kelompok kiri yang tengah menjalani perjamuan.Ia masih menggenggam gulungan tersebut dan membuang pikirannya jauh-jauh tentang tahta. Dia hanya ingin menuntaskan kejahatan terhadap orang terdekatnya.Han yang tengah berjalan di koridor istana melihat keberadaan Cantaka. Ia segera memanggil pemuda itu dan bertanya tentang keberadaannya siang ini.“Ada sesuatu yang perlu kuurus di luar istana,” balas Cantaka, ramah.“Apa boleh aku mengetahui apa itu?” tanya Han, penasaran.Cantaka melihat kalau di sisi pelayannya tersebut, terdapat seorang dayang yang tengah membawa nampan berisi alat-alat menyulam. Keduanya hendak mengirimkan peralatan itu kepada Ratu Citraloka.“Ini hanya bisnisku. Aku sedang berusaha memperluasnya dengan kerja sama antar pihak,” ujar Cantaka, lembut.“Bisnis apakah itu, Pangeran?&r
***Cantaka mengangkat ember berisi air dingin dan langsung menyiram Adibaya yang terikat di atas kursi. Pria itu seketika bangun seraya tersentak kaget mendapati ia berada di satu rumah yang tak ia kenali.“Tch! Apa untungnya kalian menangkapku? Aku sama sekali tidak akan memberikan kalian informasi apa pun tentang penculikan itu,” timpal Adibaya, menantang.Cantaka melempar ember kosong ke depan wajah Adibaya, pemuda itu langsung menjambak rambut panjang Adibaya dan mengancam pria itu dengan siksaan yang sama seperti yang dialami Ayodya.“Lakukanlah. Aku ingin tahu seberapa gigih kalian mengancamku,” tantang Adibaya.Terpancing emosi, Pangeran muda itu langsung mendaratkan tinju pertamanya di hari itu tepat mengenai pelipis kiri Ayodya. Kekuatan Cantaka yang besar membuat Ayodya terjatuh bersama dengan kursi yang terikat dengannya.“Bawakan besi panas itu padaku,” titah Cantaka kepada anggota pasukannya.
Mereka semua pergi meninggalkan kediaman Cantaka tanpa hasil. Saraswati bisa bernapas lega, begitu juga dengan Cantaka. Dengan perginya mereka, maka Cantaka tidak akan dicurigai sebagai dalang dari penculikan Adibaya.Saraswati melepaskan tangannya dari mulut Cantaka. Wanita itu juga ikut membantu Cantaka untuk melepaskan zirah besi yang menempel di tubuhnya.Terkejutnya ia mendapati luka tusukan di punggung sebelah kiri Cantaka. setelah Saraswati membuka zirah tersebut, terlihat ujung anak panah masih tertancap dan berada di dalam tubuh Cantaka.“Siapa yang menembakkan anak panah ini?” tanya Saraswati, kaget.“Argh ... Pangeran Jayadharma.”“Pangeran Jayadharma? Bukankah sudah kukatakan padamu untuk tidak berhadapan secara langsung denngannya?” tanya Saraswati, kesal.Cantaka mengangguk pelan seraya mengangkat tangannya sejajar dengan kepala, meminta maaf karena telah bersikap bodoh dengan mengabaikan nas
***“Apa yang hendak kamu lakukan dengan pakaian besi itu, Pangeran?” tanya Han.Pagi itu, Han datang bersama seorang pelayan hendak memberikan berkas tentang pencariannya di kebun belakang rumah Ayodya. Ia benar-benar terkejut tatkala mendapati Cantaka sudah bersiap dengan zirah besi seakan-akan peperangan akan segera dimulai.“Diam dan berpura-puralah tidak melihatku, Han,” ucap Cantaka, dingin.Tanpa banyak berpikir, Pangeran muda itu segera berjalan menuju halaman belakang kediamannya dan berdiri tepat di depan 20 orang pasukan setia Cantaka.Han semakin terkejut melihat pasukan sebanyak itu, ia melihat wajah mereka tertutup topeng kelana yang berwarna merah pekat dan terlihat menyeramkan. Han baru menyadari kalau apa yang terjadi adalah imbas dari kejadian penculikan Ayodya.Cantaka menarik pedang panjang miliknya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, “Tanggalkan semua perasaan, hilangkan rasa empati, hancurkan