Hanya mengobrol beberapa menit dengan Alano, Bella seperti lupa segalanya. "Elrissa jelas sudah putus dengan Daniel, mungkin dia ditinggalkan. Aku yang menemaninya selama ini," terang Alano menyimpulkan. "Begitu ya, aku nggak mengira juga kalau Elrissa sudah putus dengan Daniel, padahal setahuku mereka ingin menikah," kata Bella. "Tapi tolong jangan membahas apapun tentang pria itu di depan Elrissa. Lagipula pria itu saja menghilang, entah kemana— mungkin kabur." "Aku nggak terlalu mengenal Daniel, tapi ternyata dia seperti itu orangnya." "Apalagi yang kamu tahu tentang dia?" "Nggak ada lagi." "Terima kasih sudah berbagi informasi tentangnya." "Tapi, aku heran kalau Elrissa nggak ngasih tahu kamu tentang Daniel. Iya, aku tahu dia itu agak tertutup—tapi kalian 'kan suami-istri, sebelum hilang ingatan masa dia nggak ngomong ..." Bella berat sekali mengakui temannya mendadak memiliki suami seperti i
Keesokan harinya. Alano dan Elrissa masih betah berpelukan di atas ranjang sekalipun hari sudah semakin siang. Suasana kamar ini masih remang, kelambu putih masih menutupi jendela besarnya. Udara di luar begitu dingin sampai menembus tembok, tapi di dalam situ terasa hangat berkat penghangat ruangan. Musim hujan kali ini cukup ekstrim."Sayang, kamu waktu kecil pernah punya teman bermain laki-laki, nggak?" tanya Alano tiba-tiba membuka topik obrolan. Elrissa masih memeluk dada telanjang Alano. Posisi kepalanya ada di atas lengan atas pria itu. Nyaman sekali dalam dekapannya. "Teman bermain laki-laki? Ya, pasti punya. Kenapa mendadak tanya begitu?" sahutnya. "Kamu ingat nggak gimana wajahnya atau namanya?" "Jelas nggak ingat sekarang. Aku dan mendiang orangtuaku selalu berpindah-pindah, jadi aku nggak terlalu dekat dengan teman manapun, kecuali Bella." "Bella sudah jadi temanmu sejak kecil?" "Iya, bisa dibilang begitu." "Oh. Kalian selalu bersama berarti?" "Nggak juga, sih,
Alano bertemu dengan Bella di sebuah kafe tak terlalu terkenal di kota. Setengah jam pertama, mereka hanya basa-basi sambil memakan donat pesanan. "Jadi, kamu itu sebenarnya tinggal di mana? Elrissa tinggal denganmu?" Bella membuka obrolan yang lebih private. "Aku tinggal nggak jauh dari sini, Rissa tinggal sama aku setelah nikah. Beberapa bulan belakangan, dia diincar stalker, jadi aku pikir langsung menikahinya agar kami bisa serumah akan membuat dia aman." "Oh! Benar juga, terakhir dia cerita kalau ada pria asing yang mengikutinya terus." "Apa dia cerita tentang stalker itu lebih lanjut?" "Seingatku Rissa bilang pria itu nggak asing buat dia, dan punya tatto di leher, tapi aku nggak kenal." "Tatto di leher? Seperti apa?" "Bertuliskan namanya. Elrissa." "Oh ..." Alano beruntung sekarang musim hujan, sehingga kemana-mana dia menggunakan kaos kerah menutupi sebagian leher. Kalau saja tidak, Bella akan tahu dia juga punya tatto kecil di bawah telinganya. Tatto itu tidak dia te
Elrissa berkeliling di rumah besar Alano. Tidak ada yang berbeda dari desain interior di villa tengah hutan saat itu. Iya, banyak sekali lorong berisi ruangan-ruangan yang terkunci otomatis. Tempat ini sudah seperti penjara. Hanya saja, lebih canggih, hening dan bersih. Tidak ada satupun orang di dalam sini kecuali Elrissa. Ini membuatnya bosan bukan main. Bahkan, setelah menghabiskan waktu dengan menonton film dan memainkan ponsel pun, tetap tak bisa menurunkan rasa bosan ini. "Ke mana Alano ..." Dia berjalan santai, berbelok ke lorong-lorong tanpa tahu tujuan. "Aku bosan di rumah." Secara kebetulan, dia sampai di ruangan belakang, dimana sebagian temboknya diganti dengan kaca khusus, termasuk pintu. Dengan begitu, bisa langsung tahu kondisi di luar seperti apa. Hujan lebat, langit pun sampai menghitam. Elrissa mendekat ke kaca itu, melihat hujan yang disertai angin. Dia melihat ada kolam renang yang sudah dikuras, tapi menampung air hujan banyak sekali. "Oh,
Keesokan harinya. Sesuai keinginan dari Elrissa, Alano setuju untuk jalan-jalan setelah pemeriksaan di rumah sakit. Suasana alun-alun kota begitu ramai di malam hari begini. Ada festival musik yang membuat jalanan di penuhi oleh pedagang dan pejalan kaki. Beruntung, langit cukup bersahabat, tidak hujan, tidak juga mendung. Kondisinya cukup aman. Elrissa dan Alano bersandar di tepian kolam air mancur, tak jauh dari panggung utama. Belum ada tanda-tanda ada band yang meramaikan malam ini, hanya sekedar MC yang menyambut penonton. Elrissa meniup coklat hangat dari gelas kertas yang dia beli dari salah satu kedai terdekat. Sementara itu, Alano diam saja memandangi lalu lalang orang lewat. Semuanya berbicara, berisik, dan tertawa. Sebagai orang yang tertutup, dia selalu tak nyaman berada di keramaian. Tetapi, dia tersadar— ini bisa dibilang sebuah kencan. Ini kencan pertamanya di tempat publik bersama Elrissa. Iya, walaupun dia lebih memilih kencan di tempat sepi. Dia menengok
Esok harinya. Alano membangunkan Elrissa dengan mencium dada wanita itu bergantian kanan dan kiri di balik selimut. "Sayang ... Stop, kamu terluka, loh," gumam Elrissa tersadar aksi pria itu. Dia mendorong kepala Alano sampai menjauh dari dadanya. Alano bangun, lalu turun dari ranjang seraya berkata, "iya ... Ngomong-ngomong, hari ini aku mau pergi sebentar, Sayang." "Lagi? Kamu pergi lagi? Lagi terluka masih mau pergi?" Elrissa ikut bangkit dari ranjang sambil menarik selimut untuk menutupi dadanya. "Aku nggak apa-apa. Aku ada urusan, cuma sebentar, kok. Kamu di rumah dulu saja." "Jadi aku dikurung lagi?" "Jangan bilang dikurung, dong. Jahat banget kayaknya aku." "Kalau begitu aku ingin ikut." "Ini pekerjaan, aku mau ketemu rekan bisnis, jadi kamu nggak bisa ikut." "Kamu yakin pergi? Kamu masih terluka." Alano melihat jahitan kecil di pinggangnya yang sudah kering. "Aku 'kan bilang nggak apa, toh, ini sudah kering, aku oles obat sendiri kemarin." Elrissa terte
Alano telah pergi dari rumah.Sudah setengah jam berlalu, Elrissa gelisah di dalam rumah. Namun, perasaan itu memudar ketika sadar ada pembantu yang membersihkan rumah setiap hari. Ini adalah jam mereka datang untuk bersih-bersih.Ada tiga pembantu, dua wanita, dan satu pria yang diberikan akses masuk ke rumah melalui pintu belakang. Mereka sudah dipercaya oleh Alano selama bertahun-tahun untuk memegang kunci.Dua wanita pembantu berusia empat puluh tahunan yang mengurus kebersihan dari lantai dasar hingga atas, sedangkan satu pria pembantu bertugas memeriksa keamanan listrik dan elektronik lain.Rutinitas ini selalu ada setiap hari, mereka datang dan pergi seperti hantu. Baru kali ini saja, Elrissa mengintip kinerja mereka.Ketika dia melihat tiga pekerja itu sudah selesai dengan pekerjaan mereka, satu orang telah membuka kunci pintu belakang, hendak keluar. Seketika itu pula, Elrissa berteriak, "ah!"Jelas saja, mereka panik dan kembali masuk ke dalam, menuju ke sumber suara yaitu r
Elrissa tidak tahu kemana Alano pergi. Niat awal adalah mendatangi tempat kerja Bella, tetapi urung ketika dia sadar tidak membawa banyak uang tunai.Alhasil, dia menaiki taksi dengan tujuan adalah ke rumah. Dia ingin mencari buku tabungannya, agar bisa melaporkan ke pihak bank kalau kartu debitnya hilang ketika dia tenggelam."Kebuka? Aneh banget, apa kemarin aku lupa menutup tirainya?" Elrissa heran dengan tirai jendela depan rumah yang terbuka.Tanpa memikirkannya lagi, dia langsung masuk ke dalam kamar tidur. Disitu, dia merasa asing.Seluruh tembok sudah dicat ulang putih bersih. Dia tidak ingat kapan mengecat ulang tempat ini. Tetapi, harusnya banyak catatan terpajang di tembok.Dari mulai foto-foto sampai pengingat kerja. Tetapi, sekarang sangat bersih. Tidak ada apapun kecuali jam dinding."Alano membersihkan rumahku? Kapan?" Elrissa mencoba mengingat-ingat.Hanya saja, tidak ada ingatan yang melintas. Iya, seakan telah hilang permanen. Sekalipun sudah mendapat penanganan dokt
Elrissa dan Alano duduk di kursi yang dipisahkan oleh meja bundar. Di atas meja itu terdapat piring-piring berisi daging, sate dan burger yang semuanya masih hangat. Mereka berdua kompak bersandar santai sembari melihat ke langit dimana sudah ada kembang api yang menyala.Pesta tahun baru sudah dimulai.Alano menuangkan alkohol jenis gin ke gelasnya untuk kesekian kalinya.Elrissa memegangi piring kecil berisi irisan daging. Dia sudah memakan sebagian. Pandangannya masih ke arah samping, ke kekasihnya yang sudah habis dua botol alkohol. “Sayang, kamu terlalu banyak minum itu, sudah jangan lagi.”“Aku masih sadar, kok, nggak apa-apa.” Alano menoleh pada wanita itu sembari tersenyum. Memang benar, kelihatan sekali kalau dia masih belum terlalu terpengaruh alkohol.“Aku takut kamu tipe pengamuk kalau mabuk.”Alano tertawa. “Aku tipe tukang tidur kalau mabuk.""Awas saja kalau ketiduran disini, aku nggak akan membawamu masuk ...""Jangan gitu, dong, nanti kamu kedinginan loh kalau nggak d
Rumah sewaan Alano adalah bangunan tua pinggir jalan. Rumahnya tidak terlalu besar, tidak bertingkat, tapi setidaknya punya halaman belakang yang cukup luas dan dilindungi oleh pagar yang aman. Itu yang paling penting sekarang.Saat mereka datang, semua sudah dibersih, tetapi areanya masih basah dan lembab. Untungnya, cuaca bagus hari ini, udara lebih hangat dari sebelumnya.Elrissa beristirahat di kamarnya sendirian. Dia diminta untuk tidur saja oleh Alano. Tetapi, wanita itu tidak mungkin bisa beristirahat setelah kejadian di supermarket tadi. Semuanya begitu mengejutkan.Ketika hari sudah mulai gelap, Elrissa keluar dari kamar untuk memeriksa keadaan. Dia penasaran dengan apa yang sudah dilakukan oleh calon suaminya di halaman belakang.Selama berjam-jam, Alano menikmati waktu sendirinya di halaman belakang. Dari mulai menyiapkan alat panggangan untuk pesta BBQ, menaruh meja di sampingnya yang sudah banyak terhidang potongan paprika, udang, daging dan lain-lain.Pencahayaan di hala
Elrissa tenggelam dalam pemikiran. Tetapi, semua itu buyar akibat wanita misterius tadi tak berhenti berteriak. Dia sempat berteriak, “Nona, jauhi pria itu! Dia monster! Dia bukan manusia! Tolong selamatkan dirimu!” Alano risih mendengarnya. Dia menarik tangan Elrissa, lalu diajak pergi ke rak terjauh agar menghindari kerumunan orang yang penasaran dengan keributan ini. Ketika sudah berada di samping rak minuman beralkohol, Alano berhenti berjalan, lalu mengambil beberapa kaleng alkohol untuk dimasukkan ke dalam troli. Elrissa tersadar. “Sayang, kamu minum alkohol? Kamu bilang nggak minum?” “Nggak apa-apa ‘kan? Ini juga mau tahun baru, sekalian merayakan.” Alano menjawab dengan nada cukup dingin. "Hmm ..." Elrissa tidak suka dengan ini. Alano paham kekhawatiran Elrissa. "Tenang, aku nggak mungkin mabuk. Jangan takut. Lagian di supermarket ini, alkohol yang dijual itu terbatas, nggak ada yang kandungan alkoholnya tinggi, malahan mirip soda biasa." "Oh." Alano kembali m
Seminggu telah berlalu …Alano mengajak Elrissa untuk pergi berlibur di kota kecil, sekaligus menghindari keramaian tahun baru di kota besar.Elrissa tampaknya ingin menghabiskan waktu lebih private bersama Alano. Kehamilannya telah diperiksa dan ternyata sudah jalan lima minggu. Ini cukup mengejutkan karena dia tidak terlalu merasakan gejalanya, kecuali lelah dan suka mengantuk.Sebelum ke rumah yang mereka sewa, terlebih dahulu Alano membelokkan mobilnya masuk ke area supermarket. Halaman parkirnya sudah ramai pengunjung. Tak heran sekarang sudah cukup siang.Supermarket itu bernama Tony’s Market, tempat yang jelas familiar kepada semua warga yang pernah berada di kota ini, termasuk Alano dan Elrissa. Saat kecil, mereka beberapa kali mampir kemari untu berbelanja.Saat keluar dari mobil, Elrissa menatapnya bagian depan supermarket itu. “Sudah berapa tahun ya aku nggak ke sini?”Alano ikut keluar mobil, menikmati udara segar di kota ini. “Aku juga sudah lupa kapan terakhir ke kota in
Elrissa memeluk Alano begitu sampai di rumah. Dia menangis di pelukan pria itu, menyesali keputusannya untuk pergi sendirian. Hatinya masih terluka dengan kelakuan tersembunyi dari Daniel.Alano mengelus rambutnya. Tidak perlu dijelaskan, dia sudah mengetahui segalanya. "Nggak usah menangis, Sayang, nanti akan aku balas semua sakit hatimu.""Dia ingin melenyapkan anak kita.""Nggak akan. Nggak akan ada orang yang bisa mencelakaimu ataupun anak kita. Tenang saja, ya."Elrissa melepaskan pelukannya, lalu memandangi wajah Alano. Air mata membasahi pipinya. Dia sangat stres karena semua ini.Alano tidak tega melihatnya. Dia memgusap air mata Elrissa dengan jempolnya. "Sudah jangan nangis. Dia nggak akan mengganggu kita lagi.""Iya.""Kamu mau liburan nggak? Kita bisa menyewa villa di kota lain? Kita bisa main ke pantai atau semacamnya."Elrissa menatap Alano dalam-dalam, senang dengan perubahan sikap pria itu. Sekarang, dia merasa sangat aman dan dicintai. Tidak dikekang seperti sebelumny
Daniel baru saja menindih tubuh Sarah di atas ranjang, tapi suara berisik pintu gerbang mengganggunya. Dia langsung bangun, dan menaikkan celananya lagi."Siapa itu, jangan-jangan dia ..." katanya sambil mengancingkan lagi kemeja yang dia pakai.Sarah bangun sembari menutupi dadanya dengan selimut. "Daniel, mau kemana?"Daniel mengacuhkannya, dan berlari keluar kamar, curiga kalau David mengkhianatinya.Dia menggebrak pintu kamar tamu, dan tak melihat ada Elrissa disitu. "Rissa!"Panik, dia keluar rumah, dan berlari ke pintu gerbang. Dari situ, dia bisa melihat wanita itu berlari menyusuri trotoar menuju ke jalan raya yang berjarak dua ratus meter dari rumah ini."ELRIISSSSAAA! MAU KEMANA KAMU!" teriak Daniel mengejarnya.Elrissa kaget, ternyata ucapan David benar, suara berisik dari pintu gerbang menyadarkan Daniel akan kepergiannya.Dia menambah kecepatannya berlari, dan untungnya jarak ke jalan raya tidak terlalu jauh.Sebuah taksi berhasil dia berhentikan, tapi sialnya lari Daniel
Elrissa masih tidak sadarkan diri saat ditidurkan di ranjang kamar tamu rumah David.David sampai dibuat tidak bisa berkata-kata dengan tindakan sepupunya. Dia tidak tahu kalau akan sampai seperti penculikan begini.Apakah ini tidak apa-apa? Sekalipun mereka tunangan, tapi ini sudah kelewatan. Dia pergi ke dapur dan mendapati Daniel sedang berciuman dengan Sarah.Muak, dia menarik pundak Daniel hingga mereka berhenti berciuman. "Stop berbuat bejat untuk sementara, ini masalah serius, kenapa kalian membawa masalah di rumahku?"Sarah memilih pergi, dia tidak mau terlibat pertengkaran. David sempat melototinya, kesal sekali.Daniel malah duduk di meja dapur layaknya seorang bos. Dia memainkan cangkir kosong yang dia pegang. "Kamu ganggu saja. Aku mau buat kopi ini.""Jangan keterlaluan, Daniel, bisa-bisanya bermesraan dengan mantan kekasihmu di rumahku?""Memangnya kenapa? Kamu sudah tahu 'kan?""Ini kelewatan.""Ada apa denganmu? Kamu jadi nggak asyik sekarang.""Aku bukannya nggak asy
Esok harinya ...Elrissa datang menemui Daniel di kediamannya seorang diri. Dia tidak tahu bagaimana nanti reaksi pria itu. Tetapi, dia harus memutuskan sekarang karena sudah mengandung anak pria lain.Begitu masuk ke dalam rumah, terlihat Daniel sudah bersiap untuk pergi.”Sebaiknya kita langsung pergi dari sini, Sayang, aku nggak mau pria itu mengincar kita lagi, kita akan pergi ke rumah David," katanya."Apa? Nggak, nggak usah, aku ingin bicara denganmu serius.“ Elrissa duduk lebih dahulu di sofa panjang ruang tamu.Daniel duduk di sofa depannya. "Bicara serius? Ada apa?”“Bagaimana tanganmu?" Elrissa ingin basa basi sedikit, agak khawatir dengan kondisi tangan Daniel yang waktu itu dikasari oleh Alano."Sudah membaik.""Syukurlah.""Kamu mau bicara apa?""Begini, aku ingin kita ... mmm ... nggak bisa melanjutkan hubungan ini. Maafkan aku.""Apa? Apa maksudmu!" Daniel meledakkan emosi. Dia jelas sangat marah. Setelah kesengsaraan yang terus dia alami, tentu saja tidak semudah melep
Elrissa menyendiri di kamar tidur sejak mendapatkan hasil tes kehamilannya. Perasaan tidak enak yang selalu dia rasakan ternyata adalah gejala kehamilan."Bagaimana? Mungkin beberapa minggu lagi kita harus menikah," ucap Alano berdiri di depan Elrissa yang duduk di tepian ranjang.Elrissa menengok ke kalender meja kecil yang ada di atas meja nakas. Disitu terlihat kalau sebentar lagi natal. "Aku nggak mau.""Maksudmu kamu akan tetap hamil dan tanpa status begini?""Aku nggak terima dengan caramu melakukan ini. Aku nggak mau.""Kalau kamu mau punya anak di luar pernikahan, nggak masalah. Aku nggak akan menikahimu.""Iya sudah.""Iya, aku nggak akan menikahimu, jadi kamu dan anak kita nanti akan dijadikan bahan gunjingan orang.""Ini era modern, banyak ibu single parent di luaran sana. Jangan menjadikan ini untuk mengekangku.""Oh hebat kamu, berani ngomong kayak begitu di negara ini?""Aku akan bilang kalau ayah dari anakku sudah mati.""Kamu lebih bodoh dari yang aku kira. Ini namanya