Di luar, malam semakin larut, namun ketegangan di dalam ruangan masih terasa pekat. Jia dan Revandro bergerak cepat, seolah ada sesuatu yang melesat di antara mereka, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertemuan ini. Rencana mereka sudah diatur dengan rapi, namun masih ada satu hal yang menggantung di udara: bagaimana menghadapinya jika musuh benar-benar menyerang."Jia," suara Revandro terdengar di belakangnya saat mereka berjalan menuju pintu utama mansion, "Kita akan menghadapi mereka dengan cara kita sendiri. Kita tak akan bermain aman."Jia berhenti sejenak, menatap Revandro dengan ekspresi serius, namun ada kekuatan dalam tatapannya. "Aku tahu, dan aku siap. Tapi ingat, kita harus memastikan kita tetap di depan mereka. Tak ada ruang untuk kesalahan."Revandro tersenyum, namun ada sesuatu yang lebih dalam pada senyumnya itu. "Kamu selalu membuatku terkesan, Jia."Namun, sebelum mereka dapat melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari pintu belakang, membuat mereka berh
Jia merasakan atmosfer di ruangan itu semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa semakin mendesak, dan meskipun mereka sedang duduk di sekitar meja yang sama, dia bisa merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya, Revandro, dan Agatha. Setiap gerakan mereka seakan berirama dengan sebuah permainan catur yang rumit—di mana setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati, dan setiap pengkhianatan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga.Agatha, yang sedari tadi berdiri diam, akhirnya memecah keheningan itu. "Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian menganggap aku terlalu ambisius atau mungkin tidak cukup dapat dipercaya. Tapi ini bukan tentang kalian, atau aku. Ini tentang bertahan hidup. Ini tentang memastikan kita tidak menjadi sasaran berikutnya."Jia menatap Agatha dengan tajam, tetapi tidak berkata-kata. Ia sudah cukup mendengar kata-kata manis yang keluar dari bibir wanita itu. Namun, ada sesuatu dalam nada Agatha yang membuatnya berhe
Malam semakin larut saat mereka tiba di lokasi yang telah mereka tentukan. Tempat itu terletak di pinggir kota, di sebuah kawasan yang jarang dilalui. Bangunan besar yang terbengkalai berdiri di sana, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik dinding-dindingnya yang kusam. Dari luar, tampak sunyi dan gelap, namun Jia tahu persis apa yang sedang menunggu di dalam.Jia memandang gedung itu, otaknya bekerja cepat, memikirkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ada banyak hal yang bisa salah malam ini. Tetapi, dia sudah tidak punya pilihan lagi. Tidak ada ruang untuk keraguan.Revandro yang berdiri di sebelahnya, menatap gedung yang sama dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya, yang biasanya penuh dengan kecerdasan tajam dan sikap yang penuh perhitungan, kini tampak lebih dalam, seolah menyembunyikan pemikiran yang tak terungkap. Dia tahu ini bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari itu.“Jia,” suara Revandro memecah kehen
Pria itu melangkah maju, mengesampingkan semua orang yang berada di ruangan. Suara langkah kakinya yang berat membuat setiap orang terdiam, seakan mengikuti irama yang ditentukannya. Jia tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah lepas dari pria tersebut. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa waspada, meskipun ia telah menghadapi banyak bahaya sebelumnya.Revandro yang sejak tadi diam, kini menatap pria itu dengan penuh perhatian. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilatan tertentu di matanya—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. "Jadi, kamu adalah orang yang memimpin permainan ini," kata Revandro dengan suara yang dalam, penuh tantangan.Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Jia dan Revandro, tatapannya tajam dan seolah menilai mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mengenakan jas hitam yang rapi, dengan dasi yang diikat sempurna, namun ada aura gelap yang mengelilinginya, membuat setiap orang di ruangan merasa terintimidasi."Begitu mudah untuk mengena
Jia menatap pintu yang masih berayun perlahan, seolah bisa menelusuri bayangan pria itu di balik kegelapan. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya menegang, seakan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu pergi begitu saja.Revandro, yang berdiri tidak jauh darinya, memiringkan kepalanya dan mengamati raut wajah Jia. “Ada apa?” tanyanya tenang, tapi matanya memancarkan keingintahuan yang tajam.Jia menoleh, tatapan dinginnya kini mengarah langsung pada Revandro. “Kau membiarkannya pergi. Itu kesalahan besar.”Revandro hanya mengangkat bahunya, seraya berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan dan mengambil segelas minuman. “Mungkin. Tapi apa gunanya menahannya kalau kita tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dimainkan?”“Tapi kita kehilangan kesempatan untuk menginterogasinya!” Jia mendekat, nada suaranya meninggi, penuh frustrasi. “Dia tahu sesuatu. Dan simbol itu… Aku tahu dari mana asalnya.”Revandro meneguk minumannya perlahan, tidak sedikit pun terpengaruh
Setelah pria misterius itu pergi, suasana di ruangan tetap tegang. Sila memilih keluar lebih dulu, memberikan waktu bagi Jia dan Revandro untuk berdiskusi. Namun, bukannya langsung membahas pesan Alexander, Revandro melangkah mendekati Jia, senyum yang tadinya dingin perlahan melembut.“Jia,” katanya pelan, memecah kesunyian.Jia menoleh, ekspresinya masih mengeras oleh ketegangan yang baru saja terjadi. “Apa lagi?” jawabnya tanpa banyak basa-basi.Namun, alih-alih menjawab, Revandro mengulurkan tangannya, menyentuh lembut wajah Jia, ibu jarinya menyapu pelan di pipinya yang merona samar karena emosi. Jia mematung, hatinya berdebar meski ia mencoba mengabaikannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Revandro, suaranya lebih lembut dari yang biasanya.Jia menepis tangannya dengan lembut, tapi tidak benar-benar menghindar. “Aku bukan anak kecil, Rev. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Revandro tertawa kecil, rendah, penuh rasa sayang yang sulit ia sembunyikan. “Aku tahu kau bisa. Tapi, tetap sa
Jia duduk diam di tempatnya, menatap cangkir di tangannya yang mulai mendingin. Kata-kata Revandro tadi terus terngiang di kepalanya, seperti sebuah melodi yang enggan berhenti. "Kau adalah seseorang yang kubutuhkan." Kalimat itu, meskipun terkesan sederhana, membawa makna yang lebih besar daripada yang ia ingin akui.Namun, pikirannya terusik oleh nama Sila. Wanita itu selalu menjadi teka-teki baginya—terlalu licik, terlalu pintar bermain peran, dan terlalu sering berada di orbit Revandro. Jia tahu bahwa Sila tidak hanya bekerja untuk Revandro, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan.Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan ragu.“Nona Jia, Tuan Revandro meminta Anda untuk bersiap. Dia ingin Anda menemaninya malam ini.”Jia menatap pelayan itu dengan kening berkerut. “Malam ini? Ke mana?”“Maaf, saya tidak diberi tahu lebih banyak. Tapi dia meminta Anda mengenakan sesuatu yang formal.”Mata Jia menyipit. Fo
Jia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Revandro. Matanya mencari-cari tanda ketulusan di wajahnya, tetapi hanya menemukan ketegangan yang tidak biasa. Dia tahu Revandro serius, tetapi pertanyaannya adalah—seberapa jauh dia akan pergi demi melindunginya?"Bagaimanapun caranya?" Jia mengulangi, suaranya terdengar dingin. "Apa itu berarti membunuh lebih banyak orang lagi, Revandro?"Pria itu memutar kepalanya untuk menatapnya langsung. Matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. "Jika itu yang diperlukan, ya," jawabnya tanpa ragu.Jia menarik napas dalam, lalu memalingkan wajahnya ke jendela, melihat bayangan kota yang berlalu cepat. Dia tahu Revandro bukan orang biasa. Dia tahu pria itu hidup di dunia yang keras dan penuh darah, tetapi mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu tenang membuat dadanya sesak.“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Jia akhirnya bertanya, nadanya penuh dengan kebimbangan. “Setiap langkah yang kau ambil selalu menciptakan lebih banyak musuh.
Jia merasa tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ancaman yang nyata di depan matanya, tetapi juga karena kemarahan yang mulai membakar dirinya. Kenapa pria tua ini datang hanya untuk menghancurkan segalanya?Revandro menarik Jia ke belakangnya dengan gerakan protektif. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun darinya. Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah, kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."Pria tua itu tersenyum kecil, melangkah mundur dengan tangan di belakang punggungnya, seolah tak terganggu sedikit pun oleh ancaman Revandro. "Kau berpikir ancamanmu berarti sesuatu bagiku, Maxio? Kau mungkin kuat, tapi aku sudah hidup lebih lama dari yang kau tahu."Sementara itu, Arvell, yang diam-diam memperhatikan dari sudut ruangan, mulai menggerakkan pistolnya ke arah salah satu anak buah pria tua itu. Ia tahu waktunya sudah hampir habis—jika Jia tidak menyerahkan kotak itu, konflik ini akan berubah menjadi pembantaian."Jia," bisik Revandro, suaranya rendah namun cukup tegas unt
Langkah Jia semakin cepat saat suara tembakan dan ledakan terus menggema di luar. Udara di lorong itu terasa berat dengan aroma mesiu, dan setiap langkahnya seolah membawa Jia lebih dekat ke dalam bahaya. Namun, di tengah kegelisahan yang mendera, tekad Jia semakin kokoh.Arvell berjalan di sisinya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan. Meski jelas ia adalah sekutu sementara, Jia tak bisa mengabaikan fakta bahwa lelaki itu memancarkan aura bahaya yang setara dengan Revandro.Ketika mereka mencapai pintu keluar ke area gudang utama, mereka menemukan beberapa anak buah Revandro tengah bersembunyi di balik tumpukan peti. Salah satu dari mereka segera memberi laporan."Mereka sudah berhasil mendobrak gerbang utama. Revandro masih berusaha menahan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak!"Jia merasa dadanya mencelos. Revandro sendirian?Arvell melirik pria itu dengan tenang. "Berapa banyak orang kita yang tersisa?""Kurang dari setengah. Sisanya sudah tumbang atau mundur.""Bagus," jawa
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jia mencoba mengatur napasnya, namun gemetar tubuhnya tak bisa ia hentikan. Revandro menggenggam tangannya erat, sementara Arvell berdiri dengan raut wajah yang gelap dan penuh amarah."Aku tidak percaya," Arvell memecah kesunyian. "Pria itu pasti berbohong. Dia mencoba mengadu domba kita dengan ceritanya."Revandro tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Jia, menunggu penjelasan, tetapi Jia hanya menggeleng pelan. "Aku sungguh tidak tahu apa yang dia bicarakan... tapi liontin itu..." Suaranya melemah, seolah hanya mengakuinya saja sudah menyakitkan."Liontin itu... terasa familier," sambungnya dengan suara bergetar."Familiar bagaimana?" tanya Revandro tegas."Aku tidak tahu," jawab Jia, frustrasi. "Aku tidak ingat! Tapi aku merasa... seperti itu pernah menjadi milikku.""Kau harus ingat, Jia!" Arvell berseru, langkahnya maju mendekati Jia. "Pria itu jelas tahu sesuatu. Jika kau tidak tahu apa yang kau simpan, kita semua
Jia mundur perlahan, matanya tetap terpaku pada sosok Ignatius yang berdiri tegak di ujung jalan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya, tapi kehadirannya jelas membawa ancaman.Dari dalam, suara langkah kaki Revandro mendekat. "Jia, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.Jia menoleh cepat. "Dia ada di sana," ujarnya lirih sambil menunjuk ke arah jalan.Revandro langsung bergerak, pandangannya menyapu tempat yang ditunjukkan Jia. Tapi jalanan itu kini kosong. Tidak ada siapa pun."Dia ada di sana, aku melihatnya!" Jia bersikeras, merasa seolah kehilangan akal sehatnya.Arvell muncul dari dalam ruangan dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?""Jia bilang dia melihat Ignatius," jawab Revandro, matanya masih waspada, menyisir setiap sudut.Arvell mendekati Jia, mengamati ekspresinya dengan saksama. "Dia ada di sini? Kau yakin itu dia, Jia?"Jia mengangguk ragu. "Aku melihatnya. Dia berdiri di sana... tersenyum padaku."Arvell melirik Revandro. "
Suara tembakan yang menggema dari belakang semakin mengguncang hati Jia. Ia terpaksa mengikuti langkah cepat Revandro dan Arvell, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk Kairos. Di lorong gelap yang semakin menyempit, Jia merasakan keheningan di antara mereka begitu menyesakkan.“Apa rencanamu sekarang, Arvell?” tanya Revandro dingin tanpa menoleh.Arvell, yang memimpin jalan, hanya memberikan seringai samar. “Rencana? Rencana utamaku adalah memastikan kita keluar hidup-hidup. Sisanya, kita lihat nanti.”“Jangan bermain-main denganku. Jika kau berani mengkhianati kami, aku akan—”“Sudah cukup,” potong Jia, suaranya gemetar tapi tegas. “Kalian berdua terus saling mengancam di tengah situasi seperti ini? Berhenti memperebutkan kendali, atau kita semua akan mati di sini!”Keduanya terdiam, seolah terkejut dengan keberanian Jia. Namun, langkah mereka terus berlanjut hingga tiba di sebuah pintu besi besar.“Ini jalan keluarnya,” kata Arvell sambil memutar sebuah roda besi yang men
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa
Jia masih terdiam, pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang sulit ia pecahkan. Nama Kairos terus bergema di kepalanya, membangkitkan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. Dalam pikirannya, ingatan akan pria tua itu semakin jelas.Dia ingat bagaimana Kairos tidak hanya sembuh dari luka-lukanya tetapi juga menjadi bagian penting dalam organisasi kecilnya dulu. Pria tua itu, meski tampak lemah, memiliki pengetahuan mendalam tentang strategi dan taktik yang jauh melampaui siapa pun yang pernah Jia temui. Kairos adalah penasihat diam-diam yang sering membantu Jia keluar dari situasi sulit tanpa meminta apa pun sebagai imbalan.Namun, suatu hari, pria itu menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan. Jia tidak pernah tahu ke mana dia pergi atau apakah dia masih hidup.---Kini, pertanyaan yang menghantui Jia adalah: apakah Kairos yang dia lihat tadi malam benar-benar orang yang sama?Jia memutuskan untuk mencari tahu. Dia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada salah satu koneksi lamanya ya
Pria yang baru datang itu melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap gerakannya membawa aura tekanan yang membuat semua orang menahan napas.Pemimpin kelompok bersenjata itu menegang, raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi penuh kehati-hatian. “Kami tidak mengharapkan kehadiran Anda di sini, Tuan...” Suaranya melemah, seolah takut menyebutkan nama pria tersebut.Revandro memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, instingnya langsung mengenali bahwa ini bukan orang biasa. Sementara Arvell berdiri siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu apa tujuan pria ini dan apakah ia sekutu atau musuh.“Jia,” suara pria itu akhirnya terdengar, datar namun penuh makna. Tatapannya yang dingin tertuju langsung pada wanita yang berdiri di antara kekacauan. “Apakah mereka mengganggumu?”Jia menatapnya dengan bingung, tak mengenali siapa pria itu. “Siapa... siapa Anda?”Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya pada pemimpin kelompok bersenjata. “Kamu
Agatha berjalan cepat menuju tangga, menekan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu, jika ia terus berada di sisi Rohander, ia hanya akan semakin terjerat dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Meskipun ketakutan itu ada, rasa ingin tahu dan kebebasan yang lebih besar dari rasa takut itu mendorongnya untuk terus maju.Namun, di balik langkahnya yang mantap, Agatha bisa merasakan tatapan Rohander yang terus mengikuti setiap gerakannya. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang terus membayangi setiap langkahnya. Begitu sampai di pintu kamar, Agatha berbalik, berhadapan dengan Rohander yang kini sudah berada di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan kemarahan yang terpendam."Agatha," suara Rohander rendah, namun ada ketegangan yang menebal. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?"Agatha