Malam yang syahdu di saat sepasang suami istri dilanda kasmaran. Zoya menerima suapan demi suapan yang diberikan oleh Gama. Malam ini Gama seolah ingin memanjakannya. Senangnya saat diri diratukan oleh suami tercinta. Tak banyak inginnya Zoya tapi menjadi yang utama adalah impiannya. "Kamu juga makan, Mas!" kata Zoya saat melihat Gama yang begitu fokus padanya. Piring pria itu pun masih kosong sedangkan Zoya tadi dilarang melayaninya. "Lihat kamu aja aku kenyang, Sayang." Gama memang paling bisa membuat Zoya tersenyum. "Gombalan maut yang bikin aku gemas dengarnya. Mas kapan kira-kira kita ke rumah nenek lagi? Kalau kita main ke sana, aku mau buatkan nenek makanan. Pasti nenek suka. Aku lihat nenek itu baik dan tidak muluk-muluk. Aku lihat juga meskipun kaya tapi tidak banyak inginnya." "Mungkin karena sudah sepuh," ujar Gama. "Ya karena sudah sepuh, terkadang akan kembali ke mode anak kecil yang rewel, tapi ini nggak. Aku suka dengan nenek. Beliau baik sekali." "M
Gama dan Zoya tiba di rumah besar itu disambut dengan keluarga Atmanegara, khususnya Sena yang sudah berdandan cantik. Kedua alis Zoya terangkat menatap Sena yang terlihat menarik. "Ada apa dengannya? Apa sengaja?" gumam Zoya hingga membuat Gama menoleh ke arahnya. "Ada apa, Sayang?" tanya Gama lirih. "Nggak, Mas. Ini orang kenapa terlihat cantik sekali. Apa itu untuk menyambut kedatangan kamu?" Zoya mendongak menatap Gama yang kemudian melirik Sena. Tajam Gama menatap wanita itu yang terlihat semakin meresahkan sekali. Sena melangkah dengan begitu menggoda. Padahal di depan wanita itu ada ibunya yang menyambut kedatangan mereka. "Silahkan masuk, Nak! Gama, Zoya, ayo masuk, Nak!" ajak Santi yang kemudian Zoya dan Gama mengangguk mengiyakan. Keduanya pun segera masuk dengan Gama yang meraih tangan Zoya. Mereka saling berpegangan tangan sampai berhenti di ruang tengah. "Nenek mana, Bi?" tanya Gama dengan kedua mata menyapu pandang pada seluruh ruangan. Tak terlihat Nenek
Zoya pun hanya bisa menggelengkan kepala tanpa mengatakan apa-apa. Dia tau Bi Santi juga sudah sangat bingung dengan Sena. Jadi tak perlu lagi dia mempertanyakan ada apa pada wanita itu hingga begitu membedakan anatara dia dan Gama. Ini sudah sangat jelas membuktikan jika Sena sedang mencari perhatian suaminya. Sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan mengingat Gama juga tidak menghiraukan tapi kok ya kesal lihatnya. Ada saja yang Sena lakukan untuk menarik perhatian dari Gama. "Di minum, Mas!" ujar Sena tanpa menggubris pertanyaan Bi Santi dan juga tatapan dari Zoya. Sena malah bersikap semakin manis pada Gama membuat Zoya menatap jengah ke arah wanita itu. "Ada saja yang menggoda. Nggak di mana nggak di mana suamiku selalu menjadi incaran kaum hawa," batin Zoya. "Kamu mau Sayang? Minum saja kopiku kalau mau. Aku tadi kebetulan sudah minum? Apa kamu lupa ? Kamu yang membuatkannya untukku," ucap Gama dengan senyuman yang berbeda dan tatapan penuh arti. Zoya pun memperha
Zoya mengulum senyum melihat ekspresi dari Sena yang kesal padanya. Salah siapa jadi orang susah diatur. Emosi pun gampang sekali terpancing. Zoya kemudian meraih tangan Gama. Dia mendongak menatap Gama yang meliriknya. "Nakal!" ucap Gama dengan tatapan gemas ke arah Zoya. "Dia sangat menggemaskan, Mas." Zoya terkekeh lirih setelah itu dan Gama pun menggelengkan kepala mendengar penuturannya. Keduanya pun mengikuti langkah Bi Santi yanga kini sudah membuka salah satu pintu kamar yang mana itu adalah kamar Nenek. Mereka pun ikut masuk setelah Bi Santi mempersilahkannya dan ternyata benar, Nenek sudah bangun. Entah sejak kapan beliau menunggu. "Nek... " "Gama, Zoya, sini Nak! Akhirnya datang. Maaf jika Nenek merepotkan kalian. Kalian pasti sedang sangat sibuk sekali dan menyempatkan untuk datang kesini. Maaf ya Nak! Nenek belum tenang jika belum bertemu dan berbicara sesuatu pada kalian." Belum-belum nenek sudah mengatakan tujuan beliau sampai meminta maaf pada Gama
"Kenapa tidak diterima saja, Kak? Kamu itu pewaris keluarga ini loh. Nggak masalah menurut aku. Kita sama-sama cucu, tapi aku nggak minta muluk-muluk. Harusnya aku iri sama kamu Kak tapi aku nggak begitu. Lagian kalau bukan kamu, terus siapa yang pantas menerimanya? Aku?" Sontak Gama, Zoya dan Santi menoleh ke asal suara. Di sana, di ambang pintu terlihat Sena berdiri dan perlahan melangkah masuk setelah mengatakan demikian. Gama pun terlihat memperhatikan dengan wajah datar tanpa senyuman. Begitu juga dengan Zoya yang begitu lekat memperhatikan wajah Sena. Memang terlalu sayang jika perusahaan jatuhnya ke Sena. Bukan tidak percaya tapi apa wanita itu bisa? Zoya jadi ikut memikirkan itu. Andai mengandalkan wanita itu juga pasti menunggu Sena memiliki suami. Ya kalau mendapatkan pria baik-baik. Bagaimana jika mendapatkan pria yang hanya mau harta saja setelah tau Sena adalah seorang wanita yang kaya raya. Banyak kejadian seperti itu dan kali ini Zoya pun setuju dengan apa y
Gama dan Zoya akhirnya masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan setelah tadi Gama memutuskan untuk menginap. Keduanya ingin lebih dulu bersih-bersih lanjut makan malam. Keputusan untuk menginap itu membuat Nenek sangat bersemangat dan langsung mengajak makan malam bersama. Zoya sendiri tidak berkeberatan apalagi setelah melihat Nenek sangat bahagia sekali. Rasanya seperti melihat seorang ibu yang sangat merindukan keluarga utuh setelah lama kesepian. "Mas aku nggak bawa pakaian ganti. Gimana ya? Kamu juga 'kan?" tanya Zoya setelah keduanya masuk ke dalam kamar. Terlihat kamar ini cukup luas dan memiliki fasilitas yang memadai tentunya. Terdapat di lantai dua rumah keluarga Atmanegara yang mana ada beberapa kamar lainnya di antara yang meraka huni. "Aku hubungi Dito dulu. Kamu mandi dulu saja, Sayang. Aku akan minta Dito bawakan pakaian ganti untuk kita." Gama segera mengeluarkan ponselnya tapi Zoya menahannya. "Mas, kok minta Asisten Dito? Nggak enak banget akunya. Na
Lagi dan lagi, Gama selalu memaksa dan meminta sesuka hati tanpa hitungan waktu sama sekali. Rasanya menjadi Asisten Dito tentu saja kesal. Lagi enak-enak istirahat harus menjalani tugas yang urgent seperti ini. "Sudah biasa, dan waktu lima belas menit dipikirnya lama? Haish.... Andai bisa ganti bos." Begitulah keluh kesah Asisten Dito. Sudah menjadi jomblo abadi, ditambah lagi Gama yang semakin menjadi. Ingin resign tapi sayang, ingin bertahan tapi kesal. Rasanya menjadi Asisten Dito harus memiliki banyak stok sabar. Sabar yang tak ada hentinya. Asisten Dito pun melihat jam yang terus berputar. Bisa-bisa kena hukuman jika tidak segera pergi. Asisten Dito memutuskan untuk berbelanja ke toko yang tak jauh dari apartemennya. Beruntung tidak ramai dan pelayan tokonya pun bisa dimintai tolong untuk mencarikan sampai ke dalam-dalam juga. "Mbak carikan saya pakaian tidur wanita, satu stel pakaian formal dan juga dalamannya. Untuk ukuran medium dengan lingkar dada 34 cup B dan
"Eh tunggu dulu! Jangan ditutup! Saya ingin memberikan ini untuk Pak Gama." Asisten Dito menahan pintu yang hampir saja ditutup. Wanita cantik yang Dito lihat tak mau menunggu lama. Apa lagi berbasa-basi terlebih dahulu. "Jadi kamu kurir? Kebanyakan bengong!" celetuk Sena. Ya, yang membukakan pintu adalah Sena. Maka jangan heran jika Sena galak. Untungnya masih bisa tertahan saat Dito mencoba menahan pintu tersebut. Jika sudah kembali di tutup akan repot lagi urusannya. "Saya ini bukan kurir paket, tapi asisten dari Pak Gama. Saya ditugaskan untuk mengantarkan pakaian ini. Tolong berikan pada Pak Gama!" ujar Asisten Dito. Setelah ini baru Asisten Dito akan menghubungi Gama. Paper bag itu pun segera diambil oleh Sena dengan wajah jutek kemudian merebut dengan kasar. Dito pun hanya tersenyum melihat itu. Namun Sena dengan cepat kembali menutup pintu. "Tunggu, Mbak!" Dito kembali menahannya. Lagian ini Sena kenapa buru-buru sekali. "Apa lagi? Mbak, Mbak, Mbak, emangnya
"Oh tidak, aku hanya bertanya saja Kak. Hanya ingin tau. Tidak lebih," jawab Sena kemudian menoleh kembali ke arah Zoya. "Jangan terlalu lama memandang istriku!" ujar Gama memperingati. "Namanya Dito, sudah berapa kali kamu dibuat keluar olehnya? Senang?" tanya Gama membuat Sena kembali menoleh ke arahnya. "Kak aku... " "Kamu itu wanita gatal, Sena! Dengan siapapun kamu mau. Jangan lagi berharap denganku! Aku tidak akn sudi melakukan lebih untukmu! Berani kamu fitnah aku setelah akhirnya kamu hamil, maka jangan salahkan aku jika aku sendiri yang akan mematahkan lehermu!" Seolah sudah mengerti ujungnya, Gama sudah lebih dulu antisipasi. Dia tau jika Sena itu licik. Bisa jadi hamil dengan Dito lalu meminta tanggung jawab dengannya. "Kak aku tidak berpikiran sampai sana!" "Bagus! karena aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu! Jadi sebelum kamu berbuat curang, sudah lebih dulu aku lawan!" sahut Gama kemudian pintu terbuka dan masuklah Dito. "Maaf Tuan, aada kelua
"Ayo mandi! Pak Gama meminta kamu untuk datang ke rumah sakit." Dito mendekati Sena setelah panggilan dari atasannya dimatikan. Langkahnya membawa pada wanita itu yang bergelung selimut di lantai. Masih tanpa busana jika dilepas selimutnya. Dito pun membongkar selimut itu membuat tubuh Sena terguling sedikit menjauh. "Kamu ini!" pekik Sena tidak terima. "Tidak mungkin kamu ke rumah sakit dengan menggunakan selimut seperti ini, atau mau telanjang saja, hhm?" tanya Dito santai tapi dia bergerak membuka ikatan di kaki Sena dan membantu wanita itu untuk beranjak dari sana. "Mau apa?" tanya Sena dengan selidik. "Mau memandikan kamu," jawab Dito kemudian meraih lengan Sena agar segera masuk ke dalam kamar mandi. "Lepas! Aku bisa sendiri!" sentai Sena dengan suara bernada kesal. Sena benar-benar masih tidak terima karena semalam dia sempat dibuat tersiksa oleh Dito. "Aku nggak mau kamu siksa lagi! Aku tau di dalam sana pasti kamu akan kembali menyentuhku!" "Percaya di
Sejenak Dito membiarkan dulu Sena menggatal dengan miliknya. Tak juga melepaskan tangannya yang kini masih menempel mengerjai Sena. "Buka Kak!" "Apanya?" tanya Dito yang kini menunduk memperhatikan Sena. Wanita itu sangat liar dan tatapannya sangat menggoda. Belum lagi lidahnya yang menjulur membuat Dito semakin ingin merasakannya. "Celananya." Dito tersenyum miring mendengar itu kemudian meraih pipi Sena dan mengapitnya hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan. "Kamu minta milikku, kamu mengemis padaku hanya ingin dipuaskan oleh Kacung sepertiku? Sayangnya Kacung ini tidak suka denganmu. Wanita jahat yang tega menyakiti wanita lain. Kacung ini lebih suka dengan wanita baik-baik yang masih lugu, sekali pun kamu sangat menggoda imanku!" "Jangan sok jual mahal! Milikmu sudah berdiri dengan kencang." "Ya, aku sudah katakan tadi. Jika aku tergoda denganmu, tapi aku tidak akan menyentuhmu lebih dalam jika kamu belum mengakui kesalahanmu di depan keluar dan orang b
"Jangan!" Sena kembali melarang tetapi Dito membuat wanita itu semakin belingsatan dan tak bisa diam. Sena kewalahan merasakan gejolak yang menggebu meminta dituntaskan. Dito benar-benar gila malam ini. Sisi kalemnya tertutup karena Sena yang kurang ajar dan licik tentunya. Namun sebagai pria normal tentu dia merasakan tubuhnya bereaksi dengan sempurna. Hanya saja Dito mampu menahan dan terus saja dia mengerjai Sena. Tangan Dito bergerak semakin menyiksa dan lidahnya ikut serta memberikan sapuan di tubuh Sena yang membuat wanita itu semakin bergairah. "Ampun, Kacung!" "Panggil namaku dengan benar! Aku bukan kacungmu!" sahut Dito dengan suara mendesis pada Sena yang kini sudah tak lagi mengenakan apapun. Dito sempat terpanah kembali melihat bagian inti Sena yang mulus terurus. Sepertinya memang Sena merawatnya dengan baik sama seperti Sena merawat tubuhnya hingga terlihat seksi begini. "Aku nggak kuat! Sudah! Jangan buat aku... " "Apa? Sange? Kamu sange parah? M
"Kamu pikir aku perempuan gampangan?" sahut Sena tak terima dengan apa yang Dito katakan. "Bukannya seperti itu? Kamu gampang terpikat hanya karena paras yang tampan hingga membuat kamu menjadi gila dan menyakiti sesama wanita." "Tapi bukan kamu yang hanya kacung!" sahut Sena menciptakan seringai tipis di wajah Dito. Begini membuat penilaian Dito pada Sena bertambah semakin buruk saja. "Aku kacung tapi aku bukan kriminal seperti kamu! Sekarang waktunya mandi, sudah selesai makannya, Njing?" tanya Dito yang semakin membuat Sena marah. "Sialand kamu! Pergi kamu dari sini! Aku bukan binatang!" sentak Sena tidak terima. Tatapan wanita itu semakin tajam pada Dito yang tertawa melihat kemarahan Sena dengan mulut wanita itu yang kotor. "Ya kamu memang bukan binatang tapi kelakuan kamu sudah seperti binatang yang bisa mencabik sesamanya. Mandi sekarang!" Dito tidak minat walaupun Gama memberikannya kebebasan. Awalnya dia terpesona melihat Sena apalagi postur tubuh wanita itu
"Akh! Ampun Kak!" teriak Sena setelah ikat pinggang Gama melingkar di kedua tangan wanita itu dan Gama menariknya hingga tangan Sena terasa sakit. Tak cukup sampai di situ, Gama pun menarik kedua kaki Sena dan mengikatnya dengan dasi yang ia kenakan hingga wanita itu tidak lagi bisa melakukan apapun. "Kamu pikir aku akan sudi menyentuhmu lebih dalam lagi, hmm? Menyentuhmu sama saja aku menyentuh seorang pembunuh. Najis!" ujar Gama dengan sinis. Tangan Gama mengalir kedua pipi Sena dan menariknya hingga wanita itu mendongak kesakitan. Kedua mata Sena pun basah dan menggeleng meminta dilepaskan. "Kak aku mohon, lepaskan aku! Ampun Kak." "Permohonanmu sudah terlambat Sena. Aku akan menyiksamu sebelum memasukkanmu ke dalam penjara. Kamu, tanganmu, dan otakmu, aku pastikan akan lumpuh!" Kedua mata Sena terbelalak mendengar itu. Gurat ketakutan semakin nyata terlihat. Sena kembali menggelengkan kepala dan mencoba memberontak. tetapi tidak bisa. Gama meraih selimut dan m
Sena tersentak saat Gama menarik gaun tepat di punggung belakang wanita . Kedua mata Sena terbelalak saat jarak mereka sangatlah dekat, bahkan hembusan nafas Gama begitu terasa menyapu tengkuknya. Hangat, membuat tubuh meremang. Seketika seringai tipis di wajah Sena terlihat saat ini. Kena! Sena yang memasang perangkap dan Gama yang terjebak. Sena hanya diam saat Gama terindikasi menikmati aroma tubuh wanita itu. Cengkraman tangan Gama begitu kuat tapi kali ini tidak membuat Sena ketakutan. Justru ingin mendapatkan sentuhan yang lebih dari ini. Mungkin, tak hanya luarnya saja melainkan lebih dalam lagi juga bisa. Tunggu saja! Gama pasti tergoda. Kucing mana ada yang mengabaikan umpannya. "Buka Kak!" pinta Sena dengan suara yang manja. Sengaja sekali memang wanita ini. Mendapati Gama yang justru mengikis jarak bahkan mendekap erat, justru membuat Sena semakin menjadi. Wanita itu seperti di atas awan saat ini. "Mau dibuka, hhm?" "Iya, Kak. Aku mau bersih-bersih dulu.
"Aku sungguh-sungguh, Pah. Kak Gama baik dan nanti akan menjadikan aku istri sah juga. Bukan hanya pengantin pengganti di pelaminan. Papah tenang saja!" tutur Sena. Jawaban yang membuat Bara lega. Setidaknya sudah mendengar dari Sena langsung dan jawaban itu juga yang menciptakan seringai tipis di wajah Gama. Memang ini yang Gama mau. Akhirnya bisa membuat Sena menurut dan sebentar lagi bisa mengendalikan Sena, menyiksa wanita itu sampai benar-benar dia puas. Gama tidak takut dengan tuntutan dari mana pun sekalipun dari keluarga. Dia akan menuntut balik atas bukti pembunuhan yang hendak Sena lakukan. Sayangnya Zoya cukup kuat bertahan meskipun masih koma. "Bagaimana, Paman? Sudah mendengar sendiri bukan jawaban dari putri anda. Kadang kecemasan itu tercipta karena adanya kesalahan yang diperbuat, karena kesalahan besar hingga membuat orang tersebut merasakan tingkat tertinggi dari kecemasan itu sendiri." " Hati-hati Paman, terlalu cemas bisa masuk rumah sakit!" ujar Gama
Kedua mata indah dengan riasan yang begitu elok dipandang tak seirama dengan kelopak yang sudah menampung banyak air di sana. Terlihat jelas tatapan penuh ketakutan dan kekecewaan itu dari mata Sena tapi kedua bibir wanita itu semakin merapat tak mengatakan apa-apa. Sena yang dikenal sangat berani dan lantang dalam berbicara, kini hanya bisa diam tanpa menjawab pertanyaan sang Papah yang mendekat. Bukankah ini waktunya untuk mengatakan yang sesungguhnya? Mengatakan apa yang terjadi dan apa yang Gama lakukan pada wanita itu? Namun ancaman dari Gama mampu membuat Sena bungkam. Tangan Sena mencengkeram kedua sisi gaun yang dikenakan. Gama pun menunduk melirik tajam dan meraih tangan Sena saat Bara begitu memperhatikan. gerak gerik putrinya. "Ada apa ini, Gama? Paman tunggu dari tadi tidak ada acara ijab Kabul yang harusnya sudah diselenggarakan di awal acara. Sudah berjam-jam bahkan sampai tiba petang tidak ada acara itu," tanya Bara dengan wajah bingung dan tidak terima kar