Dengan nafas yang terdengar keluar tak beraturan dari bibirnya, ia perlahan menatap jam dinding selama beberapa saat.[19.00]Bella lantas menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, tubuhnya terasa begitu lelah membersihkan mansion sebesar itu seorang diri.Ya, membersihkan mansion. Laura sepertinya memang begitu ingin menjadikan hidup Laura bagaikan di neraka. Perempuan itu mengatakan jika asisten rumah tangga sebelumnya telah ia pecat, sementara semua pekerjaan mereka akan dialihkan pada Bella."Hitung-hitung agar kau ada gunanya di sini. Aku hanya merasa tidak terima saja jika kau bisa berleha-leha seperti seorang boss setelah menghabiskan uang suamiku begitu saja."Kalimat itulah yang Laura katakan padanya siang ini. Ingin membantah? Sudahlah, Bella memilih untuk mengikuti kemauan perempuan itu saja. Ia benar-benar sudah lelah berhadapan dengan Laura. Lagipula Bella menganggap mengambil alih pekerjaan asisten rumah tangga yang lama sebagai bentuk terima kasih Bella pada Manu. Jadi,
Manu baru saja selesai meletakkan piring yang telah ia cuci tadi. Langkahnya yang hampir saja meninggalkan area meja makan dibuat terdiam untuk sesaat setelah mendapati sosok perempuan yang baru saja berniat menaiki tangga.Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir perempuan tersebut, tapi wajahnya yang terlihat begitu berseri-seri memperlihatkan bagaimana suasana hatinya saat ini."Bella."Langkah riang Bella yang baru saja menaiki satu anak tangga terhenti. Ia perlahan menoleh ke belakang, hampir dibuat menjatuhkan tas plastik di genggamnya setelah mendapati Manu ternyata berdiri tak jauh darinya dengan tatapan datar khasnya."Kenapa?" tanya Bella, tapi tak beranjak sedikit dari posisinya. "Apa kau memerlukan sesuatu?"Manu tak kunjung menjawab, tapi seakan peka dengan maksud Manu, Bella kembali menurun tentang anak tangga dan segera menghampiri Manu.Kelakuan pria itu terkadang memang begitu menyebalkan. Dia kira Bella cenayang yang bisa membaca isi pikirannya apa?! "Dimana kau
"Apa kau memakan sesuatu di sini tadi?"Langkah Manu yang baru saja masuk ke dalam kamarnya terhenti. Laura menutup hidungnya saat aroma makanan menyeruak begitu saja tanpa permisi. Perempuan yang tadinya berjalan membuntuti Manu perlahan melangkahkan kaki cepat hingga posisinya berada di depan Manu."Heum." Manu tak mengelak sedikitpun, seakan tidak ada yang ia takutkan sedikitpun meski jelas-jelas nada suara Laura terdengar begitu tidak nyaman. Hal tersebut sukses membuat Laura menatapnya kesal. Laura hendak bersuara, tapi Manu telah terlebih dahulu memotongnya. "Sorry."Laura melipat kedua tangannya di depan dada sembari menatap Manu penuh selidik. "Untuk apa kau meminta maaf?" pancing Laura."Tanpa kuberi tahupun kau sudah mengetahuinya, Laura." Yang Manu maksud adalah aroma kamar mereka, tapi Laura malah berpikir ke arah lain."Ouh, kau minta maaf karena sudah makan bersama dengan mantan adik kelasmu itu di sini?""Jangan membuat dirimu sakit oleh pradugamu sendiri, Sayang." Tak
"Aku ada di sini, siapa yang kau cari sampai seperti itu suamiku?"Laura membuka suara dengan nada menyindir, sadar bahwa Manu pasti sedang mencari keberadaan Bella. Benar-benar menyebalkan! Ingin sekali rasanya Laura kembali membuat perhitungan dengan perempuan itu. "Kau melihat ponselku, Sayang?" Diluar dugaan, Manu ternyata tidak sedang mencari keberadaan Bella. Akibatnya Laura membeku, hampir saja menjatuhkan piring dalam genggamannya ke lantai. Perempuan itu kemudian tersenyum manis saat Manu perlahan mulai menatapnya meminta jawaban, mungkin sadar jika Laura yang kemungkinan membawa ponselnya setelah mendapati reaksi berlebihan suaminya itu. "Bukankah aku sudah mengembalikannya kemarin malam? Kenapa bertanya padaku lagi?" Dengan raut wajah datar khasnya, Manu berusaha mengingat kapan Laura mengembalikan benda pipih miliknya itu kemarin malam. Seingatnya, setelah 'pengisian energi' yang mereka lakukan kemarin malam, Manu tak sempat menanyakan keberadaan ponselnya lagi. "E
"CEPAT KEMARI, BELLA!""BELLA!"Cukup lama Laura lama menunggu, tapi Bella tak juga kunjung datang. Ia meletakkan bungkus makanan ringan di atas meja kemudian Laura bangun dari duduk santainya di sofa. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata mengedar ke sekitar mencari keberadaan Bella. "Ck! Dia pura-pura tuli atau bagaimana?!"Tepat saat ia bergumam kesal demikian, suara teriakan Bella terdengar dari arah lantai dua Mansion. Tak lama kemudian Bella terlihat menuruni tangga dengan gtergesa-gesa."Tunggu sebentar!"Laura menatap penampilan Bella yang terlihat begitu menjijikan, mata Laura terus menyusuri setiap inchi tubuh perempuan yang pakaiannya sedikit lusuh. Bagaimana tidak lusuh jika seharian Bella harus membersihkan Mansion sebesar itu seorang diri? Bukannya tak punya hati, tapi memang inilah tujuan utama Laura melemparkan semua tanggung jawab kebersihan Mansion pada Bella."Kenapa?" tanya Bella dengan napas sedikit terengah-engah, terlihat sekali jika Bella berusaha sece
"Baik, ditunggu pesanannya, Tuan." Manu tak menyahut, tak berniat juga untuk menoleh ke arah pelayan kasir yang nampak salah tingkah ddi depannya. Pria itu mengscan barcode yang ada di hadapannya, membayar harga menu kopi yang ia pesan. Setelahnya, Manu duduk di kursi pemesanan take away, memainkan ponselnya tanpa peduli setiap pasang mata wanita yang kini menatapnya penuh memuja. Manu bukannya ingin tebar pesona hingga memesan kopi langsung ke cafe yang terletak di dekat kantornya. Ia bisa saja memesan secara online, tapi Manu tidak melakukannya karena ia juga ingin mencari angin segar, kelelahan ditimbun pekerjaan yang tak ada habisnya. Saat pesanannya telah jadi, Manu segera beranjak menuju meja kasir. Saat hampir saja mengambil alih pesanannya, seorang pria berpakaian formal khas sepertinya baru saja tiba di sebelahnya. "Espresso satu." "Maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan, tapi stok kopi Espresso sudah habis. Mungkin Tuan bisa datang lain waktu lagi. Sekali lagi, maaf atas
Seorang pria baru saja turun dari mobil. Tangannya bergerak untuk membenarkan tuxedo abu yang menjadi dress code malam itu meski tak ada yang salah dengan pakaiannya itu. Di bawah cahaya rembulan yang nampak gemerlap, pahatan wajah sempurnanya nampak semakin bersinar, memancarkan aura dingin khas tetapi tetap memikat siapapun yang melihatnya.Pria itu menatap sekilas gedung pencakar langit yang ada di depannya kemudian segera melangkahkan kaki masuk ke sana. Seorang penjaga yang berdiri di depan pintu gedung tersebut membuat Manu menghentikan langkahnya kemudian memperlihatkan kartu undangan yang diberikan oleh Engky Bimasra, rekan bisnis sekaligus CEO Bimasra’s Company“Baik, Tuan. Silahkan masuk dan selamat menikmati pesta,” ujar pria bertubuh kekar nan besar tersebut dengan ramah.
“Baiklah. Saya akan merasa begitu terhormat jika anda mau bekerja sama dengan perusahaan saya, Tuan Manu.”Manu hanya mengangguk sekilas, sementara lawan bicaranya barusan telah memilih pergi dari hadapannya. Wajahnya yang memang terus datar kini perlahan mulai menampilkan ekspresi tidak nyaman. Ia edarkan pandangannya ke sekitar, mencari keberadaan dari tuan pemilik pesta tersebut.“Malam, Tuan. Apa kau tengah mencariku?”Manu menoleh ke sumber suara, wajahnya tak menampilkan ekspresi yang begitu ketara, tapi sorot matanya terlihat jelas tidak menyukai pertemuannya dengan pria di depannya itu meskipun pesta itu memang digelar untuk pria tersebut. Mungkin hal itulah yang membuat Manu merasa tidak nyaman berdiam diri terlalu lama di sana.“Kukira kau tidak akan sudi datang ke pesta yang diadakan malam ini oleh keluargaku,” ujar Bian meskipun ia tahu satu-satunya alasan manu Datang sudah pasti karena Engky, CEO yang menjabat di Bimasra’s Company sebelumnya.“Kau tak ingin mengucapkan