"CEPAT KEMARI, BELLA!""BELLA!"Cukup lama Laura lama menunggu, tapi Bella tak juga kunjung datang. Ia meletakkan bungkus makanan ringan di atas meja kemudian Laura bangun dari duduk santainya di sofa. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata mengedar ke sekitar mencari keberadaan Bella. "Ck! Dia pura-pura tuli atau bagaimana?!"Tepat saat ia bergumam kesal demikian, suara teriakan Bella terdengar dari arah lantai dua Mansion. Tak lama kemudian Bella terlihat menuruni tangga dengan gtergesa-gesa."Tunggu sebentar!"Laura menatap penampilan Bella yang terlihat begitu menjijikan, mata Laura terus menyusuri setiap inchi tubuh perempuan yang pakaiannya sedikit lusuh. Bagaimana tidak lusuh jika seharian Bella harus membersihkan Mansion sebesar itu seorang diri? Bukannya tak punya hati, tapi memang inilah tujuan utama Laura melemparkan semua tanggung jawab kebersihan Mansion pada Bella."Kenapa?" tanya Bella dengan napas sedikit terengah-engah, terlihat sekali jika Bella berusaha sece
"Baik, ditunggu pesanannya, Tuan." Manu tak menyahut, tak berniat juga untuk menoleh ke arah pelayan kasir yang nampak salah tingkah ddi depannya. Pria itu mengscan barcode yang ada di hadapannya, membayar harga menu kopi yang ia pesan. Setelahnya, Manu duduk di kursi pemesanan take away, memainkan ponselnya tanpa peduli setiap pasang mata wanita yang kini menatapnya penuh memuja. Manu bukannya ingin tebar pesona hingga memesan kopi langsung ke cafe yang terletak di dekat kantornya. Ia bisa saja memesan secara online, tapi Manu tidak melakukannya karena ia juga ingin mencari angin segar, kelelahan ditimbun pekerjaan yang tak ada habisnya. Saat pesanannya telah jadi, Manu segera beranjak menuju meja kasir. Saat hampir saja mengambil alih pesanannya, seorang pria berpakaian formal khas sepertinya baru saja tiba di sebelahnya. "Espresso satu." "Maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan, tapi stok kopi Espresso sudah habis. Mungkin Tuan bisa datang lain waktu lagi. Sekali lagi, maaf atas
Seorang pria baru saja turun dari mobil. Tangannya bergerak untuk membenarkan tuxedo abu yang menjadi dress code malam itu meski tak ada yang salah dengan pakaiannya itu. Di bawah cahaya rembulan yang nampak gemerlap, pahatan wajah sempurnanya nampak semakin bersinar, memancarkan aura dingin khas tetapi tetap memikat siapapun yang melihatnya.Pria itu menatap sekilas gedung pencakar langit yang ada di depannya kemudian segera melangkahkan kaki masuk ke sana. Seorang penjaga yang berdiri di depan pintu gedung tersebut membuat Manu menghentikan langkahnya kemudian memperlihatkan kartu undangan yang diberikan oleh Engky Bimasra, rekan bisnis sekaligus CEO Bimasra’s Company“Baik, Tuan. Silahkan masuk dan selamat menikmati pesta,” ujar pria bertubuh kekar nan besar tersebut dengan ramah.
“Baiklah. Saya akan merasa begitu terhormat jika anda mau bekerja sama dengan perusahaan saya, Tuan Manu.”Manu hanya mengangguk sekilas, sementara lawan bicaranya barusan telah memilih pergi dari hadapannya. Wajahnya yang memang terus datar kini perlahan mulai menampilkan ekspresi tidak nyaman. Ia edarkan pandangannya ke sekitar, mencari keberadaan dari tuan pemilik pesta tersebut.“Malam, Tuan. Apa kau tengah mencariku?”Manu menoleh ke sumber suara, wajahnya tak menampilkan ekspresi yang begitu ketara, tapi sorot matanya terlihat jelas tidak menyukai pertemuannya dengan pria di depannya itu meskipun pesta itu memang digelar untuk pria tersebut. Mungkin hal itulah yang membuat Manu merasa tidak nyaman berdiam diri terlalu lama di sana.“Kukira kau tidak akan sudi datang ke pesta yang diadakan malam ini oleh keluargaku,” ujar Bian meskipun ia tahu satu-satunya alasan manu Datang sudah pasti karena Engky, CEO yang menjabat di Bimasra’s Company sebelumnya.“Kau tak ingin mengucapkan
Manu mengumpat kesal, berusaha bangun tapi pergerakannya telah terlebih dahulu terasa ditahan kuat hingga membuat tubuhnya kembali terjatuh. Manu seakan kehilangan kontrol pada tubuhnya sendiri, tubuhnya lemas, jangan lupakan sensasi aneh serta sakit di kepalanya yang kian menguat. Perempuan itu kini sudah berada tepat di atas tubuhnya.“Sshhh!” Manu menggeliat frustasi sementara perempuan itu tersenyum penuh kemenangan.Jari-jemari lentik tersebut bergerak menyusuri pahatan wajah yang menjadi objek pujiannya tadi. Wajah Manu yang kini terlihat memerah menahan sensasi aneh di tubuhnya benar-benar membuat perempuan tersebut merasa seperti baru saja memenangkan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.“Kau menyukainya, Tuan?”Manu berusaha menahan gerakan jari nakal itu, tapi Manu malah perlahan menikmati gerakan jari jemari lentik tersebut, bahkan menginginkannya lebih dari itu. Kepalanya terasa ingin pecah menahan gejolak yang entah datang dari mana meronta-ronta dalam dirinya.Peremp
“Makan!”“Makan atau kami akan merobek mulutmu?!”“Kau dengar apa yang kami katakan?”“IBUUU!!”“AKHH!”Bella lantas bangun dari tidurnya dengan peluh yang mengucur deras di pelipisnya. Nafas perempuan itu terengah-engah, Seakan-akan ia sempat melupakan bagaimana caranya bernapas usai bangun dari mimpinya itu.“Hah … mimpi itu lagi. Kenapa aku kembali diganggu oleh mimpi itu lagi?” Bella mencoba untuk mengatur nafasnya lagi. Suatu ingatan kembali berputar di kepalanya, tapi berusaha ia abaikan begitu saja. Bella harus bisa dengan segera melupakan mimpi tersebut jika dirinya memang ingin keluar dari trauma dan ketakutan yang menghangtuinya sampai detik ini. Bella lantas melompat turun dari ranjang. Laura pasti akan menghabisinya jika sampai perempuan itu tahu Bella hampir menghabiskan semua sisa waktunya hanya untuk tidur. Namun, saat teringat bahwa semua pekerjaannya sudah selesai, Bella lantas kembali mendudukan tubuhnya di sisi ranjang.Bella memegangi kepalanya yang mulai tera
Bella mendorong tubuh Manu menjauh, tubuh perempuan itu bergetar hebat dengan tangan mencengkeram erat handuk yang ia kenakan. Sial, ucapan Manu berhasil membuat jantung Bella rasanya hampir copot saja.“Kenapa, hmm?”Alis Manu terangkat sebelah, tapi sesaat kemudian ia memejamkan mata sebelum akhirnya tertawa kecil. Bella terpaku, seumur-umur ini memang bukan kali pertamanya ia melihat Manu tertawa sehingga ia dibuat terdiam.Namun, dengan keadaan seperti ini, bulu kuduk Bella meremang. Tawa itu terdengar seperti Manu yang ada di depannya adalah sosok Manu yang tak pernah ia lihat versinya.“Tidak ada, permisi.”Bella memutuskan kontak mata diantara mereka dengan cepat. Ia menunduk, kemudian melangkahkan kakinya untuk melewati Manu. Persetan dengan dirinya yang hendak menjelaskan alasan yang membuatnya berada di kamar pasangan suami istri itu. Sepertinya lebih baik ia segera pergi dari sana, ia akan menjelaskannya besok pagi jika Manu sudah kembali ke versi biasanya. Bella merasa le
Laura bangun dengan wajah terkejut. Ia lantas mengamati jam dinding yang berada di ruangan bernuansa hitam tersebut, sebelum akhirnya meloncat turun dari ranjang.“Sial! Bagaimana mungkin aku malah ketiduran?!” pekiknya kuat kemudian mengambil blazer berwarna hitam yang tergeletak di atas lantai. Laura menggerutu, menyesali menerima permintaan untuk menemani minum pria yang kini masih terlelap itu kemarin malam.Saat kakinya hampir melangkah menjauh dari ranjang, tangannya tiba-tiba dicekal.“Kemana, hmm? Kau belum boleh pergi!”Suara berat menyapa indera pendengarannya, tapi Laura memilih untuk menghempaskan tangan kekar milik pria yang masih setengah terpejam di atas ranjang tersebut.Persetan dengan pria itu, ia harus segera pulang ke Mansion sebelum dunianya benar-benar hancur dan tak bisa diselamatkan lagi. Laura sedikit bersyukur karena jalanan pada dini hari tersebut lumayan sepi, membuatnya bisa mengebut dengan kecepatan di atas rata-rata.Ketukan sepatunya yang terdengar cep