Mata laki-laki itu menerawang. Membayangkan terjal dan berlikunya perjuangan membiayai biaya kuliah kedua puterinya. Ardi tak pernah merasakan itu. Sang menantu tak pernah melihat perjuangan itu."Hanya satu yang dapat Bapak lakukan saat ini kalau memang itu yang kalian mau. Dengan berat hati, Bapak minta Ardi mengembalikan Kinan kepada kami selaku orang tuanya."Sontak saja ucapan bapak mertuanya itu membuat Ardi terperangah. Tak menyangka akan berakhir seperti ini pembicaraan mereka."Apa maksud Bapak?" tanya Ardi sembari menegakkan tubuhnya. Tak lagi bersandar pada sofa yang berwarna coklat tua itu. Sementara Kinan mengangkat wajahnya. Menatap wajah tua lelaki cinta pertamanya. Inikah bentuk perjuangan lelaki itu untuknya? Inikah akhir kisah perjuangan dirinya?"Sangat jelas. Lepaskan Kinan daripada anak Bapak hidup dalam kondisi rumah tangga seperti ini lebih lama! Bapak masih hidup, Bapak wajib menjaga anak Bapak. Bapak tak ing
Kinan bersimpuh di atas hamparan sajadah. Mengetuk pintu langit di sepertiga malam dengan banyak pinta yang dilafalkannya dengan lirih. Rumah tangga yang diharapkannya sakinah ternyata tak mampu diraih walaupun hitungan tahun terlewati. Sungguh, penyesalan ini membuat bilik hatinya perih. Angan dan mimpi ternyata hanya sebatas keinginan, bukan kenyataan.Teringat percakapan tiga hari yang lalu dengan bapaknya. Persidangan keluarga jika boleh Kinan menyebutnya begitu. Perdebatan demi perdebatan mereka lakukan. Ardi, suaminya tetap kukuh dengan pendapat dan pola pikirnya tentang nafkah dan tanggung jawab rumah tangga. Bapaknya, Kinan tahu laki-laki itu mencoba memperjuangkan nasibnya. Hanya saja Kinan merasa dirinya terlalu lemah untuk mendukung niat bapaknya. Kinan sadar jika sang bapak kecewa atas sikapnya.Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan Kinan saat itu, yang mungkin orang lain tak memahaminya. Memandang dari sudut pandang yang berbeda
Bukan tanpa alasan jika Pak Irwan memilih mengikuti permintaan Kinan saat ini. Membuat perjanjian hitam di atas putih, melampirkan tanda tangan di materai tentunya harus ada saksi demi menguatkan perjanjian yang tertuliskan di lembaran kertas itu. Saksi harus dari pihak luar, bukan dari pihak mereka yang bertikai. Melibatkan orang lain sebagai saksi, bahkan jika dari tetangga sendiri, sama artinya akan mengumbar aib yang selama ini terjadi.Orang tentu akan bertanya-tanya, mengapa perjanjian ini harus ada? Bukankah sudah kewajiban suami untuk menafkahi istrinya? Tak perlu perjanjian tertulis seperti ini, itu yang ada di pikiran orang nantinya. Hanya artis dan pesohor negeri ini yang suka membuat sensasi. Membuat perjanjian pra nikah untuk mengamankan aset pribadi dan tak diakui sebagai harta bersama jika suatu saat berpisah dengan pasangannya nanti.Bagi Pak Irwan itu sungguh tak masuk di akal. Artinya sejak awal mereka sudah menyiapkan diri untuk berpisah. B
Kinan bergegas merapikan rumah. Tadi pagi rumah ini bahkan tak sempat disapunya karena buru-buru ke sekolah. Mendapat tugas piket di tiap hari Rabu membuat Kinan mau tak mau harus tiba di sekolah lebih awal dibanding hari biasanya.Waktu baru menunjukkan pukul empat sore saat ini. Masih ada sisa satu jam sebelum menjemput Rafif dari rumah Yuk Diana. Membereskan rumah, menyapu, memanaskan lauk untuk nanti malam, mandi, salat Asar. Jika perhitungan Kinan tak meleset, semuanya akan terselesaikan tepat pada waktunya.Setengah jam berlalu, hanya tinggal mandi dan salat Asar yang belum dilakukannya. Kinan memang memilih menunaikan empat rakaat wajibnya di sore hari itu setelah mandi. Rasanya tak nyaman menghadap Sang Pencipta jika tubuhnya berkeringat karena aktivitas seharian.Gegas Kinan menuju kamar mandi, membasuh tubuh dan mengguyurnya dengan air. Ada sensasi kesegaran yang didapatkannya ketika seluruh tubuhnya basah. Tak membuang waktu, Kinan langsung mem
"Sudahlah, tak usah dibahas lagi! Yang penting, gaji Abang sudah diserahkan kepadamu. Pandai-pandailah mengaturnya untuk kebutuhan rumah tangga kita dan menyisihkannya untuk tabungan kita," ujar Ardi yang tampaknya tak ingin berdebat lagi. Lelah yang mendera tubuh setelah seharian melaksanakan tugas membuatnya ingin segera menyegarkan diri.Rona bahagia jelas terlihat di wajah Kinan saat ini. Bagaimana tidak? Baru hari ini Kinan merasa bangga punya seorang suami. Baru pertama kalinya Kinan merasakan uang suaminya. Baru kali ini benar-benar merasakan dinafkahi oleh laki-laki yang setiap hari pamit pergi pagi dan pulang sore harinya."Terima kasih, Bang! Untuk pegangan Abang bagaimana?" tanya Kinan ragu.Tak mungkin Ardi tak memegang uang sama sekali. Dirinya bukanlah tipe istri yang memonopoli semua yang suami. Suaminya tentu butuh uang pegangan untuk bensin, makan, dan juga kebutuhan mendadak lainnya. Ban bocor ataupun hal-hal tak terduga lainnya.
"Maksud Ayuk?" tanya Kinan sembari mengernyitkan dahinya. Tak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh wanita yang ada di hadapannya ini."Yah, maksud Ayuk begini. Selama ini kan Ardi selalu menolak memberikan uang gajinya kepadamu. Dengan alasan yang selalu sama kan? Nah ... apakah kamu tak curiga jika sekarang tiba-tiba Ardi berubah pikiran begitu saja? Rasanya Ayuk tak percaya, Nan!" ucap Yuk Diana sembari memicingkan matanya."Tak percaya bagaimana? Bang Ardi memang sudah berubah, Yuk. Semoga selalu seperti ini, Aamiin Ya Allah," pinta Kinan sembari meraupkan kedua telapak tangannya ke wajah.Semoga kehidupan rumah tangga mereka juga semakin baik ke depannya, doa itu pun dilangitkan Kinan di setiap salat malamnya."Entahlah, Nan! Bagi Ayuk, watak seseorang itu tak mudah diubah, apalagi jika memang sudah ada keturunannya. Aneh saja rasanya jika Ardi tiba-tiba berubah pikiran."Kali ini Yuk Diana benar-benar mengungkapkan keraguannya
Masuk ke dalam rumah, Kinan tak menemukan sosok suaminya. Di dapur tak ada, di kamar mandi pun tidak. Saat masuk ke dalam kamar, Kinan menemukan sosok Ardi baru saja menyelesaikan salamnya. Ternyata laki-laki itu baru saja menunaikan empat rakaat Asarnya. Padahal sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang. Mengapa suaminya selalu mengerjakan ibadah wajib itu belakangan? Entahlah, Kinan sulit untuk menasihatinya. Di pemikiran Ardi, akan jauh lebih baik terlambat daripada mengabaikannya sama sekali. Padahal keutamaan salat ada di awal waktu, bukan di penghujung waktu. Kinan melafalkan pinta dalam hatinya, semoga Ardi perlahan akan berubah. Seperti perubahan sikapnya terkait nafkah yang baru saja diberikannya hari ini. Bukankah kewajiban seorang istri adalah mendoakan suaminya?"Nanti malam lauk apa, Dek?" tanya Ardi sembari melepaskan sarung bermotif kotak-kotaknya dari tubuh. Laki-laki itu menyisakan celana pendek dan baju kaos saja.Setiap pagi Ardi
"Maksud Adek apa?" tanya Ardi mencoba berkilah.Pura-pura tak tahu arah pertanyaan istrinya justru membuat kecurigaan Kinan semakin besar pada suaminya itu. Apa sedang Ardi coba tutupi dari dirinya?"Tak perlu berkilah, Bang! Pertanyaanku sudah sangat jelas. Siapakah yang Abang buat kontaknya dengan hanya huruf X saja? Tak mungkin Abang tak sengaja, tak usah mencari alasan lagi!" ujar Kinan dengan sedikit emosi.Ardi mengernyitkan dahinya. Mengarahkan catatan panggilan telepon masuk ke arah wajah Kinan."Yang ini maksudmu, Dek?" tanya Ardi untuk memastikannya. Kinan mulai meradang. Laki-laki ini sepertinya sengaja ingin berkelit. Kinan tak mudah percaya. Ucapan Yuk Diana benar, dirinya harus waspada. Tak boleh percaya begitu saja pada perubahan sikap suaminya."Yang mana lagi? Atau ada kontak lain dengan lambang huruf lain lagi? Y, Z atau A? Abang memang tak bisa dipercaya!" pekik Kinan semakin kesal dengan sikap suaminya itu.
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar