"Jadi kalian sudah berbicara semalam, Nan?" tanya Dinda saat bertemu dengan Kinan di parkiran sepeda motor sekolah. Keduanya memang datang lebih awal karena tugas piket yang harus mereka lakukan hari ini. Baru mereka berdua yang ada di area sekolah saat penunjuk waktu yang ada di pergelangan tangan kiri Kinan menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Belum tampak ada anak yang diantarkan oleh orang tua membuat mereka punya waktu untuk berbincang sembari menunggu kedatangan para siswa."Sudah, Kak," sahut Kinan dengan nada yang sendu. Semalaman dirinya tak dapat tidur nyenyak. Sebentar-sebentar terbangun dan mendadak pilu saat sepasang netranya menatap mata sang putera yang sedang terpejam. Bocah kecil itu tak berdosa tapi harus ikut terlibat dalam pusaran pelik masalah orang tuanya. Rasa bersalah menyelinap dalam hatinya, mengapa bukan kebahagiaan yang diberikan Kinan untuk putera semata wayangnya itu? Apakah dirinya menjadi seorang ibu yang ego
Wanita itu lantas menolehkan kepalanya ke samping, menatap Kinan yang sedang melepaskan pandangan jauh ke depan. Entah apa yang ada di benak Kinan saat ini, Dinda pun tak paham. Matanya lurus tanpa berkedip menatap ayunan yang sedang dimainkan Galuh, satu-satunya anak yang baru diantarkan orang tuanya tadi."Kinan sudah pergi dari rumah Bang Ardi sejak sore kemarin, Kak. Walaupun ikrar talak yang Kinan minta tak diberikannya, tetap saja perpisahan kami menjadi keputusan Kinan saat ini. Biarlah Kinan yang akan menggugat Bang Ardi. Semalam Kinan dan Rafif menginap di rumah Yuk Diana. Karena itu Kinan ingin hari ini langsung mendapatkan rumah kontrakan untuk kami berdua," tutur Kinan dengan arah pandangan mata yang tetap sama, tak berpindah arah. Dinda menghela napasnya. Sadar betapa rumitnya masalah rumah tangga Kinan ini."Kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Dinda dengan hati-hati.Kinan menganggukkan kepalanya. Tak ragu sedikit pun.
"Bang Arman? Mau apa ke sini? Menemui Kinan ya?" Lirih Kinan melontarkan pertanyaan saat laki-laki itu tampak berjalan mendekati gerbang sekolah.Tampak sekali jika laki-laki itu tergesa-gesa mematikan mesin kendaraan roda duanya tak jauh dari gerbang sekolah. Untung saja anak-anak sudah masuk semua.Dinda yang hendak menutup gerbang mengurungkan niatnya. Melemparkan pandangan ke arah Kinan untuk menunggu reaksi dari wanita itu. Sedikit banyak Dinda sudah mengenal sosok Arman sebagai orang terpandang di wilayah mereka. Siapa yang tak mengenal bos sawit di kampung mereka? Keluarga pembeli tandan sawit segar turun-temurun sejak dulu."Kakak masuk saja duluan. Aku menyusul," pinta Kinan sembari tersenyum kepada Dinda. Dan Dinda pun menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa.Melihat gelagat Arman, Kinan menduga ada hal penting yang ingin disampaikan laki-laki itu kepadanya. Jika tidak, tak mungkin sepagi ini Arman akan menemuinya. Di lokasi tempat
Kinan menghela napas saat mulai mengerti tujuan laki-laki ini dan arah pembicaraan yang akan terjadi. Walaupun sebenarnya Kinan sudah menebaknya sejak tadi. Tetap saja, kalimat Arman itu mempertegas semuanya."Abang tahu darimana?" tanya Kinan dengan nada datar.Tak menyangka jika nyali Ardi begitu kecil sehingga memilih untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dalam rumah tangganya kepada orang lain. Padahal baru kemarin sore Kinan melakukannya. Bagaimana jika Ardi berada dalam posisinya dulu yang bertahun-tahun tak mendapatkan haknya sebagai seorang istri?"Ardi menemui Abang semalam. Wajahnya sangat kusut. Dan Abang pun tak menyangka jika kamu akan mengambil keputusan seperti ini, Nan," tutur Arman dengan wajah yang bingung."Tapi itu yang harus aku lakukan, Bang. Aku tak ingin Bang Ardi lebih berdosa dengan mengabaikan wanita itu lebih lama. Wanita itu istrinya, walaupun tak ada cinta itu di hati mereka. Saat akad terucap, saat itulah t
"Maksudmu?" balas Ardi dengan cepat. "Belum jelas apa yang aku maksud, Bang? Bagaimana jika aku menolak permintaan Abang itu? Apa yang akan Abang lakukan padaku?"Kinan memberanikan diri untuk menantang suaminya kali ini. Tak dapat lagi bersabar dengan segala sifat dan perangai laki-laki ini. Mungkin sudah tiba saatnya bagi Kinan untuk melakukan perlawanan. Mungkin dirinya salah Semoga Allah tak murka atas semua yang dilakukannya ini. Semua ini dilakukan oleh Kinan agar tak terus-menerus dianggap lemah oleh suaminya sendiri."Apa kamu lupa dan tak paham bahwa kewajiban istri adalah mematuhi suaminya?" seru Ardi dengan tegas. Tatapan matanya tajam memandang ke arah Kinan."Jelas aku paham, Bang. Tak usah Abang ingatkan lagi!" tukas Kinas dengan cepat."Dan apakah Abang paham, bagaimana seorang suami yang wajib ditaati oleh istrinya itu? Suami boleh menuntut untuk ditaati jika sudah melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan benar. Tak usah sok paham ilmu
Kinan menangis tersedu di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Tujuh hari sudah laki-laki itu pergi tanpa sempat mengucapkan talak yang pernah dimintanya. Ingatan Kinan berputar saat telepon dari wanita yang menjadi kakak iparnya itu diangkat olehnya. Panggilan telepon yang berkali-kali masuk namun sempat diabaikan oleh Kinan "Assalamu'alaikum. Nan, kamu dimana? Kamu dapat menyusul ke sini, Nan? Ardi kecelakaan. Kondisinya parah. Kakak minta tolong, kamu susul ke sini!"Kalimat beruntun dengan nada panik dan cemas itu terdengar di telinga Kinan saat panggilan telepon tersambung dan salam diucapkan olehnya. Tubuh Kinan terasa lemas seketika, tak mampu berkata apa-apa. Hanya deraian air mata yang luruh membasahi pipinya. Sempat merasakan tubuhnya kaku, sampai akhirnya Kinan tersadar ketika Dinda menepuk tubuhnya. "Nan, ada apa? Mengapa kamu menangis?" tanya Dinda yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Kinan dan merangkul tubuhnya. Masih tak
Laki-laki itu pergi tepat di hadapan Kinan. Bukan pengadilan yang memisahkan mereka. Tapi kematian karena ajal yang tiba-tiba. Apakah ini juga bagian takdir-Nya? Kinan sungguh tak percaya jika Sang Pencipta memisahkan mereka dengan cara yang seperti ini.Kinan tersentak saat Rafif merangkul punggungnya dari belakang. Meraih beberapa helai tisu yang ada di tas kecilnya, Kinan mengusap pipinya yang kembali membasah.Bukan hanya cara kepergian laki-laki yang masih menjadi suaminya itu yang menyakitkan. Tangis histeris kembali tercipta saat memegang secarik kertas yang ada di dalam tasnya itu. Secarik kertas yang ditemukan di dalam dompet laki-laki yang sudah terbujur kaku di dalam tanah ini benar-benar membuat siapa pun akan meneteskan air mata. Kertas itu ditulis tepat di hari kepergian Kinan dari rumah, sehari sebelum kepergian laki-laki itu untuk selamanya. Sepertinya Ardi menuliskannya di malam hari. Dan Wina yang menemukan kertas itu di hari ketiga kematian adikn
"Mengapa kamu berniat mencari pelakunya, Nan? Bukankah semua itu tak lagi berguna? Kejadian itu sudah bertahun-tahun berlalu. Ardi pun sudah tak ada. "Dinda mengernyitkan dahi. Menampakkan ketidakpahaman atas kalimat yang baru saja didengarnya tadi. Tatapan wanita itu tajam menghujam Kinan yang duduk tepat di hadapannya. Kinan sejenak menundukkan kepala walaupun akhirnya mencoba tegak menatap lawan bicaranya. Kinan menghela napas panjang. Mencoba memberi kekuatan pada dirinya sendiri untuk menjelaskan semuanya. Deretan aksara itu jelas menyiratkan banyak makna. Secarik kertas yang tak pernah diungkapkan Kinan kepada siapa pun hingga saat ini. Tiga puluh hari kepergian lelaki yang memberikannya banyak kejutan tak diduga. "Mengapa Kakak bilang tak berguna? Karena Bang Ardi sudah tak ada?"Dinda cepat menganggukkan kepalanya. Cukup sebagai jawaban atas tanya yang terlontarkan. "Justru karena Bang Ardi sudah tak ada, aku ingin membersihka
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar