Motor yang ada di depan Kinan terus melaju. Sepertinya Ardi tak sadar ada kendaraan yang mengikutinya dari belakang. Kinan lega, setidaknya siasat untuk menukar kendaraan roda dua ini ada gunanya. Jika tadi Kinan tak menukar motornya dengan milik Dinda, pastilah Ardi dengan cepat akan sadar jika sedang diikuti istrinya saat ini.
Kinan memperlambat laju sepeda motornya saat melihat Ardi memberikan lampu penanda akan berbelok ke kanan. Sebuah warung makan masakan Padang bertuliskan "Salero Basamo" sepertinya menjadi tujuan suaminya itu.Warung makan ini memang tak terlalu jauh dari tempat kerja Ardi. Hanya saja letaknya sedikit berputar sehingga terkesan jauh bagi yang tak mengetahuinya. Pantas saja jika Ardi memilih menggunakan motornya untuk mencapai tempat ini.Kinan merasa ragu. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Menunggu di pinggir jalan seperti ini atau ikut masuk ke dalam warung itu untuk memperjelas semuanya?Lagi pula mengapa Ardi memilAkhirnya terjawab sudah, kecurigaannya menemukan jawaban. Tak salah lagi. Ardi berani menduakannya. Tak ada kata maaf lagi untuk laki-laki itu. "Haris tak masuk hari ini. Sakit katanya," sahut Ardi sembari menuangkan air putih ke dalam gelas lagi.Kinan tercengang. Haris? Nama itu cukup terekam baik dalam memori otaknya. Apakah Ardi biasanya makan siang bersama Haris?Hati Kinan semakin gelisah. Teka-teki yang harus dipecahkannya menemui jalan buntu saja. Kecurigaannya pada Ardi tak terbukti. Lantas apalagi yang harus dilakukannya untuk mengetahui siapakah yang telah menerima uang yang dikirimkan suaminya itu?Tidak, usahanya ini belum gagal dan menemui jalan buntu. Pasti ada penjelasan mengapa suaminya lebih memilih tempat ini dibandingkan warung makan yang ada di seberang bank sana. Tak mungkin Ardi akan membuang waktu ke tempat ini jika bukan karena sesuatu. Kinan bersiap-siap ketika melihat Ardi mengangkat tubuhnya dari kursi.
"Bang, aku titip Rafif ya malam ini!"ujar Kinan saat menyiapkan makan malam untuk suaminya itu."Kamu mau kemana, Dek? Tak biasanya keluar malam-malam seperti ini."Ardi menyendokkan tumisan daun singkong yang dicampur dengan bunga pepaya. Ditambah dengan terasi khas kota ujung selatan pulau Bangka, sayuran itu benar-benar aromanya menggoda selera. "Ada latihan di tempat Bang Iwan. Untuk persiapan hari Minggu nanti, Bang," sahut Kinan sembari mengisi nasi ke piring miliknya. Kinan biasanya akan makan nasi di lantai, tidak duduk di meja makan seperti suaminya. Wanita itu akan mengisi perutnya sembari menyuapi sang buah hati tercinta. Rafif akan lebih lahap makan jika bersama-sama dengan ibunya."Tumben," sahut Ardi sembari mulai menyuapkan nasi dengan lauk-pauk tambahannya. Ada ikan ekor kuning yang dimasak dengan bumbu acar sebagai pendamping tumisan daun singkong tadi.Kinan memang jarang latihan bersama grup mangggungnya itu.
Ranti menjadi tak enak hati karenanya. Ada sesal yang menyelinap dalam hatinya mengapa harus membahas hal ini sekarang. Sudahlah, tak usah diperpanjang lagi."Tak ada, Bang. Kan sudah kubilang, hanya bertanya saja. Tak ada apa-apa."Kinan memilih untuk menyudahi perbincangan ini. Akan panjang ceritanya jika dilanjutkan tentunya. Jika akhirnya Ardi marah, tentu Kinan tak dapat berangkat ke tempat latihan mereka. Kinan tak ingin melanggar janji yang sudah diucapkannya pada Bang Iwan. Laki-laki itu sudah sangat baik padanya selama ini. Tak patut rasanya jika Kinan mengecewakan sang bosnya itu."Aku mau siap-siap, Bang. Nanti kalau Rafif mengantuk, Abang tidurkan saja. Tapi ajak Rafif gosok gigi dan cuci kaki tangan dulu," ujar Kinan sembari melangkah ke kamar.Membiasakan gosok gigi dan mencuci kaki tangan sudah dilakukan Kinan sejak Rafif berusia dua tahun. Membiasakan tidur dalam keadaan bersih mengingat bocah laki-laki itu tak akan ting
Kinan yang baru saja masuk dari pintu samping terkejut dan menolehkan kepalanya. Tampak Ardi sedang berjalan mendekatinya."kamu bilang akan latihan, ternyata kamu janjian dengan Bang Iwan! Benar-benar wanita tak tahu malu!" pekik Ardi sembari menunjuk wajah Kinan. Kinan memilih menutup pintu terlebih dahulu. Urusan motornya nanti saja. Yang penting pembicaraan ini jangan sampai terdengar oleh tetangga. Malam seperti ini suara keributan lebih mudah dibawa angin ke tetangga kanan dan kiri mereka."Bang Iwan hanya mengiringiku saja. Karena khawatir jika terjadi apa-apa. Harusnya Abang malu jika orang lain saja khawatir denganku, tapi Abang yang mengaku sebagai suamiku memilih duduk tenang di rumah," balas Kinan tak mau kalah. Rasa lelah dan kantuk yang berusaha ditahannya sejak tadi bercampur aduk jadi satu. Mendapat tuduhan seperti ini justru semakin membuat emosi Kinan naik ke ubun-ubun. "Alasan saja, Abang sudah lama curiga. Bang Iw
"Yakin. Karena semua anak buah Bang Iwan diperlakukan sama. Aku, Yola, Lutfi, semuanya sama. Boleh jadi memang Bang Iwan memberikan perlindungan yang lebih untukku dan Yola saat kami sedang manggung. Itu pastinya karena kami perempuan. Abang tak tahu kan jika perempuan penyanyi itu seolah gampang dilecehkan. Tak patut Abang mencurigai Bang Iwan. Yang ada, seharusnya Abang bersyukur laki-laki itu ikut menjaga dan melindungi istri Abang saat di luar sana. Bukan menuduh tak beralasan, membabi buta seperti ini."Kinan memang tak mengada-ada. Kepentingan dirinya dan Yola lebih diutamakan oleh sang bos mereka itu. Meminta yang lain berjalan di belakang dan memberi kesempatan Kinan dan Yola untuk berjalan lebih dulu jika memang suasana hajatan ramai. "Abang tetap tak percaya. Abang tak melihat langsung selama ini. Dan baru hari ini Abang melihatnya langsung. Abang terlalu bodoh selama ini terlalu mempercayaimu," tukas Ardi dengan tegas."Jadi Abang tak mempercay
Kinan tahu pasti jika laki-laki itu pun sama dengannya. Mereka sedang berusaha mengelola kemarahan yang ada di hati masing-masing. Luapan emosi sedang merajai hati mereka saat ini. Jiwa mereka sedang terbakar amarah. Sama-sama tak ada yang mau mengalah."Mengapa? Karena Abang sangat mencintaiku? Abang salah dan keliru jika dengan cara itu Abang bilang mencintaiku. Bahkan Abang mengabaikan bahagia untukku. Jika Abang merasa sudah memberiku banyak kebahagiaan selama ini, Abang salah!"Kinan menyunggingkan senyum sinisnya pada laki-laki yang masih terus berusaha mempertahankan keegoisannya itu. Terlalu naif semua ucapan dan tudingan yang dilontarkannya tadi. "Jangan pernah bermimpi jika Abang akan melepaskanmu! Tak akan pernah, ingat itu! Jangan pula coba-coba pergi meninggalkan Abang! Abang akan mencarimu kemana pun. Abang akan pastikan hidupmu tak akan tenang jika melakukan itu. Abang tak main-main dengan ucapan Abang ini! Jika kamu tak percaya, laku
Kinan merebahkan tubuhnya kembali ke samping Rafif. Rasa dahaganya lenyap seketika. Meskipun kerongkongannya terasa kering, Kinan tak berniat membasahinya. Siapa yang berbicara dengan suaminya di telepon tadi? Mengapa harus selarut ini sang penelepon itu menghubungi suaminya? Jika bukan karena hal yang penting rasanya orang akan enggan menghubungi di jam seperti ini.Kinan dapat menangkap ketidaksukaan Ardi pada sang penelepon itu. Terlihat saat laki-laki itu menutup telepon tanpa mengucapkan salam sekali. Raut wajahnya pun tampak kesal.Apa yang sedang coba ditutupi laki-laki itu? Jika berkaitan dengan hutang, Ardi sudah membantahnya dengan jelas. Dan Kinan yakin jika suaminya itu memang enggan meminjam uang pada orang lain. Ardi tipikal orang yang akan lebih baik tak punya daripada harus punya sesuatu dengan memaksakan diri di luar kemampuannya. Kinan menghela napasnya, menatap langit-langit kamar yang tak ada rupa. Mengingat peliknya pe
Menyingkirkan rasa ingin tahu dan penasarannya, Kinan lebih memilih untuk menyiapkan Rafif dan dirinya untuk beraktivitas hari ini. Menyuapi Rafif dengan semangkuk nasi setelah mandi baru kemudian mengantarkan puteranya itu ke rumah Yuk Diana dengan kondisi perut yang sudah terisi. Urusan makan putranya nanti siang, Yuk Diana melarang Kinan untuk membawakannya dari rumah. Kecuali jika wanita itu sendiri yang meminta karena tak punya lauk yang memadai untuk putera Kinan itu. Melajukan kendaraan roda duanya setelah memastikan pintu rumah terkunci dengan sempurna dan tak ada kompor yang menyala, Kinan harus datang lebih pagi karena tugas piketnya hari ini. Hanya seminggu sekali jadwal itu didapatkan setiap orang. Dan boleh saling bertukar jika suatu waktu berhalangan. Yang penting kesepakatan dengan sesama rekan."Nan, kita diminta Bu Alya ke Pangkalpinang nanti agak siang. Bahan-bahan pembelajaran banyak yang sudah menipis," ujar Dinda saat melihat kehadi
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar