Di dalam rumah, aku masih saja tertegun tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun. Bukannya aku syok karena Panji telah memukuli Bapaknya.
Akan tetapi, aku syok karena ingatan masa lalu masih saja berputar di kepalaku tanpa henti, layaknya video yang terus saja diulang-ulang.
Aku sempat terpejam seraya memijat pelipisan yang sedikit berdenyut, kemudian berbalik badan, berniat melangkah menuju kamar tidur.
"Ibu, kenapa?" tanya Panji yang berhasil menghentikan pergerakan langkahku.
Aku menggeleng pelan, kemudian berlalu menuju kamar tidur. Tetapi, baru saja aku sampai diambang pintu, tiba-tiba Panji menghampiri.
"Apa jangan-jangan Ibu marah karena aku memukuli, Bapak?"
Namun, belum sempat aku membuka mulut, Panji sudah lebih dulu mendahuluinya.
"Sebenarnya apa yang Ibu pikirkan, Ibu ingin aku seperti apa atau jangan-jangan selama ini Ib
"Dasar j*l*Ng cilik, cepat keluar kamu, Amel!" teriak seseorang dari luar rumah, membuatku yang tengah berada seorang diri di rumah, meringkuk di dalam kamar seraya menutup telinga rapat-rapat.Teriakkan itu sudah aku dengar dari beberapa menit yang lalu, membuatku amat sangat ketakutan.Belum lagi sesekali suara pintu di gedor dari luar, membuat rasa takutku semakin menjadi-jadi."Memang dasar, buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Kalau Ibunya pekerjaan hiburan malam, maka anaknya pun tak kalah berbeda,” hina seorang ibu-ibu yang cukup aku kenal."Benar sekali! Kalau Ibunya j*l*ng, pasti anaknya pun sama.""Hati-hati saja, bu-ibu. Jaga suami sama anak kita baik-baik, jangan sampai bergaul sama mereka!" sambung yang lainnya, membuat dadaku semakin bergemuruh, menahan amarah."Betul! Bisa-bisa suami kita diembat, terus anak kita malah ikut-ikutan si Amel.
Para warga sudah menyeretku dengan kasar keluar dari rumah. Tak ada satupun yang menghiraukan tangisku, semua orang malah menghujat, bahkan mencemoohku dengan kejamnya."Apa yang kalian lakukan, cepat lepaskan!" teriakku dengan nyaring.Akan tetapi, orang-orang justru balik meneriakiku, tak sedikit dari mereka yang terus melontarkan kata-kata jahat."Dasar j*l*ng, gara-gara kamu kampung kita jadi tercemar," teriak seorang wanita seumuran Ibuku.Sempat kutatap matanya yang menyorotiku dengan tajam, seakan-akan hendak memangsaku hidup-hidup."Sudah, mending kita usir saja!""Benar sekali, gak sudi rasanya bila harus hidup satu kampung dengan j*l*ng cilik seperti, Amel!""Ya, betul! Bisa-bisa anak gadis kita dia ajak ke jalan yang tak benar. Sungguh, menakutkan."Aku sempat terpejam, merasakan sakit yang seakan-aka
Beberapa Minggu sudah berlalu, hubunganku dan Panji sudah mulai membaik. Akan tetapi, selama itu pula Panji tak pernah ingin membahas soal Bapaknya. Dia selalu menghindari orang-orang yang berusaha mengajaknya untuk berbicara mengenai Mas Alif.Setelah Panji tahu soal Amel yang dikeluarkan dari sekolah, Panji pun memilih untuk kembali masuk ke sekolah, menjalani hari layaknya seorang pelajar pada umumnya.Namun, Panji harus pergi ke sekolah pagi-pagi buta, mengingat jarak rumah kami yang sekarang ke sekolahnya cukup memakan waktu."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Aku yang tengah sibuk mengepel lantai, gegas menoleh ke sumber suara, menatap Panji yang tengah bersiap-siap untuk pergi. "Kamu mau diantar sama pamanmu lagi?"Satu tangan Panji meraih segelas susu coklat yang sudah siapkan di atas meja. Kulihat dia meneguknya sampai habis."Iya, Bu. Bukannya Ibu tak mengijinkan aku untuk membawa motor sendiri?""Ya, tentu saja tidak! Ibu, masih khawatir padamu. Jadi, lebih baik kamu diantara
[Melda, Alif sudah ditangkap polisi!]Deg!Aku yang tengah duduk di teras rumah bersama Rifky, sedikit terperanjat kala membaca sebuah pesan yang baru saja masuk dari Ayah mertuaku.Diriku sempat tertegun selama beberapa saat, sebelum akhirnya memijat pelipisan yang tiba-tiba berdenyut."Kalau Mas Alif ditangkap, apa Amel pun akan turut ditangkap juga? Ya, aku rasa begitu!" batinku sembari memandangi gawai yang masih menyala."Ada apa, Mbak?" tanya Rifky yang berhasil membuatku mendongak."Tidak apa-apa, hanya saja--""Alif sudah ditangkap polisi, 'kan?"Sontak, kedua bola mataku membulat sempurna kala mendengar penuturan Rifky."Lah, kok, kamu tahu?" tanyaku dengan b*d*nya."Bukannya aku yang mengurus kasus ini?"Rifky malah balik bertanya seraya me
Tok ... tok ...."Rifky, apa belum tidur?"Hening, itulah yang aku rasakan ketika memanggil nama Rifky seraya mengetuk pintunya selama beberapa kali.Cukup lama aku mematung di depan pintu kamar tamu, menimang-nimang apa aku akan membukanya dan masuk begitu saja atau justru sebaliknya.Namun, aku langsung memegang handle pintu seraya membasahi bibir selama beberapa kali. Tetapi, ketika aku hendak menariknya, tiba-tiba terdengar sebuah sahutan dari dalam."Aku belum tidur, ada apa, Mbak?"Gegas aku menjauhkan tangan dari handle pintu, kemudian mundur satu langkah, agar tak terlalu dekat dengan pintu."Ponselmu tertinggal, ini Mbak mau memberikannya padamu," tuturku dengan nada bicara yang cukup tinggi.Cklek!Pintu kamar tamu terbuka, menampilkan Rifky yang baru keluar dengan wajah kusutnya.
Makanan sudah tersedia di atas meja, mengepulkan asap dengan aroma yang terasa begitu menusuk indra penciuman.Aku, Rifky, Andin, Ayah dan Ibu mertua sudah duduk di samping meja makan, hendak menikmati makanan yang sudah aku buat dengan sepenuh hati."Ayo, makan!" ajakku pada semua orang."Wah, Ayah, sudah tak sabar, ingin menyantap makanan buatan, Melda!" sahut Ayah mertuaku dengan penuh semangat."Ibu, pun sama. Dulu Ibu sering sekali makan masakan Melda. Tetapi, sekarang rasanya cukup sulit."Mendengar penuturan Ibu mertua, aku hanya tersenyum tipis, kemudian menyodokkan secentong nasi ke atas piring.Sejujurnya, aku pun sudah sangat lapar, sehingga ingin segera menyantap makanan yang aku buat sendiri."Oh, iya, kapan kamu akan menjemput Panji, Rifky?"Aku sempat melirik Rifky sekilas, di mana dia sama sekali
Keesokan harinya, ketika aku tengah menyapu halaman rumah, tiba-tiba saja Panji datang, kemudian duduk di pinggir teras.Kebetulan hari ini Panji sedang libur sekolah, jadi dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Katanya, sih, karena dia belum punya teman di daerah sini, jadinya dia lebih nyaman berada di rumah.Aku yang tengah melakukan pekerjaan rumah, pura-pura mengabaikannya, mengingat kemarin sempat terjadi kesalahpahaman diantara kami berdua."Bu, kita jalan-jalan, yuk!" cicit Panji dengan sedikit ragu-ragu.Aku menghentikan gerakan tangan sejenak, kemudian mendongak, menatap Panji sekilas."Jalan ke mana?" tanyaku acuh tak acuh."Jalan-jalan di daerah sini saja, Bu. Soalnya Ibu jarang keluar dan sering menghabiskan waktu di rumah saja.""Sebentar lagi, ya. Ibu, merasa jika ini masih tanggung," ucapku sambil melanju
Keesokan paginya, aku berdiri tepat di depan cermin, memperhatikan tubuhku yang semakin hari semakin kurus. Aku baru sadar, bila tulang pipiku semakin menonjol, begitupun dengan tulang dada bagian atas yang terlihat begitu jelas. Padahal dulu aku begitu berisi, hingga orang-orang sering memuji, bila bentuk tubuhku begitu ideal.Tok ... tok ...."Bu, aku mau berangkat sekolah dulu!"Aku yang tengah termenung, seketika terperanjat, kemudian menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat.Perlahan aku melangkah ke arah pintu, memutar kuncinya perlahan, kemudian menarik handle, hingga pintu terbuka lebar."Iya, Nak. Hati-hati di jalan, ya! Uang di meja makan sudah kamu ambil, 'kan?"Namun, Panji tak langsung menjawab pertanyaan, ekor matanya justru berputar dari atas ke bawah, seperti tengah memperhatikan penampilanku."Ibu ... mau ke mana?" tanya Panji pelan. Seakan-akan ragu untuk bertanya."Ibu, mau cari kerja!"Berbanding terbalik denganku yang justru menjawab pertanyaannya dengan p
Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba
Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.
Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s
Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m
Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t
Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja
"Dia ... orang yang mengantar Ibu barusan."Panji terlihat memutar bola mata malas, dia tampak kesal mungkin juga merah dengan apa yang aku katakan. Meskipun begitu, memang itulah yang sebenarnya terjadi. Aku tak mau menyembunyikan hal tersebut dariku, sebab bisa saja Panji semakin marah padaku."Begitu rupanya!"Tak lama kemudian, Panji tiba-tiba bangkit dari posisi duduk sembari menggeser piring ke hadapanku."Mau ke mana?" tanyaku secara spontan."Aku sudah kenyang, Bu. Ditambah lagi aku sudah ngantuk.""Baiklah, selamat tidur, Nak."Panji tak menjawab ucapanku, dia langsung melenggang pergi dari hadapanku. Aku sendiri memilih untuk terdiam, tak banyak bicara. Takutnya kalau aku semakin banyak bicara, Panji justru akan semakin kesal padaku dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi."Ah, benar-benar memusingkan! Sepertinya aku memang harus menjaga jarak dengan siapapun, aku takut Panji benar-benar salah paham."Aku bergumam seorang diri, kemudian kembali menyantap makanan yang suda
"Siapa pria yang mengantar Ibu tadi?"Deg!Aku yang baru saja melepaskan sepatu, lantas menoleh, menatap ke arah Panji yang tengah mematung, sorot matanya menatapku dengan begitu tajam."Dia hanya teman kerja Ibu, Nak. Ibu--""Aku tak suka Ibu berhubungan dengan pria lagi, aku tak ingin melihatnya lagi. Jadi, aku harap Ibu tak melakukannya!" tegas Panji seraya melenggang dari hadapanku, meninggalkan aku yang tengah melongo seorang diri.Perkataan Panji benar-benar menusuk, terlebih nada bicaranya sedikit bergetar, seperti tengah menahan rasa sakit.Aku sendiri tak mampu membuka mulut, lidahku kelu dengan tenggorokan yang sedikit tercekat. Cukup lama aku mematung di tempat, sebelum akhirnya aku terpejam dan segera meraih sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu masuk.***Di dapur yang terasa sepi dan dingin, aku langsung mengambil pisau dan beberapa sayuran yang hendak aku masak. Tak lupa, aku pun memotong daging ayam dan langsung menggorengnya. Aku kha
"Ah, itu ... teman saya," ucapku sedikit ragu-ragu.Bagaimana tidak, pria yang berdiri di belakangku itu adalah bosku yang sama sekali belum aku ketahui namanya."Begitu rupanya. Kenapa ada keributan tadi, apa kamu dan dia sedang berselisih paham?"Aku meneguk ludah, kemudian mematikan gawai secara perlahan. "Ti-tidak, kami baru saja bertemu kembali," balasku seraya menunduk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!""Baik, lanjutkan pekerjaanmu! Kamu ingat dengan apa yang saya katakan kemarin, 'kan?""Iya, saya paham, Pak!"Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin menjauh. Diam-diam aku mendongak, menatap bosku yang sudah pergi itu.Aku menghela napas panjang, merasa telah melakukan kelalaian di hari pertama bekerja. Aneh juga, kenapa aku harus bertemu dengan Ayana, padahal kami sudah lama tak saling menyapa.Benar-benar s*al!"Ada apa?"Aku yang masih menunduk, seketika mendongak, kala mendengar seseorang melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu bertanya pada saya