Usai memarkirkan mobil dengan kasar, Alvin membanting pintu mobilnya dengan keras hingga membuat seisi rumah kaget dibuatnya, termasuk Elman dan keluarganya yang rupanya baru pulang dari berjalan-jalan ke tempat hiburan."Ibu mana?" tanya Alvin sambil berjalan tergesa masuk ke dalam rumah saat melihat keluarga adik lelakinya itu sedang membongkar barang belanjaan di ruang tengah."Ada apa sih, Mas?" Elman sedikit khawatir melihat kakaknya datang dengan raut muka penuh amarah."Ibu! Ibu!"Alvin terus berjalan berkeliling sambil memanggil-manggil ibunya. Tangannya sibuk membuka satu per satu pintu ruangan di dalam rumah. Lalu tak lama kemudian ibunya pun muncul bersama Dian dari kamar adik perempuannya itu."Ada apa Vin? Kok datang-datang ribut?" tanya wanita itu, nampak tidak suka dengan sikap anak sulungnya y
"Aku ini laki-laki, Bu. Harusnya ibu mengajariku cara untuk bertanggung jawab, bukan malah menyuruhku membatalkan pernikahan yang tinggal menghitung hari. Aku mencintai Nana apa adanya, Bu. Dan dengan atau tanpa ijin dari ibu, aku tetap akan menikahinya."Itulah yang dikatakan Alvin semalam di depan keluarganya.Suasana sedikit tegang saat kemudian ibunya mengancam untuk meninggalkan rumah. Itu adalah alasan yang selalu dia gunakan berulang kali selama bertahun-tahun untuk mengancam keluarganya. Pergi meninggalkan suaminya yang sakit-sakitan dan anak perempuan yang menjadi kesayangan di keluarga itu.Pergi adalah senjata Nita yang akan selalu membuat Rusdi tidak pernah tega menceraikannya selama dua puluh tahun terakhir, walau bagaimanapun kelakuan istrinya itu. Karena Dian adalah anak perempuan satu-satunya yang harus selalu didahulukan kepentingannya di atas kedua kakak
Semakin dekat ke hari pernikahan, Nana semakin belajar untuk memantabkan hati. Dia tahu mungkin tak akan mudah lagi untuk mendekatkan diri ke ibunya Alvin setelah apa yang terjadi diantara mereka. Namun kesungguhan dan ketulusan Alvin menjadi semangatnya untuk terus melangkah ke jenjang pernikahan. Dia yakin jalan tak akan sesulit bayangannya jika calon suaminya itu tetap berada di sisinya.Dan rupanya benar dugaan Nana, sikap ibunya Alvin berubah drastis setelah peristiwa marahnya Alvin padanya malam itu. Meski begitu, sebagai calon menantu yang baik, Nana tetap harus menghormati ibu mertuanya. Dia berusaha untuk mendekatkan diri lagi pada wanita itu. Awalnya, Nana mencoba untuk mengirim pesan menanyakan kabar wanita itu, tapi tak ada respon dari calon mertuanya. Pesannya bahkan hanya dibaca saja tanpa dibalas.Hari berikutnya Nana meminta Alvin untuk menjemputnya di kantor, lalu dia pun ikut pulang ke rumah ca
"Aku nggak bisa antar kamu pulang dalam keadaan kayak gini, Dek," kata Alvin saat menghentikan mobilnya di sebuah kafe dan menggandeng Nana menuju ke sebuah bangku privat.Nana yang sejak meninggalkan rumah Alvin seolah kehilangan kata-kata, hanya menurut saja saat pemuda itu mendudukkannya di kursi. Saat pelayan datang dan menyodorkannya daftar menu, Alvin pun tanpa berpikir panjang langsung memesan makanan dan minuman favorit calon istrinya tanpa bertanya lebih dulu."Dua moccachino latte dan kentang goreng ukuran besar," katanya.Alvin sudah hafal, dalam keadaan tak enak hati biasanya Nana akan minum kopi atau coklat dan ngemil makanan yang berasal dari kentang. Gadis itu sangat menggilai cemilan berbahan kentang, apalagi saat dalam keadaan tertekan."Kita bicarakan masalah ini dulu ya, Dek. Setelah itu baru kuantar kamu pulang," ucap Alvin saat pelayan meninggalk
Dalam gelap lelaki tua itu termenung, menatap entah pada apa, karena di ruang biasa dia membaca sekelilingnya sedang sangat gelap gulita. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari celah pintu dimana istrinya sedang memperhatikannya dengan raut prihatin.Rukmini tahu, suaminya tidak sedang baik-baik saja. Bahkan saat dia mengatakan sesuatu dengan kalimat lantang yang membuat ketiga anak gadisnya sempat bersamaan menitikkan air mata beberapa saat yang lalu, Rukmini bisa merasakan hati Harsa juga terluka."Masuklah, Bu. Aku tahu kamu ada di situ." Suara berat itu mengagetkan Rukmini yang berdiri di balik pintu ruang kerja suaminya. Ruangan itu memang sudah beberapa tahun ini jarang dipakai karena Harsa telah pensiun. Dulu biasanya Harsa akan sangat betah berlama-lama di sana saat hatinya sedang gundah karena bertengkar dengan sang istri. Dan Rukmini sudah sangat hafal dengan perilaku suaminya yang seperti itu. Saat Harsa
"Bapak titip Nana. Tolong jaga dia baik-baik, jangan sampai membuat dia terluka," ucap Harsa lirih menepuk-nepuk ringan bahu menantu bungsunya.Alvin yang diajak bicara hanya menunduk sambil sesekali menganggukkan-anggukkan kepalanya."Insyaallah saya akan jaga Nana baik-baik, Pak.""Bapak tahu kamu lelaki yang baik, Vin. Untuk itulah kenapa bapak tidak ragu menyerahkan anak bungsu bapak padamu. Tapi ingat ya Nak, jika suatu saat Nana terluka karena kamu, bapak tidak segan-segan untuk ...."Harsa belum sempat melanjutkan kalimatnya saat tiba-tiba istri dan putri bungsunya muncul dari dalam rumah."Kalian benar-benar ingin pindah ke kontrakan hari ini?" tanya Rukmini sambil menyeret salah satu koper milik putrinya. Sementara Nana yang berjalan di belakangnya juga sedang menyeret sebuah koper yang ukurannya lebih besar. "N
"Sudah siap?" Alvin memperhatikan istrinya yang baru keluar dari kamar dengan balutan dress panjang warna peach dan pashmina warna senada. Terlihat anggun sekali Nana siang itu di mata Alvin."Ngliatinnya gitu amat, Mas?" Nana salah tingkah dipandangi sedemikian rupa oleh suaminya."Kan sudah jadi istri. Boleh dong mau diapain aja," goda Alvin. "Kamu cantik, Sayang."Alvin bangkit dari kursi tamu, lalu berjalan mendekati sang istri dan mengelus pipinya yang kini bersemu merah."Makasih Mas, biarpun aku tau ini pujian cuma buat nyenengin aku aja kan?" ucap Nana sedikit ragu."Kok gitu sih, Dek? Mas tulus lho tadi ngomongnya. Kamu memang cantik kok, Na." Alvin mendaratkan ciumannya di kedua pipi sang istri dengan gemas."Tapi sepertinya keluarga mas nggak sependapat sama mas?"
"Mobil? Kenapa dengan mobil kantor Alvin, Bu?"Alvin menarik salah satu kursi teras untuk digunakannya duduk. Kemudian menarik tangan istrinya untuk mengajaknya duduk pula."Gini, Vin. Kamu kan sudah tinggal sendiri sekarang. Di rumah sudah tidak ada mobil lagi. Kami jadi akan repot kalau sewaktu-waktu harus mengantarkan bapak kamu berobat. Sementara di sini kan kamu punya dua mobil. Apa nggak sebaiknya mobil kamu ditinggal di rumah bapak saja? Kalian cukup kan pakai satu mobil?" ucap sang ibu kemudian.Alvin dan Nana saling pandang. Alvin yang nampak jelas merasa tak enak hati pada istrinya akibat ucapan ibunya itu. Ayah Nana yang ditawari untuk menggunakan salah satu mobil mereka menolak dan lebih memilih menggunakan mobil tuanya. Sementara ibunya sendiri justru menginginkan salah satu dari mobil mereka."Soal bapak, ibu nggak usah khawatir. Alvin
Tak berapa lama setelah Vita bangkit untuk ke belakang, tiba tiba Nana memekik kaget saat seseorang sudah memeluknya sangat erat."Maafkan ibu, Na. Maafkan ibu ....""Ibu ...." Suara Nana tercekat. Matanya mendadak berkaca-kaca dalam dekapan ibu mertuanya.Tangannya hampir bergerak untuk balik memeluk ibu mertuanya, namun urung. Nana kembali teringat kejadian terakhir di rumahnya. Bagaimana menyakitkannya perlakuan dan kata-kata ibu mertuanya itu padanya.Nana juga teringat apa yang diceritakan suaminya tentang kebohongan sang ibu di rumah sakit."Mungkinkah wanita ini sedang berpura-pura lagi?" tanyanya dalam hati."Tolong maafkan ibu, Nak. Ibu telah salah menilaimu. Ibu memang bodoh, ibu tidak bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Ibu menyesal. Ibu benar-benar menyesal." Nita pun mulai terisak.Nana hanya terpaku menatap suaminya. Sementara ibu mertuanya masih mendekapnya erat.
Tiga hari setelah peristiwa di rumah sakit, Alvin sudah kembali berkumpul dengan sang istri. Walau berat, lelaki itu tetap menceritakan peristiwa sebenarnya pada Nana.Dalam hati Nana memang marah. Tapi melihat betapa suaminya berusaha untuk selalu melindunginya, Nana pun rmencoba mengesampingkan perasaan buruknya itu pada keluarga mertuanya. Meskipun semakin lama Nana makin merasa tak mengerti kenapa ibu mertuanya bisa sangat tak menyukainya.Hingga pada suatu sore saat keduanya baru saja pulang dari kantor. Alvin bahkan belum sempat menutup pintu mobil. Tiba-tiba ponsel di dalam tas lelaki itu berbunyi."Mas, mas Alvin bisa ke sini kan? Tolong, Mas!"Suara Elman dari seberang telepon. Dahi Alvin pun berkerut penuh tanya."Ada apa, Man?" tanyanya serius. Sementara Nana yang sebelumnya telah melangkah duluan ke dalam rumah menghentikan langkahnya. Lalu kembali melangkah keluar dari rumah kontrakannya.Dahinya ikut ber
Jam sudah menunjuk pukul 1 siang saat pesawat yang membawa Alvin mendarat. Sebenarnya lelaki itu sudah berniat untuk memesan taksi dan langsung menuju ke rumah orang tua Nana. Namun Alvin sedikit kaget karena ternyata Elman telah mrnunggunya di bandara.Pantas saja sepagian tadi adik lelakinya itu terus menghubungi dan menanyainya jam berapa dia pulang. Rupanya Elman memang berniat untuk menjemput kakaknya itu."Memangnya separah apa sih ibu, Man?" tanyanya kemudian saat akhirnya Elman mengatakan padanya untuk mengikutinya ke rumah sakit dulu sebelum pulang ke rumah."Nanti mas lihat sendiri deh. Dari jatuh itu ibu nyariin mas Alvin terus. Hari ini tadi ibu juga yang nyuruh aku jemput ke bandara," jelas adiknya."Ya sudah kalau gitu kita langsung ke rumah sakit. Kamu naik apa ke sini tadi?""Aku bawa mobil, Mas.""Mobil? Mobilnya siapa?""Temennya Dian. Kan disuruh bawa Dian dari kapan itu.""Mobil itu belum d
Kejadian jatuhnya ibu mertua di rumah kontrakannya membuat Nana tidak tenang. Lalu malam itu pun dia langsung memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya."Benar nggak ada masalah apa-apa, Na? Ibu lihat wajah kamu murung gitu dari tadi datang."Mau disembunyikan seperti apapun, rupanya sang ibu tak pernah bisa dibohonginya. Nana tetap terlihat tak ceria selama berada di rumah orang tuanya itu."Nggak apa-apa kok, Bu. Bener.""Nggak ada masalah sama Alvin kan?" Ibunya berusaha mendesak."Mas Alvin kan belum pulang dari luar kota, Bu.""Ooh gitu? Ibu pikir Alvin sudah pulang dan kalian bertengkar.""Enggak kok.""Trus kenapa kok tiba-tiba kamu ke sini? Waktu itu katanya mau tinggal sendirian di kontrakan saja sambil belajar berani?"&nb
Dua hari setelah pertengkaran kecil pasangan pengantin baru itu, Alvin sebenarnya selalu berusaha untuk membuat Nana melupakan apa yang terjadi. Namun rupanya kantor tempatnya bekerja justru membuat mereka harus terpisah jarak. Sore itu Alvin pulang dan mengatakan pada Nana bahwa dia ditugaskan mendadak ke luar kota untuk menggantikan salah seorang rekannya yang sakit.Nana yang belum sepenuhnya bisa melupakan peristiwa insiden chat Sinta dengan Alvin bertambah cemberut saja mendengar hal itu."Jadi mas beneran harus pergi? Berapa hari?" tanyanya dengan tak bergairah."Paling lama seminggu, Dek. Maaf ya aku nggak bisa menolak tugas kali ini. Karena ini penting banget dan nggak mungkin dilimpahin sama anak buah. Kamu nggak apa-apa kan?"Alvin menatap khawatir pada istrinya. Nana yang masih kesal dengan pemberitahuan mendadak itu nampak tak minat banyak bicara.&n
Kekesalan Alvin rupanya terbawa sampai di rumah. Tak biasanya dia menjadi lebih banyak diam. Bahkan dia yang biasanya sangat bersemangat saat istrinya mengajaknya segera beristirahat, malam ini justru lebih memilih duduk sendirian di teras rumah."Kamu tidur dulu aja, Dek. Nanti mas susul," katanya dengan nada sedikit malas.Nana yang masih belum mau beranjak di kursi sebelahnya hanya menarik nafas berat."Mas masih mikirin Dian?" tanyanya ragu. "Dari sejak makan di kafe tadi mas nggak banyak bicara.""Aku agak curiga dengan teman Dian yang bernama Jeslin itu." Alvin menatap istrinya, berharap Nana memahami apa yang dia rasakan saat ini."Mas curiga kalau si Jeslin itu mau berbuat jahat sama Dian?" Dahi Nana berkerut."Persis.""Tapi mana mungkin, Mas?
Sore itu Alvin pulang dengan taksi online. Dia benar-benar telah mengembalikan mobil kantornya. Nana menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman hangat. Ini hari pertamanya merasakan menjadi istri sepenuhnya, menyambut suami pulang kerja di depan pintu rumah sendiri.Usai menyiapkan handuk dan baju suaminya, Nana menunggui Alvin yang sedang mandi di meja makan. Dua cangkir kopi telah menunggu mereka untuk menghabiskan waktu sore itu."Kita duduk-duduk di depan aja yuk, Dek. Enak kayaknya sambil liatin orang lewat," ajak Alvin usai menyelesaikan ritual mandi sorenya.Nana mengangguk. Lalu Alvin pun membawa dua cangkir kopi yang masih panas itu ke teras, diikuti Nana yang membawa setoples kue kering dan camilan kentangnya."Mobilnya jadi dibalikin tadi, Mas?" tanya Nana basa-basi saat mereka sudah mendudukkan diri dengan nyaman di kursi teras.
Alvin sudah meninggalkan rumah sejak 3 jam yang lalu untuk berangkat ke kantor. Hari ini rencananya dia juga akan melaksanakan niatnya untuk mengembalikan fasilitas mobil ke kantornya.Nana yang masih mempunyai satu hari libur dari kantornya berniat ingin membereskan beberapa barang di rumah kontrakan mereka yang masih belum sepenuhnya tertata rapi.Dengan bersimpuh di karpet, Nana mulai menata buku-buku bacaan favoritnya ke rak buku yang sengaja dia bawa dari rumah orangtuanya.Sedang asik dengan kegiatannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan."Siapa yang datang? Sepertinya dari tadi tidak ada kendaraan yang terdengar berhenti di halaman rumah?" tanya Nana dalam hati. Lalu dia pun segera bangkit dan berjalan menuju ke ruang tamu."Eh, ibu? Sama siapa ke sini?" Nana celingukan saat dibukanya pintu ru
"Mobil? Kenapa dengan mobil kantor Alvin, Bu?"Alvin menarik salah satu kursi teras untuk digunakannya duduk. Kemudian menarik tangan istrinya untuk mengajaknya duduk pula."Gini, Vin. Kamu kan sudah tinggal sendiri sekarang. Di rumah sudah tidak ada mobil lagi. Kami jadi akan repot kalau sewaktu-waktu harus mengantarkan bapak kamu berobat. Sementara di sini kan kamu punya dua mobil. Apa nggak sebaiknya mobil kamu ditinggal di rumah bapak saja? Kalian cukup kan pakai satu mobil?" ucap sang ibu kemudian.Alvin dan Nana saling pandang. Alvin yang nampak jelas merasa tak enak hati pada istrinya akibat ucapan ibunya itu. Ayah Nana yang ditawari untuk menggunakan salah satu mobil mereka menolak dan lebih memilih menggunakan mobil tuanya. Sementara ibunya sendiri justru menginginkan salah satu dari mobil mereka."Soal bapak, ibu nggak usah khawatir. Alvin