Dengan rasa penasarannya, Jihan kembali melirik barang kenyal itu dengan pandangan memusat.
Tanpa memegang barang itu, Jihan terlihat mengeratkan gigi, karena merasa jijik.
Tak lama menelitinya, wanita berhijab itu nampak bergidig ngeri.
"Piyuh... Jijik banget. Apaan sih kok ada barang kayak ginian di sini?" Protesnya dalam hati.
Batin Jihan serasa ingin berjingkrak-jingkrak merasa jijik sendiri membayangkan kejadian jika barang itu sedang dipakai.
"Astagfirullah kenapa aku jadi mikir yang aneh-aneh sih?" Jihan pun menepis ingatannya.
Sambil berdiri tegang, Jihan nampak menelan salivanya kasar. Ia mulai berucap kembali, " gak mungkin Mas Adzlin pemiliknya. Kan Mas Azlin ada aku, kalau dia mau tinggal tepuk saja pundakku." Pikiran Jihan mulai ke mana-mana. "Terus kalau bukan punya Mas azlin, berarti ini-" ucapan Jihan terjeda panjang.
Sontak Jihan loncat dari kamar itu, berlari keluar porat-parit. Jangankan untuk memegang, memindahkannya pun dia tak sudi. Jihan lebih memilih angkat kaki dari kamar itu.
Beragam praduga tentang bapak mertuanya mulai bersarang banyak di otaknya. Pikiran aneh semakin bersemayam tak mau keluar dari pikiran Jihan.
"Aduh kenapa harus aku yang melihatnya sih?" keluh Jihan pada takdir.
Saat pikiran Jihan benar-benar buntu, yang ada di dalam otaknya adalah bayangan wajah sang suami.
Jihan bergegas untuk berkemas dan tak ingin mencari jawaban dari misteri tersebut. Ia melihat punggung mertuanya yang sedang berjemur di balik jendela yang membentang.
Kini tak ada lagi rasa ini yang ada di hati Jihan untuk pria tak berambut itu. Yang ada rasa benci, dan tak peduli lagi.
Melewati jalan belakang, Jihan hendak pergi dan menunggangi motor matic nya yang masih terparkir di garasi. Perlahan ya keluarkan motor itu, dan suara halus dari mesin tersebut membangunkan kesadaran dari sosok Sugiono, mertuanya itu.
"Jihan? Kamu mau kemana?"
Jihan merekatkan bibirnya rapat tak mau menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.
"Jihan!" Panggil pria paruh baya itu lagi. Jihan mendelik lantas pergi.
Dia memacu gas motornya sangat kencang hingga adrenalinnya cukup tertantang. Bahkan jalanan pun terlibas hebat oleh kecepatan laju motor Jihan.
Dari atas motornya, Jihan sama sekali tidak melirik ke kanan dan ke kiri. Saat ini yang mengisi otaknya hanya satu kata. "jijik, jijik, jijik."
"Aaarrrgh, gila banget. Punya mertua gitu banget. Astaga Di mana otaknya sih," rutuk Jihan ke mana-mana.
Sejenak Jihan berhenti di pinggiran jalan, dan menghempaskan kekesalannya dengan menenggelamkan seluruh wajahnya di dalam telapak tangan.
Nafasnya seolah sulit untuk berhembus, setiap kali dia mengingat benda itu.
Usai, perasaannya sedikit tenang, Jihan pun mulai kembali mengemudi. Namun laju saat ini lebih rendah daripada laju sebelumnya.
Hingga perjalanan itu membawa Jihan tepat ke depan toko bunga milik sang suami.
Dilihatnya warna-warni bunga yang terbuat dari kertas menambah ketenangan dalam diri jihan kali ini.
Jihan melangkah masuk ke dalam toko itu, dilihatnya sang suami sedang melayani sebuah seorang customer, dan saat Jihan menarikan pandangannya ke arah lain, ia melihat ibu Puri.
"Jihan!" Kali ini suara Ibu Puri yang memanggilnya.
Jihan butuh beberapa tarikan nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri saat melihat ibu Puri.
Sang mertuanya itu memang tidak galak, tapi kadang kala sering sekali membuat Jihan salah tingkah dengan aturan-aturannya.
Jihan menunduk memandang lantai dengan kikuk ketika ibu Puri menghampirinya.
"Kenapa kamu ke sini? Di rumah, bapak sama siapa?" Tegas ibu Puri.
Wanita berhijab itu pun menjawab setelah terdiam beberapa saat. "Sendirian, Bu."
"Astaga, kamu ini kelewatan. Kenapa kamu membiarkan bapak sendiri di rumah? Gimana kalau ada yang terjadi kepada bapak?" protes Ibu Puri.
Mendengar ada hawar-hawar tak sedap, Azlin menghampiri keributan di depan tokonya.
Disaksikanlah oleh Azlin ibu dan istrinya sedang berdebat. "Sayang? Kenapa kamu di sini?" tanya Azlin heran. Azlin dan Puri pun kaget sekali dengan kehadiran Jihan di sana.
Hingga mereka heboh terus bertanya-tanya. "Bapak sedang apa di rumah?"
"Mas, sama ibu tenang aja. Tadi bapak sedang santai berjemur di halaman rumah. Lagi pula semua pekerjaan rumah sudah selesai, aku bosan di rumah terus, jadi aku pergi ke sini deh," kilah Jihan pada Azlin dan mertuanya.
"Tapi, sayang. Kenapa Kamu ninggalin bapak sendirian? Gimana kalau bapak mau sesuatu? Dia kan tidak bisa mengerjakannya sendirian dalam keadaan seperti itu," tegas Azlin menerangkan keadaanya.
"Iya, aku ngerti, mas." Wajah Jihan datar tidak ada ekspresi namun hatinya tidak demikian, keburu kekesalan masih saja bersarang dalam benaknya. Andai Azlin tahu, saat ini hati Jihan sedang perlu diobati.
"Ya udah kalau kamu ngerti, kamu balik ke rumah gih!" Azlin meminta dengan lembut sang istri agar bisa kembali ke rumahnya.
Semua kata-kata suaminya bukan malah menenangkannya, justru ucapan Azlin semakin memporak-porandakan perasaan Jihan.
"Enggak, Mas. Pokoknya aku nggak bakalan ke mana-mana, Aku ingin tetap disini sama kalian!" Jihan menolak perintah.
Azlin tak mau memperpanjang masalah, hingga ia kembali bekerja dan membiarkan Jihan duduk termangu diam di pojok toko.
Sesekali Azlin melirik sang istri, merasa ada yang lain dari perangai Jihan.
Tak lama Jihan terdiam di toko itu, tepatnya siang hari suara ponsel Azlin pun berbunyi. Dia mengangkatnya dan mendengar suara dibalik ponsel itu.
"Azlin. Nak! Tolong bapak!" Terdengar rengekan suara pria yang tidak asing baginya. Dalam ingatan Azlin sontak menggambarkan wajah bapaknya yang sedang membutuhkan pertolongan.
"Bapak, ada apa, Pak?!"
Suara tangisan pun semakin mempertegas suasana kecemasan dari Azlin.
"Bapak kesepian di sini, tadi Jihan pergi keluar. Bapak juga nggak ngapa-ngapain tanpa bantuan Jihan," tangis bapak sambil melontarkan beberapa keberatannya.
"Oh, tenang pak! Jihan ada di sini kok. Sebentar lagi azlin akan menyuruh Jihan untuk pulang ya. Bapak tunggu dulu di sana yang sabar ya! Azlin nampak sangat patuh kepada ayahnya itu.
Usai menelpon, Azlin memaksa Jihan untuk kembali. Pokoknya tak ada alasan lain, selain Jihan harus kembali.
"Okei deh. Okei, aku kembali," ucap Jihan setengah hati.
***
Sampai di rumah, Jihan yang kesal tak inginengucap salam. Dia hanya fokus untuk masuk kedalam rumah, sambil membuang jauh pikiran kotornya.
Sampai di bibir pintu, Jihan nampak terkesiap melihat sosok pria itu berlagak aneh.
Kakik Jihan terasa tak bertulang saat melihat kenyataan di balik pandangannya.
"Apa? Jadi ... Bapak?" Jihan sontak menutup mulutnya.
Jihan mengedip kasar matanya, dan dia yakin kalau matanya masih sangat jelas. Dia melihat Pak Sugiono dengan kaget tak terkira.
Alangkah terkejutnya Jihan, tatkala memergoki Sugiono berjalan santai di ruang tengah tanpa menggunakan kursi roda.
Dengan cepat Jihan menarik tubuhnya kembali, setelah melihat pemandangan yang tak mengenakkan itu. Dia terengah ketakutan, wajahnya mulai pucat dan bola matanya terpaku tak bergeming sedikitpun."Aku nggak salah lihat kan? Tadi bapak jalan kaki? Ah, mungkin aku mimpi kali," tepisnya di dalam hati.Jihan pun menyandarkan punggungnya di dasar tembok. Perlahan tubuh yang lelah itu melorot hingga dasar lantai. Sambil menekan-nekan dadanya, Jihan pun berusaha untuk menormalkan diri.Tak ingin keberadaannya diketahui oleh bapak Sugiono, akhirnya dia lari tunggang langgang hingga sampai ke beranda depan rumah. Denyut jantungnya terpompa sangat kencang, seakan dia sudah melihat setan."Tapi aku yakin, tadi itu bapak yang jalan!" Tegasnya pada diri sendiri, memantapkan hati bahwa dirinya itu tidak salah. Dia masih memiliki penglihatan sempurna. Bahkan dalam keadaannya yang sadar, Jihan melihat bapak mertuanya itu berjalan meninggalkan jauh rodanya."Ada yang tidak beres di sini. Sebenarnya ba
Jihan mengeratkan pandangannya jauh menerawang ke dalam kamar itu. Lalu ia membuka tutup kelopak matanya seakan ingin memperjelas penglihatannya."Ck, sh. Gelap sekali sih?" rutuknya kesal.Sayang sekali lobang pintu terlalu rapat, sehingga Jihan tidak bisa menengok isi di dalam kamar tersebut.Ck. Ck. Ck.Jihan melakukan cara lain untuk meneliti isi kamar misterius itu. Berulang kali Jihan memainkan knock pintu. Pintu yang terkunci, membuat usaha Jihan berujung nihil.Karena tak ingin dirinya didapati oleh salah satu penghuni rumah, akhirnya Jihan lari porat-parit untuk kembali ke kamar.Dengan hati yang masih tegang, Jihan pun melunturkan rasa hausnya. Wanita berhijab instan itu, menenggak air minum hingga tandas dalam satu tenggakkan.Detik kemudian, tangan sang suami terhampar tiba-tiba di depan pangkuannya. Jihan yang masih terlarut dengan suasana tegang sontak terkejut. Azlin yang tadi tidur pulas pun kini terbangun karena gerakan Jihan yang tiba-tiba mengejutkannya."Hei, Kam
Sugiono tersenyum nakal. Menarik napas dan menyandarkan kepala di pangkal kursi roda. Seperti orang yang baru saja melepas lega. Pria yang berkepala pelontos itu menekan tombol pada kursi roda tanpa membalas ucapan Jihan. Jihan menggeleng kepalanya dengan cepat. Tak sampai pikir dengan kelakuan mertuanya itu."Dasar orang aneh," pekik Jihan menekuk tangannya, mengepis angin dengan kepalan tangannya. Jihan hanya bisa melakukan gerakan itu saat mertuanya sudah tak nampak lagi.Jihan melenguk pasrah, dengan nasibnya yang seolah-olah menjadi tumbal di rumah itu. Ia pun hanya bisa mengelus dada pengganti tameng untuk menguatkan dirinya sendiri.Tepat di jam13. 00 berdentumnya waktu ketepatan jam dinding, menggema di ruang tengah. Jihan mengusap wajahnya, setelah ia salat Dzuhur dan meluncurkan doanya kepada sang khalik. Doa Jihan terjeda ketika ia mendengar bunyi bel berdenting 3 kali. Bahkan saat Jihan masih mengenakan mukena, rumah pun kedatangan tamu. Ting, tong. Ting. Tong. "Siap
Kehidupan Jihan semakin hari semakin membingungkan seiring berjalannya waktu. Tidak hanya Pak Sugiono yang terkesan aneh, tetapi juga teman-teman barunya yang terlihat aneh menurut Jihan.“Cantik bener menantumu, Sugiono. Udah gitu seksi dan semok juga. Apalagi dadanya, membusung seperti pengen kusentuh,” kata salah satu teman Pak Sugiono.Mereka memang memuji kecantikan Jihan, namun secara tidak langsung, ucapan dalam bentuk pelecehan secara verbal pun terucap. Terdengar sangat tak senonoh.“Ya Tuhan, apa maksud orang itu bicara seperti itu tentangku? Kenapa mereka menganggap seolah aku ini adalah seorang perempuan murahan?” tanya Jihan yang merasa tidak nyaman dengan perkataan teman mertuanya yang menurutnya sangat berlebihan ini.Yang membuat Jihan merasa semakin bingung adalah pembicaraan tentang Pak Sugiono yang memiliki peliharaan yang telah beranak-pinak. “Aku merasa takut, tapi juga merasa semakin penasaran. Ya Tuhan, tolong beri aku petunjuk, apa yang kulakukan?” Jihan bergu
Suasana di dalam kamar itu seketika tegang. Jihan tak terima dengan sikap suaminya yang tiba-tiba terasa aneh. Bahkan saat ini kotak hitam itu sudah berada di tangan Azlin. “Kenapa sih aku gak boleh buka kotak hitam itu, Mas? Apa sih isinya?" Jihan sedikit kesal dengan larangan suaminya yang tiba-tiba.“Perempuan gak perlu tahu kotak ini isinya apa. Ini urusan para pria. Sebaiknya sekarang kamu keluar dulu, aku mau ganti baju.” Azlin meletakkan kotak hitam itu di atas ranjang lalu mendekat ke arah Jihan dan mendorong wanita itu.Jihan menolak lalu berkata, "Ngapain sih aku harus keluar? Aku udah lihat semua yang ada di diri kamu, Mas. Gak usah malu lagi deh." Namun, pria itu memaksa bahkan kembali mendorong pelan istrinya, dan tetap mengusir wanita tersebut dari dalam kamar.“Bukan gitu, tapi dari pada kamu kepo sama urusan pria, mending kamu buatkan aku minuman gih.” Azlin tampak kembali mendorong istrinya.Jihan yang penasaran mendapatkan sebuah ide. Dia berkata, "Tunggu sebentar,
Perlahan-lahan Jihan membuka kedua matanya. Tadi dirinya pingsan sesaat melihat isi dari kotak hitam tersebut. Jihan memijat kepalanya yang masih pusing pasca pingsan.“Jadi, kotak hitam ini isinya buku nikah Mas Azlin dengan beberapa wanita. Ya Tuhan, ini sulit untuk dipercaya.” Jihan tampak menangis tersedu-sedu.Saat ini perasaan bingung dan marah menyelimuti dirinya. Saat tadi dirinya pingsan, untungnya pintu kamar sudah terkunci, sehingga tidak ada yang menyaksikan kejadian tersebut.Dengan tangannya gemetar, Jihan mengusap-usap pelipisnya yang terasa nyeri. Matanya kembali tertuju pada box hitam dan isinya yang kini berserakan di lantai.“Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Aku masih merasa kalau semua ini adalah mimpi buruk dan aku harus segera bangun dari mimpi ini,” gumam Jihan di tengah isak tangisnya yang menyesakkan dada.Air mata terus menetes dari matanya. Jihan merasakan rasa sakit yang mendalam di hatinya. Perlahan Jihan bangkit lalu duduk. Dia mulai meraih bend
Pria tua yang baru saja hendak menciumi Jihan, tak disangka adalah Sugiono, bapak mertuanya sendiri. Kejadian yang terjadi dengan cepat itu membuat Jihan terkejut setengah mati. Jihan bangkit dari sofa. Dengan hati-hati mengecek kondisi bapak mertua yang terkapar di lantai.“Bapak gak apa-apa?” tanya Jihan dengan suara gemetar.Sugiono, yang terluka dan terperosok di lantai, tidak memberikan jawaban apapun atas pertanyaan Jihan.“Huhuhu … sakit!”Sugiono tampak meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya bagian belakang yang terbentur meja. Darah mulai mengalir dari luka di belakang kepalanya.“Aduh, gimana ini?” tanya Jihan pada dirinya sendiri, dalam kepanikannya.Jihan tidak punya waktu untuk memikirkan lebih jauh. “Rumah sakit! Ya, sepertinya aku bawa saja bapak ke rumah sakit.”Dengan hati-hati, Jihan memapah bapak mertuanya, meski merasa tak ikhlas karena harus bersentuhan dengan pria itu setelah insiden aneh tadi. Dengan perlahan, dia membawa Sugiono ke kursi roda yang bias
Jihan merasa letih setelah berusaha susah payah membuka pintu kamar rahasia yang selama ini begitu misterius di matanya. Ia merasa penasaran dengan apa yang mungkin disembunyikan oleh bapak mertuanya di dalam sana. Pintu itu terlihat begitu tua dan terkunci dengan rapat, sehingga Jihan harus mencari berbagai alat di gudang untuk membukanya."Euh, susah sekali sih? Pokoknya, aku nggak bakalan nyerah. Aku harus buka sekarang juga, apa isi dalam kamar ini? Aku sudah nggak bisa sabar lagi." Jihan memukul-mukul knock pintu dengan perkakas berat milik Azlin.Setelah beberapa upaya, jari-jari Jihan mulai mengeluarkan darah karena blister yang terbentuk akibat tekanan yang kuat. Darah segar itu nampak berlinang melumuri perkakas yang ia pegang. Jihan tak pedulikan kesakitan ya dan terus berjuang.Tak hanya darah yang melumuri tubuhnya, Jihan pun dilumuri oleh beberapa genangan keringat di bagian punggung dan organ lainnya."Hah." Sekejap Jihan menarik nafasnya, ia menyeka keringat di punca
Wajah seketika memucat setelah mendengarkan penjelasan dari dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut."Bagaimana mungkin saya bisa menginap HIV, Dok?" tanya Sugiono yang masih tak percaya dengan penjelasan dokter tersebut. Suaranya bergetar."Ada beberapa faktor yang memungkinkan seseorang bisa tertular penyakit mematikan ini. Bisa melalui pemakaian obat-obatan terlarang dalam jangka panjang, penggunaan jarum suntik yang digunakan oleh beberapa orang dan yang paling fatal adalah melalui hubungan seks dengan seseorang sudah terjangkit HIV," paper dokter tersebut.Sugiono tampak terdiam mematung setelah mendengarkan pemaparan dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut. Seketika Sugiono teringat dengan Alda, karena hanya dengan perempuan itu sajalah belakangan ini dia melakukan hubungan badan.'Apa jangan-jangan Alda memang pengidap HIV AIDS? Sebelumnya tubuhku baik-baik saja saat berhubungan badan dengan Puri maupun dengan istri-istrinya Azlin,' batin Sugiono yang sebenarnya saat in
Malam telah beranjak semakin larut. Sugiono yang tadi sore sudah tertidur dengan lelap karena kelelahan, seketika terbangun. Dia terbangun karena merasakan ingin buang air kecil."Duh, gelap lagi. Ini jam berapa, ya?" tanya Sugiono pada dirinya sendiriSugiono pun beranjak menuju jendela sambil menyingkap gordennya. "Ternyata ini sudah malam. Pantes aja gelap. Kirain tadi ada pemutusan aliran listrik."Sugiono pun segera menyalakan semua lampu yang ada dalam rumah itu. Setelah itu dia bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk buang air kecil."Aaargh!" Sugiono memekik tertahan saat merasakan perih dan nyeri di sekitar kelelakiannya. "Loh, kok berdarah?"Kedua mata Sugiono terbelalak saat ia melihat air s*ninya berwarna merah. Keanehan di tubuh Sugiono makin hari makin menjadi-jadi, termasuk dengan air s*ninya yang berwarna merah tersebut.Setelah kegiatannya di dalam kamar mandi selesai, Sugiono pun beranjak ke arah ruang tengah. Dia menghempaskan tubuhnya ke arah kursi sambil mengh
Hari kian gelap. Gulungan awan hitam menyelubungi langit-langit.Tubuh Sugiono lelah menanti kedatangan seseorang di halaman depan rumah itu.Angin sesekali menyapa Sugiono dan meneriaki pria malang itu."Aaargh, sialan. Dingin banget sih!" kesal Sugiono menepuk nyamuk hitam yang hinggap bagian pipinya.Meskipun, dia sudah tertimpa kemalangan, tapi egonya masih meninggi. Ia bertindak seperti pemilik dunia."Kalau saja aku ketemu dengan Alda saat ini, aku akan mematahkan seluruh persendiannya. Aku akan kerjain dia sampai mulut anunya berbusa. Dasar manusia murahan. Lihat saja, aku akan melakukan semuanya," sumpah serapah Sugiono mulai meluap-luap.Tapi, power Sugiono kembali melemah saat dia melihat jalanan masih sepi. Wanita yang ia tunggu tak kunjung datang juga. Hati Sugiono terasa terkikis saat itu.Sugiono pun mengeluarkan ponselnya dan melihat dasar layar ponsel itu.Pria berkepala plontos itu lantas menekan nomor Alda di dalam phone booknya dan memijit tombol telpon untuk menyam
Sugiono semakin kaget saat tidak menemukan uang beserta ATM di dalam dompet."Ah, mana dompetku? Atmku? Uangku juga? Astaga, semua hilang? BAGAIMANA INI?" erang Sugiono merasa stres dan gila.Hanya kartu identitas saja yang tersisa di atas laci kamarnya."Ada yang tidak beres. Pasti, tadi ada maling di sinil" Ssugiono menggaruk kepalanya yang plontos botak.Dia meyakini kalau kontrakannya dimasuki garong darat.Sugiono memutar otaknya, dia memikirkan beberapa hal yang ia perbuat sebelumnya. "Alda," celetuk Sugiono saat tiba-tiba mengingat sosok wanita itu.Wajah dan ucapan Alda seakan menari-nari dalam ingatannya. "Ya, aku yakin ini semua ulah si cewek sialan itu," dengus Sugiono berwajah garang.la menghembuskan nafasnya panas. Lalu bangkit dari posisinya yang terpuruk setelah kehilangan segala karunnya.Laki-laki botak itu melenggang ke samping rumah sambil berkacak pinggang."Mana wanita itu?" Sugiono mendengus marah. Hingga kakinya mencapai halaman kontrakan Alda.Rumah hening dan
FLASH BACK ONAlda menangis di bawah titisan hujan.Wanita berdagu lancip itu menangisi kepergian ibu dan ayahnya yang mendadak meninggal secara tragis.Kala itu Alda masih berusia 17 tahun. Seorang teman yang sama-sama tinggal di satu kampung merangkul tangannya.Di bawah langit yang mendung, tubuh mereka basah kuyup terkena air hujan. "Jangan bersedih! Aku juga ditinggal orang tuaku, kok, bahkan sudah setahun lalu. Kamu bisa kerja sama aku. Nanti kita dapat banyak kemewahan dari para klien."Awalnya, Alda tak menghiraukan kata-kata orang di sampingnya, namun sesaat dia mencerna hingga keingintahuan Alda tentang hal yang dialami orang itu, ia pun menoleh."Apa maksud kamu?"Wanita di sampingnya lekas merangkul Alda dengan sebelah tangan kirinya. "Pokoknya, kamu ikut saja. Jangan banyak tanya, yang jelas seluruh kesedihan kamu akan hilang, dan kamu akan hidup bahagia.""Benarkah?"Teman Alda sejak kecil itu, lantas menarik tangannya tak bersyarat.Dilihatlah apartemen kawannya yang be
FLASH BACK ONRumah kontrakan yang kosong di sebelah kediaman Alda tiba-tiba kedatangan seorang lelaki paruh baya berkepala botak.Awalnya, Alda hanya memperhatikan dengan acuh, merasa bahwa kehadiran orang baru itu tidak memiliki berpengaruh besar bagi hidupnya.Namun, hari demi hari kehadiran lelaki itu mulai mencuri perhatian Alda. Pernah sekali- kali ia memergoki pria botak itu sedang mencuri pakaiannya saat ia mencoba mengeringkannya di bawah sinar matahari yang hangat."Apa yang di lakukan bapak itu, ya?" bisik hati Alda, lalu kembali masuk dan bersembunyi di balik pintu tanpa di ketahui oleh Sugiono.Alda yang terkejut, keesokannya ia memanggil teman-temannya untuk memberitahu mereka tentang peristiwa itu."Heh, kalian kenal sama bapak itu nggak sih?" tanya Alda saat dia berkumpul dengan orang- orang yang mengontrak lainnya."Nggak tahu tuh. Sepertinya bapak itu baru ya?" jawab dari wanita lainnya yang ia sebut sebagai teman."Iya bapak itu orang baru di sini," timpal rekan lai
Jihan terengah kesakitan. Nafasnya memburu oksigen sekitar."Lepaskan! Siapa kamu?" cecar Jihan yang kini sudah terjerat dalam ikatan tubuh pria itu.Kedua tangan Jihan dicengkram erat hingga sulit untuk melawan. Sedangkan tubuh mungilnya sudah ditindih oleh badan besar berdada bidang itu.Wajah asing yang menyergap Jihan sangat mencekam. "Diam kamu! Kalu tidak diam, nyawamu akan melayang," ancamnya.Jihan meronta sekuat tenaga. Tak ada cara lain untuk dia melepaskan diri, hingga ia melakukan cara lain semampu tenaganya."Cuihh!"Jihan menyemprotkan salivanya, hingga wajah pria itu terciprat cairan kental dari mulut Jihan."Blegedes! Berani sekali kamu? Kamu mau melawan?""Aku nggak akan diam saja, aku nggak sudi kedatangan tamu kaya binatang seperti kamu!" lawan Jihan menantang pria berbalutkan kaus hitam itu.Mata pria itu semakin tajam, ia menghempas nafas panas, seolah siap melahap mangsanya.Dalam ketegangan, pria asing itu merobek sebelah baju yang ia kenakan. Lantas menggulingk
Saat ini malam sudah semakin larut. Pria berusia 24 tahun itu tampak masih kelelahan setelah dikejar oleh anjing malam."Fiuh! Kakiku rasanya seperti mau lepas dari persendiannya. Andai saja tak ada truk tadi yang melintas dan membunyikan klakson, mungkin aku sudah menjadi korban keganasan anjing-anjing malam itu," gumam Azlin sambil nyekak keringatnya.Saat ini nafasnya bahkan masih ngos-ngosan. Azlin pun bersandar di tembok toko yang berada di pinggiran jalan besar tersebut."Aku harus ke mana lagi?" tanya Azlin pada dirinya sendiri. Bingung, sebab tak punya tempat tinggal.Azlin menatap jalanan yang tampak sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang saat ini melintas. Meski tanpa tujuan Azlin pun tetap melangkah meninggalkan lokasinya berdiri.Saat sedang melangkah, seketika kening Azlin mengernyit. Dia melihat seorang wanita tanpa hijab dengan bajunya yang sudah sangat kotor dan kumal, sedang tidur meringkuk di bawah tiang neon trotoar."Kenapa rasanya aku familiar sekali dengan gela
Pagi yang cerah menyapa Azlin dengan kebingungan di dalam hatinya.Ia berjalan luntang-lantung tak tentu arah. Sampai tibalah lapar yang tak tertahankan membuatnya merenung sejenak di sebuah lorong kecil."Ya tuhan, kemana lagi aku berjalan? Kemana aku harus cari uang?" keluh Azlin menghrmpaskan di pinggir trotoar.Matanya menyapu seluruh tempat itu, memandang dengan cermat keadaan sekitar.Hingga dia memutuskan untuk mengatasi masalahnya dengan mengunjungi pasar setempat.Meskipun langkah ini agak nekat, tapi Azlin yakin dia bisa menemukan cara untuk mengisi perutnya yang kosong.Saat tiba di pasar, dia melihat tumpukan barang-barang yang perlu diangkat oleh penjual. Ide langsung muncul dalam pikirannya."Hemh, apa aku bisa?" Pikir Azlin memutar otaknya.Azlin pun langsung menyambangi tempat seorang pria yang sedang bersusah payah mengangkat banyak barang."Maaf, Bapak. Apa aku bisa kerja pada bapak?" tanya Azlin ragu."Kerja? Maaf-maaf. Pelayan tokoku sudah terlalu padat. Aku juga h