Fikri berkali-kali memantulkan bola dengan keras, lalu melakukan Dribble atau mengiring bola, lalu melakukan Shooting (teknik menembak bola) atau memasukkan bola kekeranjang net. Berulang kali dia melakukan hal yang sama, mantulkan bola, mengiring bola dan memasukkannya kekeranjang net, dia lakukan dengan keras demi meminimalisir amarah yang berusaha dia pendam. Fikri seperti orang kerasukkan melakukan teknik demi teknik dalam permainan bola basket. “Kau dikeluarkan dari sekolah ini!” ujar seseorang mendekati Fikri. Fikri membanting bola dengan keras, hingga mengelinding jauh. Fikri berbalik badan, menatap orang yang berdiri tidak jauh darinya, Fikri tersenyum sinis menyepelekan kata-kata orang itu. “Atas dasar apa, bapak mengeluarkan saya? Apa kesalahan fatal yang telah saya perbuat, sehingga anda mengeluarkan saya dari sekolah ini?” tanyanya sinis. “Anda tidak perlu banyak bertanya! Mulai dari sekarang kau bukan lagi siswa Sma N Bangko. Silahkan keluar dari sekolah ini!” perintah
Jiwa-jiwa yang terbuang, Aku lah jiwa itu Jiwa-jiwa yang tak pernah mendapat ketentraman hidup. Jiwa-jiwa yang selalu berontak atas ketidakadilan dunia. Jiwa-jiwa yang sudah lama hancur, diakibatkan tangan-tangan kekar yang seharusnya melindungi, malah membuat bencana lain dalam kehidupan. Jiwa-jiwa ingin kebebasan. Kebebasan, dimana tidak ada orang suka mengurui, melarang melakukan ini dan itu. Kebebasanku sangat sederhana, dimana aku bisa tertawa ditengah-tengah keramaian yang selalu aku benci. Dimana sendiriku tidak digangu, dan saatku memakai handsfree ditelingaku, tolong jangan ada menyapaku dan berbicara padaku! karena salah satu alasanku memakai handsfree disetiap saat adalah, agar orang-orang tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar apa yang dibicarakan orang lain dibelakangku tentang keburukanku. Bahagiaku sederhana, tapi untuk mendapatkan itu semua, seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Fikri Wiyaja Kusuma dan Safira Ramadhani. Fikri masuk kedalam kelas dal
“Maaf, aku sengaja melakukannya. Aku melakukannya supaya kamu tidak hilang kesadaran. Kita harus tetap terjaga hingga esok! itu satu-satu cara untuk bertahan hidup. Agar kita tidak mati sia-sia, tanpa membalaskan dendam kepada mereka, yang telah berani cari masalah dengan kita,” ujar Safira perlahan. Denyut jantungnya mulai melambat, namun dia berusaha keras untuk tetap berbicara, pada Fikri untuk menjelaskan sesuatu.“Kita harus menabrak diri satu sama lain, supaya kita tetap tersadar. Kita tak boleh mati disini Fik, kita harus kuat dan berusaha keras keluar dari ruangan ini,” ujar Safira berusaha tidak pesimis.“Baikah.” jawab Fikri sangat pelan. Keduanya pun berusaha untuk saling menabrakkan diri satu sama lain. Ketika salah satu tidak lagi berusaha menabrak kursi satu sama lain, tetap ada salah satu diantara mereka bangkit, berusaha menabrak rekannya.Para bodyguard Safira dibawa kerumah sakit, saat ditemukan tidak sadarkan diri. Saat para bodyguard Safira terbangun, mereka langsun
Terdengar suara gongongan anjing dan mengendus-endus berlari masuk kedalam hutan dan diikuti oleh beberapa polisi, yang hanya memakai pakaian preman.“Kami menemukan sepasang manusia.” para polisi mengikuti kemana anjing bergerak dan menemukan sepasang manusia tergeletak ditengah hutan.“Apakah masih hidup?” tanya yang lain menghampiri.“Mereka masih hidup.” jawab Polisi lainnya memeriksa keadaan kedua sejoli itu.Para polisi langsung mengevakuasi keduanya. Saat di rumah sakit, keduanya tidak langsung ditanyai oleh polisi. Mereka membiarkan keduanya beristirahat terlebih dahulu untuk memulihkan diri. Beberapa hari mereka di rawat, dan diawasi oleh beberapa polisi.“Jelaskan kronologi kenapa kamu bisa, dihutan itu dan mendapat banyak luka-luka disekujur tubuhmu?” tanya polisi kepada keduanya, dengan ruang yang berbeda.“Saya disekap dan mereka menyiksa saya dan teman saya,” ucap keduanya dengan tenang.“Apakah sebelumnya kamu bermasalah dengan mereka, atau apakah kamu mengenal mereka?”
“Introgasi telah selesai, apakah kami sudah diperbolehkan pulang pak? Saya tidak pernah nyaman berada dirumah sakit, karena saya terlihat begitu lemah, jika berada dirumah sakit.” kali ini Safira, yang gantian menatap para polisi itu, dengan tatapan intens. “Silahkan. Menurut keterangan dari dokter, kalian berdua sudah diperboleh kan pulang.” jawab polisi itu dengan tegas. Para polisi itu pun keluar, dan Fikri perlahan duduk disofa, yang tidak jauh dari ranjang rumah sakit. Keduanya hanya terdiam, sampai akhirnya kedatangan Abraham mengejutkan mereka. Tanpa ba bi bu, Abraham langsung menarik baju Fikri dengan kasar. “Apa kau pelaku penculikan Safira? Apa yang kau lakukan, aku tidak akan membiarkan siapa yang menyakiti Safira, hidup dengan tenang.” Safira bangkit dari duduknya diatas ranjang rumah sakit, dan sedikit mendorong tubuh Abraham menjauh dari Fikri. Abraham yang melihat Safira membela Fikri, semakin murka, “Bukan dia pelakunya, kita sama-sama korban.” teriak Safira menghen
Safira duduk disisi ranjang dan mengamati seisi kamarnya dengan senyum tipis. Lalu perlahan dia baringkan tubuhnya, yang berasa hancur lebur di sekujur tubuhnya, di ranjang. Rasa sakit penyiksaan beberapa hari yang lalu masih dia rasakan, belum sempurna menghilang. Lagi-lagi dan lagi, diriku merasa sakit melihatmu sakit. Entah rasa apa ini, aku pun bingung menjawabnya. Yang pasti mulutku membencimu tapi hatiku peduli padamu. Aku tidak bisa membohongi ini semua, bahwa aku sangat peduli padamu dan ingin menjadi teman atau pun sahabatmu. Tapi apakah kamu mau? Sepertinya kamu adalah, seseorang yang menutup diri dari semua orang, dan sangat sulit bagiku, masuk kedalam hidupmu. Apakah takdir bisa mempersatukan kita? Sebagai dua orang asing yang membenci, dan akhirnya mengerti. Apakah khayalanku terlalu tinggi padamu? Aku hanya ingin menjadi seseorang pelepas rindumu, menampung dukamu, dan memelukmu saat ketidaberdayaanmu. Hanya itu yang aku inginkan. Apa itu salah? Kemungkinan tidak. Tapi
Ketika istirahat tiba, Fikri kembali kesikap asalnya yang cuek dan sungguh menyebalkan. Tanpa bicara dan melihat siapapun, Fikri segera memasuki lapangan basket dan asyik bermain disana. Sahabat-sahabat Fikri pun ikut bermain. Ketika bola terlepas dari tangan Safir dan mengelinding, Safira cepat mengambil bola dan sesekali memantulkan bola kelantai dan memasukkannya ke ring. “Boleh kami bermain?” Safira tersenyum meminta persetujuan dari kelima pria itu. Safir dan teman-temannya hanya membeku, melihat Safira dan para bodyguardnya menghampiri mereka. Mereka melirik kearah Fikri meminta persetujuan, seperti tau apa yang dipikirkan teman-temannya. Fikri hanya menganguk menyetujui. Safira segera berlari merebut bola dari Fikri dan hanya beberapa teknik, bola sudah berpindah ketangan Safira dan kembali untuk kedua kalinya Safira memasukkan bola ke ring. “Kita taruhan. Siapa yang kalah, akan mentraktir kita makan nanti malam, dan traktir gratis kita semua naik gunung.” Safira dengan linca
Mereka terlihat sangat menikmati perjalanan dari Bagan Siapi-Api, menuju ke Pekanbaru. Lalu menyewa dua mobil menuju, gunung talang. Fikri satu mobil dengan Abraham dan Safira, mobil di kemudikan oleh Zakir Pramudita, dan di sampingnya ada Feri Oktaviani, sedangkan Safira, Abraham dan Fikri berada di bangku nomor dua, setelah bangku sopir. Safira duduk ditengah, Abraham dan Fikri. Sedangkan bangku yang paling belakang, diduduki oleh Muhamad Farhan, Ilham Arif Setiawan, dan Muhamad Thoriq Akbar.Sedangkan mobil kedua, diisi oleh Latifah Ahmad Fadillah, disetir oleh Safir Ahmad Fadhil Zikri. Abraham dan Safira sangat romantis disepanjang perjalanan, Fikri yang tidak suka melihat Safira dipeluk, dicium oleh Abraham. Rasanya ingin sekali dia patahkan leher laki-laki itu, agar pria itu tidak lagi mendekati Safira.Sepanjang perjalanan, Abraham tidak melepaskan pelukkannya pada Safira, sesekali dia memcium ubun-ubun Safira, dan membelai wajahnya ayunya, yang terus mengoda keimanan seorang Ab