Sma N Bangko di gemparkan oleh kedatangan Safira dan ketiga pengawalnya, mengunakan mobil mewah. Safira turun dari mobilnya dan di ikuti oleh ketiga pengawalnya. Dari arah berlawanan, Davina muncul dengan gaya angkuhnya, mendekati Safira dan pengawalnya. Tanpa berbicara sedikit pun, geng Red Dragon menyerang Safira dan pengawalnya. Terjadilah perkelahian sengit antara dua kubu itu. Suasana sekolah semakin riuh, tidak ada yang berani melerai. Perkelahian itu, hanya menjadi tontonan. Perkelahian berhenti saat para guru melerai. Keduanya saling mencaci dan melempar tuduhan. Tak terelakkan perang mulut pun terjadi, walaupun perkelahian fisik telah berhenti. Sampai akhirnya dengan nada angkuh Davina memberi solusi untuk melihat cctv sekolah, melihat siapa pelaku perusakan motor Davina dan kawan-kawannya. Kedua kubu yang berseteru itu, pun mengikuti para guru ke ruang cctv. "Coba cek pak, kejadian sebelum kerusakan motor mereka." kata Feri kepada pak Hamzah, sedang mengcek cctv. "Kenapa
Safira membawa Antoni disebuah rumah kosong. Antoni mulai diintogasi. “Apa motif pak Barra Rafeyfa Zayan, memerintahkan anda melakukan pembunuhan itu?” “Saya tidak mengenal, orang yang kamu maksud.” jawab Antoni meringis. Posisi Antoni saat ini, diikat disebuah kursi. “Jangan berbohong! Jawab!” bentak Safira menodongkan pistol, tepat dikepala Antoni. “Sumpah demi Tuhan, saya tidak mengenal orang yang bernama Barra itu.....” teriak Antoni, saat merasakan Safira hendak menekan pelatuknya. “Baiklah, jika anda tidak mengenal orang yang bernama Barra Rafeyfa Zayan..... Tapi, tentu saja anda mengenal foto ini kan?” Safira menunjukkan foto Barra. Antoni nampak diam dan terkejut. “Kau mengenalnya kan?” tanya Safira lagi. Antoni kembali bungkam. “Jawab!” Safira memukul dahi Antoni, dengan ujung kepala pistolnya membuat dahi Antoni berdarah. “Saya tidak mengenalnya dengan nama Barra, saya mengenalnya dengan nama Kyler Abaravan.....” jawab Antoni berteriak kesakitan saat Safira memukulnya
Safira menjemput Fikri dirumah Safir, dan mereka pulang bersama-sama. Sesampainya dirumah Hartawan, hp nya berdering. Safira mengerutkan keningnya, saat melihat nomor orang yang tidak dikenal, tertera di layar hp nya. Sejenak dia hanya terdiam, sebelum akhirnya memutuskan mengangkatnya. Saat mengangkat panggilan telepon itu, panggilan nya berubah menjadi panggilan video. Safira sangat terkejut, saat melihat Candra sedang disiksa. Safira menghela napas pendek. Wajahnya memerah, dia bangkit dari duduknya. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Safira dingin. “Nyawamu!” ujar pria itu, memperlihatkan teman-temannya sedang menyiksa Candra, pada Safira. “Lalu untuk apa kalian menangkapnya? Lepaskan dia! berhenti menyiksanya, dan saya akan menyerahkan diri,” ujar Safira dengan nada dingin. “Datanglah besok sore. Akan saya kirim alamatnya, Jangan berani menghubungi polisi, jika tidak ingin temanmu mati,” ucapnya dengan tertawa. “Baiklah. Tapi, kalian harus berhenti menyiksanya,” ujar Safira t
Safira melangkah, berjalan perlahan menuju wc. Dia merasakan ada yang mengikutinya. Detik kemudian, sebuah tinju, menghantam wajah pria itu. Saat sang pria hendak lari, beberapa orang menodong senjata, ke arah sang pria, membuatnya harus menyerah. Sang pria ditangkap dan dibawa dirumah kosong, yang didalamnya banyak terdapat gudang, atau pun kamar. Didalam sanalah, para tawanan Safira berkumpul. Setiap ada penangkapan terjadi, orang-orang yang menjadi tawanan Safira sengaja dipisahkan. Agar tidak terjadinya rencana untuk kabur secara bersama-sama.Safira akhirnya pulang, namun baru saja, dirinya masuk kedalam rumah. Bunyi bel, membuatnya berbalik dan membukakan pintu. Safira heran, saat mendapatkan paket untuk dirinya.Dengan penasaran membukanya, dan betapa terkejutnya dia, saat melihat sebuah boneka yang berlumuran darah, dilehernya terdapat pisau tertancap. Dia juga membaca surat, disamping boneka tersebut.“Hentikan atau kau memilih mati!” Safira hanya tersenyum dingin, saat membac
Safira memasuki mobilnya yang baru dibeli lagi oleh Abraham, di ikuti para bodyguardnya dari samping kiri, dan kanan, dari posisi belakang ada lima orang pria, siap siaga mengawasi nonanya, dari berbagai serangan yang tidak diinginkan. Dari posisi depan ada lima orang. Semua mata lagi-lagi terpana, melihat Safira datang dengan banyak bodyguardnya. Sehingga saat masuk kelas, beberapa orang itu, harus menambahkan beberapa bangku untuk diduduki para bodyguard Safira. Penambahan bodyguard itu atas paksaan Abraham, walaupun Safira tidak menyentujuinya. Abraham tidak ingin, ada yang mengusik permaisurinya lagi. Para bodyguard siaga, dan langsung mengeluarkan pistol saat beberapa orang menembaki mereka dengan brutal. Mereka tau target para penyerang adalah nona mereka. Saat itu pula lah, mereka tetap siaga melindungi yang nona. Para bodyguard merunduk dalam posisi melingkar mengelilingi Safira, lalu membuka jas hitam mereka secara serempak dan menutupi kepala Safira. Tiga orang memberondon
Safira duduk di sofa rumah sakit dalam diam. Perlahan Candra bangkit dari ranjangnya, mendekati sofa dimana Safira duduk. “Kamu kenapa? Apa ada masalah?” tanya pria itu duduk disamping Safira. “Kenapa kau disini? Ayo kembali keranjangmu, kau harus istirahat,” ujar Safira menatap pria itu dengan panik. Dia harus menyembunyikan masalahnya. “Cerita saja. Apa ini ada masalahnya dengan penculikanku?” tanyanya dengan wajah penasaran. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. Berat baginya harus berbagi masalah dengan orang lain. “Katakan saja. Mana tahu aku bisa membantu? Jika tidak, setidaknya dengan berbagi cerita, pemikiranmu jadi lapang, dan tidak seperti orang yang terintimidasi,” ujarnya menatap Safira lekat. “Aku di pecat,” ujar Safira akhirnya. Sejenak Candra hanya diam, menghela napas kasar. “Kau tenang saja, kau akan tetap bersekolah. Dengan syarat kau, harus membantuku. Aku akan membiayai sekolahmu.” Candra mengusap-usap pundak Safira perlahan. Safira menatap Candra diam,”Aku
Didepan kelas, Safira memghela nafas panjang, sebelum memutuskan memasuki kelas. Semua mata menatap dirinya, kini dirinya menjadi sorotan satu kelas. Perlahan melangkah memasuki kelas, dan matanya tak berpaling menatap siswa-siswi dikelas itu, dan berakhir pada Davina, beserta kawan-kawannya. Dia mengepalkan kedua tangannya, dengan geram. “Permisi bu.” Safira berujar perlahan sambil membungkuk tubuhnya, kearah bu guru sedang menjelaskan pelajaran. Bu Adelicia Calista tersenyum, menatap gadis itu prihatin. Prihatin dengan apa, yang telah terjadi pada Safira. Safira mempercepat langkahnya, menuju kursinya. Dia melihat ada tatapan benci, dan bahagia dari teman-teman sekelasnya, karena dirinya telah dihukum dan dikeluarkan dari sekolah Sma N Bangko. Segera Safira meraih tasnya, dan melangkah kedepan kelas. “Maaf ibu tidak bisa membantumu,” ujar bu Adelicia perlahan, mengusap-usap kepala Safira. Safira membalas senyum itu, namun hatinya mendidih ingin merobek tubuh Davina dan kawan-kawa
Safira berdiri dihalaman sekolah, menatapnya lama, berat langkahnya untuk meninggalkan sekolah. Dia sangat-sangat berharap impiannya, akan tercapai. Namun semuanya hanya mimpi belaka. Mimpi, yang tak akan pernah menjadi nyata. Safira melangkah tanpa tujuan, rasanya malas sekali pulang kerumah. Terus berjalan, hingga sesuatu membuatnya berteriak kesakitan. Safira terjerembab di aspal, seseorang menabraknya. Safira meringis menatap para laki-laki, tersenyum sinis padanya. Mereka adalah orang suruhan Abraham Adhitama. Beberapa laki-laki itu, menarik tangannya kuat. “Lepaskan.” Safira meronta melepaskan diri. Namun, tidak lama kemudian, dirinya tidak sadarkan diri, mereka meyuntikkan obat bius kelengannya. Beberapa laki-laki itu, membawanya kedalam mobil. Saat sadar, telah mendapati dirinya dalam sebuah kamar, yang luas. Safira sempat kebingungan, bingung dimana sekarang berada, sebelum akhirnya satu persatu anak tangga dia turuni. Terlihat banyak orang dibawah sana, meliuk-liukkan bad