Zivana, memasuki kantor polisi dengan berpakaian serba hitam, dan kerudung menutupi rambutnya.
“Bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Kapolres Haikal saat menyambut kedatangan Zivana.
Yang ditanya menganguk dengan cepat. Mereka bersalaman, sebelum akhirnnya Zivana duduk di kursi bersebrangan di depan meja Haikal.
“Apa yang bisa kami bantu bu?” tanya Haikal dengan ramah.
Zivana menarik napas panjang, terlihat di matanya menampakkan kesedihan yang mendalam. Menceritakan kembali kisah kelam selama 12 tahun dia pendam, bukan lah hal yang mudah.
“12 tahun yang lalu….” ucap Zivana dengan suara tercekat.
Hatinya selalu sakit saat kembali mengingat kejadian yang membuatnya dan anaknya harus kehilangan sosok yang dicintai.
“Terjadi tragedi pembunuhan, yang menjadi korban adalah suami saya, Bagas Hidayatullah…. Dan tersangkanya adalah Fikri Wijaya Kusuma, keponakan saya sendiri….”
“Namun setelah saya pikir-pikir, apakah mungkin bocah lima tahun membunuh pamannya sendiri? Karena itu lah saya datang kesini, saya ingin pembunuh suami saya di temukan dan dihukum dengan berat….” jelasnya.
Zivana kembali menarik napas panjang, kejadian yang paling menyedihkan itu kembali berkelebat di matanya.
“Apakah sebelumnya ibu sudah pernah melaporkan kejadian ini?” tanya Haikal dengan tenang.
Zivana perlahan menganguk, “Tapi, kasusnya di tutup karena tidak cukup bukti untuk menjerat tersangka…. Saya mohon pak, tolong temukan pembunuh suami saya…. Saya yakin, pasti ada dalangnya….”
“Siapa orang yang ibuk curigai membunuh pak Bagas?”
“Pak Barra Rafeyfa Zayan…. Saya sempat melihat beberapa kali, suami saya dengannya berdebat dengan sengit…. Terakhir saat mereka bertemu, dua hari sebelum kematian suami saya, dia sempat mengancam suami saya akan membunuhnya, jika tidak tutup mulut….” jelas Zivana.
“Saat kejadian, ibu dimana dan suami anda sedang dimana?”
“Saya dengan putra saya yang masih berumur 4 tahun, berada didalam rumah Hartawan Wijaya Kusuma, kami sedang mengobrol dan suami saya sedang bermain dengan Fikri Wijaya Kusuma, di taman samping rumah Pak Hartawan Wijaya Kusuma.”
“Kami keluar saat mendengar suara tembakan, dan sudah melihat suami saya sudah tewas di tempat. Saya melihat pelakunya saat itu adalah keponakan saya Fikri Wijaya Kusuma. Yang membuat saya heran adalah, pasti ada seseorang yang meletakkan pistol tersebut di rerumputan taman.”
“Saat melihat cctv, kami melihat sosok pria berpakaian hitam, dan berkaca mata hitam dipinggir taman. Jika dia orang baik, kenapa dia hanya diam saat melihat suami saya tertembak? tolong pak ungkapkan kasus ini.”
“Apakah pak Bagas memiliki musuh atau pernah bermasalah dengan seseorang sebelumnya?”
Zivana mengeleng, “Setahu saya tidak pernah pak, saya beberapa kali melihat suami saya berdebat dengan pak Barra dalam satu bulan terakhir sebelum tewas suami saya…” jelas Zivana, terlihat matanya berkaca-kaca.
“Bisa ibuk ceritakan kapan ibu melihat pak Barra dan pak Bagas beberapa kali bertengkar?”
“Pertama kali saya melihat beliau berdebat saat tidak sengaja saya mendatangi kantor suami saya…. Kami berjanji akan makan bareng diluar…. Saya mendengar perdebatan dengan cukup jelas, pak Barra mengancam suami saya jika suami saya terus mencampuri urusannya. Namun saya kurang tahu apa yang sedang mereka perdebatkan…..”
“Yang kedua, saat suami saya keluar dari kantor, lalu pak Barra menghadang suami saya, dan menarik kerah baju suami saya, beliau juga sempat meninju perut suami saya….” jelas Zivana sejenak terdiam.
“Saat itu ibu ada didekat pak Bagas?” Zivana mengelengkan kepalanya pelan.
“Saya berada cukup jauh dari mereka, saya hanya bisa melihat mereka saling berdebat…. Saya datang karena saya mencurigai suami saya bermain api dengan wanita lain, karena sikapnya suka berubah-ubah.”
“Suami saya sering tidak pulang kerumah, dan sering mendapat telepon dari seseorang malam-malam, dan setiap ada telepon masuk, suami saya langsung meninggalkan rumah….”
“Yang ketiga kalinya, saat mereka bertemu di halaman rumah kami, terlihat juga mereka saling berdebat, saya melihat perdebatan itu di balik jendela rumah kami dan terakhir melalui panggilan telepon, suami saya sempat menyebut nama pak Barra….”
“Dan suami saya bilang “Pak Barra, anda tidak bisa mengancam saya seperti itu, perbuatan anda itu salah. Jika saya dipanggil polisi menjadi saksi, saya akan pergi. Maaf, apa yang anda lakukan itu tidak lagi bisa ditolerin, anda sudah mencemarkan nama baik saya dan melakukan kejahatan dimana-mana. Saya tidak akan pernah membiarkan itu terjadi.” itu kata-kata terakhir yang diucapkan suami saya, sebelum akhirnya mematikan panggilan telepon.
“Mencemarkan nama baik? Apakah ibu tahu mencemarkan nama baik seperti apa yang telah dilakukan pak Barra terhadap pak Bagas?”
“Suami saya pernah terlibat dalam pengelapan uang perusahaan, sebelum akhirnya kasus tersebut adalah fitnah. Karena suami saya memiliki bukti, bahwa dirinya tidak mengelapkan uang perusahaan,”
“Dan sempat merekam pengakuan pak Barra, bahwa dirinya yang menfitnah suami saya….. Namun pengakuan tersebut tidak pernah dia akui dipublik atau pun di karyawan perusahaan, kasus tersebut hilang begitu saja….”
“Apakah ibuk masih memiliki rekaman pengakuan pak Barra tersebut?” Zivana mengelengkan kepalanya. Haikal menghela napas berat.
“Saya tidak pernah menemukan rekaman tersebut… Saya hanya diberitahu oleh suami saya, kalau dia pernah merekam pengakuan pak Barra.”
“Apakah pak Barra telah mengambil rekaman tersebut?”
“Mungkin saja pak….”
“Apakah ibuk bisa memastikan bahwa suami ibuk tidak terlibat dalam pengelapan uang tersebut dan bisa memastikan bahwa beliau tidak berbohong?”
“Saya yakin, suami saya tidak bersalah pak, beliau adalah orang yang baik. Namun sekali lagi saya katakan, sikapnya berubah sebulan sebelum kematiannya….”
“Baiklah buk, saya akan proses laporan ibuk, dan kami akan sesegera mungkin akan mengungkapkan kasus ini….” jelas Haikal.
“Terima kasih pak….” ucap Zivana menyalami Haikal dan segera keluar dari kantor polisi.
Satu Minggu yang lalu….Masalah tak pernah usai selagi kau masih bernyawa, tapi masalah datangnya selalu berbarengan, hingga membuat kita kewalahan. Seperti halnya yang dihadapi oleh Safira, entah dari mana para warga mendapatkan informasi dan entah siapa yang menfitnahnya hingga harus merasakan akibat dari fitnah tersebut.Malam itu adalah malam petaka bagi Safira. Kenapa tidak, malam itu adalah malam terakhirnya dirinya tinggal di rumah Fatma. Malam itu adalah malam yang membuatnya harus terusir, dan di pandang hina oleh para masyarakat jalan Rintis.Fitnah. Ya, salah satu yang membuat dirinya harus lebih waspada terhadap orang-orang yang di temuinya. Fitnah yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.Fitnah yang menyebar dari mulut kemulut membuatnya harus menanggung derita berkepanjangan. Kejadian itu berawal saat dirinya baru saja pulang dari club. Di depan rumah bu Fatma, terlihat banyak sekali orang dan menimbulkan kegaduhan."Usir, Usir, Usir dari sini.
Berkali-kali Safira, mengerjap mata dan menghela napas panjang. Tak lupa dia melihat sekitarnya. “Huh….” Safira menghela napas pendek, saat mengetahui dia sedang berada di kamar kosnya. “Cuma mimpi….” lenguhnya dengan wajah masih mengantuk. Dari sorot matanya tersirat sebuah amarah dan kebencian. Safira mengukir senyum tipis diwajahnya, “Begitu sakitnya luka yang telah kalian beri…. Setelah bertahun-tahun kejadian tersebut, masih terasa sakit di ulu hati ini…. Dan kalian akan membayar apa yang kalian beri, dengan rasa sakit, yang lebih menyakitkan, dari pada yang aku rasakan saat ini….” darahnya seketika bergemuruh, saat dirasanya dendam telah membakar jiwa kemanusiannya. Safira menatap meja belajarnya, meraih handphone nya yang terus saja bordering, membuatnya menjadi kesal, karena barusaja dia sedang membayangnya dengan detail, bagaimana nantinya, dia menghancurkan musuhnya. Dengan parang, gergaji, sinso, dengan pisau berkarat, atau dengan bom? Safira tersenyum sinis, saat memba
“Ardiansyah Putra Abimana, 40 tahun, pencinta wanita, pengedar narkoba jenis sabu, pecandu alcohol, dan yang terakhir memiliki beberapa club untuk memperjualkan barang-barang terlarang, dan menjajakan perempuan penjaja seks, benar?” tanya Abbas menatap dingin Ardian, sedangkan yang ditanya hanya diam. “Jawab, jika tidak ingin ada kekerasan!” “Ya…” jawab Ardian singkat. “Sudah berapa lama anda menjual barang-barang haram ini?” “12 tahun….” jawabnya lagi. “Dimana saja anda sudah membuka club untuk menjual barang-barang terlarang dan melakukan tindakkan prostusi?” “Ada dimana-mana….” “Apakah anda mengenal Randy Miller?” tanya Abbas lagi, membuat ekspresi Ardian berubah yang semula tenang menjadi gelisah. “Tidak…” jawabnya berusaha tenang. “Barra Rafeyfa Zayan?” tanya Abbas lagi. Semakin membuat Ardian menampakkan keterkejutannya. “Tidak….” jawabnya dengan nada bergetar. “Kami tahu kau adalah kaki tangan keduanya atau salah satu nya….” ucap Abbas dengan dingin. “Jika sudah tah
Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan. Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut. “Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas. “Bagus….” imbuh Safira. “Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung. “Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm. “Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak m
Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor. Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas. Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan. Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya. Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat. “Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat,
Saat pagi tiba, Abbas mengikuti pak Dody ke kebun. Abbas membantu mengembur tanah untuk ditamani cabe dan sayuran lainnya. Sedangkan Safira membantu istrinya pak Dody memasak dan membersihkan rumah. Setelah shalat magrib, Safira duduk dikursi teras rumah pak Dodi. Tak lama kemudian, Abbas duduk disamping Safira membawakan dua gelas kopi. “Ayo minum….” ajak Abbas menyeruput kopinya. Safira hanya tersenyum simpul, meraih kopi tersebut dan menyeruputnya perlahan. “Jangan bilang kepada siapapun, kalau kau adalah polisi dan aku seorang agent….” ujar Safira perlahan meletakan kopi diatas meja disampingnya, lalu menatap Abbas yang langsung menganguk menyetujui permintaan Safira. “Lalu, kapan kau mulai menyelidiki kasus tersebut? Siapa orang yang kau curigai?” tanya Abbas menyilangkan kakinya, sambil kembali menyeruput kopinya. “Belum tahu, mungkin secepatnya….” jawab Safira seadanya. “Kau tahu siapa dalangnya?” tanya Abbas lagi. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. “Namun aku harus
Saat pagi tiba Safira sudah bergegas menyiapkan diri melakukan penyelidikan. Safira berjalan sendiri menyusuri jalan demi jalan, kakinya terhenti saat melihat seorang wanita duduk termenung dikursi teras rumahnya. Kaki Safira spontan melangkah mendekati rumah tersebut dan menyapa wanita tersebut dengan ramah. “Assalamualaikum….” ucap Safira tersenyum ramah. Namun tidak ada sahutan dari Nadira. Safira berinisiatif melangkah memasuki teras rumah Nadira, dan berdiri tepat disamping Nadira. “Bagaimana kabarmu?” tanya Safira mencoba ramah, walaupun mencoba ramah bukanlah sifatnya. Sunyi, wanita itu hanya diam, tatapannya lurus kedepan, wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya nampak kurus dan tak terurus, tatapannya kosong. Safira menghela napas pendek, mengusap pundak Nadira. “Saya tahu kamu pasti sangat terpukul atas kematian Ulungmu, tapi apakah kau bisa menceritakan kronologi kematian Ulung mu? Mana tahu aku bisa membantumu menemukan siapa pelakunya.” Tak ada jawaban dari Nadira, kemb
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Safira menghela napas lelah membaca bait demi bait tulisan diary tersebut. Safira menutup laptopnya, dan segera keluar dari kamarnya. “Mau kemana?” hadang Safira saat melihat Fikri keluar dari kamarnya. “Bukan urusanmu.” jawabnya acuh. “Akan memanaskan motor,” ucap Safira meninggalkan Fikri yang hanya bisa mendengus sebal. Dia harus bisa menghindari Safira, dia tidak ingin terlalu dekat dengan wanita itu. Fikri tidak ingin masalalu nya terulang lagi. Bukankah menjaga lebih baik dari pada merusak. Fikri melangkah keluar dan dilihatnya Safira sedang memanaskan motornya. Fikri mendekati Safira, dengan kasar merampas kunci motor dan segera hendak menaiki motor tersebut, namun dengan gerakan gesit, Safira menarik baju Fikri. “Kau tidak akan bisa pergi tanpa diriku. Apa kau ingin disiksa terus oleh ibumu? Apa kau sangat suka ya disiksa oleh ibumu?” ujar Safira ketus. “Bukan urusanmu.” jawab Fikri dingin. “Akan jadi urusanku jika menyangkut dirimu. Apalagi aku sudah ditugaskan untuk
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Safira disebrang telepon.“Silahkan….” jawab Abbas.“Boleh aku minta alamat rumah bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?”“Akan saya kirimkan…..” jawab Abbas. Saat sudah mendapatkan alamat Zivana, Safira segera keluar dari rumah pribadi Fikri. Motornya berhenti disebuah rumah dan mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang wanita keluar membukakan pintu.“Maaf, bolehkah saya bertemu dengan bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Safira ramah.“Maaf bu Zivana tidak ada dirumah…. Bu Zivana belum pulang.” jawab sang Art.“Kapan ya pulangnya?”“Mungkin sore ini, kalau tidak lembur….”“Bolehkah saya masuk dan menunggu bu Zivana? Saya ingin sekali bertemu dengannya.” sang Art hanya menganguk perlahan dan menyilahkan Safira masuk. Sesaat setelah masuk, sang Art nampak menelpon seseorang. Safira mengamati seluruh ruangan tersebut. Dia melihat foto keluarga, Safira mengamati foto tersebut dengan seksama. Safira duduk disofa panjang. Tak lama
"Maksud Anda apa berbicara seperti itu? Anda meragukan pengkapan yang kami lakukan? Kau iri? Sudah tidak percaya lagi oleh pak Haikal?" Alfa tersenyum menyeringai. "Saya tahu, ini semua rencanamu untuk mengetahui isu kalian tentang berita Taqy Shafiullah. Bau busuk rencana sudah tercium kok, hanya menunggu waktu kehancuran kalian saja...." ucap Safira dengan dingin. "Bilang saja kau memihak pada teroris ini. Jika iya, itu sama saja kau membela para teroris. Itu sama saja kau berpihak pada kejahatan dan kau memberi kesempatan bagi para teroris membunuh dan menyebarkan teror lagi....""Jika iya memangnya kenapa? Kau takut seorang Safira Ramadhani berpihak pada teroris? Jika aku ikut menyelesaikan kasus ini, sudah pastikan kau kalah, Alfarezel Arfan.... Kesempatan mu untuk menang hanya sedikit.... Jangan sampai saya turun tangan menangani kasus ini Fa...." Safira tersenyum sinis. Saat melewati Alfa, Safira sengaja menyenggol lengan Alfa dengan kasar. Alfa tampak geram, meninggalkan sel
"Saat itu Reyhan di ancam saat melakukan pemberontakan karena apa yang dituduhkan para polisi itu tidak lah benar...." jelas Alfariz. Safira hanya diam, terus saja mendengar apa yang di ceritakan oleh Alfariz. Pecakapan tersebut terekam kamera tersembunyi yang terpasang di baju nya."Kau, harus ikut kami dan mengakui bahwa kau adalah teroris.... Jika tidak, kau dan istrimu akan kami bunuh...." ancam Alfa menarik paksa Reyhan yang masih meronta melepaskan diri. Reyhan di dorong masuk ke dalam mobil tahanan. Mobil melaju meninggalkan rumah Reyhan. Tiga orang tidak ikut rombongan tersebut, kembali mendekati rumah Reyhan. Mengedor pintu yang terkunci, membuat istri Reyhan semakin panik di balik jendela saat mengintip suami nya di bawa polisi.Gedoran semakin kuat terdengar oleh istri Reyhan, dan berubah menjadi tendangan. Istri Reyhan hanya membeku berdiri membelakangi jendela. Jantung istri Reyhan sejenak terhenti, saat tiga polisi tersebut berhasil membuka pintu dan melepaskan beberapa k
Reyhan Aldhani perlahan keluar dari dalam kamar, sedangkan sang istri duduk dengan panik di atas ranjangnya. Saat keluar, Reyhan langsung di borgol oleh polisi. "Bapak kami tangkap...." ucap Alfa. "Apa salah saya pak? Saya tidak melakukan apa-apa yang bertentangan dengan hukum?" balas Reyhan meronta saat polisi memborgol nya. "Kamu telah melakukan tindakkan teroris.... Mengebom rumah makan X dan menewaskan banyak orang...." jelas Alfa mendorong kasar Reyhan keluar dari rumah nya. "Saya tidak melakukannya pak.... Bapak salah orang...." sanggah Reyhan tidak terima dengan tuduhan tersebut. "Tidak usah melawan dan tidak mengakui perbuatan mu.... Kau bisa membela diri saat di kantor polisi...." jelas Alfa menarik paksa Reyhan masuk ke dalam mobil. Sedangkan istri Reyhan mencoba menahan diri tidak keluar dari rumahnya, karena lebih menuruti perintah suaminya. Mobil tahanan tersebut pun meninggalkan rumah Reyhan. Sang istri hanya bisa menahan tangis saat di lihat nya mobil yang membawa s
"Kamu sudah mendengar berita yang sudah viral di TV kan?" tanya Haikal dengan dingin pada Alfarezel Arfan duduk di kursi depan Haikal."Saya sudah mendengarnya pak...." jawab Alfa. "Misi kali ini, kalian yang selesai kan.... Saya harap kalian bisa menyelesaikan nya dengan mudah...." jelas Haikal. "Siap pak.... Ngomong-ngomong kenapa tidak Safira saja yang menyelesaikan misi ini pak? Bukankan gadis itu adalah orang yang sangat bapak percayai?...." tanya Alfa dengan dingin. "Lakukan saja sesuai perintah.... Safira akan menyelesaikan kasus lainnya...." balas Haikal dengan tegas dan memerintahkan dengan satu jarinya untuk pergi dari ruangannya. Alfa pun keluar dari ruangan pak Haikal dan saat keluar berpapasan dengan Safira. Alfa menatap Safira tajam, "Sepertinya ada yang sudah tidak di percaya lagi menyelesaikan kasus besar...." sindir Alfa dengan senyum sinis. Safira menghela napas pendek. "Karena pak Haikal mungkin udah bosan dengan dia yang sok baik, dan menyelamatkan para tahana
Di sebuah ruangan rumah Athailah, "Sebarkan isu-isu, viral kan agar kasus ayah saya bisa teralihkan dan setelah semua masyarakat dan para netizen fokusnya terpecahkan, saat itu lah kita akan menyogok para polisi.... " jelas Athailah. Mengepal tangannya dengan geram, mata nya tajam melihat tiga anak buahnya.“Baik bos...” ucap tiga anak buah nya dengan tegas.“Cepat buat keributan.... jangan sampai gagal....” bentak Athailah. Tiga anak buah Athailah pun segera meninggalkan ruang kerja Athailah.Tiga pria tersebut mendatangi sebuah rumah makan. Setelah beberapa menit mengamati situasi sekitar, mereka pun hendak melemparkan sesuatu ke arah rumah makan tersebut, namun karena kemunculan lima orang berjubah putih dari dalam rumah makan, membuat tiga pria tersebut menghentikan aktivitasnya."Assalamu'alaikum.... " sapa lima pria tersebut dengan ramah. Namun bukannya menjawab salam lima pria tersebut, tiga pria itu hanya diam dan memasang wajah dingin, hingga lima pria tersebut memasuki mobil
“Bagaimana pendapat anda mbak, tentang terlibat nya anda dalam penangkapan pak Taqy Shafiullah? Apakah benar anda terlibat dalam penangkapan tersebut? Benarkah anda di bayar mahal oleh polisi? dan anda juga seorang mata-mata?” tanya para wartawan pada Safira saat di temui di acara bedah buku sebagai pemateri.Safira hanya tersenyum, “Itu semua tidak benar.... Saya hanya di undang untuk bernyanyi di acara tersebut.... kapan pula saya menangkap beliau? sedangkan saya sibuk bernyanyi menghibur tamu undangan hingga acara selesai.... itu hanya fitnah dari orang-orang yang tak menyukai saya, atau itu hanya pengalihan isu agar masalah inti tersebut perlahan-lahan di hilangkan dari media....” jawab Safira dengan tenang. Setelah itu dia meninggalkan gedung acara dengan menaiki motor nya.Sedangkan ke esok pagi nya, seorang pengacara dan Athailah mengajukan melaporkan Safira ke polisi atas tindakkan tidak menyenangkan, dan fitnah terhadap ayahnya.“Kami akan melaporkan beliau atas pencemaran na
Safira baru saja pulang dari kampus, merasa sangat lelah saat sampai kos. Baru saja, dia duduk di kursi plastik di dalam kamar kos nya, sebuah ketukan membuatnya mendengus kesal. Safira segera bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Dia mengerutkan keningnya, saat melihat pengantar paket memberikan sebuah paket padanya. Safira menatap curiga map amplop tersebut, takutnya teror lagi. Perlahan Safira membukanya, dan terlihatlah hanya berisi data-data kriminal target yang akan di tangkapnya.“Misi kali ini adalah kau harus menyamar sebagai penyanyi di sebuah acara pertunangan seorang anak dari seorang pembunuh berantai.... kau harus bisa menangkapnya, jika tidak siap-siap untuk di pecat....” jelas jendral Haikal di telepon. Safira hanya menghela napas kasar, akhir-akhir ini pak Haikal sering bersikap tidak ramah padanya.“Baik pak....”Safira meletakkan hp nya di samping meja belajarnya, dia memeluk erat boneka Doraemon dengan erat. Safira mengukir senyum saat bayang-bayang masa lalu be