Selain menikmati pekerjaannya yang bisa dibilang sedang berada di puncak karier. Tak banyak kegiatan yang Saka lakukan, meskipun sudah sekian lama ia tidak pernah kembali ke kita asalnya. Rupanya tak menjadikan pria itu merasa rindu. Namun, entah kenapa setelah pulang dari rumah Pak Bowo untuk terakhir kali Saka merasa berbeda.
Ia mendadak ingin pulang dan menemui ibunya. Ia hanya merasa perlu mengutarakan apa yan gselama ini belum sempat ia bciarakan pada wanita itu. Mungkin saja Eca juga sudah keluar dari penjara. Namun, sepertinya ia juga tidak punya nyali untuk menanyakan kabar adiknya. "Ka, sorrylah kita cuma bercanda kok," ucap Ata yang tiba-tiba saja sudah berada di samping Saka. Saka yang sejak tadi larut dalam lamunannya yang entah apa, sampai tidak menyadari kalau Ata berjalan di depannya, padahal ia juga cukup lama bolak-balik mencari Saka. "Kapan datangnya? Kayak jin aja, tahu-tahu muncul." "Enak aja, udah 3 balik kayaknSadar jika orang di hadapannya adalah Saka. Dara yang memang sudah tidak bertenaga hanya tersenyum saja. Sampai kemudian ia kehilangan kesadarannya. Sontak saja Saka yang panik, langsung menggendongnya."Mas, jangan sembarangan ya! Mas mau melakukan apa? Ini rumah sakit loh!"Asisten Dara sontak saja panik dengan apa yang baru saja dilakukan Saka. Namun, pria itu tak menggubris teriakan gadis di sebelah Dara. Ia lantas membawa wanita itu ke ruangan IGD."Mas denger saya enggak sih, lain kali jangan nyentuh orang sembarang. Mas jangan sok kenal sama bos saya. Dia enggak suka disentuh sama lawan jenis!""Kamu urus aja bagian administrasinya!" ucap Saka. Saat Saka berhasil mendapatkan ranjang untuk Dara."Maaf Bapak suaminya?" tanya dokter jaga di sana."Hm, sa-saya bukan. Mantan suami sih.""Mohon maaf, Bapak bisa tunggu di luar dulu!"Akhirnya Saka juga tak punya banyak pilihan ia hanya bisa pergi dari
"Apa sih kamu anak kecil. Enggak usah nebak-nebak yang enggak bener!""Ya ampun, umurku memang muda, tapi aku paham beginian. Aku juga pernah pacaran."Mela malah membanggakan diri."Jangan zalim sama diri sendiri, bangga kok sama dosa," ucap Dara sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya."Astaghfirrullah!"Mela sontak saja menepuk bibirnya dengan sedikit kasar."Enggak sekeras itu juga kali Mel naboknya!" pinta Dara yang ikut terkejut dengan refleks Mela yang menyakiti diri."Ya Allah Mbak, untung ya di dunia yang luas ini aku dipertemukan sama bos sebaik ini.""Apa lagi sih Mel, mulai deh.""Ya emang baik Mbak, selain ngasih kerjaan juga enggak banyak, yang terpenting Mbak juga selalu mengingatkan aku sama kebaikan. Jadi aku selalu inget dosa, kalau mau ngelakuin apa. Makasih banyak ya Mbak."'Pantas saja Mas Saka enggak bisa move on, orang sebaik ini.'Kali ini Mela mengucapkann
Saat itu Saka tahu ke arah mana ucapan Dara tertuju. Siapa lagi kalau bukan ibu dan kakaknya yang masih berada di kota kelahirannya. Namun, saat Saka larut dalam lamunan dering di ponselnya seketika membuyarkannya. Rupanya ada panggilan dari Ata.[Ke sini napa Bos, malam minggu juga di rumah aja!] ajak Ata saat itu.[Nongkrong di mana?][Biasalah di Basecamp.][Oke, meluncur.]Entah kenapa setiap kali membahas tentang ibu dan kakaknya sampai hari ini Saka terus saja menghindar. Tanpa ia sadari rupanya Dara masih memperhatikannya di balik kaca jendela di lantai 5 kamar yang ia tempati."Mbak, mau langsung istirahat?" tanya Mela yang saat itu memberikan segelas air hangat pada Dara."Enggak, masih ada kerjaan yang perlu diselesaikan.""Mbak yakin kuat? Tadi dokter 'kan bilang harus banyak istirahat.""Kalau enggak dikejar sekarang, besok enggak akan sempat. Sebentar kok, cek laporan doang. Udah akhir bulan juga.""Saya bantu ya.""Gak perlu
Mereka dulu satu sekolah, kadang-kadang Dara sering mengajak Febi untuk bertemu, tetapi lain waktu ia malah menceritakan kalau ada salah satu pasiennya yang tidak punya keluarga, setelah dilihat dari foto yang Febi ambil jelas saja Dara shock bukan main. Ternyata orang yang sering diceritakan Febi adalah Bu Lusi. Tanpa pernah Febi tahu kalau Bu Lusi adalah mantan mertuanya. Kadang-kadang Dara juga sering mengirim menitipkan makanan untuk para lansia di sana. Ternyata ia masih saja tidak bisa mengabaikan orang yang pernah melahirkan orang yang dulu pernah mengisi relung hatinya. Namun, Dara selalu meminta agar Febi mengabari jika ada lansia yang sakit. Sebenarnya semua itu ia lakukan untuk mengetahui kabar dari Bu Lusi. Dara hanya tidak ingin Febi tahu dan malah bersikap acuh pada Bu Lusi, ia sedikit banyak tahu masalah apa yang dilakukan mantan mertuanya. "Ra, sorry ya aku sibuk banget." "Sekarang Bu Lusi di mana?" "Masih di rumah sa
Sungguh bukan hal seperti ini yang Saka harapkan. Kenapa di saat ia ingin memperbaiki hubungan dengan ibu kandungnya, malah tak diberikan kesempatan. Melihat Saka yang tampak Ragu, akhirnya Dara juga hanya bisa meyakinkannya."Aku tahu susah banget buat ikhlas, tapi seenggaknya Abang bisa temuin ibu dulu!""Enggak Ra, kamu salah. Justru Abang ke sini karena udah kalah. Abang mau memperbaiki semuanya, tapi--""Alhamdulillah, masuklah. Aku tunggu di sini."Saat itu tak mau menunggu pertemuan ibu dan anak yang sudah lama tak berjumpa Dara memilih untuk duduk di sofa. Ia sengaja memberi waktu berdua untuk mereka saling melepas rindu dan mungkin sekaligus dengan perpisahan. Memang berat, tetapi tim dokter pun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengobati Bu Lusi, sayangnya usaha mereka hanya bisa sampai di titik ini."Bu, ini Saka. Maafin Saka ya Bu, harusnya enggak biarin ibu sendirian selama ini," ucap Saka dengan penuh penyesalan.Melihat tubuh ibunya yang
"Santai aja, Bang!" Saat itu Dara juga tampak membenarkan posisi duduknya, lalu sesekali mulai memegangi kepalanya. "Kamu pusing?""Enggak.""Kalau lagi kurang sehat, kamu pulang aja. Lagian ini juga udah selesai.""Iya Mbak, Dara. Tenang aja ada kami kok yang siap bantu-bantu di sini. Udah Mbak Dara istirahat aja, itu badannya panas banget. Apa mau minum paracetamol, ini saya ada stok di rumah," ucap Bu Hani.Ia memang paling perhatian di antara tetangganya lain, walaupun terkadang bicaranya suka sekali kebablasan. "Enggak usah Bu, saya juga bawa obatnya di tas.""Nah 'kan berarti emang lagi kurang sehat. Kenapa bawa-bawa obat di tas?""Alhamdulillah sekarang udah lebih baik.""Mas Saka udah antar pulang aja, kasihan itu pucat banget!" ucap Bu Dewi.Umur mereka bisa dibilang yang paling muda di kompleks ini, tetap tak menjadikan Saka dan Dara diasingkan. Tik ada senioritas di sini, justru mereka kompak dan saling bahu membahu setiap ad
Saka malah terkekeh, sebenarnya sampai hari ini ia masih bertanya-tanya kenapa Dara selalu melarangnya untuk berjalan kaki sendirian, padahal ini menyenangkan. Sesekali hidup tanpa kendaraan, apa salahnya? Pikir Saka saat itu.Namun, siapa yang menyangka kalau tingkah Dara yang seperti ini seperti memberikan sedikit harapan bagi Saka. Kenapa rasanya wanita itu bersikap seperti masih menyimpan perasaan padanya.“Ah, masa sih, dia masih suka sama aku? Mana mungkin? 10 tahun bukan waktu yang sebentar,” ucap Saka sembari menyusuri jalanan perumahan yang tampak sepi.Namun, karena tingkahnya ini ia malah dicurigai sebagai pencuri oleh petugas keamanan di sana. Lihat saja tak berselang lama, salah seorang satpam mendatanginya dengan sepeda motor.“Mas ngapain di sini? Abis dari mana dan mau ke mana?” tanya Pak Kholik.“Sa-saya abis nganterin istri, hm maksudnya mantan. Ya Allah maksudnya teman saya.”“Nganterin siapa ya?”“Dara, yang rumahnya warna pink.”K
Hari itu setelah 10 tahun berlalu, untuk kali pertama Saka kembali mendatangi Cafe yang dulu menjadi tempat pertama kalinya memulai berkecimpung di dunia kuliner. Banyak yang berubah di sini, tetapi rupanya Dara masih mempertahankan beberapa menu yang memang sudah ada sejak dulu. Hanya saja memang banyak tambahan menu baru yang menyesuaikan dengan selera pelanggan saat ini.10 menit berlalu, seorang pramusaji menghampiri Saka.“Ya Allah ini Pak Saka ‘kan?” tanya Hermawan.Ia merupakan karyawan yang sudah bekerja sejak tempat ini masih dikelola oleh Saka.“Iya, Mas Hermawan masih di sini?”“Alhamdulillah, Bapak ke mana aja. Saya baru lihat lagi, udah lama banget loh.”“Biasalah, nyari yang enggak ada. Ramai ya Wan di sini?”“Alhamdulillah sejak ada perumahan baru cafenya jadi ramai. Oh iya, Bapak udah pesan?”“Oh gitu, udah Wan. Lagi nunggu kok ini.”Tak lama kemudian pramusaji mendatangi meja Saka dengan makanan dan minuman yang dipesan sebelumnya
"Abang mungkin bisa nitip ke penjaga makam kalau Mbak Eka ke makam, biar telepon kamu atau minta nomor hpnya.""Kamu yakin Dek, kalau Mbak Eka bakal ke makan secara rutin.""Aku sih mikirnya Mbak Eka kalau memang bener-bener berubah, seharusnya bakal ke sana."Cara ini mungkin membutuhkan banyak waktu, tapi faktanya mencari Mbak Eka juga sesulit itu. Saka juga sudah menanyakan pada orang-orang di sekitar rumahnya, tapi tak ada yang pernah menemui Mbak Eka selain orang-orang yang rumahnya dekat pemakaman. Jadi, Saka hanya bisa menitipkan pesan pada temannya yang kebetulan punya rumah dekat makam juga, untuk memberinya kabar kalau Mbak Eka ziarah.Sebulan berlalu, akhirnya Saka mendapatkan informasi kalau Mbak Eka ziarah ke makam ibu. Tanpa pikir panjang Saka yang kala itu masih berada di rumah makan langsung meluncur ke sana. Untungnya temannya yang dititipkan pesan oleh Saka mencoba untuk menahan Mbak Eka dengan mengajaknya bicara banyak hal, alhasil begitu Saka samp
"Dara, bagaimana kabar kamu?"Kala itu wajah semringah Dara langsung berubah. Rupanya ia masih belum melupakan kejadian di masa lalu."Mbak mau ngapain ke sini? Mita udah enggak ada, tolong jangan ambil anakku lagi."Dara mungkin sudah mencoba mengiklaskan apa yang terjadi di masa lalu, tetapi siapa yang menyangka kalau ketika dihadapkan pada orang yang bersangkutan secara langsung. Ada sedikit rasa khawatir yang ia sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa terjadi."Dara, maafin Mbak. Aku datang ke sini bukan mau ambil anak kamu. Mbak cuma mau silaturahmi aja.""Bang...."Kala itu Dara menatap Saka dengan wajah yang nanar. Rupanya Saka pun demikian, kenyataannya pria itu masih sedikit khawatir kalau perempuan ini punya niat yang tidak baik. Dari banyaknya waktu kenapa Mbak Eka harus datang tepat kala Dara baru saja melahirkan. Siapa juga yang tidak akan menaruh curiga."Mbak sebaiknnya kita bicara di luar aja ya, tunggu sebentar."Kala itu Saka jug
"Apa aku hamil ya?""Hah, Adek serius? Emang udah telat?""Udah 2 bulan sih enggak halangan.""Loh, kenapa enggak bilang Sayang?""Aku enggak mau aja bikin Abang berharap kalau beneran hamil.""Ya udah nanti di sana paling diperiksa. Apa mau beli test pack aja?""Boleh.""Ya udah nanti mampir ke apotek sebentar, Abang belikan buat kamu.""Makasih, ya!"Dara mendadak tak bisa tenang, jantungnya bahkan berdentum-dentum tak karuan, membayangkan jika ia harus kembali mengecewakan Saka. Entah kenapa rasa tidak tega, melihat Saka begitu bersemangat tatkala pria itu membelikan alat tes kehamilan untuknya."Apa pun hasilnya, sama sekali enggak akan mengurangi rasa cinta dan sayang Abang ke kamu."Dara hanya tersenyum tipis, jelas di hatinya ia merasa khawatir kalau hal serupa akan kembali terulang. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Ia masih hafal bagaimana rasanya hamil dan yang tengah ia rasakan saat ini sama persis.Di toilet Dar
Begitu Dara kembali untungnya keadaan sudah seperti semula. Rey sudah meninggalkan meja mereka, tetapi sepertinya Saka masih kesal dengankehadiran pria itu di sini.“Abang kenapa sih kok cemberut gitu? Ada yang bikin kesel?” tanya Saka.“Udah enggak ada sih sekarang, kita pulang aja sekarang yuk!”“Ayo! Ini juga udah siap kok.”Merasa Saka tampak terburu-buru, hal ini rupanya membuat Dara smenjadi semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya disembunyikan suaminya.Terbukti di perjalanan sampai mereka tiba di rumah pun Saka lebih banyak diam.“Abang, kenapa? Beneran enggak mau cerita?” tanya Dara kala mereka sudah sampai di rumah.Awalnya Saka tidak ingin menceritakan hal ini, ia bahkan tampak menatap istrinya hingga cukup lama. Seolah tampak begitu berat.“Enggak masalah kalau belum mau cerita sekarang atau Abang enggak mau cerita sama sekali. Adek enggak akan maksa.”“Abang tadi ketemu Rey di resto.”“
“Hehe, iya Sayang. Maaf. Ya udah sekarang kita ngapain?”“Keluar aja yuk.”“Abang enggak ada mobil.”“Mobil aku juga mobil Abang juga. Itu juga yang beli Abang, akukasih sticker aja makanya ganti warna.”“Kamu tuh ya, suka banget sama warna pink. Emang semuanya haruspink?”Kala itu saking gemasnya, Saka malah mencubit pipi istrinya.Sayangnya, keinginan mereka untuk jalan-jalan harus tertunda, karena banyak halyang harus diurus, terutama rumah mereka yang masih berantakan.Pada akhirnya mereka baru bisa jalan-jalan dengan tenang keesokanharinya. Ata juga sudah kembali ke Pontianak, karena memang ia hanya ambil masacuti 2 hari saja. Jadi di rumah ini hanya ada Saka dan Dara. Orang tua Darajuga sudah kembali ke rumahnya, Tante Disa memutuskan untuk memperjuangkanpernikahannya, meskipun ia tahu kali ini tidak akan mudah.“Sayang, hm kamu kapan bisa ke Pontianak juga?”“Kapan aja bisa. Sekarang juga boleh.”
“Aku duluan!”Sontak saja Dara langsung berjalan cepat kearah toilet. Di momen itu setelah menuaikan salah sunah pengantin, akhirnyarasa rindu mereka yang selama ini hanya bisa terpendam benar-benar terbayar.“Makasih banyak ya Sayang, maaf dulu Abanggagal jadi suami yang baik buat kamu.”“Aku juga bukan istri yang baik buat kamu.Yang lalu biarlah berlalu, kita hidup di masa sekarang. Aku yakin Allah pastienggak akan kasih ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.”“Benar, tapi jujur ujian kita berat banget.”“Maafin aku ya, dalam hal ini aku jugamengambil peranan yang cukup banyak. Aku bikin Abang memusuhi keluargasendiri.”“Enggak Sayang, kamu sama sekali enggak perluminta maaf. Enggak ada asap kalau enggak ada api. Abang sudah mencoba berdamaisama semuaya. Semoga kali ini kita tetap bisa sama-sama dalam menghadapi ujianapa pun.”“Aamiin.”Sedang asyik mengobrol pintu kamar merekamalah diketuk dari arah luar.
“SAH!”Mendengar kalimat itu tentu saja membuat Dara yang sejak tadibegitu tegang mendadak lega. Kala itu ia digandeng Via dan Febi menuju kehalaman rumah. Mereka mengadakan pernikahan itu di rumah lama. Sepertidihidupkan kembali setelah sekian lama mati suri, melihat Saka yang lengkapdengan beskap khas sunda membuat Dara tak kuasa menahan haru. Begitupun Sakayang melihat wanitanya tampak anggun dengan balutan kebaya panjang denganhiasan siger sunda di kepalanya, menambah kesakralan acara kala itu.Ia tahu sampai dititik ini tidak mudah, ada banyak hal yangdilewati. Begitu banyak kerinduan yang selama ini tak pernah bisa diungkapkan.Tak pernah terbayangkan Saka akan kembali mengalami momen seperti ini lagi.Rasanya memimpikannya saja ia tak pernah berani. Saka tahukesalahannya pada Dara terlalu besar. Imam yang seharusnya bisa melindungimakmumnya, yang terjadi di kehidupan sebelumnya justru ialah yang memberikanluka pada mereka.Kini setelah berja
“Pak, apa enggak sebaiknya antar Via ke sekolah dulu?” tanya Dara yang mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan saat ini.“Buat apalah, ojek ada. Disa juga bisa antar pakai motor. Udah enggak usah dipikirkan.”Pak Toro malah terlihat masa bodo dengan istrinya yang meninggalkan hotel dengan wajah yang masam.“Tapi, tadi Tante Disa kayaknya marah banget. Aku cuma enggak mau aja Yah, pulang dari sini kalian malah berantem lagi kayak semalam.”“Asal kamu tahu Dara, enggak hari ini aja kok kita berantem. Hari-hari dia sering banget ngajak berantem. Maafin Bapak ya, harusnya dulu minta pendapat kamu dulu sebelum memutuskan buat menikah sama perempuan enggak jelas itu.”“Istighfar Pak, hm ini minum dulu! Biar agak tenang!”Kala itu Dara menyodorkan segelas air untuk Pak Toro. Saka juga tidak berani membuka suara. Ia tahu masalah ini bukan ranahnya ikut campur.“Nak Saka, maaf ya harusnya kita enggak bicara di tempat ini.”“Enggak masalah Pak, saya di mana aj
Tak jauh dari rumah masa kecilnya, ada sebuah penginapan untungnya masih ada kamar kosong. Jadi Dara tidak perlu berlari terlalu jauh. Sebenarnya wanita itu sudah mempersiapkan hal ini sejak lama, kalau keluarganya akan memperlakukannya dengan buruk. Hanya tetap saja dihadapkan dengan situasi secara langsung, Dara tetap saja ikut larut dalam emosinya. Ia tidak pulang setiap hari, bahkan bisa terhitung hari dalam setahun. Namun, kenapa bagi ibu sambungnya hal itu seperti beban. Ia merelakan tempat tidur dan semua barang yang ada yang ada di kamarnya pun untuk adik-adiknya, tetapi itu sama sekali tak mengubah apa pun bagi wanita paruh baya itu.~Ketika di lobi tanpa sadar Dara menitikkan air matanya. Ia sudah berusaha menahannya sejak tadi, tetapi tetap saja. Akhirnya demi menutupi penampilannya yang kacau, Dara memilih untuk memakai kaca mata menuju kamarnya. Kala itu ia memang tak membawa banyak baju, jadi kali ini Dara hanya memakai tote bag berukuran sedang yang ber