Andini tak kuasa mulai memperhatikan Surya. Meski saat ini hanya mengenakan pakaian dari kain goni, lekuk otot di tubuhnya tetap tampak samar-samar.Tatapannya setajam elang dan bekas luka di wajahnya malah menambah kesan garang pada wajahnya yang sebenarnya cukup tampan. Dia bahkan bisa membunuh beruang. Kalau pria ini ingin menyakitinya, tentu sangat mudah.Namun Andini merasa, pria ini bukan orang jahat.Orang-orang desa pun selalu bicara baik tentangnya, bahkan bisa dibilang, dia adalah orang yang sangat baik. Kalau memang orang baik, maka seharusnya dia tidak akan memaksa orang lain.Andini pun menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Kak Arjuna, aku nggak ingin menikah. Uang ini nggak bisa aku terima."Surya menatap Andini dengan ekspresi terkejut. Langit telah gelap sepenuhnya dan satu-satunya cahaya di ruangan berasal dari lampu minyak. Dia tidak bisa melihat wajah Andini dengan jelas, tapi bisa melihat mata beningnya yang tampak gelisah dan panik.Surya langsung me
Siapa sebenarnya identitas wanita ini?....Saat Kalingga kembali dari pasukan pengawal istana, dia langsung menuju ke ruang kerjanya. Namun siapa sangka, begitu pintu dibuka, dia langsung melihat Rangga di dalam.Tatapannya sedikit menggelap, tapi dia tetap berjalan mendekat seolah tak terjadi apa pun dan bertanya datar, "Kenapa kamu ada di sini? Bukankah seharusnya kamu mengawasi daerah Sungai Mentari?""Nggak usah, aku sudah suruh orang untuk mengawasinya," jawab Rangga dengan nada datar. Namun, sepasang matanya menatap Kalingga dengan tajam.Melihat pandangan Kalingga menyapu ke arah meja sekilas, Rangga mendengus dingin dan mencibir, lalu menjepit selembar surat dengan dua jarinya. "Kakak lagi cari ini?"Wajah Kalingga langsung menggelap, tapi dia tidak berkata apa-apa. Itu adalah surat dari bawahannya yang diutus ke cabang Sungai Mentari. Surat seperti itu datang setiap hari dan isinya selalu sama ... belum ditemukan.Namun, senyum mengejek di sudut bibir Rangga semakin menjadi.
Tinju itu mendarat keras di wajah Kalingga. Pukulan itu membuat tubuh Kalingga terhempas ke samping. Malika yang berdiri di belakang Kalingga pun menjerit kaget, "Kalingga!"Dia buru-buru maju dan menopang tubuh Kalingga. Matanya seketika basah oleh air mata saat memandang Rangga dengan penuh kemarahan. "Kamu sudah gila! Kenapa kamu nyerang kakakmu sendiri?!"Rangga sendiri tidak menyangka Malika akan muncul tiba-tiba. Padahal pukulan tadi bisa saja dihindari oleh Kalingga. Namun jika Kalingga menghindar, yang akan terkena pukulan itu adalah Malika.Menyadari hal itu, dahi Rangga mengerut dalam. Pada saat itulah amarah yang membakar hatinya perlahan mereda dan pikirannya mulai tenang.Darah mengalir di sudut bibir Kalingga akibat pukulan itu. Malika membantunya bangkit sambil mencemaskan keadaannya, "Kalingga, bagaimana? Kamu nggak apa-apa?"Kalingga menggelengkan kepala sedikit, lalu melirik Rangga sekilas. Meski diliputi amarah, Rangga tetap menahan tenaganya. Kalau tidak, bisa jadi
Di dalam hati Malika, pada akhirnya tetap menyimpan rasa bersalah.Akan tetapi dia juga tahu, sebesar apa pun penyesalan dan air mata yang dia miliki, semua itu sudah tak ada gunanya lagi. Sementara itu, Rangga keluar dari halaman tempat tinggal Kalingga dan langsung berjalan menuju gerbang kediaman.Namun belum jauh melangkah, dia langsung melihat Abimana yang berlari tergesa dari arah luar.Rangga terkejut dan segera menyambutnya. "Apa ada kabar soal Andini?"Namun tak disangka, Abimana langsung mencengkeram kerah bajunya dan membentak, "Dianti di mana?"Dahi Rangga langsung berkerut dalam. Dia menepis tangan Abimana dengan kasar, wajahnya berubah dingin. "Tanya saja pada Kaisar!"Dianti diasingkan ke Provinsi Sawala adalah perintah langsung dari Kaisar. Itu bukan urusannya.Namun, Abimana kembali mendekat dengan penuh emosi. "Dianti menghilang! Para petugas yang mengawalnya bilang, semalam dia diculik! Itu pasti kamu, 'kan?!"Rangga mendorong Abimana keras. "Untuk apa aku culik dia?
Abimana pulang ke rumah dalam keadaan terhuyung-huyung. Begitu masuk ke dalam, dia langsung melihat Kresna. Melihat Abimana kembali, wajah Kresna tampak penuh kekhawatiran. "Bagaimana? Apa kata Rangga?"Mata Abimana tampak memerah. "Dia bilang ... Ayah yang menyuruh orang menculik Dianti."Kresna sama sekali tidak menyangka bahwa Rangga bisa langsung menebaknya. Seketika wajahnya berubah panik. "Itu ... itu omong kosong! Jangan percaya kata-katanya!"Namun, bagaimana mungkin Abimana tidak melihat kegugupan ayahnya di saat ini?Saat itu juga, Abimana membentaknya, "Ayah sudah gila? Kalau ini sampai ketahuan sama Kaisar, seluruh keluarga kita akan mati!"Abimana benar-benar tidak menyangka. Tadinya dia mengira Rangga pelakunya, bahkan sampai mengejarnya untuk menuntut keadilan. Tak disangka ... ternyata ayahnya sendiri yang bertindak gegabah."Jangan keras-keras!" Kresna juga mengecilkan volume suara. Namun setelahnya, dia hanya bisa menghela napas panjang."Ayah bisa apa? Sejak tahu Dia
Melihat Dianti harus menerima hukuman, Abimana juga merasa sedih. Dia pun tak tega membayangkan Dianti harus menderita dan akhirnya mati dalam keadaan menyedihkan. Dia juga percaya bahwa Dianti telah ditipu oleh ibunya sendiri. Dia percaya bahwa Dianti sebenarnya tidak bersalah.Namun ....Andini-lah yang paling tidak bersalah di antara mereka semua!Orang yang paling dia sakiti bukanlah Dianti, melainkan Andini!Di dalam hatinya, Andini adalah orang yang seharusnya berada di posisi pertama. Memikirkan hal itu, langkah Abimana terhenti. Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik dadanya.Bungkusan itu diikat mati, diselipkan dekat jantungnya, dan telah menyerap kehangatan tubuhnya. Saat ujung jarinya menyentuh bungkusan itu, rasa nyeri yang tertahan di dada perlahan menyebar dan menyelimuti hatinya.'Andini, tenanglah. Kakak pasti akan menemukanmu. Entah kamu masih hidup atau sudah tiada, Kakak pasti akan membawamu pulang.'....Saat pagi menjelang, Andini baru tahu bahwa orang
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la