Pada saat bersamaan, jauh di Desa Teluk Horta yang berjarak 300 mil dari ibu kota, Andini masih terpaku menatap gelang giok yang telah pecah itu. Dia bukan tipe orang yang suka terlalu larut dalam satu hal. Namun, saat melihat gelang itu pecah, perasaannya tentu saja hancur dan sedih.Namun jika dipikirkan kembali, dirinya bisa hanyut dari ibu kota sampai ke tempat ini dan tetap selamat, mungkinkah itu karena gelang pemberian Ajeng yang melindunginya dari bencana?Pemikiran itu membuat hatinya terasa makin pedih, tetapi juga sekaligus menimbulkan perasaan hangat dari dalam hatinya. Entah mengapa, Andini merasa bahwa di balik semua ini, Byakta lagi-lagi melindunginya.Sementara itu ....Arjuna, atau lebih tepatnya, Surya, sudah duduk kembali di depan tumpukan kayu bakar. Dia mengangkat kapak dan menyusun kayu dengan rapi. Setelah terdengar suara kapak ditebaskan, kayu di hadapannya telah terbelah dua.Tanpa sadar, dia menoleh ke arah rumah. Jendela kayu itu terbuka setengah, samar-samar
Tepat saat itu, dari dalam rumah tiba-tiba terdengar suara pecahan yang nyaring.Prangg!Surya menghentikan gerakannya sejenak, lalu meletakkan kapak, bangkit dan berjalan menuju pintu rumah. Tubuhnya sangat tinggi dan besar. Begitu berdiri di ambang pintu, sebagian besar cahaya dari luar langsung terhalang dan membuat dalam rumah seketika menjadi jauh lebih gelap.Andini mendongak menatap Surya, rasa bersalah terpancar di matanya. "Maaf, tadi aku mau minum, tapi tanganku licin ...." Jadi, gelas itu jatuh dan pecah. Pecahannya berserakan di lantai.Surya melirik ke arah serpihan di dekat kaki Andini, lalu melangkah masuk. Dia menurunkan lengan bajunya yang sempat digulung saat membelah kayu dan mengulurkan tangan kanannya kepadanya. "Kamu duduk dulu, biar aku yang bereskan."Kaki kiri Andini tidak bisa menyentuh lantai dan sekarang di sekitar kaki kanannya penuh dengan pecahan. Kalau sampai tidak sengaja menginjaknya, akibatnya bisa fatal.Andini pun tidak banyak basa-basi. Dia menyent
Di ibu kota, dalam istana.Kali ini Kalingga datang ke istana atas panggilan langsung dari Kaisar.Di aula megah yang luas, para pejabat sipil dan militer berdiri berjajar di kedua sisi. Kalingga yang mengenakan pakaian rakyat biasa, melangkah masuk ke aula dengan langkah mantap.Dia terus berjalan hingga mencapai tengah aula. Jubahnya sedikit terangkat dan dia berlutut dengan satu lutut ke lantai. "Hamba memberi hormat kepada Yang Mulia Kaisar."Saat itu, di sampingnya juga ada seseorang yang sedang berlutut.Sandika.Begitu melihat Kalingga, keringat langsung mengucur di dahi Sandika. Api amarah berkobar dalam hatinya. Namun di hadapan Kaisar, dia bahkan tidak berani melirik Kalingga sedikit pun.Terdengar suara Kaisar yang tegas. "Sandika gagal menjalankan tugas, mulai hari ini dicopot dari jabatan dan dicabut seluruh tunjangannya! Mulai hari ini, jabatan Panglima Pengawal Istana diserahkan kepada Kalingga!"Mendengar hal itu, Kalingga perlahan memberi hormat. "Hamba menerima titah.
Menatap punggung Rangga yang perlahan menjauh, Kalingga hanya berdiri diam. Sorot matanya dalam dan tak terbaca. Barulah kemudian dia membalikkan tubuh dan berjalan menuju ruang kerja Kaisar.Di dalam sana selain ada Kalingga, hadir pula Adipati Kresna.Sudah cukup lama waktu berlalu sejak kejadian itu dan Kresna kini tampak jauh lebih tua. Dulu hanya pelipisnya yang memutih, kini seluruh rambutnya sudah diliputi uban.Melihat Kresna seperti itu, hati Kaisar juga ikut terasa tidak nyaman. Dia tak kuasa bertanya, "Ceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi?"Kresna tidak menjawab.Kalingga maju selangkah dan memberi hormat, lalu berkata, "Lapor, Kaisar. Tiga tahun lalu, Adipati Kresna salah mengenali orang. Dia menerima Dianti yang mengaku sebagai putri kandung Keluarga Biantara.""Sementara putrinya yang asli, Andini, justru dianggap sebagai anak angkat. Itu adalah bentuk kebohongan kepada Kaisar. Akibatnya, putri asli Keluarga Biantara menderita selama tiga tahun dan kini nasibnya bahkan
Setelah mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Kaisar, Kresna pun mundur dan pergi.Kini, di dalam ruang kerja Kaisar hanya tersisa Kalingga dan Kaisar. Melihat raut wajah Kalingga yang tampak agak dingin, Kaisar tertawa tipis. "Kenapa? Nggak puas? Kamu benar-benar mau menghancurkan Keluarga Biantara sampai tuntas?"Kalingga segera memberi hormat dan menjawab dengan suara rendah, "Hamba tidak berani."Kaisar menghela napas pelan. "Bagaimanapun juga, Keluarga Biantara adalah salah satu pendiri negeri ini. Kalau aku memang ingin memusnahkan mereka, sudah kulakukan sejak lama."Setelah pemberontakan lima pangeran, seharusnya Keluarga Biantara sudah dihapuskan dari sejarah.Kalingga tak berkata apa-apa.Kaisar meliriknya sejenak, lalu tersenyum tipis, "Selain itu, mereka itu keluarga kandung Andini. Kalau kamu benar-benar ingin yang terbaik untuk Andini, kamu seharusnya ingin keluarga itu tetap ada."Tidak mungkin mereka menyimpan dendam kesumat terhadap Keluarga Biantara karena Andi
Bagaimanapun juga, Kalingga adalah mantan jenderal yang telah bertahun-tahun memimpin pasukan. Kalau sampai tidak bisa melihat siasat kecil seperti milik Sandika ini, berarti hidupnya benar-benar sia-sia selama ini.Wajah Sandika memucat dan memerah silih berganti."Tapi mau gimanapun, aku sudah banyak membantumu! Jangan lupa, waktu kamu kirim orang mencari Andini di sekitar Sungai Mentari, akulah yang meminjamkan banyak orang padamu!""Kalau bicara soal itu ...." Nada bicara Kalingga sangat datar. Sorot matanya menatap Sandika juga sangat dingin. "Kalau bukan karena Tuan Sandika sengaja menyebarkan kabar ke mana-mana, Andini nggak akan jatuh ke tangan para perampok gunung dan nggak akan jatuh ke Sungai Mentari."Mendengar hal itu, Sandika terkejut. Akhirnya dia mengerti, mengapa Kalingga mengkhianatinya.Dia langsung membentak dengan panik, "Kalingga! Ini nggak adil! Waktu itu kamu sendiri yang memerintahkan anak buahmu untuk menyebarkan berita! Aku cuma ikut membantu saja!""Bahkan b
Andini tertegun seketika.Belum sempat dia merespons, Endah buru-buru berkata, "Jangan dengarkan omongan Diah. Arjuna memang kadang pergi ke hutan bersama para pemburu dari desa sekitar. Biasanya dua atau tiga bulan sekali mereka akan masuk ke hutan dalam. Soalnya, hasil dari sana memang lebih bagus."Di luar hutan paling hanya ada ayam hutan atau kelinci liar, berbeda ceritanya jika pedalaman gunung. Di sana ada babi hutan, beruang, bahkan kadang bisa menjumpai harimau.Beberapa tahun lalu, Surya dan para pemburu sempat menembak seekor harimau. Setelah dijual di kota, uangnya dibagi rata. Surya bahkan tidak perlu masuk pedalaman hutan selama satu tahun penuh setelah itu.Namun, Diah tampak tidak setuju, "Apa aku salah ngomong? Terakhir kali Arjuna masuk hutan belum sampai satu bulan yang lalu!"Masuk hutan dua kali dalam satu bulan, apa alasannya kalau bukan karena harus cari uang untuk biaya pengobatan?Endah khawatir Andini akan terbawa pikiran, sehingga dia melotot ke arah Diah sam
Surya tidak banyak bicara, dia hanya berkata dengan suara rendah, "Aku berhasil menangkap seekor beruang. Karena masih hidup, langsung kubawa ke kota."Sambil bicara, dia mengeluarkan sepotong kecil ginseng liar dari dalam pelukannya. "Lusa tolong masakkan sup ayam ginseng ya, Bibi."Di desa ini tidak ada terlalu banyak makanan enak. Sup ayam sudah termasuk makanan yang sangat bernutrisi. Andini baru saja selamat dari ambang maut dan tubuhnya sangat lemah. Dia butuh asupan yang banyak untuk pulih.Setelah itu, Surya juga mengeluarkan beberapa tahil perak dan menyerahkannya kepada Endah.Namun Endah buru-buru menolak, "Aduh, nggak usah. Bukannya kamu sudah kasih lima tahil sebelumnya?""Yang sebelumnya sudah berlalu." Tenaga Surya besar. Endah tidak bisa menolaknya lama-lama dan akhirnya menerimanya juga."Baiklah kalau begitu. Kamu tunggu sebentar, Bibi ambilkan makanan dulu!" Selesai bicara, dia pun bergegas kembali ke rumahnya.Surya kemudian menuju dapur. Dia menyendok air dingin da
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg