"Nenek ...," panggil Abimana dengan suara bergetar. Entah kenapa hatinya merasa gelisah.Padahal saat ini Ainun terlihat jauh lebih segar dibandingkan sebelumnya. Suaranya juga terdengar penuh penekanan. Namun, Abimana merasa tidak tenang!Melihat Abimana tidak menjawab, raut wajah Ainun menjadi muram. Dia bertanya, "Kenapa? Apa sekarang kamu nggak mau dengar ucapan Nenek lagi?""Tentu saja bukan!" bantah Abimana dengan tergesa-gesa. Saking paniknya, suaranya terdengar bergetar. Dia berucap, "Apa pun yang Nenek bilang, aku tentu akan setuju.""Baguslah!" Ainun akhirnya merasa lega. Dia melepaskan tangan Abimana, lalu tersenyum lembut sembari berkata, "Panggil ayahmu kemari. Ada yang mau Nenek katakan padanya."Abimana segera mengangguk. Mungkin karena takut dilihat oleh Andini, Abimana buru-buru menghapus air matanya sebelum berdiri dan pergi.Setelah Abimana keluar, Andini memanggil, "Nenek ...."Suara Andini sedikit bergetar. Dia menatap Ainun dengan cemas seraya bertanya, "Nenek ca
Andini berdiri dan pergi dengan berat hati. Angin malam cukup dingin. Hatinya yang hampa makin terasa sedih.Andini menarik napas dalam-dalam, lalu segera kembali ke Paviliun Ayana. Setelah menyimpan kotak kayu, dia buru-buru mencuci wajahnya. Dia bergegas kembali ke paviliun Ainun tanpa mengganti pakaian.Ketika Andini kembali, Kresna sudah berlutut di samping tempat tidur Ainun. Suasananya sedikit suram. Senyuman yang tadi terlihat di wajah Ainun saat berhadapan dengan Andini sudah sirna. Kini, keseriusan di wajah Ainun membuat orang ketakutan.Begitu melihat Andini kembali, Ainun memanggil, "Andin, kemari."Andini buru-buru maju dan berdiri di samping Kresna. Kala ini, Ainun berkata, "Berlutut."Andini tidak mengerti maksud Ainun, tetapi dia juga tidak berani membantah dan segera berlutut di samping tempat tidur Ainun.Ainun bertanya, "Andini, kamu sudah ada di Keluarga Biantara selama 18 tahun. Meski nggak ada hubungan darah, ayah dan ibumu sudah melindungi, menyayangi, dan memperl
"Nenek!""Ibu!"Andini dan Kresna berteriak bersamaan. Namun, Ainun sudah tidak memberikan respons.Andini sangat panik. Dia buru-buru memekik, "Tabib! Cepat panggil tabib kediaman!"Andini meraih tangan Ainun dan menempelkan ke wajahnya yang sudah dipenuhi air mata. Dia berteriak dengan cemas, "Nenek, jangan menakuti Andin. Bangunlah. Lihat Andin lagi!"Namun, tidak peduli sekeras apa pun Andini dan Kresna berteriak, Ainun tetap tersenyum dan tidak bergerak.Tabib kediaman berada di luar. Begitu mendengar suara Andini dan Kresna, dia buru-buru masuk. Setelah memeriksa napas dan denyut nadi Ainun, dia menghela napas panjang dan berkata, "Tuan Kresna, Nona Andini, Nyonya Ainun sudah tiada ....""Nggak mungkin!" Kresna segera menyangkal, "Ibuku tadi sangat penuh energi!"Andini juga tidak percaya dan membantah, "Tabib jelas-jelas bilang Nenek masih bisa bertahan beberapa hari lagi. Ini baru berapa lama? Ini baru sebentar saja!"Tabib kediaman mengernyit. Dia menyatukan kedua tangannya di
Putri yang Kresna besarkan selama 15 tahun.Kesedihan di dalam hati Kresna seketika makin dalam. Matanya sangat merah. Namun, di hadapan banyak orang, dia tetap bertahan sekuat tenaga.Kresna terus berjalan keluar sampai suara tangisan di belakang tidak terdengar lagi. Begitu tiba di tempat sunyi yang tidak ada lampu dan cahaya, dia akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Kedua kakinya melemas hingga seluruh tubuhnya terjatuh ke tanah.Suara terisak keluar dari mulutnya, seakan-akan batu besar yang merobohkan bendungan. Luapan kesedihan yang tak tertahan akhirnya berubah menjadi tangisan memilukan.Sebelum matahari terbit, kabar kematian Ainun telah disebarkan ke semua kerabat. Rangga juga sudah mendapatkan kabar dan bergegas datang.Di dalam aula duka, kain putih tergantung tinggi.Abimana sedang menemani Kirana berlutut. Begitu melihat Rangga masuk memberi hormat dan membakar dupa, dia memberi hormat balasan. Namun, tatapan Rangga sedang menelusuri sekeliling aula duka.Abimana menger
Saat ini, sudah banyak orang yang datang di Kediaman Adipati untuk memberikan penghormatan terakhir. Tangisan Dianti seketika menarik perhatian orang-orang.Melihat putri kandung Keluarga Biantara berlutut pada putri angkat sambil menangis pilu, orang-orang mulai berbisik-bisik.Seorang kerabat dekat segera maju dan menegur, "Andini, sifatmu memang kasar sejak kecil. Biasanya kamu sudah menindas Dian, tapi hari ini nenek kalian sedang memperhatikan dari atas sana!"Hanya karena sifat Andini yang kasar sejak kecil, semua orang mengira bahwa Andini yang menindas Dianti. Sungguh konyol!Wajah Andini tetap datar. Yang berubah hanya tatapannya yang menunjukkan kebencian. Dia menatap Dianti dengan tajam sembari berucap dengan dingin, "Sudah dengar? Nenek sedang memperhatikan dari atas!"Dianti yang mencelakai Ainun. Atas dasar apa seorang pembunuh datang mengantar kepergian Ainun?Hati Dianti bergetar. Dia tentu mendengarnya. Dia juga takut! Takut jika saat ini arwah Ainun sedang berdiri di
Selesai berbicara, Andini berbalik menuju aula duka. Kematian Ainun membuatnya seperti mayat hidup yang kehilangan jiwanya. Dia benar-benar tidak bisa merasakan apa pun lagi selain rasa sakit di hatinya.Andini tidak ingin terus berdebat. Lagi pula, dia sudah putus hubungan dengan mereka. Kini, dia hanya ingin mengantar kepergian Ainun dengan baik.Jika Abimana masih memiliki akal sehat, dia tidak akan membiarkan Dianti masuk ke aula duka hari ini. Jika tidak, Andini akan langsung mengusirnya!Melihat Andini pergi dengan lesu, hati Abimana terasa pedih. Begitu mendengar isak tangis orang yang ada di dalam pelukannya, dia baru tersadar. Dia menatap Dianti sembari mengernyit dan membujuk, "Dian, kamu masih terluka. Sebaiknya kamu kembali dan istirahat dulu."Abimana berbicara dengan sangat pelan. Dia takut ada yang mendengarnya, lalu orang-orang akan bertanya bagaimana Dianti bisa terluka. Jika itu terjadi, masalah tentang Dianti yang menyebabkan kematian Ainun tidak akan bisa ditutupi l
Dua hari kemudian, Ainun dimakamkan.Selama dua hari ini, Andini tidak memejamkan mata sama sekali. Pertama, dia ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Ainun. Kedua, dia khawatir Keluarga Biantara akan diam-diam membawa Dianti kemari untuk mengganggu Ainun saat dirinya istirahat.Jadi, Andini tidak makan dan minum, bahkan tidak menangis. Dia takut tidak bisa mengendalikan emosinya dan menangis sampai pingsan lagi. Jika itu terjadi, Dianti akan berhasil mencapai tujuannya.Dianti sudah membuat Ainun meninggal karena emosi. Sekarang, dia masih berharap memanfaatkan kematian Ainun untuk berpura-pura menjadi cucu yang berbakti? Andini tidak akan mengizinkannya!Andini terus menjaga Ainun dengan tenang. Dia sama sekali tidak pergi satu langkah pun.Keluarga Biantara paham dengan karakter Andini. Mereka tidak ingin Ainun pergi dengan tidak tenang, apalagi mempermalukan keluarga di hadapan orang luar. Selama dua hari ini, jangankan masuk ke aula duka, Dianti bahkan tidak pernah muncul di
Wajah Laras dipenuhi kebahagiaan. Dia menimpali, "Hamba akan melakukannya!"Kala Andini sedang tersenyum puas, Laras tiba-tiba bertanya, "Tapi, Nona mau pergi ke mana?""Kita tinggal di tempat Byakta dulu selama dua hari. Nanti kita pelan-pelan pikirkan tujuannya," jawab Andini.Andini masih belum memutuskan akan tetap tinggal di ibu kota atau pergi. Menurutnya, dia sudah memutuskan untuk bersama Byakta. Baik tetap tinggal atau pergi, dia harus mendiskusikannya dulu dengan Byakta. Namun kini, Andini benar-benar tidak ingin tinggal di Kediaman Adipati lagi.Usai mendengar jawaban Andini, Laras mengangguk-angguk sembari berucap, "Kalau begitu, hamba akan bersiap-siap. Apa mau minta Rama antarkan hadiah-hadiah di ruang penyimpanan ke kediaman Wakil Jenderal Byakta?""Iya. Antarkan saja," sahut Andini sambil mengangguk. Itu adalah hadiah pemberian Kaisar dan Selir Agung. Andini hampir kehilangan nyawa karena perjodohan itu. Dia tentu harus membawa hadiahnya pergi.Laras mengiakan, lalu seg
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it