Dianti awalnya sudah terluka, apalagi hari ini dia sengaja berlutut di sini untuk bersandiwara. Dia ingin membuat Keluarga Biantara tidak tega menyalahkannya atas hal buruk yang terjadi akibat berniat baik. Begitu ditampar oleh Andini, Dianti langsung terjatuh ke pelukan Kirana.Kirana segera memeluk Dianti dengan sangat iba.Andini yang tadinya berjalan mendekat dengan lemah, tiba-tiba meledak dengan kekuatan yang dahsyat. Tamparan ini membuat Dianti menggigit lidahnya sendiri.Begitu merasakan rasa darah di dalam mulutnya, Dianti langsung memuntahkannya.Melihat Dianti memuntahkan darah, Kresna segera maju untuk meraih lengan Andini. Dia menegur, "Andin, Ayah tahu kamu sangat menyayangi nenekmu. Tapi, Dian sudah terluka karena kamu. Kalau kamu menyerangnya lagi, dia mungkin bisa mati!""Dia sendiri yang minta dihajar," timpal Andini. Nada bicaranya terdengar datar, tetapi hatinya justru dipenuhi emosi yang bergejolak.Andini memang ingin menghabisi nyawa Dianti! Dia menunjukkan ekspr
Setelah mendengar perkataan Andini, Dianti menerimanya dengan setengah percaya dan ragu. Dia meminum pil itu di hadapan mereka.Andini bertanya, "Gimana? Aku juga minum pil ini setelah kembali dari Braga. Menurutku, khasiatnya sangat bagus."Semua orang yang ada di sana seketika terkejut saat mendengar kata "Braga". Di dalam ingatan mereka, terlintas bayangan saat Andini kembali ke kediaman. Kala itu, sekujur tubuh Andini penuh luka dan berlumuran darah. Kondisinya lebih parah dibandingkan Dianti saat ini.Jadi, khasiat pil ini benar-benar bagus?Setelah menelannya, Dianti sebenarnya tidak merasakan apa-apa. Namun, begitu mendengar Andini mengatakan khasiat pil itu sangat bagus, Dianti hanya bisa mengangguk seraya bertutur, "Benar. Khasiatnya sangat bagus."Dianti berbicara sambil keluar dari pelukan Kirana. Dia menahan rasa sakit di dadanya dan kembali berlutut dengan baik.Andini mengangguk dengan pelan sebelum berucap, "Aku masih punya beberapa butir. Kalau kamu sudah nggak tahan, k
Matahari sudah terbenam. Kegelapan mulai memenuhi langit.Dianti tidak tahu berapa lama dirinya sudah berlutut. Dia hanya tahu, angin malam yang berembus membuat tubuhnya menggigil kedinginan.Kedua lututnya sudah lama mati rasa. Hanya luka di dadanya yang terus berdenyut mengikuti detak jantungnya. Rasa sakitnya hampir membuatnya pingsan, tetapi dia berusaha untuk mempertahankan kesadarannya.Dianti menengadah menatap lampu di balik jendela yang entah sejak kapan menyala. Selain itu, terlihat juga bayangan seseorang. Hidungnya seketika terasa perih. Dia sangat tidak rela! Kenapa dia harus disiksa seperti ini?Padahal hidup Ainun sudah tidak lama. Sekalipun hari ini dia benar-benar mati karena terlalu emosi, memangnya kenapa?Bukankah Andini selalu ingin memutus hubungan dengan Keluarga Adipati? Bukankah perbuatan Dianti justru membantu Andini? Kenapa dia malah dihukum? Ketika memikirkan ini, air mata yang sudah lama kering di sudut matanya menetes lagi. Kala ini, Abimana kebetulan m
Melihat Ainun yang begitu segar, hati Andini terasa sesak. Dia merasa seperti sedang bermimpi.Andini maju perlahan-lahan sambil memanggil dengan lembut, "Nenek ...."Ainun menengadah menatap Andini yang berjalan mendekat. Dia tersenyum sembari menyahut, "Andin, cepat kemari. Biar Nenek peluk."Mendengar ini, Andini tidak bisa menahan diri lagi. Dia segera berlari ke depan dan memeluk Ainun erat-erat. Katanya, "Huhu. Nenek sudah buat Andin ketakutan. Andin sempat mengira ...."Andini menangis tersedu-sedu. Tubuh yang awalnya telah lemas karena menangis seketika penuh energi lagi berkat kesadaran Ainun. Perasaan mendapatkan kembali yang sudah hilang membuat hatinya dipenuhi kebahagiaan sekaligus kesedihan.Kala ini, terdengar suara dari belakang. "Nenek."Orang itu adalah Abimana.Hati Andini menegang. Dia melepaskan pelukan Ainun, lalu menoleh menatap Abimana. Dia berpikir jika Abimana membawa Dianti masuk ke kamar, dia akan menampar dan mengusir mereka berdua.Untungnya, kali ini Abim
"Nenek ...," panggil Abimana dengan suara bergetar. Entah kenapa hatinya merasa gelisah.Padahal saat ini Ainun terlihat jauh lebih segar dibandingkan sebelumnya. Suaranya juga terdengar penuh penekanan. Namun, Abimana merasa tidak tenang!Melihat Abimana tidak menjawab, raut wajah Ainun menjadi muram. Dia bertanya, "Kenapa? Apa sekarang kamu nggak mau dengar ucapan Nenek lagi?""Tentu saja bukan!" bantah Abimana dengan tergesa-gesa. Saking paniknya, suaranya terdengar bergetar. Dia berucap, "Apa pun yang Nenek bilang, aku tentu akan setuju.""Baguslah!" Ainun akhirnya merasa lega. Dia melepaskan tangan Abimana, lalu tersenyum lembut sembari berkata, "Panggil ayahmu kemari. Ada yang mau Nenek katakan padanya."Abimana segera mengangguk. Mungkin karena takut dilihat oleh Andini, Abimana buru-buru menghapus air matanya sebelum berdiri dan pergi.Setelah Abimana keluar, Andini memanggil, "Nenek ...."Suara Andini sedikit bergetar. Dia menatap Ainun dengan cemas seraya bertanya, "Nenek ca
Andini berdiri dan pergi dengan berat hati. Angin malam cukup dingin. Hatinya yang hampa makin terasa sedih.Andini menarik napas dalam-dalam, lalu segera kembali ke Paviliun Ayana. Setelah menyimpan kotak kayu, dia buru-buru mencuci wajahnya. Dia bergegas kembali ke paviliun Ainun tanpa mengganti pakaian.Ketika Andini kembali, Kresna sudah berlutut di samping tempat tidur Ainun. Suasananya sedikit suram. Senyuman yang tadi terlihat di wajah Ainun saat berhadapan dengan Andini sudah sirna. Kini, keseriusan di wajah Ainun membuat orang ketakutan.Begitu melihat Andini kembali, Ainun memanggil, "Andin, kemari."Andini buru-buru maju dan berdiri di samping Kresna. Kala ini, Ainun berkata, "Berlutut."Andini tidak mengerti maksud Ainun, tetapi dia juga tidak berani membantah dan segera berlutut di samping tempat tidur Ainun.Ainun bertanya, "Andini, kamu sudah ada di Keluarga Biantara selama 18 tahun. Meski nggak ada hubungan darah, ayah dan ibumu sudah melindungi, menyayangi, dan memperl
"Nenek!""Ibu!"Andini dan Kresna berteriak bersamaan. Namun, Ainun sudah tidak memberikan respons.Andini sangat panik. Dia buru-buru memekik, "Tabib! Cepat panggil tabib kediaman!"Andini meraih tangan Ainun dan menempelkan ke wajahnya yang sudah dipenuhi air mata. Dia berteriak dengan cemas, "Nenek, jangan menakuti Andin. Bangunlah. Lihat Andin lagi!"Namun, tidak peduli sekeras apa pun Andini dan Kresna berteriak, Ainun tetap tersenyum dan tidak bergerak.Tabib kediaman berada di luar. Begitu mendengar suara Andini dan Kresna, dia buru-buru masuk. Setelah memeriksa napas dan denyut nadi Ainun, dia menghela napas panjang dan berkata, "Tuan Kresna, Nona Andini, Nyonya Ainun sudah tiada ....""Nggak mungkin!" Kresna segera menyangkal, "Ibuku tadi sangat penuh energi!"Andini juga tidak percaya dan membantah, "Tabib jelas-jelas bilang Nenek masih bisa bertahan beberapa hari lagi. Ini baru berapa lama? Ini baru sebentar saja!"Tabib kediaman mengernyit. Dia menyatukan kedua tangannya di
Putri yang Kresna besarkan selama 15 tahun.Kesedihan di dalam hati Kresna seketika makin dalam. Matanya sangat merah. Namun, di hadapan banyak orang, dia tetap bertahan sekuat tenaga.Kresna terus berjalan keluar sampai suara tangisan di belakang tidak terdengar lagi. Begitu tiba di tempat sunyi yang tidak ada lampu dan cahaya, dia akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Kedua kakinya melemas hingga seluruh tubuhnya terjatuh ke tanah.Suara terisak keluar dari mulutnya, seakan-akan batu besar yang merobohkan bendungan. Luapan kesedihan yang tak tertahan akhirnya berubah menjadi tangisan memilukan.Sebelum matahari terbit, kabar kematian Ainun telah disebarkan ke semua kerabat. Rangga juga sudah mendapatkan kabar dan bergegas datang.Di dalam aula duka, kain putih tergantung tinggi.Abimana sedang menemani Kirana berlutut. Begitu melihat Rangga masuk memberi hormat dan membakar dupa, dia memberi hormat balasan. Namun, tatapan Rangga sedang menelusuri sekeliling aula duka.Abimana menger
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me