"Kenapa masih diam? Apa uangnya kurang? Baiklah, aku akan tambahkan lagi jadi lima ratus juta. Tapi segera bawa pergi anak itu secepatnya!" Diambang batas kesabarannya, Riana mengepalkan tangan dengan kuat. Selanjutnya, ia menepis amplop di tangan Gustav hingga uangnya jatuh dan berhamburan. Gustav terkejut, melemparkan sorot tajamnya pada Riana. "Heh! Perempuan! Maumu apa? Jika memang uangnya kurang, kau tinggal bilang saja padaku!""Anda salah, Tuan. Berapapun nominal yang Anda tawarkan, aku tidak akan pernah angkat kaki dari rumah ini! Kenzie tidak akan pergi ke manapun. Uang Anda tidak bisa mengatur kehidupan seseorang!""Oh, jadi maksudmu kau ingin anak itu tetap di sini dan dekat dengan Mahesa, lalu Mahesa menjadikannya pewaris? Ck! Jangan mimpi, Riana!""Aku tidak pernah bermimpi, Tuan. Bahkan tidak ada sedikitpun keinginan dalam hatiku untuk menjadikan Kenzie sebagai pewaris keluarga Anda," tekan Riana membalas ucapan Gustav. Namun, Gustav malah mendengus tak percaya. "H
Memegangi dadanya sendiri, Gustav seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Mahesa. "Anak itu akan kau jadikan pewaris? Di mana akal sehatmu, Mahesa?""Aku sehat dan normal. Aku mengatakan ini dengan sungguh-sungguh. Papa tidak bisa ikut campur dengan keputusanku karena semua kekayaan yang akan kuwariskan pada Kenzie adalah milikku, tak ada sepeser pun milik Papa!" Mahesa menekan kembali ucapannya. "Papa harap kau berubah pikiran. Ketika menikah dan memiliki anak dengan Nessie, kau pun bisa mendapat pewaris dari wanita yang jelas asal-usulnya. Bukan seperti anak haram itu.""Sekali lagi Papa menyebut Kenzie anak haram, aku akan membatalkan pertunanganku dengan Nessie!" Ancaman yang keluar dari mulut Mahesa seketika berhasil membungkam Gustav. Gustav terdiam dengan dada yang naik-turun karena emosinya. "Ini yang terakhir kali. Aku tidak mau lagi mendengar Papa menjelek-jelekkan Kenzie. Terserah jika Papa tidak mau mengakui Kenzie sebagai cucu, tapi aku tidak akan membiarkan sia
"Om Mahesa papa aku?" ulang Kenzie. Mahesa mengangguk. Mengusap puncak kepala Kenzie. "Iya, sayang. Selama ini, Om belum berani mengatakannya. Dan sekarang, Om tidak bisa merahasiakannya lagi." Terkejut, mata Kenzie melebar menatap Mahesa. "Mulai sekarang, tolong jangan panggil Om Mahesa lagi. Panggil Papa saja. Papa sayang menyayangimu, Kenzie." Mahesa tersenyum, hendak memeluk Kenzie. Namun Mahesa terkejut saat Kenzie menolak pelukannya dengan mendorong dadanya. "Kenzie? Ada apa?""Kalau benar Om adalah Papaku, lalu kenapa Papa baru datang sekarang? Papa ke mana saja? Kenapa Papa tega tinggalkan aku dan Mama?"Mendadak Mahesa bingung ketika bocah itu memberondongnya dengan pertanyaan yang sulit untuk ia jawab. "Maaf, Papa … ""Papa jahat! Aku benci Papa! Papa tidak pernah sayang aku!" "Kenzie, tolong jangan marah! Papa bisa jelaskan."Terlambat, Kenzie lebih dulu membuka pintu dan turun dari mobil. Kaki kecilnya berlari menyusuri gang luas yang mengarah ke rumahnya. Helaan
"Tapi Mama minta maaf. Mama tidak bisa beritahukan apa alasannya," kata Riana yang masih menggenggam erat tangan Kenzie. "Menurut Mama, apa aku harus maafkan Om Mahesa?" Kenzie bertanya, mengangkat pandangannya pada Riana. "Itu tergantung padamu. Mama yakin kau sudah tahu apa pilihan yang tepat. Mama cuman mau bilang, coba kau ingat-ingat lagi, apa yang selama ini berusaha Om Mahesa lakukan padamu? Bagaimana dia memperlakukanmu. Dan coba tanyakan pada hatimu sendiri, apa yang harus kau putuskan." Setelah mengatakan itu, Riana mengusap kepala Kenzie, kemudian hendak bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pergi. "Tunggu, Ma!" Namun, Kenzie segera menahan tangan Riana. Membuat Riana menoleh. "Iya, sayang? Kenapa?""Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan memaafkannya," ujar Kenzie. Selarik senyum yang sangat tipia pun tersungging di bibir Riana demi mendengar itu. *** Langkah Mahesa terasa berat saat berayun menuju kamar. Baru saja ia tiba di rumah setelah menganta
Saat berjalan menuju ruang tengah, Riana dikejutkan dengan keberadaan Mahesa yang sudah duduk di seberang Aram. "Mahesa? Sejak kapan dia datang?" gumam batin Riana. "Hai, Riana!" Mahesa melempar senyum. "Apa itu kopi untukku?" tanya Mahesa sambil melirik ke arah secangkir kopi di tangan Riana. "Enak saja. Itu kopi punyaku. Riana sengaja membuatkannya untuk calon suaminya. Benar 'kan, sayang?" Aram langsung menyela. Menerbitkan senyum yang amat manis pada Riana. "Emh … iya," jawab Riana, kemudian menaruh kopi itu di depan Aram. "Kau mau kopi juga?" kini matanya melirik pada Mahesa. "Tidak usah buatkan kopi! Dia lebih suka air kobokan," celetuk Aram. Mahesa mendelik sinis. "Air kobokan? Bukankah itu minuman favoritmu.""Tolong, hari ini saja jangan berdebat hanya karena secangkir kopi. Tunggu sebentar, aku akan buatkan satu lagi untuk Mahesa." Riana membalikan badan, hendak pergi ke dapur. "Tidak perlu, Riana. Aku sudah tidak berselera minum kopi. Lagipula aku sudah minum sebel
"Pertanyaanmu sangat konyol," cetus Mahesa. Membuang wajahnya dari Nessie. "Kau tidak bisa menjawabnya, 'kan? Oh, aku tahu. Jika Riana yang memelukmu, tentu saja kau tidak akan melepaskan tanganmu dan akan membiarkannya." "Nessie, jangan memancing emosiku! Aku sedang tidak ingin ribut." Mahesa mengacungkan satu telunjuknya di depan wajah Nessie. Namun, Nessie tidak merasa takut sama sekali dengan sorot tajam yang terpancar dari kedua bola mata Mahesa. "Kenapa kau selalu terlihat panik setiap kali aku membahas tentang Riana? Apa kau mencintainya?" tanya Nessie sambil berpangku tangan. Mengangkat dagunya di depan lelaki bertubuh jangkung itu. Mahesa terdiam sebentar, hanya mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, sebelum akhirnya membuang napas kasar dan melempar stick billiard ke meja. "Terserah kau saja," ketus Mahesa, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu. Nessie melebarkan mata. Wajahnya memerah karena tahu kalau Mahesa memiliki perasaan terhadap Riana. "Kau tidak
Seharusnya, hari ini Aram masih menikmati liburannya bersama Kenzie. Akan tetapi, entah mengapa Aram memutuskan untuk pulang kembali ke Jakarta. "Kau senang kita pulang hari ini?" sambil menyetir, Aram bertanya pada Kenzie yang duduk di sampingnya. "Iya, Om.""Sungguh? Apa yang membuatmu senang? Padahal awalnya, Om berpikir ingin memperpanjang liburan kita. Tapi karena seharian kemarin kau terlihat murung, jadi Om putuskan pulang sekarang.""Maaf, Om Aram. Kemarin, liburannya sangat menyenangkan. Tapi … aku kangen Mama.""Benarkah? Jadi, kau kangen mamamu?" Kenzie mengangguk. Aram tersenyum kecil. Sejurus kemudian, mobil Aram tiba di depan rumah Riana. Di teras rumah itu, terlihat Riana. Namun, wajah Aram langsung masam begitu melihat Mahesa juga ada di sana. "Mama!" Kenzie turun dari mobil dan menghambur memeluk Riana. "Loh, Kenzie? Kalian sudah pulang?" Riana terheran. Tapi wajahnya tampak senang. "Dia murung terus kemarin. Aku tidak tega melihatnya. Jadi, aku bawa dia pu
"Mana Aram? Katanya dia akan menjemputku, tapi aku sudah menunggu setengah jam di sini, dan mobil Aram belum juga datang." Riana bergumam gelisah. Berdiri di sisi jalan sembari matanya mencari-cari mobil Aram yang tak kunjung tiba.Di saat yang sama, mobil Mahesa keluar melewati gerbang restoran.Matanya menyipit melihat Riana yang masih berdiri di sekitar restoran itu. "Kupikir dia sudah pulang. Ternyata Riana masih ada di sini. Apa dia sedang menunggu angkutan umum?" Mahesa pun turun dari mobil dan menghampiri Riana."Ekhem!"Dehaman Mahesa mengejutkan Riana. Membuat wanita itu menoleh dengan wajah panik.Pasalnya, Riana takut Mahesa menegurnya akibat kopi yang dicampur garam tadi. "Apa kau sedang menunggu angkutan umum?""Tidak. Aku sedang menunggu Aram.""Oh, jadi calon suamimu yang akan menjemputmu?"Riana mengangguk. Melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi, mengapa dia belum datang? Padahal ini sudah lebih dari setengah jam." Mahesa mengetuk arloji yang melingkar di per
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!” Mahesa mempersilakan Nessie masuk ke dalam mobilnya.Nessie tersenyum dan duduk di kursi belakang bersama pengasuh dan Andra.Tentu saja Nessie mendekap Andra di atas pangkuannya. Tak sedikit pun Nessie berniat memberikan Andra kepada pengasuh yang duduk di sampingnya.Mobil Mahesa lantas melaju meninggalkan lapas dan merambat di jalan raya.Seulas senyum tipis tersungging di bibir Riana. Sambil tangannya mendekap punggung Anna yang kini tertidur di atas pangkuan, Riana mendesah lega dalam hati.“Aku senang melihat Nessie dan Andra tersenyum sebahagia itu,” batin Riana.***“Ayo Pa! Lempar bolanya ke mari!” Kenzie berseru pada Mahesa yang berdiri cukup jauh di hadapannya.Sedangkan Kenzie sendiri duduk di atas pelampung bebek warna kuning dan mengangkat kedua tangannya ke atas, bersiap menyambut lemparan bola dari Mahesa.Saat ini ayah dan anak itu sedang bermain bola di dalam kolam renang. Sesekali tawa mereka akan terdengar sampai ke teling
Momen yang sangat Riana tunggu-tunggu selama ini adalah momen kebebasan Nessie dari dalam penjara.Dan hari ini Nessie akan bebas. Dengan segera Riana bersemangat mendandani Andra dan memakaikan baju terbaik untuk balita tersebut.Bahkan Riana mengemasi barang-barang Andra serta pakaiannya ke dalam koper.“Sayang, kau sudah siap?” tanya Mahesa yang masuk ke dalam kamar dengan penampilannya yang sudah rapi dengan stelan kemeja berwarna biru tua.Sementara Riana sendiri tampak manis dengan celana jeans pensil dan baju kaus biru muda yang dipadukan dengan cardigan putih.“Sudah. Sekarang aku hanya tinggal menyisir rambut Andra. Sebentar lagi dia akan siap,” kata Riana sambil menyisiri rambut Andra yang duduk di atas pangkuannya.Karena masih balita dan sedang aktif-aktifnya, terkadang Andra tak bisa diam hingga membuat Riana sedikit kesulitan saat menyisir rambut bocah itu.“Tahan ya, sayang. Biar Tante rapika dulu rambutnya.”Bibir Mahesa mengulum senyum memperhatikan istrinya yang tela
Malam hari, Mahesa mencari keberadaan istrinya yang entah berada di mana. Mahesa terbangun dilarut malam dan keningnya berkerut saat tak menemukan Riana di sampingnya. "Riana? Sayang, kau di mana?" Mahesa memanggil, ragu-ragu saat mengeraskan suaranya karena takut anak-anak itu akan terbangun mendengar teriakannya. "Oekk ... Oekk ... " Suara tangisan balita terdengar dari arah kamar Anna. Hal itu membuat langkah Mahesa terhenti. "Anna bangun?" segera Mahesa memutar langkahnya menuju kamar putri keduanya. Begitu membuka pintu kamar, Mahesa langsung berseru memanggil nama anaknya. "Anna!" "Aaakhh!" kedatangan Mahesa yang tiba-tiba membuat Riana memekik terkejut sambil menutupi dadanya yang tadi sempat ia keluarkan karena akan menyusui Anna. Namun setelah tahu yang masuk ke kamar Anna adalah Mahesa, Riana pun tidak lagj menutupi dadanya dan kembali melanjutkan menyusui Anna. "Kau datang membuatku terkejut." Riana berkomentar. Mahesa menutup pintu kamar, lalu melangkah mengham
Masih berada di rumah Aram, Riana turun ke lantai bawah dan berkeliling sejenak seolah sedang bernostalgia melihat-lihat kembali isi di dalam rumah tersebut.Riana ingat dulu dirinya seringkali berkunjung ke rumah Ara, bersama Kenzie. Ternyata isi rumah tersebut sudah banyak berubah. Termasuk letak beberapa furniture yang diubah sedemikian rupa."Lukisan itu?" dari sekian banyak benda yang ada di penjuru rumah Aram, perhatian Riana justru terpaku pada sebuah lukisan kuno yang menampilkan gambar seorang nenek tua yang sedang duduk manis di kursinya. Nenek tua itu mengenakan selendang berwarna abu yang telah pudar, serta kain jarik sebagai penutup kakinya yang telah keriput. Sementara rambutnya yang telah berubah dibiarkan tersanggul ke belakang. "Ini adalah lukisan kesayangan Bu Risma," gumam Riana sedih sambil menyapukan jemarinya pada permukaan lukisan yang terpajang rendah di dinding ruang tengah."Aku tidak percaya kau masih mengingatnya, Riana. Kau masih ingat dengan lukisan kes
Setelah sarapan, Mahesa langsung mengabari Leo bahwa ia akan berangkat ke kantor sangat siang. Mahesa meminta Leo untuk menghandle sedikit pekerjaannya sampai Mahesa sendiri tiba di sana.Begitu Leo menyanggupi, Mahesa pun mengakhiri teleponnya dan masuk ke dalam mobil, dimana Riana yang menggendong Anna dan seorang pengasuh yang menggendong Andra sudah berada di dalam mobil tersebut.“Kita mau belanja di mall mana, sayang?” Mahesa bertanya pada Riana yang duduk di sampingnya.“Mall mana saja. Aku tidak masalah.”“Bagaimana kalau di mall yang dekat dengan kantorku” Mahesa bertanya lagi.Riana mengangguk setuju.Riana tahu kalau mall yang dekat dengan kantor Mahesa adalah mall terbesar yang ada di Jakarta. Namun Riana tidak menolak saat Mahesa menawarkan pergi ke mall tersebut.Sebab lelaki itu tidak akan keberatan meski Riana berbelanja sepuasnya di sana.Sejurus kemudian, mobil Mahesa pun tiba di baseman mall. Riana menggendong Anna turun dari mobil setelah Mahesa membukakan pintu mo
“Sayang! Sayang!” pagi ini Mahesa berseru memanggil-manggil istrinya.Lelaki itu baru keluar dari kamar mereka namun sudah heboh mencari Riana seperti ingin menyampaikan sebuah berita baik.Seruan Mahesa yang lantang tentu saja sampai di telinga Riana yang sedang menata sarapan di atas meja.“Aku di sini.” Riana balas berteriak.Segera Mahesa mempercepat langkahnya menghampiri sang istri.“Selamat pagi!” lelaki itu mendaratkan ciuman singkat di pipi kanan Riana.“Pagi,” balas Riana sambil tersenyum tipis. Tangannya sibuk menata makanan.“Pagi-pagi begini sudah heboh mencariku. Tidak biasanya. Aku yakin kau belum cuci mukamu, kan? Ada apa?” tanya Riana.Mahesa yang mendengar ucapan istrinya itu spontan menyentuh wajahnya yang memang belum sempat dicuci.Semua itu gara-gara Mahesa terbangun oleh sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan yang membawa kabar bahagia untuknya, mungkin juga untuk Riana.Itulah mengapa Mahesa sangat bersemangat memberitahukan kabar ini pada istrinya.“I hav
Banyak yang berubah setelah satu tahun. Beberapa juga pergi dari kehidupan Mahesa dan Riana.Termasuk Gustav, yang meninggal empat bulan setelah kelahiran Annastasya Anderson, cucu keduanya.Sekarang Riana dan Mahesa yang sedang merindukan Gustav pun mengunjungi makamnya.Riana memegang keranjang kecil berisi kelopak bunga. Sementara Mahesa memegangi payung hitam.“Sekarang Kenzie sudah semakin pintar, Pa. Nilainya selalu bagus dalam mata pelajaran. Jika Papa masih hidup, Papa pasti akan sangat bangga pada Kenzie,” ucap Mahesa sambil menceritakan soal Kenzie pada makam ayah kandungnya.Riana yang berjongkok di samping Mahesa pun tersenyum tipis. Tangan kanannya mengusap punggung Mahesa.Riana tahu bagaimana perasaan Mahesa saat ini.Meskipun lelaki itu mencoba untuk menampilkan senyum di wajahnya, tetap saja Mahesa tak bisa menutupi matanya yang berkaca-kaca.“Kau pasti sangat merindukan Papa, ya?” tanya Riana sambil berbisik di telinga Mahesa.Mahesa menangkap tangan Riana yang menye
Satu tahun kemudian…Mobil mewah Mahesa berhenti di pekarangan depan sebuah panti asuhan yang bernama ‘Muara Kasih Bunda’.Begitu turun dari mobil, mereka langsung disapa oleh pemilik panti yang bernama Bu Yani.Sambil menggendong Anna yang sudah berusia satu tahun, Riana berjalan beriringan dengan Mahesa memasuki panti asuhan tersebut yang tampak ramai oleh suara anak-anak balita yang sedang bermain dan berlalu Lalang.“Silakan Tuan, Nyonya.” Bu Yani mempersilakan mereka untuk masuk ke sebuah kamar dimana terdapat seorang anak laki-laki berusia satu tahun lebih yang tertidur di atas ranjang.Riana menghela napas melihat betapa pulasnya balita lucu tersebut. Di tangannya tergenggam sebuah kalung berbandul dinosaurus.Riana tersenyum. Ia tahu siapa yang memberikan kalung dinosaurus itu pada anak laki-laki tersebut.“Andra sedang tidur. Tapi dia sudah tidur dari setengah jam yang lalu. Jika Tuan Mahesa dan Nyonya Riana mau bicara dengannya, saya akan bangunkan dia,” kata Bu Yani yang be
“Aku akan memberikan nama Anna,” jawab Riana yang kemudian membuat kening Mahesa mengernyit.“Anna? Hanya Anna saja?”Riana menggelengkan kepala. “Nama panjangnya bisa kau yang berikan. Aku hanya ingin dia diberi nama Anna.”Mahesa tersenyum. Kemudian mengangguk-anggukan kepala, lalu lelaki tampan itu pun berpikir sejenak.“Anna? Baiklah. Aku harus mencari nama panjang yang sesuai dengan nama depannya. Tapi apa ya?” gumam Mahesa sambil mengurut dagunya dengan ibu jari dan telunjuk.“Ah, aku tahu. Bagaimana kalau Annastasya Anderson?” tanya Mahesa sambil memberikan usul nama yang menurutnya paling bagus.“Annastasya?” ulang Riana.Mahesa mengangguk. “Ya. Yang penting nama panggilannya tetap Anna, kan?”Mendengar itu, Riana kemudian mengangguk setuju. “Itu nama yang cantik. Aku sangat menyukainya.”“Ya. Nama yang cantik. Secantik orangnya,” balas Mahesa sambil tersenyum lebar.“Tuan, Nyonya, bayinya sudah dimandikan. Sekarang dia sudah siap untuk menyusu pada ibunya,” kata seorang pera