Mahesa mengangguk, membenarkan perkataannya.“Benar. Kami akan pergi bulan madu. Tidak lama, kok. Hanya tiga hari saja di Lombok,” ungkap Mahesa.“Tapi kau tidak mengatakan apa pun padaku tentang rencana bulan madu ini,” kata Riana, kepalanya menoleh dengan kernyitan alis pada suaminya.“Anggap saja ini sebuah kejutan, sayang. Setelah menikah, kita akan butuh waktu berdua dan menikmati masa-masa awal pernikahan kita, bukan? Untuk itu, aku sengaja merencanakan bulan madu ini.”“Dengan meninggalkan Yasmin dan Kenzie? Tidak. Aku tidak tega pergi bersenang-senang ke luar kota, sementara Yasmin dan Kenzie akan kesepian di sini.” Riana menggeleng pelan.Manik mata wanita itu kini mengarah pada anak dan adiknya yang duduk di depannya.“Siapa yang akan kesepian? Selama ada Tante Yasmin, aku tidak masalah ditinggalkan oleh Mama dan Papa. Jika kalian mau pergi bulan madu, pergi saja. Tidak usah cemaskan kami,” ujar Kenzie, bocah itu berkata dengan sorot meyakinkan.Yasmin mengangguk setuju. “I
“Riana, jangan lari! Tunggu aku!” Mahesa berteriak sambil mempercepat langkahnya demi mengejar Riana yang berlari kecil di depan sana.Malam ini mereka berada di pinggir pantai. Riana tertawa dan terus berlari kecil, menggoda Mahesa yang mengejarnya dari belakang.“Wlee … kau lambat sekali. Haha!” Riana memeletkan lidah, sebelum kemudian kembali melanjutkan larinya.“Kau mengejekku? Awas saja. Setelah aku berhasil menangkapmu, kau tidak akan kulepaskan,” balas Mahesa sambil tersenyum miring.Tak mau kalah dari istrinya, sesegera mungkin Mahesa mempercepat larinya. Tentu saja tak sulit untuk kedua kaki Mahesa yang Panjang itu mengejar Riana.Begitu jarak mereka semakin dekat, tangan Mahesa langsung menggapai lengan kanan Riana, menariknya hingga punggung Riana menabrak dadanya yang bidang.“Aaakhh!”“Haha! Dapat! Sudah kubilang kalau aku pasti akan bisa menangkapmu.” Senyum lebar tersungging di wajah Mahesa.Sementara Riana tersenyum pasrah ketika Mahesa berakhir memeluk perutnya dari
Mahesa dan Riana bisa mendesah lega setelah kaki mereka bisa kembali menjejak di teras depan rumah mereka.“Akhirnya kita sampai juga,” seru Mahesa.Riana mengangguk. Tangan kanannya langsung memencet bel.Beberapa detik menunggu seseorang membukakan pintu.Tak berselang lama, daun pintu pun terbuka, lantas terlihatlah wajah terkejut Kenzie yang langsung melebarkan mata begitu melihat kedua orang tuanya berdiri di hadapannya.“Papa! Mama!” seru bocah itu.Disusul Yasmin yang justru langsung merekahkan senyum melihat Riana dan Mahesa telah pulang.“Hai, Kenzie! Apa kabar, sayang? Mama senang bisa memelukmu lagi. Yasmin, kalian baik-baik saja selama kami pergi, kan?” Riana langsung menghambur memeluk Kenzie dan Yasmin bergantian.Yasmin mengangguk cepat. “Tentu saja, Kak. Sudah kubilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kami.”Mahesa yang juga mendengar jawaban Yasmin pun tersenyum seraya mengayun langkah memasuki rumah.Mereka sama-sama menghempaskan diri di sofa ruang keluarga.
“Leo, tolong kau atur jadwalku dengan Mr. Geovan!” perintah Mahesa pada Leo yang berdiri di depan meja kerjanya.“Baik Tuan.” Leo mengangguk patuh. “Apa ada lagi yang Anda butuhkan, selain laporan keuangan?”Mahesa menggeleng, sebelah tangannya mengibas di udara.“Sudah cukup. Kau boleh pergi.”Leo mengangguk, baru saja akan beranjak meninggalkan ruang kerja Mahesa.Namun langkahnya terhenti saat teringat akan sesuatu.“Tuan.”“Ada apa?” tanya Mahesa sambil tetap fokus pada laporan yang sedang diperiksanya.“Apa Anda sudah tahu kabar mengenai ayah Anda?” tanya Leo.Gerakan tangan Mahesa yang menyibak halaman berkas laporan itu pun terhenti. Kini pandangan Mahesa terangkat menatap Leo dengan dingin.“Aku sudah tidak punya ayah. Biar kuingatkan jika kau lupa, Gustav sudah menyatakan tidak akan pernah lagi menganggapku sebagai anaknya.” Nada bicara Mahesa terdengar tegas dan ditekankan.Membuat Leo mengangguk pelan. “Maaf, Tuan. Tapi kurasa ini sebuah kabar yang penting. Terlepas dari ma
“Jadi, kau membantu ayahmu? Itu bagus. Dalam keadaan sesulit itu, ayahmu membutuhkan bantuan,” ucap Riana setelah mendengar cerita dari Mahesa mengenai Gustav.Mahesa membiarkan Riana membantunya melepaskan jas hitam yang ia kenakan, lalu Riana menyampirkan jas tersebut di lengan kirinya.“Setidaknya aku masih memiliki hati sebagai seseorang yang pernah menganggapnya ayah.”“Kau masih bersitegang dengan ayahmu?” Riana menatap terkejut. Tubuh mungilnya berhadapan dengan tubuh Mahesa yang menjulang di depannya.“Dia sendiri yang memulai. Dia yang lebih dulu memutuskan hubungan kami. Jika saja dia mengerti perasaanku, mungkin aku masih memanggilnya ayah sampai detik ini.”“Mahesa …”CUP!Mahesa mengecup kening Riana sekilas, lalu menatap wajah istrinya itu dengan lamat.“Sudahlah. Jangan bahas soal dia lagi. Aku sangat lapar setelah pulang dari kantor. Apa istriku masak makanan yang spesial, malam ini?”Kedua sudut bibir Riana melengkungkan senyum. Ia pun menganggukan kepala.“Tentu saj
Mahesa dan Riana berasumsi bahwa lelaki tua yang dimaksud oleh Yasmin adalah Gustav. Benar saja, ketika mereka turun ke lantai bawah, terlihat Gustav sedang duduk di kursi ruang tamu sambil menautkan jemarinya di atas paha.“Tuan Gustav Anderson, ada perlu apa Anda datang ke rumahku?”Mata Gustav langsung menoleh begitu mendengar suara Mahesa. Gustav lantas berdiri dari duduknya dan menunggu Mahesa serta Riana sampai di hadapannya.“Mahesa,” bisik Gustav. Sorot mata Gustav kali ini tampak berbeda. Tak lagi setegas dan setajam biasanya.Riak wajahnya menyiratkan kerinduan pada Mahesa. Perlahan Gustav meremas kedua tangannya di sisi tubuh, berandai ia dapat memeluk Mahesa.“Apa kau berniat ingin mengganggu kebahagiaanku dan Riana? Jika itu niatmu, aku tidak akan pernah membiarkanmu,” cetus Mahesa. Rahangnya merapat.Tangan Riana segera menggenggam tangan suaminya. Seolah mengisyaratkan agar Mahesa tak langsung emosi.“Bukan. Aku sudah tak memiliki niat mengganggu pernikahan kalian. Me
“Riana!” pekik Mahesa yang langsung menjatuhkan kantung belanjaannya serta berlari.“Tuan Gustav!” Riana melebarkan mata melihat Gustav yang kini terbaring telungkup di hadapannya.Tadi saat sebuah peluru yang entah darimana datangnya hampir saja menembus dada Riana, tiba-tiba Gustav menghalangi tubuh Riana dengan tubuhnya hingga peluru itu menembus ke tubuh Gustav.“Kakek.” Kenzie pun menatap kasihan pada Gustav yang terbaring lemah.Banyak orang yang datang dan berkerumun. Sedangkan Nessie sendiri langsung melarikan diri begitu ia tahu bidikannya meleset.“Riana, kau dan Kenzie tidak apa-apa?” Mahesa datang terengah. Menghampiri istri dan anaknya dengan wajah panik.Mata Riana berkaca-kaca. “Mahesa, ayahmu …”Mahesa mengikuti arah pandang Riana, kemudian ia terhenyak kaget menemukan Gustav yang bagian depan tubuhnya telah terluka.“Papa!”Mahesa berjongkok di samping Gustav. Menaruh kepala Gustav di atas pahanya.Lelaki paruh baya itu tak sadarkan diri. Tangan Mahesa menepuk pelan
Dokter telah memeriksa kondisi Gustav yang baru sadarkan diri. Luka tembaknya tak mengenai bagian yang fatal, beruntung Gustav masih bisa selamat setelah menjalani operasi untuk mengeluarkan peluru.“Polisi sedang mencari siapa pelaku penembakan itu. Informasi yang baru kami dapatkan adalah orang itu menggunakan mobil warna merah. Tapi polisi sedang mencaritahu plat nomor mobil tersebut.” Mahesa kini duduk di kursi tepat di sebelah ranjang Gustav.Riana sendiri berdiri di sebelah Mahesa.Gustav duduk bersandar sambil mendengarkan ucapan putra kandungnya.“Oh ya, aku ingin tahu satu hal. Kenapa Papa bisa tiba-tiba datang dan tahu kalau ada orang jahat yang berniat menembak Riana?” kali ini kening Mahesa berkerut dalam.Matanya menatap ayah kandungnya dengan sorot menyelidik.“Karena Papa tahu siapa orang yang ingin mencelakai Riana,” jawab Gustav.Sontak saja bola mata Riana dan Mahesa sama-sama membulat lebar mendengarnya.“Apa? Jadi, Papa tahu siapa orang itu?”Gustav menganggukan ke