Alden dan Eric membuka mata mereka secara bersamaan, mereka lalu menguap secara bersamaan dan mereka juga mengucek-ngucek mata mereka dengan bersamaan, apa yang mereka lakukan saat ini persis suatu hal yang seperti sudah mereka rencanakan bersama, padahal hal itu terjadi karena naluriah mereka tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu.“Good morning my two boys,” ucap Alana yang saat ini sudah berdiri di sisi ranjang Eric.“Good morning Ma,” jawab Alden.Berbeda dengan Alden yang membalas sapaan Alana. Eric justru terbengong dengan apa yang baru saja didengarnya. ‘Apa katanya, my two boys?’ batinnya.Cup! Cup! Alana mencium pipi kanan Eric dan juga pipi kanan Alden setelahnya. Tentu saja hal itu semakin mengejutkan Eric yang memang saat itu sedang memikirkan ucapan Alana. “A-apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan refleks seraya memegangi bagian pipinya yang tadi Alana cium.Melihat itu, Alana pun hanya mengedipkan matanya berkali-kali karena ikut terkejut juga dengan suara Eric yan
Alana lalu berbalik, hendak masuk kembali ke dalam mansion. Namun, saat kedua matanya itu melihat wajah bibi Han, dia pun mengurungkan niatnya dan malah terus menatap bibi Han yang saat ini tengah sibuk memberikan arahan pada para pelayan.“Aku tidak akan membiarkan orang lain melukaimu lagi Eric, sudah cukup. Sekarang, hanya akan ada kebahagiaan yang menghampirimu. Tidak ada lagi raut lelah yang akan terlukis di wajahmu, tidak akan ada lagi lingkaran hitam di sekitar matamu dan tidak akan ada lagi mimpi buruk yang terus menghantuimu. Aku akan mengusir semua itu dari hidupmu Eric,” ucapnya lagi, seraya menatap tajam pada bibi Han.***Sementara itu, di tempat lain.Tampak Eric, Alden dan juga Jeff yang berada di dalam mobil untuk menuju sekolahan Alden. Suasana di sana saat ini begitu tenangnya. Karena belum ada seorang pun yang membuka pembicaraan. Namun, tiba-tiba Alden terus melihat ke sana kemari seperti sedang mencari seseorang.“Siapa yang sedang kau cari, Alden?” tanya Eri
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.15. siang. Saat ini Alana tengah sibuk di dapur, mempersiapkan makanan yang akan dibawakannya ke kantor Eric. Tampak dia begitu sibuknya memasukkan makanan hasil masakannya sendiri itu ke dalam kotak bekal.Di sampingnya berdiri 3 koki, yang sebenarnya bertugas memasak di sana. Raut wajah mereka menunjukkan kepanikan dan kekhawatiran karena telah lancang membiarkan nyonya rumah ini memasak sendiri makanannya.“Sudah Nona, biar kami yang teruskan. Anda sudah memasaknya dari tadi, jadi biar kami yang merapikannya,” ucap kepala koki di sana.“Tidak papa Paman, ini sebentar lagi selesai kok,” jawabnya. Tak! Bunyi penutup bekal itu saat Alana menaruhnya dan merapatkannya pada kotak bekal yang sudah ia isi makanan. “Lihat, sudah selesai, kan?” ucapnya dengan tersenyum.Alana terus melihat kotak bekal yang sudah disiapkannya itu. Dia merasa sangat senang, karena ini adalah makanan pertamanya yang dia masak sendiri untuk Eric. Dia hanya berharap, Eric akan
“Ehh, sekretaris Jeff!” panggil Alana yang merasa bingung dengan Jeff yang tiba-tiba berlari keluar padahal tadi dia terlihat sanat antusias untuk mencoba masakannya. “Ada apa dengannya, diterkam harimau? Memangnya di sini ada harimau?” gumamnya bingung.Alana kembali menoleh pada Eric yang masih duduk dengan santainya. “Hmm, bisakah kau bangun dan pindah ke sofa. Ayo istirahat, dan makan dulu,” ucapnya dengan lembut.Eric masih tetap bergeming, saat ini dia hanya fokus menatap Alana yang dia pikir berperilaku semakin aneh. Namun kemudian, Eric pun berdiri. Dia lalu melangkahkan kakinya mendekati Alana yang masih berdiri di dekat sofa.Alana tersenyum, karena sepertinya Eric akan menuruti perkataannya untuk duduk di sofa dan makan. Namun rupanya, hal itu tidak seperti yang dibayangkannya. Bukannya duduk dengan tenang di sofa, Eric malah mendekati dirinya dan menatapnya dengan penuh ketajaman.“Kenapa kau bersikap aneh seperti ini sejak pagi? Apa rencanamu sebenarnya? Kau pikir aku
Sekarang, hanya tersisa Eric dan Alana yang berada di dalam ruangan. Setelah kejadian tadi, kenapa rasanya suasananya menjadi canggung. Eric yang awalnya bilang tidak mau memakan makannya, namun tiba-tiba ingin memakannya. Hal itu membuat Alana tidak bisa mengerti kemauan Eric yang sebenarnya. Karena Eric yang tiba-tiba berubah pikiran dan membingungkannya.“Hmm, jadi kau ingin memakannya?” tanya Alana dengan hati-hati.Dengan melihat ke arah lain, Eric pun menjawab pertanyaan Alana. “Ya tidak ada pilihan lain, kau sudah membuat dan membawanya kemari. Karena itu aku harus memakannya.”“Benarkah?” tanya Alana dengan senang. “Kalau begitu ayo duduklah. Aku akan menyiapkannya.”Tanpa izin dari Eric, Alana memegang tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. “Duduklah!” ucapnya.Eric pun menurut, dia lalu duduk di sofa dan melihat Alana yang duduk di sampingnya.Alana saat ini tengah sibuk membuka kotak bekal itu satu persatu dan menyiapkannya untuk Eric. “Ini sendoknya, sekarang
Saat ini Alana sudah berada di depan gerbang sekolah Alden, seperti yang dikatakan oleh Eric. Jefflah yang mengantarkannya ke sana. Hanya saja, Jeff langsung pergi karena dia harus segera melanjutkan pekerjaannya di kantor. Alhasil saat ini Alana pun hanya berdiri sendirian di depan gerbang.Alana tersenyum, dan langsung melihat ke arah gerbang. Ketika mendengar pintu gerbang sekolah yang sudah terbuka. Itu artinya, waktu pulang sekolah Alden telah tiba. Dengan terus menyunggingkan senyumnya, Alana menatap para anak yang mulai berhamburan keluar.“Mama!” panggil Alden yang membuat senyum Alana semakin melebar. Dia melihat Alden yang berlari ke arahnya dengan diikuti Ronald di belakangnya.Bruk! Seketika Alden memeluknya dengan raut wajah senang. “Mama kok jemput Alden?” tanyanya sembari mendongak menatap wajah Alana.“Iya sayang, tadi mama habis dari kantor papa. Jadi mama sekalian ke sini pas mau pulang,” jawabnya.“Mama ke kantor papa?” tanya Alden lagi.“Iya,” jawab Alana sin
Malam semakin larut, suasana di mansion pun sudah tampak sepi. Lampu-lampu di setiap kamar juga sudah dimatikan. Tak halnya dengan Eric dan Alana. Mereka juga sudah larut dalam mimpi mereka masing-masing.Tampak raut wajah Eric yang memperlihatkan ketidak nyamanan di saat matanya yang sedang tertutup rapat. Sepertinya, mimpi buruk itu datang kembali menghampirinya dan mengganggu tidurnya.“Ma, tubuh Eric sakit. Sakit sekali Ma hiks hiks,” igaunya. Eric terus memanggil-manggil mamanya, sampai ke dunia nyata. Di dalam mimpinya itu, mamanya seperti tidak memedulikannya, padahal tubuh Eric saat itu tengah dipenuhi luka cambukkan dari papanya. Di saat itu dia hanya berharap, jika mamanya akan memedulikannya, memeluknya dan menghapus air matanya. Tapi nyatanya hal itu tidak terjadi, mamanya malah meninggalkannya tanpa berpaling lagi ke belakang.“Kenapa mama melakukan itu, apa mama tidak sayang padaku,” igaunya lagi. “Jangan pergi ma, Eric sakit. Mama!” teriaknya dan langsung terbangun d
Alden menunggu kedua orang tuanya di ruang tamu, saat ini dia sudah siap. Biasanya dia memang selalu dimandikan dan didandani oleh mamanya. Tapi, karena Alden pikir tadi pagi mamanya masih sibuk dengan papanya, alhasil dia pun meminta Annie untuk menyiapkannya.Alden melihat ke belakang, saat kedua telinganya mendengar suara langkah kaki yang tengah menuruni anak tangga. Dia mendongak, bibirnya langsung menyunggingkan senyum karena ternyata suara langkah kaki itu adalah milik kedua orang tuanya. “Mama, Papa,” panggilnya, yang langsung turun dari sofa dan berlari menghampiri Alana dan Eric.“Ayo kita berangkat,” ucap Eric.Alden pun mengangguk, Eric langsung mengangkat Alden dan menaruhnya di gendongannya. Mereka lalu berjalan keluar mansion, di sana sudah ada sebuah mobil mewah berwarna hitam yang terparkir untuk digunakan oleh mereka.Eric membukakan pintu mobil bagian depannya untuk Alden. “Ayo masuk sayang,” ucapnya.Namun, bukannya masuk. Alden justru hanya diam di tempatny
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan