Saat ini Alana sudah berada di depan gerbang sekolah Alden, seperti yang dikatakan oleh Eric. Jefflah yang mengantarkannya ke sana. Hanya saja, Jeff langsung pergi karena dia harus segera melanjutkan pekerjaannya di kantor. Alhasil saat ini Alana pun hanya berdiri sendirian di depan gerbang.Alana tersenyum, dan langsung melihat ke arah gerbang. Ketika mendengar pintu gerbang sekolah yang sudah terbuka. Itu artinya, waktu pulang sekolah Alden telah tiba. Dengan terus menyunggingkan senyumnya, Alana menatap para anak yang mulai berhamburan keluar.“Mama!” panggil Alden yang membuat senyum Alana semakin melebar. Dia melihat Alden yang berlari ke arahnya dengan diikuti Ronald di belakangnya.Bruk! Seketika Alden memeluknya dengan raut wajah senang. “Mama kok jemput Alden?” tanyanya sembari mendongak menatap wajah Alana.“Iya sayang, tadi mama habis dari kantor papa. Jadi mama sekalian ke sini pas mau pulang,” jawabnya.“Mama ke kantor papa?” tanya Alden lagi.“Iya,” jawab Alana sin
Malam semakin larut, suasana di mansion pun sudah tampak sepi. Lampu-lampu di setiap kamar juga sudah dimatikan. Tak halnya dengan Eric dan Alana. Mereka juga sudah larut dalam mimpi mereka masing-masing.Tampak raut wajah Eric yang memperlihatkan ketidak nyamanan di saat matanya yang sedang tertutup rapat. Sepertinya, mimpi buruk itu datang kembali menghampirinya dan mengganggu tidurnya.“Ma, tubuh Eric sakit. Sakit sekali Ma hiks hiks,” igaunya. Eric terus memanggil-manggil mamanya, sampai ke dunia nyata. Di dalam mimpinya itu, mamanya seperti tidak memedulikannya, padahal tubuh Eric saat itu tengah dipenuhi luka cambukkan dari papanya. Di saat itu dia hanya berharap, jika mamanya akan memedulikannya, memeluknya dan menghapus air matanya. Tapi nyatanya hal itu tidak terjadi, mamanya malah meninggalkannya tanpa berpaling lagi ke belakang.“Kenapa mama melakukan itu, apa mama tidak sayang padaku,” igaunya lagi. “Jangan pergi ma, Eric sakit. Mama!” teriaknya dan langsung terbangun d
Alden menunggu kedua orang tuanya di ruang tamu, saat ini dia sudah siap. Biasanya dia memang selalu dimandikan dan didandani oleh mamanya. Tapi, karena Alden pikir tadi pagi mamanya masih sibuk dengan papanya, alhasil dia pun meminta Annie untuk menyiapkannya.Alden melihat ke belakang, saat kedua telinganya mendengar suara langkah kaki yang tengah menuruni anak tangga. Dia mendongak, bibirnya langsung menyunggingkan senyum karena ternyata suara langkah kaki itu adalah milik kedua orang tuanya. “Mama, Papa,” panggilnya, yang langsung turun dari sofa dan berlari menghampiri Alana dan Eric.“Ayo kita berangkat,” ucap Eric.Alden pun mengangguk, Eric langsung mengangkat Alden dan menaruhnya di gendongannya. Mereka lalu berjalan keluar mansion, di sana sudah ada sebuah mobil mewah berwarna hitam yang terparkir untuk digunakan oleh mereka.Eric membukakan pintu mobil bagian depannya untuk Alden. “Ayo masuk sayang,” ucapnya.Namun, bukannya masuk. Alden justru hanya diam di tempatny
“Kok Mama sama Papa diem aja. Apa permintaan Alden ini terlalu sulit?” tanyanya.“Itu ... Alden ....”“Iya!” jawab Eric memotong ucapan Alana yang sebenarnya hendak menjelaskan jika keinginan Alden itu sulit, dan tidak akan bisa dilakukan olehnya dan Eric. Tapi, mendengar jawaban Eric yang mengatakan iya, membuat Alana juga terkejut. Dan langsung melihat pada Eric dengan matanya yang melebar. “Mama dan Papa pasti akan memberikanmu seorang adik,” lanjutnya.Wajah Alana langsung memerah, setelah mendengar lanjutan dari ucapan Eric. ‘Apa maksudnya itu, dia sungguh akan mengabulkan keinginan Alden?’ batinnya.“Wahh benar ya Pa,” ucap Alden dengan senangnya.“Iya, tapi Alden harus ngerti. Memberikan Alden adik itu gak mudah. Perlu waktu, jadi papa harap Alden mau nunggu. Apa Alden mengerti?” ucapnya.“Emm.” Alden mengangguk mengerti dengan apa yang baru saja papanya jelaskan. “Alden mengerti Pa, yang penting Papa udah janji kalo papa sama mama mau kasih Alden adik,” lanjutnya. Mereka
“Itu ... bukankah kau membenciku?”Eric menghentikan langkahnya, setelah mendengar pertanyaan Alana. Dia menghadapkan tubuhnya pada Alana dan memandangnya dengan tatapan dalam.Di tatap seperti itu, tentu saja membuat Alana menjadi gugup, dia menjadi salah tingkah entah bagaimana dia harus bersikap saat ini. Karena jujur, ini adalah pertama kalinya dia ditatap sedalam ini oleh Eric. Biasanya, Eric selalu menatapnya dengan dingin atau tajam.“Aku tidak tahu isi pikiranmu sekarang, tapi aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku adalah tipe seorang ayah yang akan mengabulkan apa pun keinginan anaknya. Jika Alden menginginkan seorang adik, maka tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengabulkannya. Karena mengabulkan keinginannya, adalah suatu kewajiban untukku. Dan kebahagiaannya adalah yang terpenting bagiku. Aku harap kau memahami hal itu,” jelasnya.Alana terdiam, dia masih mencerna dengan baik maksud ucapan Eric saat ini. ‘Apa itu artinya, dia akan tetap melakukan hubungan itu denganku,
Setelah bersusah payah menenangkan Alden, akhirnya Alana pun berhasil membuat Alden tenang dan menidurkannya. Saat ini dia masih berada di dalam kamar Alden, Alana duduk di samping Alden yang saat ini sudah tertidur setelah lama menangis.Dia menepuk-nepuk pelan kening Alden, memberikan kehangatannya sebagai seorang ibu. Pandangannya terlihat sayu, karena saat ini dia tengah berpikir bagaimana caranya menjelaskan semua ini pada Eric. Jika dia berkata jujur masalah mamanya, akankah Eric percaya. Dan jika dia berkata jujur akan bibi Han, apakah dia juga akan percaya. Alana masih mengingat, bagaimana saat dia berusaha untuk memberitahu Eric masalah mamanya, waktu itu Eric menjadi sangat marah padanya. Dan sekarang, kemarahannya itu pasti akan semakin memuncak.Alana memegangi keningnya yang terasa sakit, kenapa semuanya selalu berjalan tidak sesuai yang diinginkannya, padahal dia ingin mencari bukti tentang pengkhianatan bibi Han terlebih dulu. Tapi semuanya justru berakhir seperti ini
Setelah kepergian Alana, Eric langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mengingat apa yang dia lalui selama ini. Rasanya dia tidak bisa memercayai ucapan Alana, tapi melihat bagaimana tatapannya saat menjelaskan itu semua. Dia tidak melihat sama sekali kebohongan di sana. Hanya ada kejujuran dan ketulusan di bola mata hitam itu.“Apa yang terjadi sebenarnya, aku sungguh tidak mengerti,” gumamnya lirih.Eric lalu bangun dari duduknya, dia melangkah ke arah jendela kaca besarnya dan memandangi pemandangan senja di dalam kamarnya. Tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya. Tatapan sayu itu, dia tunjukkan untuk pertama kalinya.“Jika benar apa yang Alana katakan, jika benar bibi Hanlah pengkhianatnya. Apa yang akan aku lakukan, bisakah aku menerimanya. Aku sungguh menyayanginya, aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. Atau, haruskah aku pura-pura tidak tahu. Dan terus hidup seperti orang bodoh?” gumamnya.***Alana duduk sendiri di ruang keluarga, dia menangis ter
Alden keluar dari dalam kamar Eric, dan di saat bersamaan Alana juga baru saja hendak menuju ke kamar Alden dan memastikan keadaannya. Tampak raut wajah Alana yang menunjukkan keterkejutannya karena melihat Alden yang keluar dari dalam kamar Eric dalam keadaan menangis dan langsung berlari menuju kamarnya.“Alden,” gumam Alana. Tak mau membuang waktu lagi, akhirnya dia juga ikut berlari menyusul Alden yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya.Alana menghentikan larinya, saat dia sudah berada di depan pintu kamar Alden yang terbuka. Dia melihat putranya itu yang duduk termenung dengan kedua tangannya yang sesekali menghapus air matanya. Melihat keadaan anaknya yang seperti itu, membuat Alana juga tak bisa menahan air matanya. Akhirnya air matanya itu pun kembali menetes, dan dengan langkah perlahan dia pun menghampiri putranya.“Alden,” ucapnya seraya duduk di samping Alden.Alden tidak menjawab, dia masih sibuk dengan tangisannya sendiri. Hingga akhirnya Alana pun memegang
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan